Serena cukup lama berada di kamar mandi. Dia perlu menenangkan jantungnya yang berdebar begitu kencang. Dia yang tadi terburu-buru masuk kamar mandi, lupa membawa baju ganti. Dia pun tak tahu ada pintu penghubung kamar mandi dan walk in closet. Berbekal bath robe yang menutupi tubuhnya. Serena keluar kamar mandi.Betapa kagetnya dia saat mendapati Al sudah berdiri di kamarnya. Pun dengan pria itu yang lumayan terkejut melihat tampilan Serena."Mau menggodaku?" Al bertanya dengan sinis."Memangnya kau doyan?" Balas Serena telak."Kau ...."Belum sempat Al bertindak, Serena sudah lebih dulu kabur ke kamar ganti. Menutup pintu lalu menguncinya.Al sendiri langsumg berkacak pinggang dengan dada naik turun menahan amarah. Dia buka dua kancing kemejanya. Tubuhnya merasa gerah sebab emosi."Gadis ini!" Desis Al seraya berbalik. Saat itu Serena sudah selesai berpakaian. Baju tidur lengan pendek selutut. "Mau apa? Mau sambung hukuman? Siapa takut?" Lihat! Sikap Serena berubah-ubah. Al samp
"Beita, kau yang handle ini," Al memberi perintah pada sang tangan kanan. Yang diberi mandat hanya membungkuk penuh kepatuhan. Sementara yang lain hanya bisa saling pandang. "Kau akan bekerjasama dengan rumah sakit yang dikelola dengan Max. Dari sana kita dapatkan orderan. Ingat, by order." Gila! Andai mereka di luar sana tahu apa yang sedang Al dan yang lainnya bicarakan. Ini bukan bisnis makanan atau produk lain. Tapi salah satu bisnis mengerikan yang memang sudah ada sejak dulu. Tentu saja, bisnis seperti ini muncul karena ada permintaan dari pasar. Semakin hari permintaan makin tinggi membuat berbagai kalangan dunia bawah mulai berpikir menjadikannya lahan usaha. "Apa ini tidak terlalu beresiko, kita tahu Beita seperti apa. Terlalu banyak yang dia tahu dan handle akan membuatnya makin berbahaya." Felix mengemukakan sebuah wacana. Dia, Paul dan Max sedang berbincang di lab sang dokter. "Kau mulai meragukan penilaian Al?" Paul balik bertanya. "Tidak, aku hanya mengkhawatirk
"Biarkan dia di sini." Ucap Al tampak santai. Beda dengan Paul, Ara dan Felix yang saling pandang."Al dia belum siap. Mereka boleh berhadapan tapi saat Serena sudah siap. Dan itu bukan sekarang. Ingat, kau harus pikirkan keselamatan Serena."Paul memberi saran. Bersamaan dengan suara heels terdengar kian mendekat. Al memandang Serena yang kebingungan. Tidak tahu situasi seperti apa yang sedang mereka hadapi."Al jika Vasti tahu, Edgar juga tahu," kali ini peringatan Felix membuat Al langsung memberi kode pada Ara.Istri Paul lekas berdiri seraya menarik tangan Serena. Hebat, dengan langkah super cepat, tapi heels Ara tidak menimbulkan bunyi nyaring macam milik Vasti."Tinggal di sini. Jangan keluar sampai kami pergi." Ara memperingatkan Serena sebelum menutup pintu.Serena mengangguk. Membiarkan pintu ditutup Ara, meski dia sempat melihat penampakan perempuan super cantik mendekati Al."Dia siapa," gumam Serena sebelum pintu tertutup sempurna.Sementara itu di meja makan, Al langsung
"Vasti Martinez. Dia yang harus kau lawan."Dahi Serena berkerut dalam. "Lawan? Bertarung begitu?"Max membuka mata, lantas mendorong napas kasar. Bagaimanapun, Serena harus diberitahu soal medan yang harus dia hadapi. Mengharapkan Al akan memberitahu Serena, jangan harap.Omong super irit, sukanya mengintimidasi, mau jalin komunikasi saja susah."Aku beritahu tapi tidak semua. Kalau mau detailnya tanya sama Al."Serena menggeleng cepat. Dia saja berusaha menghindari Al, Max malah menyuruhnya bertanya. Bukan jawaban yang dia dapat, tapi hukuman. Sekali berinteraksi membuat Serena menyimpulkan kalau Al adalah tipe yang suka menghukum orang, membuat orang lain menderita mungkin adalah kesenangan bagi pria itu."Kau tahu pasti kenapa kalian menikah?""Dia ingin menghindari perjodohan. Aaaa, gadis tadi calonnya Al. Cantik gitu, kenapa Al gak mau?" Serena mengetuk dagunya tampak berpikir."Satu Al tidak suka ....""Dia juga tidak menyukaiku.""Diamlah, kau itu beda urusan."Serena ber-ooo
