Beberapa menit kemudian, setelah Patrick turun ke bawah menyusul Ibunya. Maureen keluar kamar Patrick dengan perasaan gugup dan takut. Sesampainya dii ryangan di mana Patrick dan kedua orang tuanya sedang duduk Maureen ragu untuk bergabung dengan mereka.
“Duduklah bersama kami Maureen dan jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi tadi malam antara kamu dan Patrick! Jangan ragu untuk mengatakannya kami akan besikap tebuka dan bisa menerima, kalau Patrick memang melakukan kesalahan!" Ayah Patrick menunjuk kursi yang tepat berhadapan dengan kursi di mana Patrick duduk.
Dengan langkah kaki yang ragu Maureen beranjak dari tempatnya berdiri menuju kursi yang ditiunjuk ayah Patrik, lalu duduk di situ. Maureen menautkan kedua tangannya di atas pangkuan untuk mengusir rasa gugup, karena dirinya merasa diamati dan bagaikan menjalani interogasi oleh kedua orang tua Patrick.
"Saya sebelumnya sudah mengatakan, kalau semua ini memang karena kesalahan tuan Patrick yang pulang dalam keadaan mabuk dan saya membantunya menuju ke kamarnya di lantai dua. Semua terjadi, karena situasi yang belum pernah saya alami sebelumnya, sehingga membuat saya merasa melayang mendapatkan perlakuan romantis dan membius dari tuan Patrick, sekalipun ketika pagi hari tuan Patrick melupakan apa yang dilakukannya." Maureen menudukkan wajah tidak mau kedua orang tua Patrick dan Patrick sendiri mengetahui, kalau dirinya merrasa terluka, karena dirinya dilupakan begitu saja oleh Patrick.
Mata ayah Patrick menatap tajam putranya itu, dengan raut wajah yang dipenuhi kemarahan ia pun berkata, “Tidak peduli, kau mabuk atau tidak. Kau harus menikahi Maureen, karena kau sudah menidurinya! Kau harus bertanggung jawab kepada Maureen!"
Jantung Maureen rasanya berhenti berdetak. Ia tidak mau dipaksa menikah dengan Patrick karena kesalahan pria itu. Ia tidak akan sanggup hidup bersama lelaki yang selama ini selalu bersikap dingin kepadanya.
Bagaimana mungkin ia akan merasa tenang hidup dengan pria yang ia kenal sering berganti-gatni kekasih. Tidak, ia tidak akan sanggup menikah dengan pria yang sering berganti kekasih. Ia menginginnkan kesetiaan dalam sebuah pernikahan dan tidak menginginkan adanya perselingkuhan.
“Ayah sangat kecewa kepadamu, karena sebagai seorang pewaris sudah seharusnya kau menunjukkan sikap.”
Patrick berdiri dari duduknya, ia melihat ayahnya dipenuhi kemarahan. “Aku benci dengan ancaman Ayah! Aku tidak akan pernah membiarkan warisan yang seharusnya menjadi milikku jatuh ke tangan Lukas! Aku dan Maureen tidak melakukan hal-hal yang seperti Ayah pikirkan! Mengapa kalian membesarkannya?!”
Ayah Patrick menjadi tersulut kemarahanya, karena Patrick yang membawa-bawa nama putra dari wanita yang diam-diam ia kencani tanpa sepengetahua istrinya. Wanita yang sudah memberikannya seorang putra, dengan usia yang hanya terpaut beberapa bulan saja dari Patrick.
“Tentu saja ayah membela Lukas, karena ia tidak sepertimu! Lukas anak yang baik dan ia tidak pernah membuat malu ataupun kecewa ayah! Ia tidak sepertimu, yang selalu berganti kekasih, seperti berganti pakaian!”
