Beberapa menit kemudian, setelah Patrick turun ke bawah menyusul Ibunya. Maureen keluar kamar Patrick dengan perasaan gugup dan takut. Sesampainya dii ryangan di mana Patrick dan kedua orang tuanya sedang duduk Maureen ragu untuk bergabung dengan mereka.
“Duduklah bersama kami Maureen dan jelaskan kepada kami apa yang sebenarnya terjadi tadi malam antara kamu dan Patrick! Jangan ragu untuk mengatakannya kami akan besikap tebuka dan bisa menerima, kalau Patrick memang melakukan kesalahan!" Ayah Patrick menunjuk kursi yang tepat berhadapan dengan kursi di mana Patrick duduk.
Dengan langkah kaki yang ragu Maureen beranjak dari tempatnya berdiri menuju kursi yang ditiunjuk ayah Patrik, lalu duduk di situ. Maureen menautkan kedua tangannya di atas pangkuan untuk mengusir rasa gugup, karena dirinya merasa diamati dan bagaikan menjalani interogasi oleh kedua orang tua Patrick.
"Saya sebelumnya sudah mengatakan, kalau semua ini memang karena kesalahan tuan Patrick yang pulang dalam keadaan mabuk dan saya membantunya menuju ke kamarnya di lantai dua. Semua terjadi, karena situasi yang belum pernah saya alami sebelumnya, sehingga membuat saya merasa melayang mendapatkan perlakuan romantis dan membius dari tuan Patrick, sekalipun ketika pagi hari tuan Patrick melupakan apa yang dilakukannya." Maureen menudukkan wajah tidak mau kedua orang tua Patrick dan Patrick sendiri mengetahui, kalau dirinya merrasa terluka, karena dirinya dilupakan begitu saja oleh Patrick.
Mata ayah Patrick menatap tajam putranya itu, dengan raut wajah yang dipenuhi kemarahan ia pun berkata, “Tidak peduli, kau mabuk atau tidak. Kau harus menikahi Maureen, karena kau sudah menidurinya! Kau harus bertanggung jawab kepada Maureen!"
Jantung Maureen rasanya berhenti berdetak. Ia tidak mau dipaksa menikah dengan Patrick karena kesalahan pria itu. Ia tidak akan sanggup hidup bersama lelaki yang selama ini selalu bersikap dingin kepadanya.
Bagaimana mungkin ia akan merasa tenang hidup dengan pria yang ia kenal sering berganti-gatni kekasih. Tidak, ia tidak akan sanggup menikah dengan pria yang sering berganti kekasih. Ia menginginnkan kesetiaan dalam sebuah pernikahan dan tidak menginginkan adanya perselingkuhan.
“Ayah sangat kecewa kepadamu, karena sebagai seorang pewaris sudah seharusnya kau menunjukkan sikap.”
Patrick berdiri dari duduknya, ia melihat ayahnya dipenuhi kemarahan. “Aku benci dengan ancaman Ayah! Aku tidak akan pernah membiarkan warisan yang seharusnya menjadi milikku jatuh ke tangan Lukas! Aku dan Maureen tidak melakukan hal-hal yang seperti Ayah pikirkan! Mengapa kalian membesarkannya?!”
Ayah Patrick menjadi tersulut kemarahanya, karena Patrick yang membawa-bawa nama putra dari wanita yang diam-diam ia kencani tanpa sepengetahua istrinya. Wanita yang sudah memberikannya seorang putra, dengan usia yang hanya terpaut beberapa bulan saja dari Patrick.
“Tentu saja ayah membela Lukas, karena ia tidak sepertimu! Lukas anak yang baik dan ia tidak pernah membuat malu ataupun kecewa ayah! Ia tidak sepertimu, yang selalu berganti kekasih, seperti berganti pakaian!”
Patrick tersenyum sinis ke arah Ayahnya ia melayangkan tatapan yang dingin. “Mengapa ayah menyalahkannku yang tidak bisa setia pada satu wanita? Bukankah aku hanya meniru apa yang ayah lakukan, dengan berselingkuh dari ibuku? Kita sama bukan, ayah? Jangan pernah membandingkan diriku dengan orang lain, karena aku melakukan apa yang ingin kulakukan!”
Terdengar suara gigi ayah Patrick bergemeretak menahan kemarahan. Tanpa sadar tangannya terangkat untuk menampar wajah Patrick. Suara kesiap terkejut terlontar dari bibir ibu Patrick dan juga Maureen, melihat apa yang dilakukan oleh ayah Patrick.
