"Ibu, aku akan menikah hari ini. Tolong restui aku."Bulir bening menitik di sudut netra Serena. Gadis itu dengan cepat menghapusnya, sebelum Ara kembali memarahinya.Walau galak dan judes, Serena akui kalau Ara mempersiapkan dirinya dengan baik. Mulai dari make up, gaun pengantin dan printilannya. Semua ekslusif dari brand ternama. Ini di luar dugaan Serena."Aku melakukannya karena perintah bos. Jangan kau pikir karena aku baik padamu."Serena diam saja. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan Ara saat ini. Lagi pula pikirannya sedang tidak fokus. Benaknya bergejolak, satu sisi ingin lari. Sisi lain ketakutan kalau hal buruk akan menimpanya di kemudian hari."Cepatlah." Ara berteriak setelah melihat keluar melalui jendela Ara.Serena berdiri. Lumayan kesusahan dengan heels delapan senti yang Ara paksakan padanya. Perempuan itu dengan judes berujar kalau Serena pendek, makanya perlu ganjal tinggi supaya tidak jomplang saat berdiri di samping Al.Siapa yang peduli, Serena pikir tak akan
Seorang pria dengan wajah sangar, juga tatapan mematikan keluar dari sebuah mobil yang berhenti tepat di kediaman utama The Palace.Netra biru benderangnya memindai tempat yang tadi dijadikan venue pernikahan Al dan Serena. Tempat itu sekarang sudah bersih, tanpa menyisakan aura pernikahan sama sekali.Namun hidung lelaki itu mampu mencium samar aroma vanila yang khas. Satu aroma yang mengingatkannya akan seseorang."Apa kabarnya sekarang? Apa yang terjadi malam itu membuahkan anak," tanyanya dalam hati.Lelaki itu lekas bergerak saat dia melihat Felix berjalam santai ke arahnya. "Mau bertemu Al, Ed?" Sapa pria itu enteng."Kalian habis pesta?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan pakaian ketat hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas."Tentu saja, Nona Vasti. Everyday is a party day. Want to join us?" Tawar Felix dengan nada menggoda.Yang dipanggil Vasti berdecak kesal. Dia abaikan Felix. Vasti lebih memilih mengikuti pria yang Felix panggil "Ed" masuk ke satu ruangan yang ada di sis
Serena jelas kesal, tapi dia tak berani menunjukkannya, pada sosok yang kini sedang bicara dengan seseorang menggunakan ponsel. Satu jam dia dibiarkan berdiri tanpa boleh duduk.Apa salahnya coba, kalau pun dia ada salah harusnya Al sebutkan saja. Dia akan minta maaf, terima hukuman jika dia memang layak mendapatkannya. Tapi ini, sejak dia dibawa masuk ke ruang kerja lelaki itu sampai sekarang, Al tidak bicara sepatahkatapun kecuali perintah, "Berdiri di sana."Padahal di ruangan itu ada benda yang membuat jiwa Serena meronta-ronta. Sejak tadi ingin menyentuhnya. Tumpukan buku yang berderet di rak sepanjang dinding ruang kerja Al. Kalau bukan buku, beri saja dia kertas dan pensil. Dia akan habiskan sepanjang hari dengan benda itu.Al agaknya mulai ingin menyiksa Serena. Status penebus hutang yang melekat padanya, membuat Serena tak berhak membantah tiap perintah lelaki yang berstatus suami."Tapi ini sudah lama, kakiku pegal," gumam Serena. Belum lagi ditambah perutnya yang mulai la
Serena sempat berjengit kaget mendengar teriakan Al menggelegar di tempat itu. Meski detik setelahnya Serena mengubah ekspresinya jadi polos, macam bocah TK kena marah bapaknya."Aku bosan. Lagi pula aku tidak melanggar hukuman. Aku hanya mengubahnya jadi duduk," balas Serena santai.Emosi Al meroket naik, pasalnya Serena mengambil bukunya. Lebih menjengkelkan lagi, Serena asal saja mengembalikannya. "Kau menyentuh milikku, tanpa seizinku!" Desis Al coba menahan diri."Aku minta izin kok," sahut Serena tidak mau kalah."Kapan?" Sergah Al tak merasa."Waktu kamu di luar tadi," balas Serena tanpa dosa.Al mendorong napasnya kasar. "Tambah hukumannya." Sudah jelas Serena sengaja menantangnya. Berani sekali gadis di hadapannya berkata seperti tadi."Sambil baca buku," tawar Serena."Tiga jam." Sengaja Al ingin menyiksa Serena."Deal!" Tanpa diduga Serena langsung menerima hukuman yang Al berikan.Serena akan jalani hukumannya dengan riang gembira asal ditemani buku. Al tidak tahu saja ji