Patrick tersenyum sinis ke arah Ayahnya ia melayangkan tatapan yang dingin. “Mengapa ayah menyalahkannku yang tidak bisa setia pada satu wanita? Bukankah aku hanya meniru apa yang ayah lakukan, dengan berselingkuh dari ibuku? Kita sama bukan, ayah? Jangan pernah membandingkan diriku dengan orang lain, karena aku melakukan apa yang ingin kulakukan!”
Terdengar suara gigi ayah Patrick bergemeretak menahan kemarahan. Tanpa sadar tangannya terangkat untuk menampar wajah Patrick. Suara kesiap terkejut terlontar dari bibir ibu Patrick dan juga Maureen, melihat apa yang dilakukan oleh ayah Patrick.
Patrick menatap ayahnya dengan mata yang menyala-nyala dipenuhi kemarahan. Diusapnya pipinya yang terasa berdenyut nyeri, tidak mungkin ia membalas apa yang dilakukan ayahnya..
“Ayah tidak akan meminta maaf, karena sudah menamparmu. Kau memang pantas mendapatkannya. Kau dan kebencianmu kepada Lukas yang tidak pernah ada akhirnya, padahal saudaramu itu sudah berulangkali mencoba untuk mengajakmu menjalin hubungan layaknya adik-kakak.”
Patrick melayangan tatapan yang tajam dan dingin kepada Ayahnya, “Baik, aku akan menikahi Maureen, agar Ayah merasa senang!”
Maureen yang sedari tadi diam saja mendengarkan perdebatan Patrick dan ayahnya menjadi terkejut mendengarnya. “Tapi, Tuan! Kita tidak perlu menikah, maksud saya itu semua hanya kesalahan, sehingga saya dan tuan Patrick berada di satu tempat tidur yang sama!”
Dengan takut-takut Maureen melirik Patrick yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang dingin. "Saya tidak menginginkan terjadinya pernikahan, karena paksaan! Saya juga turut bersalah atas apa yang terjadi."
Hati Maureen terasa sakit menyadari tidak ada sepatahpun keluar kalimat pembelaan dari Patrick kepada dirinya. 'Mengapa tua Patrick sama sekali tidak peka, seandainya saja bisa memutar kembali waktu ia akan melakukan apapun juga untuk mencegah dirinya jatuh ke dalam jerat pesona Patrick.
Dalam hatinya Maureen berharap agar Patric menolak menikahi dirinya, karena ia tidak ingin menikah dengan pria yang arogan dan keras kepala, seperti Patrick.
"Saya benar-benar merasa, kalau tidak perlu sama sekali terjadi pernikahan di antara aya dan tuan Patrick. DI antara kami terdapat jurang yang sangat besar di mana saya hanyalah seorang pelayan dan tuan Patrick. Saya merasa tidak masalah sama sekali, jikalau kami tidak menikah," ucap Maureen lirih.
Dengan menundukkan wajah Maureen hendak menyembunyikan wajahnya, karena merasa takut dengan tatapan tajam Patrik yang seakan menuduh dirinya menginginkan pernikahan di antara mereka berdua.
Ibu Patrick berdiri dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca yang ada di sudah ruang makan tersebut, lalu kembali lagi dengan gelas berisi anggur di tangannya.
Disodorkannya gelas berisi anggur tersebut ke tangan Maureen, yang langsung diterima olehnya. “Minumlah, kau tentu memerlukannya, setelah drama yang baru saja terjadi.”
Maureen mengangguk diciumnya aroma anggur dari dalam gelas yang ada di tangannya, lalu ia tenggak isinya, untuk membasahi tenggorokanya, yang baru saja ia sadari telah menjadi kering.
Patrick berdiri dari duduknya ia menatap tajam Maureen, seakan melalui tatapannya ia menuduh Maureen telah dengan sengaja menjebak dirinya. Ia kemudian mengalihkan pandagannya kepada Ayah dan Ibunya. "Kalian berdua sudah mendengar apa yang menjadi keputusanku, kalau aku akan menikahi Maureen! Dan sekarang kalian bisa pergi dari rumahku ini!"