Patrick menatap ayahnya dengan mata yang menyala-nyala dipenuhi kemarahan. Diusapnya pipinya yang terasa berdenyut nyeri, tidak mungkin ia membalas apa yang dilakukan ayahnya..
“Ayah tidak akan meminta maaf, karena sudah menamparmu. Kau memang pantas mendapatkannya. Kau dan kebencianmu kepada Lukas yang tidak pernah ada akhirnya, padahal saudaramu itu sudah berulangkali mencoba untuk mengajakmu menjalin hubungan layaknya adik-kakak.”
Patrick melayangan tatapan yang tajam dan dingin kepada Ayahnya, “Baik, aku akan menikahi Maureen, agar Ayah merasa senang!”
Maureen yang sedari tadi diam saja mendengarkan perdebatan Patrick dan ayahnya menjadi terkejut mendengarnya. “Tapi, Tuan! Kita tidak perlu menikah, maksud saya itu semua hanya kesalahan, sehingga saya dan tuan Patrick berada di satu tempat tidur yang sama!”
Dengan takut-takut Maureen melirik Patrick yang juga tengah menatapnya dengan pandangan yang dingin. "Saya tidak menginginkan terjadinya pernikahan, karena paksaan! Saya juga turut bersalah atas apa yang terjadi."
Hati Maureen terasa sakit menyadari tidak ada sepatahpun keluar kalimat pembelaan dari Patrick kepada dirinya. 'Mengapa tua Patrick sama sekali tidak peka, seandainya saja bisa memutar kembali waktu ia akan melakukan apapun juga untuk mencegah dirinya jatuh ke dalam jerat pesona Patrick.
Dalam hatinya Maureen berharap agar Patric menolak menikahi dirinya, karena ia tidak ingin menikah dengan pria yang arogan dan keras kepala, seperti Patrick.
"Saya benar-benar merasa, kalau tidak perlu sama sekali terjadi pernikahan di antara aya dan tuan Patrick. DI antara kami terdapat jurang yang sangat besar di mana saya hanyalah seorang pelayan dan tuan Patrick. Saya merasa tidak masalah sama sekali, jikalau kami tidak menikah," ucap Maureen lirih.
Dengan menundukkan wajah Maureen hendak menyembunyikan wajahnya, karena merasa takut dengan tatapan tajam Patrik yang seakan menuduh dirinya menginginkan pernikahan di antara mereka berdua.
Ibu Patrick berdiri dari duduknya dan berjalan menuju lemari kaca yang ada di sudah ruang makan tersebut, lalu kembali lagi dengan gelas berisi anggur di tangannya.
Disodorkannya gelas berisi anggur tersebut ke tangan Maureen, yang langsung diterima olehnya. “Minumlah, kau tentu memerlukannya, setelah drama yang baru saja terjadi.”
Maureen mengangguk diciumnya aroma anggur dari dalam gelas yang ada di tangannya, lalu ia tenggak isinya, untuk membasahi tenggorokanya, yang baru saja ia sadari telah menjadi kering.
Patrick berdiri dari duduknya ia menatap tajam Maureen, seakan melalui tatapannya ia menuduh Maureen telah dengan sengaja menjebak dirinya. Ia kemudian mengalihkan pandagannya kepada Ayah dan Ibunya. "Kalian berdua sudah mendengar apa yang menjadi keputusanku, kalau aku akan menikahi Maureen! Dan sekarang kalian bisa pergi dari rumahku ini!"
Dada Maureen bagaikan disiram dengan air dingin dalam hatinya Maureen berharap, seandainya Patrick tidak bersedia membela dirinya, ataupun melontarkan kalimat yang manis tentang dirinya. Tidak perlu ia memberikan tatapan yang seolah-olah menuduh dirinya.
"Ayah dan Ibu tadi sudah mendengar secara langsung, kalau Maureen sama sekali tidak menolak apa yang pada akhirnya berakhir di atas tempat tidurku!" Patrick menagatakan itu dengan gigi bergemeretak menahan kemarahan. Ia sengaja mengucapkan kalimat tersebut untuk menyakiti Maureen yang sudah membuatnya terpaksa harus menikahinya.
Wajah Maureen bersemu merah, ia merasa malu, karena diingatkan kejadian tadi malam, Ia bangkit dari duduknya, hendak kembali ke rumahnya sendiri, yang ia tempati bersama dengan ibunya. Ia merasa tidak sanggup lagi duduk bersama dengan Patrick yang terus saja menyudutkan dirinya.
Ia merasa terluka, karena kata-kata Patrick yang kasar dan tidak berperasaan. Akan tetapi, sebelum ia sempat beranjak dari tempatnya duduk terdengar suara kursi yang ditarik.