"Alterio Inzaghi!" Max berteriak kesal saat mendapati Serena lemah tak berdaya. Felix sendiri hanya menonton tanpa ingin membantu."Dia lemah. Tidak akan kuat menghadapi Beita." Felix memberi pandangan saat mereka tiba di lab Max. Di mana sang dokter lekas memasang infus. Mengambil sample darah Serena untuk dia periksa sendiri. Dia punya tempat khusus untuk dirinya sendiri, pribadi. Tidak boleh ada yang memasukinya selain Max."Itu sebab tubuhnya belum fit. Dia masih proses penyembuhan. Kau harus lihat seperti apa waktu dia datang ke sini." "Aku heran, kita ini kejam, tapi masih ada yang menyiksa orang, yang bahkan melawanpun sudah tidak sanggup. Mereka lebih keji dari kita."Aslinya Max baik, hanya saja satu, dua, tiga kejadian menyakitkan dan mengecewakan berlaku padanya. Membuat Max seperti punya kepribadian ganda. Kadang baik, kadang seperti iblis."Dan Al malah tidak memberinya makan.""Dari mana kau tahu?""Ini ...." Max menunjukkan hasil pemeriksaan darah Serena."Kau tahu
Serena cukup lama berada di kamar mandi. Dia perlu menenangkan jantungnya yang berdebar begitu kencang. Dia yang tadi terburu-buru masuk kamar mandi, lupa membawa baju ganti. Dia pun tak tahu ada pintu penghubung kamar mandi dan walk in closet. Berbekal bath robe yang menutupi tubuhnya. Serena keluar kamar mandi.Betapa kagetnya dia saat mendapati Al sudah berdiri di kamarnya. Pun dengan pria itu yang lumayan terkejut melihat tampilan Serena."Mau menggodaku?" Al bertanya dengan sinis."Memangnya kau doyan?" Balas Serena telak."Kau ...."Belum sempat Al bertindak, Serena sudah lebih dulu kabur ke kamar ganti. Menutup pintu lalu menguncinya.Al sendiri langsumg berkacak pinggang dengan dada naik turun menahan amarah. Dia buka dua kancing kemejanya. Tubuhnya merasa gerah sebab emosi."Gadis ini!" Desis Al seraya berbalik. Saat itu Serena sudah selesai berpakaian. Baju tidur lengan pendek selutut. "Mau apa? Mau sambung hukuman? Siapa takut?" Lihat! Sikap Serena berubah-ubah. Al samp
"Beita, kau yang handle ini," Al memberi perintah pada sang tangan kanan. Yang diberi mandat hanya membungkuk penuh kepatuhan. Sementara yang lain hanya bisa saling pandang. "Kau akan bekerjasama dengan rumah sakit yang dikelola dengan Max. Dari sana kita dapatkan orderan. Ingat, by order." Gila! Andai mereka di luar sana tahu apa yang sedang Al dan yang lainnya bicarakan. Ini bukan bisnis makanan atau produk lain. Tapi salah satu bisnis mengerikan yang memang sudah ada sejak dulu. Tentu saja, bisnis seperti ini muncul karena ada permintaan dari pasar. Semakin hari permintaan makin tinggi membuat berbagai kalangan dunia bawah mulai berpikir menjadikannya lahan usaha. "Apa ini tidak terlalu beresiko, kita tahu Beita seperti apa. Terlalu banyak yang dia tahu dan handle akan membuatnya makin berbahaya." Felix mengemukakan sebuah wacana. Dia, Paul dan Max sedang berbincang di lab sang dokter. "Kau mulai meragukan penilaian Al?" Paul balik bertanya. "Tidak, aku hanya mengkhawatirk
"Biarkan dia di sini." Ucap Al tampak santai. Beda dengan Paul, Ara dan Felix yang saling pandang."Al dia belum siap. Mereka boleh berhadapan tapi saat Serena sudah siap. Dan itu bukan sekarang. Ingat, kau harus pikirkan keselamatan Serena."Paul memberi saran. Bersamaan dengan suara heels terdengar kian mendekat. Al memandang Serena yang kebingungan. Tidak tahu situasi seperti apa yang sedang mereka hadapi."Al jika Vasti tahu, Edgar juga tahu," kali ini peringatan Felix membuat Al langsung memberi kode pada Ara.Istri Paul lekas berdiri seraya menarik tangan Serena. Hebat, dengan langkah super cepat, tapi heels Ara tidak menimbulkan bunyi nyaring macam milik Vasti."Tinggal di sini. Jangan keluar sampai kami pergi." Ara memperingatkan Serena sebelum menutup pintu.Serena mengangguk. Membiarkan pintu ditutup Ara, meski dia sempat melihat penampakan perempuan super cantik mendekati Al."Dia siapa," gumam Serena sebelum pintu tertutup sempurna.Sementara itu di meja makan, Al langsung
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang."Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya."Berikan aku data tentang Alexander Grup."Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri."Marvel Delayota, keluarga Delayota."Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya."Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan.""Asal dana dari keluarga Delayota?""Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar."Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki."Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix."Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel Delayota."