Dada Maureen bagaikan disiram dengan air dingin dalam hatinya Maureen berharap, seandainya Patrick tidak bersedia membela dirinya, ataupun melontarkan kalimat yang manis tentang dirinya. Tidak perlu ia memberikan tatapan yang seolah-olah menuduh dirinya.
"Ayah dan Ibu tadi sudah mendengar secara langsung, kalau Maureen sama sekali tidak menolak apa yang pada akhirnya berakhir di atas tempat tidurku!" Patrick menagatakan itu dengan gigi bergemeretak menahan kemarahan. Ia sengaja mengucapkan kalimat tersebut untuk menyakiti Maureen yang sudah membuatnya terpaksa harus menikahinya.
Wajah Maureen bersemu merah, ia merasa malu, karena diingatkan kejadian tadi malam, Ia bangkit dari duduknya, hendak kembali ke rumahnya sendiri, yang ia tempati bersama dengan ibunya. Ia merasa tidak sanggup lagi duduk bersama dengan Patrick yang terus saja menyudutkan dirinya.
Ia merasa terluka, karena kata-kata Patrick yang kasar dan tidak berperasaan. Akan tetapi, sebelum ia sempat beranjak dari tempatnya duduk terdengar suara kursi yang ditarik.
Ayah Patrick beranjak dari meja makan tempatnya duduk dan memberikan ultimatum kepada Patrick. "Maureen beritahu orang tuamu, besok kau dan Patrick akan menikah!"
“Saya nyatakan kalian berdua sah, sebagai pasangan suami istri dan kau boleh menncium istrimu, Patrick" ucap Pendeta yang memberkati pernikahan Patrick dan Maureen. Suara tepuk tangan dari beberapa orang yang turut hadir pernikahan sedderhana Patrick dan Maureen di kantor catatan sipil terdengar nyaring. Patrick menatap Maureen dengan intens dapat dilihatnya sinar bahagia di mata itu. "Kau dengar apa yang dikatakan oleh pendeta bukan? Kalau aku dipersilakan untuk menciummu!" Patrick mencium Maureen seakan hanya berdasarkan perintah dari pendeta saja. Akan tetapi, begitu bibirnya bertemu dengan bibir Maureen, yang terasa lembut dan nikmat membuat Patrick tidak berhenti mencium Maureen. Terlalu larut mencium Maureen, Patrick melupakan kenyataan kalau mereka berada di tempat umum. Dengan penonton yang menjadi malu, karena kemesraan keduanya. Patrick baru melepaskan ciumannya di bibir Maureen, setelah terdengar sua
“Kau mau pergi ke mana Patrick!" Bisik Ibunya, sambil menarik lengan Patrick. Tunggulah beberapa menit lagi, sampai pesta ini berakhir baru kau menemui wanita tadi dan memberikan penjelasan kepadanya, tetapi tidak sekarang! Karena Ibu tidak mau kau membuat nama baik keluarga kita menjadi tercoreng. Tadinya Ibu Patrick sedang berbicara dengan pelayan yang mengurus pesanan makanan pesta pernikahan Patrick dan Maureen, ketika dilihatnya Patrick berjalan keluar hendak menyusul seorang wanita, yang ia kenali beberapa kali pergi ke pesta relasi mereka dengan Patrick. Dan beruntung saja ia berada pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga dirinya bisa mencegah Patrick melakukan tindakan yang dapat mempermalukan mereka semua. Dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya Patrick mengangguk. Ia melepaskan pegangan tangan Ibunya. Selama beberapa saat Patrick hanya diam saja di tempatnya berdiri mengawasi bagaimana Sandra masuk mobil dan kemud