Ayah Patrick beranjak dari meja makan tempatnya duduk dan memberikan ultimatum kepada Patrick. "Maureen beritahu orang tuamu, besok kau dan Patrick akan menikah!"
“Saya nyatakan kalian berdua sah, sebagai pasangan suami istri dan kau boleh menncium istrimu, Patrick" ucap Pendeta yang memberkati pernikahan Patrick dan Maureen. Suara tepuk tangan dari beberapa orang yang turut hadir pernikahan sedderhana Patrick dan Maureen di kantor catatan sipil terdengar nyaring. Patrick menatap Maureen dengan intens dapat dilihatnya sinar bahagia di mata itu. "Kau dengar apa yang dikatakan oleh pendeta bukan? Kalau aku dipersilakan untuk menciummu!" Patrick mencium Maureen seakan hanya berdasarkan perintah dari pendeta saja. Akan tetapi, begitu bibirnya bertemu dengan bibir Maureen, yang terasa lembut dan nikmat membuat Patrick tidak berhenti mencium Maureen. Terlalu larut mencium Maureen, Patrick melupakan kenyataan kalau mereka berada di tempat umum. Dengan penonton yang menjadi malu, karena kemesraan keduanya. Patrick baru melepaskan ciumannya di bibir Maureen, setelah terdengar sua
“Kau mau pergi ke mana Patrick!" Bisik Ibunya, sambil menarik lengan Patrick. Tunggulah beberapa menit lagi, sampai pesta ini berakhir baru kau menemui wanita tadi dan memberikan penjelasan kepadanya, tetapi tidak sekarang! Karena Ibu tidak mau kau membuat nama baik keluarga kita menjadi tercoreng. Tadinya Ibu Patrick sedang berbicara dengan pelayan yang mengurus pesanan makanan pesta pernikahan Patrick dan Maureen, ketika dilihatnya Patrick berjalan keluar hendak menyusul seorang wanita, yang ia kenali beberapa kali pergi ke pesta relasi mereka dengan Patrick. Dan beruntung saja ia berada pada waktu dan tempat yang tepat, sehingga dirinya bisa mencegah Patrick melakukan tindakan yang dapat mempermalukan mereka semua. Dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya Patrick mengangguk. Ia melepaskan pegangan tangan Ibunya. Selama beberapa saat Patrick hanya diam saja di tempatnya berdiri mengawasi bagaimana Sandra masuk mobil dan kemud
Patrick menghentikan langkahnya, tetapi ia sama sekali tidak membalikkan badannya. "Apakah kamu bermaksud mencegahku untuk bertemu dengan kekasihku, Maureen?" Maureen berjalan menghampiri Patrick. "Aku hanya meminta kepadamu untuk menghabiskan waktu bersama denganku di hari pertama pernikahan kita." Sontak saja Patrick membalikkan badannya ia tertawa sinis ke arah Maureen. "Sayangnya aku tidak ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu!" Ia lalu dengan kasar mendorong tubuh Maureen menjauh, sampai wanita yang baru saja dinikkahinya itu hampir terjatuh, kalau ia tidak dengan cepat berpegangan pada dinding. Tidak menunggu jawaban dari Maureen, Patrick kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan keras, sehingga menimbulkan bunyi yang nyaring. Seakan ia melampiaskan kemarahannya kepada pintu tersebut. Maureen memegang dadanya yang terkejut mendengar suara tersebut. Ia lalu berjalan ke arah pintu balkon kamar Patrick. Ia kemu
“Apa maksudnya ini Maureen? Aku tidak yakin, kalau kau sedang mengandung anakku!” Ucap Patric, ketika dilihatnya Maureen masuk kamar mereka. Maurenn menatap tidak percaya alat tes kehamilan yang seharusnya berada di tempat sampah. Sekarang justru berada di tangan Patrick. Ia menelan ludah dengan sukar mendadak tenggorokannya terasa kering. Ditundukkannya wajah, karena ia merasa takut dengan tatapan tajam Patrick. “Bagaimana kau bisa meragukan, kalau anak yang kukandung bukan anakmu?” Patrick menarik napas dalam-dalam ia mengetahui, kalau dirinya tidak mungkin mandul. Ia lelaki normal, yang tentu saja bisa membuat wanita yang tidur dengannya menjadi hamil. Dengan tangan yang terlipat di depan dada diamatinya Maureen. Ia tidak suka wanita itu bukannya menjawab pertanyaannya, tetapi balik bertanya. Patrick mengatakan alasan ia tidak percaya, kalau anaknya. Bisa saja Maureen sudah hamil duluan dengan pria di luar sana, karena ia