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen
Serena menghentikan langkah, dia berbalik hingga pandangannya bertemu dengan pria yang tadi siang dikenalkan padanya. Marvel Delayota. Serena mengerutkan dahi, apa yang pria itu lakukan di sini."Apa yang Anda lakukan?" Serena bertanya tanpa basa basi.Dia sudah muak dengan segala tipu daya, pura-pura atau sejenisnya.Marvel mendekati Serena. "Untuk bertemu dengan Anda," balas Marvel to the poin."Saya? Kenapa? Bukan mencari Riva?" Riva adik Ravi, dua tahun di bawah Serena, lima tahun di bawah sang kakak."Saya tidak punya urusan dengan Riva. Urusan saya dengan Anda," tandas Marvel. Dia suka tampilan Serena yang apa adanya. Kaos longgar dengan celana training. Serta rambut dicepol asal. Cantik dalam pandangan Marvel.Paras natural tanpa make up. Sungguh pemandangan langka, di tengah maraknya para wanita yang ingin tampil cantik dengan riasan berlebihan di wajah."Soal saya? Saya dan Anda baru bertemu satu kali dan Anda sudah menyebut kita ada urusan."Marvel menggulung senyum, dia la
Elle mundur menjauh, ketakutan melihat sosok Serena yang tanpa ragu menarik rambut Soraya. Teman Elle menjerit-jerit minta tolong, tapi tidak ada yang berani menolong.Mereka tahu siapa Serena. Nona muda di keluarga Alexander. Meski banyak orang di kediaman itu mencibir soal asal usul Serena, tapi mereka tetap tak berani berbuat apa-apa.Terlebih tuan besar dan tuan muda mereka sangat mengayomi Serena."Tolong, tolong saya tuan Alexander," mohon Soraya. Akting memukau Soraya suguhkan, siapa tahu Nandito Alexander atau Ravi terpikat padanya. Namun tebakan Soraya salah, dua pria keluarga Alexander terlalu lurus untuk dia goda."Kalau Paman membelanya, aku juga akan benci Paman," ancam Serena. Dia gulung rambut Soraya hingga perempuan itu menjerit kesakitan lebih lantang."Siapa yang mau membelanya. Terserah kau mau melakukan apa padanya."Bola mata Soraya nyaris melompat keluar dari tempatnya mendengar jawaban Nandito. Pria itu bahkan mendukung tindakan Serena, sinting.Serena menyungg
"Serius kau biarkan dia masuk sendirian?" Felix bertanya pada Al yang saat ini berdiam diri di ruang kerjanya."Dia pulang ke rumah keluarganya," balas Al enteng."Bahkan yang namanya keluarga bisa jadi musuh yang berbahaya. Kita tahu kalau Elle Alexander tidak menyukai Serena dan Nereida," tandas Felix."Lalu apa gunanya kita tempatkan Sergie dan Lalita di sana. Lagi pula, akan ada banyak orang. Elle Alexander tidak mungkin bertindak seenaknya.""Al aku temukan sesuatu!" Paul menyerbu masuk dengan wajah antusias.Al dan Felix sama-sama menyuguhkan ekspresi yang bisa diartikan sebagai "apa maksudmu""Elle Alexander dan Soraya berteman. Tebak ke mana arah pertemanan mereka.""Soraya, adik ipar Frans Hernandez. Coba aku tebak, perempuan matre yang rela membuka paha supaya dapat lakik kaya. Agar hidup mereka terjamin." Felix menyahut cepat.Paul menjentikkan jari, tepat sekali jawaban Felix."Jika Elle hidup terhormat dengan Nandito Alexander, Soraya lebih pilih jadi benalu. Menempel pad