Patrick menghentikan langkahnya, tetapi ia sama sekali tidak membalikkan badannya. "Apakah kamu bermaksud mencegahku untuk bertemu dengan kekasihku, Maureen?" Maureen berjalan menghampiri Patrick. "Aku hanya meminta kepadamu untuk menghabiskan waktu bersama denganku di hari pertama pernikahan kita." Sontak saja Patrick membalikkan badannya ia tertawa sinis ke arah Maureen. "Sayangnya aku tidak ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu!" Ia lalu dengan kasar mendorong tubuh Maureen menjauh, sampai wanita yang baru saja dinikkahinya itu hampir terjatuh, kalau ia tidak dengan cepat berpegangan pada dinding. Tidak menunggu jawaban dari Maureen, Patrick kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Seakan ia melampiaskan kemarahannya kepada pintu tersebut. Maureen memegang dadanya yang terkejut mendengar suara tersebut. Ia lalu berjalan ke arah pintu balkon kamar Patrick. Ia kemu
“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka. Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering. Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?” Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil. Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia
Sopir pribadi Patrick menatapnya dengan bingung. “Apa maksud Bos? Bagaimana dengan Bos sendiri? Di tempat ini Bos hanya seorang diri saja!” “Pergilah! Nyawa Istri dan Putraku jauh lebih berharga. Aku bisa menjaga diriku sendiri!” tegas Patrick. Sopir pribadinya pun membalikkan badan, lalu berjalan menuju mobil kembali. Dan mengingat kata-kata Patrick yang menekankan kata ‘Nyawa’ Ia menggemudi dengan kecepatan tinggi, agar sampai tepat waktu. Selama dalam perjalanan ia memikirkan apa yang membuat bosnya itu tidak percaya kepada pengawal yang bertugas di rumahnya. ‘Apakah ada yang luput dari pengamatanku selama berada di lingkungan rumah bos Patrick?’ batin sopir itu. Jalanan yang sepi membuatnya melaju tanpa ada hambatan, sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama ia pun sampai di depan rumah bosnya. Dimatikannya mesin mobil, lalu ia keluar dari mobil. Dengan setengah berlari ia menaiki undakan tangga menuju pintu rumah. Ia mengerutkan kening, ketika pintu dengan mudahnya ia bu
Maureen mencibirkan bibir ke arah Patrick, dengan bibir mengulas senyum tipis. “Kau terlalu percaya diri bisa saja kau salah!”Patrick mengambil gelas berisi anggur, lalu menyesapnya sampai isinya tersisa separuh.Ia melihat Maureen dengan tatapan yang begitu dalam, sehingga membuat Maureen menjadi gugup. “Aku memang percaya diri Maureen! Karena kau mencintaiku dan tidak untuk Lukas. Aku hanya akan mengatakan satu hal kepadamu, kalau sebentar lagi semua akan menjadi jelas!”Ia dapat melihat dengan jelas kesungguhan dari apa yang dikatakan oleh Patrick. Suaminya itu begitu yakin dengan apa yang dikatakannya, tentang Maureen yang mencintainya.“Kau memang benar! Aku mencintaimu dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Lukas kepadaku. Aku hanya merasa takut, dengan persaingan di antara kalian berdua,” ucap Maureen.Patrick meraih jemari Maureen, lalu menautkan dengan jemarinya. “Kau percaya denganku, bukan? Kau tidak boleh keluar rumah tanpa sepengetahuan pengawal. Lukas tadi sec