Sunyi memeluk Serena. Gelap jadi temannya. Gadis itu duduk seraya meletakkan kepala diatas tumpukan tangan yang berada di atas lutut. Ucapan Ara soal dirinya yang tidak pernah diinginkan, dibuang jadi penebus hutang. Kembali mengorek luka lama putri Nereida. Dia menangis, tapi cuma sebentar. Air matanya kini kering meski lukanya justru basah kembali. Ruangan yang berubah jadi terang tak membuat Serena mengubah posisinya. Dia tetap duduk dengan pandangan mengarah ke balkon kamar yang terbuka. Suara langkah mendekat berakhir dengan bunyi piring beradu dengan meja. "Makan, berapa kali Max berpesan kau jangan telat makan." Suara Al dingin seperti biasa. Penuh intimidasi macam sebelumnya. Namun Serena tak ingin merespon. Dia setia dengan kebungkamannya. Sepuluh menit berlalu, Al mulai emosi saat Serena sungguh mengacuhkannya. Al turunkan egonya dengan menuruti saran Max untuk membujuk Serena. Max sendiri sudah bercerita soal awal mula dua perempuan tersebut jadi saling jambak.
Al memandang tak terima pada Serena. Kepalanya berdenyut dengan dahi sudah pasti merah. Gadis itu mengadu kening mereka untuk melepaskan diri dari kungkungan Al. Serena tersenyum sinis melihat Al sesekali menyentuh bagian di atas alisnya. Bagian itu memang tampak merah. "Hajar sikit!" Gumam Serena sambil mengunyah makanannya. Buntut dari kejadian tadi adalah Serena sadar kalau dia lapar. Serena sendiri bukan tipe yang malu-malu meong untuk mengakui apa yang dia rasakan. "Apa kau bilang?" Al bertanya, merasa Serena mengatakan sesuatu. "Tidak ada," respon Serena cuek. Sudut bibir Al tertarik. Melihat bagaimana Serena makan dengan lahap. Gadis macam Serena tidak perlu bujukan manis untuk menghilangkan kesedihan atau meredakan kemarahan. Model macam Serena justru ampuh jika diprovokasi dengan kelemahan mereka. Al sepertinya sudah menemukan cara untuk meng-handle Serena, jika sewaktu-waktu tantrum atau bertingkah di luar aturan. Meski ya, kejadian beberapa waktu lalu membuat
Serena tampak asyik dengan kertas berisi desain perhiasan berbagai bentuk. Gelang, kalung, cincin, dan anting, semua ada. Gadis itu tampak tekun. Kegemaran Serena yang satu ini kadang membuat dia seolah tenggelam di dalamnya. Jika sudah begitu, Serena tidak akan mendengar suara lain. Atau dia tidak akan peduli akan hal lain yang terjadi di sekitarnya.Beberapa waktu berada di The Palace. Tidak ada kegiatan lain yang bisa Serena lakukan selain membuat desain. Gadis itu menghela napas setelah beberapa waktu, bosan juga rasanya.Dia ingin keluar, tapi bagaimana jika Al tak mengizinkannya. Kata Max, pria itu sangat susah dibujuk. Namun Max menyarankan agar Serena mencobanya.Putri Nereida sesaat terdiam. Dia kembali teringat akan ibunya. Bagaimana caranya agar dia bisa mencari tahu kabar ibunya. Apa dia baik-baik saja? Atau ....Pikirannya mendadak buntu. Moodnya untuk mendesain sirna seketika. Serena lantas menyimpan semua desainnya. Memasukkannya ke dalam laci lantas menguncinya.Suasa