Thalia melipat tangan, tatapannya tajam mengarah pada Anthony. "Kau mengincarnya?""Aku mau dia sejak lama, tapi dia selalu bisa kabur. Tidak masalah dia bekas Alterio. Dia tambah cantik juga seksi. Betul tidak?"Anthony mencondongkan tubuhnya, dengan Thalia lekas memalingkan muka, enggan mengakui kalau yang dikatakan sang kakak benar."Dari mana kau tahu dia Alterio Inzaghi?"Anthony mengedikkan bahu. Tanggapan Anthony membuat Thalia berdecih kesal."Tapi instingku mengatakan jika Alterio Inzaghi. Bagaimana tampan bukan?"Thalia akui, sosok yang membawa Serena pergi mempunyai rupa menawan. Dari sepasang mata yang dibingkai alis tebal, sudah mewakili seluruh fitur ketampanan yang lelaki itu miliki.Adik Anthony menggertakkan rahang, jika dia tahu Alterio tampan, dia akan terima pernikahan hari itu. Tapi sekarang, justru Serena yang menikah dengan Alterio. Namun semua itu masih praduga dari Anthony. Baik Thalia maupun Anthony belum bisa memastikan kebenarannya."Yang kau katakan tadi
"Max, periksa dia. Aku membiusnya, dia berisik."Perintah Al begitu pria itu sampai di laboratorium Max.Serena sudah dibaringkan di tempat tidur. Max dengan sigap memeriksa. Sementara Al akhirnya mengutus Lalita untuk mengikuti Ravi. Dia harus pastikan Nereida mendapatkan pemakaman yang layak.Jika keluarga Alexander tidak ingin memberikan, maka dia yang akan melakukannya."Hanya syok. Tidak berbahaya." Lapor Max kala Al sudah berdiri di hadapannya.Al memandang Serena yang pipinya masih basah oleh airmata. "Aku cukup paham perasaannya. Dia kumpulkan uang, dia minta aku carikan donor jantung untuknya. Giliran semua sudah siap, ibunya justru meninggal. Mana caranya tragis gitu. Wajar kalau Serena mengamuk."Suami Serena masih tak merespon. Dia hanya diam sambil memperhatikan istrinya."Biarkan dia istirahat kalau begitu."Max menurut, dia dan Al keluar dari tempat itu. Satu kesalahan fatal yang Al dan Max lakukan."Tapi istrimu hebat. Untuk pemula ...."Suara Max menghilang di balik
Serena kehilangan kata saat memeluk ibunya yang sudah tidak bergerak. Bunyi bising alat pendeteksi detak jantung tak lagi mengganggunya. Semua tidak ada artinya jika sang ibu tak lagi bersamanya."Jangan pergi, jangan tinggalkan Rena. Rena mohon, Bu. Rena janji, Rena akan bersama Ibu, Rena tidak akan tinggalkan Ibu. Ibu, bangun. Ya, jangan begini."Lalita menunduk, dia tidak pernah menangis tapi kali ini dia melakukannya. Sergie juga cuma berdiri mematung, bak prajurit siap menerima perintah dari komandannya."Rena ...."Ravi menyentuh bahu Serena. Tapi sang gadis menggeleng ribut. "Tidak! Ibu masih hidup!" Tandasnya coba mengingkari apa yang logikanya beritahu.Berat bagi Ravi untuk menerima, tapi faktnya memang seperti itu. Dia sudah mengkonfirmasi pada Lalita dan benar. Menyakitkan, sangat. Saat Serena siap memberikan kebahagiaan, Nereida justru pergi."Rena ...." Ravi berucap lagi ketika Serena mulai berhenti menangis. Gadis itu sejak tadi menunduk, tidak berucap sepatahkatpun.Sa