Patrick mengetatkan rahang, kedua tangannya terkepal di samping badan. Ia berjalan mendekati Lukas, lalu memegang dagu pria itu. “Apakah kau mengancamku, Lukas?”Lukas tersenyum dengan bibir mencemooh ke arah Patrick, sambil mengangkat kedua tangannya. “Mana berani aku mengancammu, Kak! Kau pasti becanda, kalau membayangkan diriku sampai berani melakukannya.”Patrick melepaskan cekauannya di dagu Lukas. Ia berjalan menjauh dari adik tirinya itu. Ia berdiri menatap lurus ke depan menunggu pintu lift terbuka.Ketika pada akhirnya pintu lift terbuka, Patrick membiarkan Lukas yang duluan keluar dari dalam lift tersebut. Barulah dirinya yang menyusul.Begitu sudah berada di luar Patrick sudah di tunggu oleh sopir pribadinya, yang langsung membukakan pintu mobil, begitu melihat Patrick keluar dari pintu perusahaan.“Kita ke perkebunan, Pak!” Perintah Patrick kepada sopirnya, begitu dirinya sudah duduk di dalam mobil.“Baik, Bos!” sahut sopir Patrick.Mobil pun meluncur menuju perkebunan den
Tubuh Maureen menjadi kaku, tanpa menoleh pun ia tahu siapa yang berdiri di belakang punggungnya. Rasa takut menghinggapi hati Anna terlebih lagi dirinya pada saat ini sedang bersama dengan putranya. “Lukas, kau mengejutkanku!”Suara kekehan yang terdengar menyeramkan di telinga Maureen keluar dari bibir Lukas. Pria itu terdengar berjalan ke sampingnya, kemudian duduk di ayunan di samping Maureen.Ia memandangi wajah putra Maureen, yang terlihat sedang dalam keadaan tidur dengan damai dalam gendongan Maureen.“Putramu begitu tampan. Apakah ia baik-baik saja? Maksudku, apakah ia akan panjang umur,” tanya Lukas dengan nada suara dan tatapan yang membuat Maureen bergidik takut.‘Ya, Tuhan! Di mana pengawal yang diperintahkan untuk menjaga kami? Aku harus tetap tenang dan Lukas tidak boleh melihat, kalau ia sudah berhasil membuatku merasa takut,’ batin Maureen.“Terima kasih, atas doanya Lukas! Putraku akan baik-baik saja dan ia akan berumur panjang, sampai aku dan Patrick menjadi kakek d
Patrick berhenti berjalan ia membalikkan badan melihat ke arah Maureen. Dengan tatapan yang tajam dan senyum sinis di sudut bibirnya. “Kau bisa menggunakan hatimu!”Setelah mengatakan hal itu Patrick terus berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Ia tidak takut Maureen akan pergi darinya membawa serta putra mereka, karena wanita itu terlalu mencintainya untuk tetap bertahan bersama dengannya.Sesampainya di kamar Patrick berjalan menuju kamar mandi, lalu menyalakan air pancuran. Dibiarkannya air dengan suhu hangat membasahi seluruh badannya.Selesai mandi Patrick berjalan menuju wastafel untuk melihat pantulan wajahnya. Patrick teringat dengan kejadian ketika di dekat kelab malam. Bagaimana, seseorang yang ia duga merupakan orang suruhan Lukas.Berlari ke arahnya, dengan sesuatu yang berkilau ditimpa cahaya hendak menikamkan pisau tersebut kearahnya. Namun, ia dengan sigap berhasil mencegahnya, sehingga orang itu hanya berhasil melukainya sedikit.‘Sebentar lagi hari kehancuran Lukas
Maureen menjadi takut terjadi sesuatu yang buruk kepada Patrick. Walaupun ia marah kepada suaminya itu, tetap saja ia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk dengan suaminya. Dicarinya nomor kontak sopir pribadi mereka.Setelah ketemu ditekannya tombol hijau untuk melakukan panggilan. ‘Halo! Anda ada di mana sekarang ini?’ Tanya Maureen dengan tidak sabaran.‘Halo, Nyonya Maureen! Saya berada di kamar saya sedang istirahat,’ sahut sopirnya dengan suara yang terdengar masih mengantuk.‘Apakah kamu tahu di mana suami saya berada? Ia tadi menghubungi saya, tetapi sebelum sempat mengatakan di mana dirinya berada. Ia terdengar mengaduh dan setelah itu ponselnya tidak aktif lagi.’ Terang Maureen panjang lebar.‘Saya tadi mengantarkan tuan ke kelab malam!’ sahut sopir pribadinya.Maureen meminta alamat kelab malam tersebut. Ia akan ke sana untuk menjemput Patrick sendiri.Permintaan Maureen langsung saja ditolak oleh sopir itu. Ia mengatakan, kalau dirinya yang akan mengantarkan Maureen ke sana