Al bergerak maju, saat dahan patah. Sudah bisa dipastikan Serena bakal jatuh. Dan benar saja, tubuh gadis itu meluncur turun bersama patahan dahan. Pria tinggi besar tersebut, sigap menangkap raga Serena, sempat menoleh ke belakang, guna memastikan hanya rumpuat tanpa batu kerikil yang jadi tempat landing mereka. Serena menjerit ketakutan, dengan Al lekas mendekap tubuhnya juga melindungi kepala sang gadis. Brukk! Bunyi dua badan di atas rerumputan terdengar. Tapi tak seorangpun mendekat untuk menolong. Anak buah Al sangat tahu, jika sang tuan tidak memanggil, artinya Al tidak mau dibantu. Al dan Serena tampak tersengal. Dada keduanya bergerak naik turun dengan cepat. Tangan Al lekas menurunkan gaun Serena yang tersingkap sampai pinggang. Untungnya gadis itu memakai hot pants hingga hanya pahanya yang terekspose. "Bodoh!" Kata itu terucap begitu saja dari bibir Al. Dia pandangi Serena yang masih terbaring di atas tubuhnya. Satu posisi yang membuat Al menggeram kesal. "Kau y
Seharian berada di rumah ternyata membuat Serena bosan. Dia pikir akan menyenangkan saat Al memberinya cuti.Gadis itu hanya berkabar dengan Ravi, yang akan mengurus pengambilalihan Eternal Diamond dari tangan Anthony secepat mungkin.Pengacara sedang memprosesnya. Serena setuju Eternal Diamond kembali padanya tapi syaratnya harus Ravi yang meng-handlenya.Serena hanya ingin mendesain tanpa mau pusing memikirkan managemen, marketing dan sebagainya.Ravi jelas ingin menolak tapi Nandito mencegahnya. Memang lebih baik ED diurus olehnya dulu. Pelan-pelan mereka bisa membujuk Serena untuk kembali ke kantor.Bagaimanapun ED adalah milik Nereida, perempuan itu membangunnya dari nol dengan tangannya sendiri sejak belasan tahun lalu. Kalaupun Ravi yang mengurusnya, dia pun hanya sebagai perpanjangan tangan Serena."Haish bosannya!" Gerutu Serena, dia melempar buku berisi draft desain ke atas kasur. Masalahnya, semakin dia diam tanpa kesibukan. Bayangan kepergian sang ibu, kian nyata di benakn
Beberapa waktu sebelumnya. Nandito dibuat tercengang, nyaris syok ketika Paul dan Felix mengatakan kalau tuan mereka bersedia jadi investor bagi Alexander Grup yang nyaris kolaps.Gustav bahkan sampai menganga mendengar jumlah dana yang akan digelontorkan pada mereka."Dua triliun," gumam Gustav tidak percaya.Dengan jumlah sebesar itu mereka bisa merampungkan semua proyek yang sempat tertunda karena masalah modal. Bahkan rencana merambah dunia game virtual bisa mereka wujudkan.Lebih mengherankan lagi ketika Nandito bertanya dengan investasi sebesar itu apa ada syarat khusus yang harus mereka penuhi. Jaminan saham, atau bagi hasil sekian persen atau sejenisnya.Saat Paul dan Felix mengatakan mereka hanya meminta kontrak kerja sama biasa, Nandito seketika jadi curiga."Apa ada alasan khusus kenapa kalian membantu kami?""Anda memang jeli, Tuan Alexander," puji Felix terus terang.Di awal sejak Paul dan Felix memperkenalkan diri, Nandito sudah curiga kalau dua pria di depannya tidak se
"Lepas!""Tidak! Sebelum kau beritahu aku, kenapa kau sebut aku pembohong!"Al kembali menahan tangan Serena, dia tidak suka dituduh melakukan hal yang tak pernah dia lakukan."Masih tanya? Kau tidak sadar sudah ingkar janji. Kau bilang mau bantu pamanku. Mana? Tante Elle sampai menamparku, dia bilang aku anak haram, pembawa sial. Gara-gara aku perusahaan Paman dalam bahaya."Serena tidak tahu kenapa dia jadi begitu blak-blakan. Entah kenapa waktu melihat Al dia auto curhat.Bahkan Serena sampai menangis kala menumpahkan uneg-uneg di kepalanya. "Diam saja? Berarti benar kau cuma bohong padaku. Harusnya aku tidak percaya padamu."Al terbengong melihat Serena menepis cekalan tangannya, kemudian berjalan menjauhinya. Namun pria itu segera mengejar. Kembali dia tarik tangan Serena.Gadis tersebut berontak, tapi Al tak melepaskannya kali ini. Al justru mendekap erat tubuh Serena. Meski terus meronta, tapi Al tidak peduli."Kamu kalau ngambek lucu juga. Aduhh." Al meringis ketika Serena me
Kantor Alexander Grup.Nandito memijat pelipisnya yang mendadak pening. Begitu dia menolak perjodohan dengan Marvel Delayota, keluarga itu langsung meminta dana yang sejatinya sudah ada di rekening perusahaan, untuk dikirimkan kembali pada mereka.Syarat cairnya dana tersebut cuma jawaban "iya" dari Serena. Mereka sudah sepakat, jadi ketika Nandito sadar sudah melanggarnya dia tidak bisa berbuat apa-apa."Tuan, investor lain telah menarik diri," lapor sang asisten takut-takut.Nandito hanya mengangguk, dia paham situasinya sangat sulit. Tapi dia juga tidak akan memaksa Serena. Memaksa sang keponakan menerima perjodohan ini sama saja dengan menjual Serena.Serena baru saja kehilangan ibunya, masih berduka. Dan ini kali pertama Serena pulang ke mansion Alexander. Tidak! Nandito tidak mau membuat perasaan Serena tidak nyaman.Semua pebisnis pernah mengalami masa sulit. Tak terkecuali Alexander Grup dan dirinya. Dia akan menemukan cara untuk membangkitkan perusahaanya.Meski caranya sanga
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang." Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya. "Berikan aku data tentang Alexander Grup." Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri. "Marvel Delayota, keluarga Delayota." Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya. "Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan." "Asal dana dari keluarga Delayota?" "Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar. "Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki. "Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix. "Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen
Serena menghentikan langkah, dia berbalik hingga pandangannya bertemu dengan pria yang tadi siang dikenalkan padanya. Marvel Delayota. Serena mengerutkan dahi, apa yang pria itu lakukan di sini."Apa yang Anda lakukan?" Serena bertanya tanpa basa basi.Dia sudah muak dengan segala tipu daya, pura-pura atau sejenisnya.Marvel mendekati Serena. "Untuk bertemu dengan Anda," balas Marvel to the poin."Saya? Kenapa? Bukan mencari Riva?" Riva adik Ravi, dua tahun di bawah Serena, lima tahun di bawah sang kakak."Saya tidak punya urusan dengan Riva. Urusan saya dengan Anda," tandas Marvel. Dia suka tampilan Serena yang apa adanya. Kaos longgar dengan celana training. Serta rambut dicepol asal. Cantik dalam pandangan Marvel.Paras natural tanpa make up. Sungguh pemandangan langka, di tengah maraknya para wanita yang ingin tampil cantik dengan riasan berlebihan di wajah."Soal saya? Saya dan Anda baru bertemu satu kali dan Anda sudah menyebut kita ada urusan."Marvel menggulung senyum, dia la
Elle mundur menjauh, ketakutan melihat sosok Serena yang tanpa ragu menarik rambut Soraya. Teman Elle menjerit-jerit minta tolong, tapi tidak ada yang berani menolong.Mereka tahu siapa Serena. Nona muda di keluarga Alexander. Meski banyak orang di kediaman itu mencibir soal asal usul Serena, tapi mereka tetap tak berani berbuat apa-apa.Terlebih tuan besar dan tuan muda mereka sangat mengayomi Serena."Tolong, tolong saya tuan Alexander," mohon Soraya. Akting memukau Soraya suguhkan, siapa tahu Nandito Alexander atau Ravi terpikat padanya. Namun tebakan Soraya salah, dua pria keluarga Alexander terlalu lurus untuk dia goda."Kalau Paman membelanya, aku juga akan benci Paman," ancam Serena. Dia gulung rambut Soraya hingga perempuan itu menjerit kesakitan lebih lantang."Siapa yang mau membelanya. Terserah kau mau melakukan apa padanya."Bola mata Soraya nyaris melompat keluar dari tempatnya mendengar jawaban Nandito. Pria itu bahkan mendukung tindakan Serena, sinting.Serena menyungg