“Kau pasti becanda!” Maureen membalikkan badan dan hal itu merupakan kesalahan baginya, karena membuat dirinya berhadapan dengan wajah Patrick yang begitu dekat. Juga ia dapat melihat dada telanjang Patrick, yang ditumbuhi rambut. Bagaikan ada magnetik tangan Maureen terulur untuk mengelus dada tersebut. Yang dengan cepat ditangkap Patrick. “Kau pasti menginginkan diriku, bukan? Ketika itu aku sedang mabuk dan aku tidak dapat mengenali bagaimana rasanya bereinta denganmu!” Mata Maureen langsung melotot ia menarik tangannya dengan cepat dari dada Patrick. Ia lupa, kalau suaminya ini begitu arogan. Digesernya posisi berbaringnya menjauh dari Maureen, lalu diletakkannya guling di antara dirinya dan Patrick. Melihat hal itu Patrick tertawa ia mengatakan, kalau hanya sebuah guling tidak akan menghalanginya untuk menyentuh tubuh Maureen. Patrick mengatakan, kalau Maureen takut tidak kuat menghadapi pesona maskulinitas d
“Kenapa kau mau berhenti sekarang? Tidak bisakah kau menundanya sampai aku mendapatkan penggantimu?” Tanya Maureen penuh harap. Wanita itu menggelengkan kepala, sambil meminta maaf dirinya tidak bisa memenuhi permintaan Maureen. Dengan berat hari Maureen pun memenuhi permohonan berhenti wanita itu. Ia tidak menahannya dan sekarang ia harus segera mendapatkan pengganti orang yang bersedia merawat ibunya. Namun, ia akan mencoba untuk bertanya kepada Patrick terlebih dahulu. Diambilnya ponsel dari tas yang dibawanya, lalu dihubunginya nomor kontak Patric, tetapi suaminya itu tidak mau mengangkat panggilan telepon darinya. Bingung tindakan apa yang harus diambilnya ia tidak mungkin meninggalkan Ibunya seorang diri di tempat ini, sementara ia juga harus mendapatkan ijin dari Patrick terlebih dahulu kalau ingin membawa Ibunya tinggal bersama dengannya. Masalah juga tidak akan hilang begitu saja, kalau ia membawa Ibunya
“Wel, siapa yang keluar dari daerah kekuasaannya. Tenang big brother, aku tidak akan merayu istrimu, karena aku bukan perebut istri orang.” Lukas melayangkan senyum mencemooh ke arah Patrick. Patrick mengepalkan kedua tangannya, yang gatal hendak memukul Lukas, tetapi ia tidak mau berkelahi dengan Lukas di sini. Dengan langkah panjang ia berjalan menghampiri Maureen, kemudian menggamit tangannya dengan kasar. Dibawanya istrinya tersebut menuruni tangga. “Kita ke rumahmu!” ucap Patrick dengan gigi yang gemeretak, karena menahan emosi. Maureen hanya bisa menurut saja ia tidak mau menambah panas situasi dengan protesnya. Ia hanya mencoba melepaskan cekalan tangan Patrick di tangannya. Bukannya melepaskan tangan Maureen, Patrick justrtu mengeratkan pegangannya, seakan takut Maureen kabur. “Apakah kau tidak sadar, kalau menyakiti istrimu, Patrick? Wanita itu tidak melakukan kesalahan apapun, aku hanya meny
“Berani sekali kau, Maureen!” bentak Patrick emosi. Ia lalu memukul meja dengan keras, sehingga membuat Maureen terlonjak dari duduknya, saking kagetnya. Maureen menundukkan wajah tidak berani melihat netra Patrick yang menyorot galak. Ia jadi merasa takut untuk mengatakan apapun, karena selalu saja salah dipandangan Patrick. “Kenapa diam saja? Bukannya tadi kamu berani menentang saya!” Patrick menyunggingkan senyum sinis ke arah Maureen. ‘Tenang Maureen! Kamu harus sabar menghadapi pria seperti Patrick, yang selalu saja membuat hatimu sakit,’ batin Maureen. Melihat Maureen yang hanya diam saja membuat Patrick menjadi emosi. Ia mengatakan, kalau dirinya akan pergi ke kantor saja dan jangan tunggu dirinya pulang. Kembali Patrick tidak menghabiskan makannya. Ia pergi dalam keadaan marah dan membuat Maureen harus menebak apakah ia benaran melakukan apa yang dikatakannya. Nafsu makan Maureen juga hilang ia