Patrick menatap lekat netra orang kepercayaannya itu mencari tahu, apakah ia berbohong. “Tunjukkan kepadaku semua bukti yang kau miliki!”Pria itu merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan diletakkannya di atas meja. “Sebaiknya Anda membukanya ketika berada di rumah saja!”Patrick mendongak dari bungkusan yang ada di atas dan sekarang sudah berada di tangannya. Ditimbang-timbangnya bungkusan tersebut.Ia tidak menuruti apa yang dikatakan oleh pria itu. Dibukanya sedikit bungkusan tersebut, sehingga terdapat celah di mana dirinya bisa melihat sedikit. Setelahnya, Patrick memasukkan bungkusan tersebut ke balik jas yang dipakainya.Seorang pelayan dengan buku catatan kecil berada di tangannya. Datang menghampiri meja mereka. Keduanya pun langsung memesan makanan, begitu selesai mencatat pesanan pelayan itu berlalu pergi dari meja mereka.“Kau tetap awasi Lukas dan katakan kepadaku, apa saja yang dilakukannya. Juga siapa yang ditemuinya,” tegas Patrick.Satu jam kemudian,
Maureen menatap Lukas dengan rasa takut, karena melihat ekspresi wajahnya yang tidak biasa. Seolah hal jahat yang selama ini disembunyikan oleh Lukas darinya terlihat juga. “Apa itu?” Tanya Maureen, dengan suara bergetar.“Bukalah, biar kau bisa mengetahuinya sendiri, tanpa harus aku yang menceritakannya kepadamu!” ucap Lukas.Maureen memandangi amplop yang berada di tangannya dengan rasa penasaran dan juga curiga, karena nada memaksa yang digunakan oleh Lukas.Maureen mengangkat wajah dari amplop yang ada di tangannya untuk melihat wajah Lukas dengan seksama. “Terima kasih, kau sudah mau repot-repot mengantarkan amplop ini kepadaku. Aku akan membacanya, ketika berada di rumah.”Lukas mengangkaat pundaknya, dengan santai ia mengatakan, kalau tidak masalah kapan Maureen akan membaca isi dari amplop tersebut.Dirinya juga menolak secara halus ajakan dari Maureen, agar singgah ke rumahnya. Dengan alasan, kalau ia tidak ingin bertengkar dengan Patrick, yang tidak suka melihat dirinya.Mau
Lukas memutar-mutar minuman beralkohol yang ada di tangannya. Ia menatap cairan berwarna keemasan tersebut. ‘Sial! Maureen masih hidup. Semua usahaku untuk mendekatinya, agar berpisah dengan Patrick gagal.”Ditenggaknya cairan berwarna keemasan tersebut dalam satu tenggakan besar, sampai tandas. Setelahnya, ia menjentikkan jari kepada bartender yang bertugas, untuk mengisi kembali gelasnya.Lukas memikirkan cara untuk melenyapkan Maureen dan putranya, agar Patrick tidak mendapatkan warisan dari Ayah mereka.‘Aku harus menggunakan rencana terakhir, untuk membuat Patrick kehilangan harta warisannya. Aku harus menemukan surat perjanjian yang dibuat Ayah kami dan Patrick, sehingga Maureen sakit hati dan kabur’ batin Lukas.Senyum menakutkan terbit di bibir Lukas. Ia baru teringat, kalau mantan pengacara Patrick, yang juga sahabatnya sekarang ini sudah bukan pengacara lagi. Hubungan mereka sudah putus. Dan tentu saja, sebagai mantan pengacara ia mempunyai salinannya.Sekarang, tinggal baga