"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"
Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal. Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri. Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya. Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia. "Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi. "Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?" Yang disebut namanya melotot marah pada Serena. Tapi Serena acuh. Dia coba menolak. Jika dia pergi, siapa yang akan merawat ibunya. Dia tidak percaya pada siapapun di rumah ini. Bahkan pada pada lelaki berwajah tirus dengan sorot mata penuh kebencian padanya. Sosok yang bahkan tidak sudi dipanggil ayah oleh Serena. Frans Hernandez namanya. Pria yang statusnya adalah suami ibunya, tapi tak pernah mau mengakui Serena sebagai anak. "Sebagai orang yang hanya bisa numpang makan dan tidur harusnya kau sadar diri. Kau harus bayar untuk semua yang sudah kau telan sebagai ganti." Ucapan Frans setajam pisau, sepedas cabai Carolina Reaper. Kalimat yang mampu mencabik hati Serena berulang kali. Tak sekali dua pria itu berucap demikian. Luka yang Serena tanggung seakan tak pernah dibiarkan mengering. Tiap saat ada saja hal yang menambah dalam sakit di hati Serena. Sedalam kebencian Frans dan seisi rumah ini padanya dan ibunya. "Tapi Frans, bukankah itu tanggung jawab Anthony. Dia yang buat kacau, kenapa Serena yang harus menanggung akibatnya?" "Kau diam saja. Kau dan dia hanya aib di rumah ini!" Frans lekas memotong ucapan wanita yang tampilannya tak jauh beda dengan Serena. Perempuan yang berdiri di belakang Serena. Mendengar suara itu, Serena menoleh. Dia mendapati ibunya memandang penuh permohonan pada Frans. "Frans, berapa kali kubilang. Kalau malam itu aku dijebak. Kalau kau ingin membenci, bencilah aku. Jangan Serena, dia tidak bersalah." Frans memanahkan pandangan tajam. Emosi lelaki itu selalu terpatik tiap kali melihat Serena. Paras gadis itu menuruni garis wajah ibunya. Hanya saja netra biru benderang milik Serena, dengan jelas menunjukkan kalau bukan benih Frans, yang membuat Serena hadir ke dunia. Frans rasanya ingin sekali melenyapkan Serena guna meredakan amarah di hati. "Kau tahu bukan? Aku membencinya sedalam cintaku padamu dulu." Ibu Serena tertunduk mendengar ucapan Frans. Arrghhh! Serena meringis kala Frans mencengkeram dagunya. "Hentikan, Frans! Kau menyakitinya!" Nereida, ibu Serena coba melepas cekalan Frans. "Benar begitu? Sayangnya aku selalu ingin menyakitinya!" Satu tamparan mendarat di pipi Serena. Gadis itu tersungkur ke lantai dengan sudut bibir berdarah. Nereida menjerit histeris, dia lekas menolong sang putri. Serena hanya bergeming, ini bukan kali pertama Frans menamparnya. Serena bersumpah akan membalas semua perbuatan Frans. Tapi bagaimana caranya? Jika keluarga ini masih menyandera ibunya. "Jangan melihatku seperti itu!" Hardik Frans melihat Serena balik menatap tajam padanya. Tatapan Serena mampu membuat nyali Frans ciut. Frans yakin Serena menuruni mata elang ayah kandungnya. Netra yang membuat Frans selalu merasa terancam.Tapi dia tidak akan kalah di rumahnya sendiri. "Sudahlah, Pa. Antarkan saja dia lusa ke The Palace. Aku tidak mau menikah. Apalagi dengan orang yang wajahnya tidak pernah aku lihat. Siapa tahu dia tua bangka yang doyan kawin, dengan perut buncit." Thalia segera mempengaruhi sang ayah. Dia masih ingin bebas, menikmati hidup, mengejar karier, bermain dengan banyak pria. Jelas, Thalia tidak mau terjebak dalam sebuah pernikahan. "Yang aku dengar dia kejam. Tapi yang lain menyebut dia tampan." Anthony melirik ke arah Thalia. "Tampan dan kejam, bukan tipeku. Dia juga kabarnya pemimpin klan mafia. Suruh dia saja yang pergi. Kalau tidak, hentikan saja pengobatan ibunya." "Jangan!" Serena langsung bereaksi mendengar ucapan Thalia. Thalia dan Anthony tersenyum sinis. Serena sangat mudah diancam, dikendalikan, jika sang ibu yang dijadikan ancaman. Sangat cocok dijadikan pelampiasan kekesalan juga kebencian. Dua beradik itu sangat membenci Serena. Bagi mereka, Serena adalah hal yang menyebabkan keluarga mereka dipandang sebelah mata, oleh keluarga lain yang mengetahui keberadaan Serena. Frans menatap dingin pada Serena, menikmati ekspresi sang gadis yang sedang terdiam menahan rasa sakit. "Frans, aku mohon. Jangan kirim Serena ke sana," pinta Nereida dengan wajah memelas. "Lalu kau ingin aku mengirim Thalia. Tidak!" Serena kembali meringis ketika Frans menjambak rambutnya. "Aku dengan senang hati akan memberikanmu pada Tuan Alterio Inzaghi. Aku tidak peduli dia akan melakukan apa padamu." "Jangan Frans! Jangan! Bagaimana kalau dia menyakiti Serena." Nereida bahkan sampai berlutut di kaki Frans. "Bagus dong. Akan lebih bagus lagi kalau dia ... mati." Nereida melotot melihat Thalia mengucap "mati" walau tanpa suara. "Kenapa? Kenapa kalian begitu kejam pada kami. Kenapa kalian sangat membenci Serena. Dia tidak salah!" Protes Nereida tidak terima. "Ibu!" Serena melepaskan diri dari jambakan Frans ketika Anthony menampar Nereida. Hingga perempuan itu berakhir tertelungkup di lantai. "Sebab kalian tidak berguna! Kau aib dan dia anak haram! Kalian patut dibenci, disingkirkan kalau perlu." Desis Frans, seraya menunjuk Nereida dan Serena bergantian. Sebelum beranjak pergi. Serena memandang tajam punggung Frans. Sebelum bibirnya mengucapkan satu kalimat yang mematik amarah Frans tumbuh lebih besar. "Saya menolak menikah dengan Alterio Inzaghi!”"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto