Malam menjelang puncak, ketika Al melangkah memasuki kamar Serena. Satu kebiasaan yang cepat Al pahami adalah Serena menyukai kegelapan jika suasana hatinya sedang tidak bagus.Al menduganya demikian. Dua kali dia mendapati kamar Serena gelap saat sang gadis marah dan sedih. Pria itu berjongkok di sisi ranjang. Dia mana satu tangan Serena terjulur, memperlihatkan bekas merah penuh luka di punggungnya.Tak ada kata yang terucap, hanya tangan Al yang sibuk bekerja. Olesan benda kental berwarna bening membuat Serena berjengit tapi tak sampai bangun. Sensasi dingin membuat kulit Serena membaik seketika.Ingat, Max adalah dokter sekaligus ilmuwan jenius yang pernah Al temui. Dari otaknya bisa lahir benda berbahaya yang bisa mengancam umat manusia. Sekaligus obat yang sangat mujarab. Salah satunya yang baru saja Serena dapatkan. Sesaat Al memandang paras sang istri yang terlelap. Sudut bibirnya tertarik melihat bibir bengkak Serena.Al perlahan mengeluarkan sebutir pil yang kemudian dia g
"Mati kau! Mati kau!" Ucap Serena seraya memasukkan cairan bening transparan tanpa warna ke dalam sup yang terhidang di meja makan.Gadis itu dengan cepat mengaduknya. Lantas berlari naik ke kamarnya kembali, begitu mendengar suara mobil mendekat. Beberapa orang di The Palace akan ada yang pulang untuk makan malam. Al termasuk yang paling tepat waktu saat makan malam. Sesuai harapan Serena, Al pulang. Setelah mencuci tangan dia duduk di kursinya. Menemaninya ada Beita.Al mengambil makanannya lebih dulu. Serena tampak antusias melihat Al langsung memakan supnya."Mati kau!" Gumam Serena penuh semangat. Al hanya diam sesaat, sebelum akhirnya menarik mangkok sup ke depannya. Al memakan supnya seorang diri. Sementara Beita lebih memilih steak-nya.Serena jelas melongo, kenapa Al tidak apa-apa. Padahal Serena sudah menuang seluruh isi botol ke dalam sup."Masak dia tidak mati. Padahal di sini tertulis Polonium, deathly poison," gumam Serena sambil memandangi botol racun yang tampak koso
"Dia kebal racun, gila! Ini gila!"Serena frustasi sendiri begitu tahu Al tidak mempan oleh racun apapun. Bahkan racun polonium yang boleh dibilang sama mematikannya dengan racun botulium, bisa Al atasi."Kau pikir untuk apa aku bekerja untuknya. Inilah yang kulakukan. Menjaga tubuhnya dari semua ancaman termasuk racun."Ucapan Max kembali terngiang di telinganya, membuat Serena bergidik ngeri. Dia pikir manusia kebal racun hanya ada di zaman kuno, itupun karena pengaruh sihir. Tidak tahunya di era seperti ini, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk membuat tubuh manusia tidak mempam oleh serangan racun.Serena masih mondar mandir di kamarnya. Sampai suara mobil membuat gadis itu berlari ke jendela. Alterio pulang. Mendadak kengerian menyergap Serena. Dia takut Al kembali menuntut balas padanya. "Bagaimana ini? Kemarin dia hampir membunuhku. Sekarang kalau dia mau balas aku lagi bagaimana?"Serena merapat ke dinding, dia takut menghadapi Al. Tapi setelah lama menunggu, dia tidak men
"Mau ke mana?" Aduh! Serena balik mundur lagi ketika Felix menarik sling bag miliknya. "Mau cari bus," balas Serena berharap Felix akan melepaskan sling bag-nya. Namun pria di depannya justru tertawa. "Kau carilah di map, mana ada bus lewat sini." Perkataan Felix membuat Serena manyun. Hal itu membuat Felix sadar. "Oh, sorry. Kau tidak punya ponsel." Menyedihkan, seumur hidup Serena belum pernah memiliki ponsel. Apalagi sejak dia masuk The Palace. Ponsel tidak punya, uang apalagi. Sebenarnya tadi Serena asal saja mengatakan ingin mencari bus, padahal uang satu senpun dia tidak punya. Dia cuma berharap bertemu keberuntungan di jalan. Ada orang baik yang mau memberinya tumpangan ke Royal Diamond. Yang penting bisa pergi dulu ke sana, masalah pulang pikir nanti. Saat itulah, Max dan yang lain muncul dari arah pintu. Biasanya Felix akan satu mobil dengan Max. Al dengan Beita. Dan pasutri itu pasti satu kendaraan. Namun pagi itu, Serena langsung dibuat mual ketika empat mobil dian
Motor besar Al berhenti di satu tempat yang membuat Serena mengerutkan dahi. Tempat seperti basement tapi lebih pribadi."Kerja di sini?"Al tidak menjawab, dia hanya melepas helm, menyisir rambut dengan jari untuk kemudian berjalan menuju lift.Serena hanya melongo diam. Sampai suara Al membuat perempuan itu terkejut. Keduanya masuk ke lift yang kemudian bergerak cepat menuju lantai sepuluh.Selama itu tak ada yang bicara. Serena diam-diam melihat ke arah Al. Pria di depannya, karakter sebenarnya seperti apa.Kalimatnya pedas, tak pernah terdengar ramah, tapi segala tindak tanduknya membuat Serena berpikir kalau Al peduli padanya."Peduli apa, dia hanya ingin menyiksaku, membuatku bingung. Pria sepertinya patut dibenci," batin Serena."Sudah selesai memaki?"Eh? Serena membekap mulutnya sendiri. Al cenayang ya, bisa tahu apa yang Serena pikirkan.Serena hanya diam, tidak berani membalas pertanyaan Al. Dia salah tingkah sendiri, ketahuan mengumpat pria yang selama naik motor tadi, mem
Serena perlu beberapa waktu untuk menyadari apa yang tengah terjadi. Sementara di depannya, Thalia berdiri dengan wajah tidak suka. Perempuan itu tentu tak pernah menduga akan bertemu Serena di tempat ini.Sebenarnya sangat mustahil bagi Serena untuk muncul di sini tanpa campur tangan Al. Pria itu perlu mem-validasi sesuatu hingga dia terpaksa mengeluarkan Serena dari The Palace.Thalia berdecak kesal melihat tampilan Serena. Dia pikir putri Nereida akan disiksa bahkan dihabisi. Tapi lihatlah Serena sekarang. Gadis itu tampil cantik dalam balutan pakaian yang Thalia tahu berharga mahal."Sialan! Si Inzaghi itu malah memelihara anak haram ini. Apa karena Serena berhasil menyenangkannya?" Ekspresi wajah Thalia berubah jijik, membayangkan Serena sudi disentuh laki-laki tua, juga doyan kawin. Label murahan lekas Thalia sematkan di jidat Serena.Serena yang tadi mendengar Anthony babak belur cukup terhibur hatinya. Kenapa tidak sekalian dimatikan saja. Kan habis cerita si pemain perempuan
"He! Tunggu!" Thalia mengejar Serena yang lebih dulu keluar dari ruang seleksi. Pengumuman pemenang kompetisi akan dilakukan setelah makan siang. "Kalau kau sampai diterima bekerja di tempat ini, aku tidak akan membiarkan ibumu hidup," ancam Thalia. "Kamu tidak akan berani melakukannya. Aku akan lapor polisi jika kau menyentuh ibuku," Serena balik mengancam. Thalia tertawa mendengar ucapan Serena. "Memangnya ada yang mau mendengarmu. Kau itu bukan siapa-siapa!" "Aku memang bukan siapa-siapa. Tapi Tuan Alterio Inzaghi jelas orang penting. Kau bilang Anthony babak belur dihajar tuan Inzaghi. Maka sentuh ibuku, kalau kau ingin kakakmu kembali dipukuli." Thalia melotot melihat Serena berani membalasnya. Gadis di depannya berubah. Serena jadi lebih tangguh. Tidak mudah digertak. Walau begitu, Thalia punya satu senjata untuk menyerang Serena. "Jadi ini yang kau dapat dari melayani si tua bangka, doyan kawin itu. Kau jual dirimu, kau tukar dengan hal yang kau inginkan, termasuk berad
Serena kembali ke ruang kompetisi dengan wajah berbinar. Dia kenyang plus dapat ponsel. Dia setengah tidak percaya ketika Al mengembalikan ponsel tadi padanya."Untukku?" Serena tidak percaya. Pasalnya ponsel itu terlihat mahal, mana mungkin Al memberikannya begitu saja pada Serena."Ada beberapa nomor di kontaknya. E wallet juga sudah terisi. Kau tahu cara menggunakannya?"Tunggu! Jadi benar, ponsel ini untuknya? Serena nyaris melompat saking senangnya. Seumur-umur baru kali dia punya ponsel. Komplit dengan saldo e wallet yang membuat Serena nyengir sendiri. Dia punya uang, yey dia punya uang.Dengan senyum lebar macam Joker, Serena masuk ke ruang seleksi. Di mana sudah ada beberapa orang yang kembali dari makan siang."Hai, boleh kita kenalan?" Seorang gadis berkacamata menyapa Serena lebih dulu."Tentu saja, aku Serena.""Aku Pevita. Panggil saja Pevi."Dalam sekejap, Serena sudah mempunyai beberapa teman. Meski masih malu-malu, tapi Serena senang sekali. Sejenak kesedihannya soal
"Serius cuma sampai sini? Tidak mau mampir ke rumah."Ravi bertanya ketika dia menghentikan mobil di tepi jalan. Tempat di mana Serena minta diturunkan. Dari jauh Serena bisa melihat Lalita telah menunggu."He em. Ada yang menjemputku. Dan maaf, aku tidak suka ke rumahmu. Trauma."Terus terang Serena berujar. Ravi tertawa dengan ucapan minta maaf mengiringi. Meski setelahnya pria itu mengganti topik."Suamimu membuatku penasaran," cetus Ravi blak-blakan pada akhirnya. "Dia ... cuma pria biasa. Tidak suka bertemu banyak orang."Ravi mendengus tidak percaya. Mana ada "pria biasa" yang memberi dua triliun dollar cuma-cuma. Cuma modal laporan keuangan bulanan dengan sistem bagi bagi hasil yang sangat menguntungkan Alexander Grup."Bikin kepo. Apa kami bisa bertemu dengannya? Bagaimanapun kami ini keluargamu. Papa adalah walimu.""Kak, aku minta maaf soal itu. Pernikahan kami karena ulah keluarga Hernandez. Saat itu aku tidak berani memberitahu kakak, aku takut mereka akan menyakiti ibu."
Bola mata Anthony nyaris keluar dari tempatnya. Ucapan Ravi sama sekali tak masuk akal untuknya. "Omong kosong! Tempat ini milik kami, keluarga Hernandez," tegas lelaki yang masih mempertahankan keangkuhannya."Sejak kapan tempat ini jadi milik kalian?" Serena bertanya setelah diam sejak tadi."Kau tidak akan bisa mengambilnya," cibir Anthony."Kalau begitu Anda harus melihat ini." Pria yang dikenal sebagai pengacara keluarga Alexander bergerak, dia meletakkan sebuah dokumen di meja.Berkas yang langsung dibaca oleh Anthony. Mata pria tersebut melebar. Detik setelahnya, kertas tadi sudah berakhir di lantai jadi serpihan kecil. Anthony baru saja merobeknya "Sekarang tidak lagi, Eternal Diamond milikku. Milik keluarga Hernandez," tegas Anthony."Tidak masalah, yang tadi hanya salinan. Yang asli ada di kantor Alexander Grup. Intinya, Nyonya Nereida Alexander mewariskan Eternal Diamond pada Nyonya Serena Valencia. Kalian tidak berhak ada di sini."Jawaban santai dari sang pengacara memb
Hembusan napas lega terdengar saat dia melihat Al tidur dengan posisi tengkurap. Pria itu pilih tak mengenakan atasan. Hingga bekas luka yang ditutup perban itu terlihat jelas. Satu lagi cidera yang bakal menambah koleksi bekas luka yang Al miliki. Tangan Serena sempat gemetar ketika tadi diminta mengambil proyektil yang tenggelem di punggung Al. Benda itu sudah merobek kulit Al, tapi tertahan oleh lapisan daging di bawahnya. "Bakal sakit," kata Serena ragu. "Lebih sakit waktu benda itu menembus kulitku. Kalau tidak diambil justru nyeri bisa bikin infeksi. Lakukan." Al cuma meringis ketika Serena sedikit menyeruak area kiri dan kanan peluru. Serena ingin berhasil dalam sekali percobaan. Dan iya, dia sukses mengambilnya. "9 mm Luger Parabellum, Glock 19," gumam Serena tanpa sadar, seperti orang kerasukan. Al cukup terkejut mendengar pengetahuan Serena. "Beita sudah mengajarkan hal itu padamu?" "Belum," Serena menggelindingkan benda tadi di atas meja. "Terus kamu tahu dari man
Malam merayap datang. Serena makan malam sendiri, sepertinya semua orang sedang sibuk. Hanya dirinya saja yang nganggur.Dia tadi pulang dijemput Lalita. Perempuan yang kini Serena tahu adalah salah satu bawahan Al. Lalita langsung pergi sebelum Serena sempat bertanya mau ke mana.Dorongan napas kasar terdengar dari arah Serena. Dia bosan memandangi ponselnya yang sejak tadi masih membahas soal Marvel.Begitu video panas muncul dan viral, lelaki itu langsung menghilang dari peredaran. Akunnya juga tidak aktif dengan kolom komentar ditutup.Tak kehilangan akal. Netijreng kini getol menghujat Marvel melalui akun media sosial adiknya. Yang tak lama kemudian ikutan tidak aktif.Serena memandang pohon besar yang ada di seberang kamarnya. "Masak iya malam-malam begini mau manjat pohon. Nanti dikirain kunti beneran."Tapi Serena suka di sana. Betah seharian duduk di dahannya. Apalagi Al sekarang membangun semacam rumah pohon di sana. Masih sederhana tapi cukup nyaman.Pikirannya yang sedang
Serena bergumam kesal, meski hubungannya dengan Paul masih kaku, tapi setidaknya pria itu tidak sedingin Beita."Gara-gara kau, kami harus kerja ekstra." Satu cibiran membuat Serena menoleh.Ah satu lagi manusia menyebalkan yang sampai saat ini belum bisa diajak damai oleh Serena. Salah nding, Serena tak pernah punya niat memperbaiki hubungan dengan perempuan bernama Arabella Sachez.Istri Paul, wanita yang entah sampai kapan akan tetap Serena anggap sebagai hama. Perempuan itu tahu benar, kalau Ara masih terus berusaha mencuri kesempatan untuk mendekati Al.Cemburu? Kata Serena sih tidak. Dia cuma beranggapan, ada ya perempuan tidak tahu malu. Sudah punya suami tapi masih mengincar suami orang lain.Padahal, orang lain bisa menganggap Serena cemburu pada Ara."Kan itu tugas kalian. Kalian dibayar kan untuk melakukan ini semua. Ingat, dibayar." Serena melangkah pergi setelah menekankan kata dibayar.Ara menghentak kesal. Bagaimanapun yang dikatakan Serena benar. Sebagai anak buah Alte
Cukup mengejutkan waktu melihat Marvel Delayota muncul di RD. Serena awalnya "jantungan" tapi kemudian dia mampu menguasai diri.RD adalah kawasan anak buah Al, dia aman. Serena yakin itu."Lalu kenapa? Ada hubungannya denganmu?" Pertanyaan Serena bagai tantangan bagi Marvel.Pria itu sejenak dibuat terpana oleh tampilan cantik Serena. Sembab masih terlihat di wajah Serena. Marvel tahu, gadis di depannya masih bersedih soal ibunya.Namun secara keseluruhan Serena tetap cantik. Dibanding Thalia, jauh."Tentu saja. Dengan begitu, aku lebih mudah menemukanmu," balas Marvel. Sorot matanya tak lepas dari tubuh Serena."Suamimu akan mencongk*l matanya," suara Max terdengar di telinga Serena."Sayangnya dia sedang dinas keluar," sambung Felix memberi info.Serena seketika sadar makna pesan Al tadi pagi. "Cara dia pamit begitu ya," batin Serena. "Bukannya kamu tahu aku ada di sini dari Thalia. Pacarmu itu." Serena begitu santai menghadapi Marvel. Apalagi setelah dia tahu Felix dan Max memant
Serena tak ambil pusing ketika dia masuk kantor RD keesokan harinya, sejumlah temannya berbisik-bisik saat dia masuk ruangan. Sudah biasa dibuli membuat mental Serena sekarang sekuat baja.Gadis itu memang mengalami peningkatan karakter dibandingkan dulu. Sebelum masuk The Palace, Serena tak seberani sekarang. Namun kini, dia siap menghadapi semua yang bakal menyerangnya."Serena, turut berduka ya," ucap Pevi diikuti Nicky. Lisa menyusul setelah keduanya."Terima kasih," balas Serena, dia abaikan Vasti dan Thalia yang saling melempar pandang penuh makna."Maaf, gak bisa hadir di pemakaman ibu kamu," kali ini Nicky yang bicara."Tidak masalah, lagi pula rumahku jauh.""Jauh ya, tapi sempat tu main ke klub malam," celetukan Thalia menarik perhatian."Sempatlah, kenapa? Iri ya cowoknya nguber aku," sindir Serena balik.Thalia lekas mengepalkan tangan. Sungguh dia tidak menyangka jika Serena sudah dijodohkan dengan Marvel Delayota. Salah satu pria yang jadi idaman wanita, bahkan Thalia re
"Eh, jangan keluar! Nanti hilang!" Alterio berteriak kala Serena yang berhasil menghindari tindihannya, pilih kabur.Pria itu turut mengejar, di depan pintu dia melihat Lalita yang tampak bengong."Di mana Serena?""Di-dikejar Sergie," tergagap Lalita menjawab."Ren! Jangan kabur! Nanti digodain gig*lo kamu!" Al memperingatkan Serena lewat antingnya."Kau sama mereka apa bedanya. Hobi nyosor aja. Aduhhh!" Teriakan Serena di ujung sana mematik kepanikan Al. Tempat ini bukan tempat yang tepat untuk Serena. Bahaya bisa datang dari sekitar untuk gadis baik-baik macam Serena."Ren! Kamu di mana? Jawab!"Mode mafia Al on. Pria itu bergerak cepat, mengikuti langkah Lalita berdasar petunjuk Sergie.Di tempat lain, ada Serena yang menganga melihat Thalia sedang berada di pangkuan seorang pria. Meski kerap mendengar cerita soal kelakuan Thalia. Serena tetap syok waktu menyaksikan sendiri bagaimana Thalia berciuman juga menggoyangkan bokongnya di atas paha sang lelaki."Wah lihat siapa ini? An
Uhuk! Serena langsung terbatuk begitu kakinya melangkah masuk ke sebuah tempat, yang aromanya seketika membuat perutnya mual.Felix terbahak dengan Al menggulung senyum."Ini baru pintu masuknya," bisik Al di telinga Serena."Di dalam lebih parah?" Serena memastikan."Bagi kami biasa, entah buatmu." Felix menjawab dari sebelah kiri.Al dan Felix seperti pengawal dengan Sergie dan Lalita mengikuti dari arah belakang. Meski mood Serena masih didominasi sedih, tapi gadis itu bisa tertawa kala melihat Lalita ikut dengannya."Jadi bagaimana? Mau putar haluan?" Tawar Al. Mata elangnya yang tadi sibuk memindai kini kembali memandang Serena.Al tahu benar wajah dibalik masker itu menyembunyikan berbagai ekspresi yang mungkin lucu andai digabung jadi satu.Al bisa melihat raut kepo, cemas, antusias, sekaligus takut berganti-ganti di paras sang istri."Gak ah, sekali-kali pengen tahu yang namanya diskotik, klub malam. Biar gak disebut cupu, udik."Balasan Serena membuat Al dan Felix saling pand