Al memandang tak terima pada Serena. Kepalanya berdenyut dengan dahi sudah pasti merah. Gadis itu mengadu kening mereka untuk melepaskan diri dari kungkungan Al. Serena tersenyum sinis melihat Al sesekali menyentuh bagian di atas alisnya. Bagian itu memang tampak merah. "Hajar sikit!" Gumam Serena sambil mengunyah makanannya. Buntut dari kejadian tadi adalah Serena sadar kalau dia lapar. Serena sendiri bukan tipe yang malu-malu meong untuk mengakui apa yang dia rasakan. "Apa kau bilang?" Al bertanya, merasa Serena mengatakan sesuatu. "Tidak ada," respon Serena cuek. Sudut bibir Al tertarik. Melihat bagaimana Serena makan dengan lahap. Gadis macam Serena tidak perlu bujukan manis untuk menghilangkan kesedihan atau meredakan kemarahan. Model macam Serena justru ampuh jika diprovokasi dengan kelemahan mereka. Al sepertinya sudah menemukan cara untuk meng-handle Serena, jika sewaktu-waktu tantrum atau bertingkah di luar aturan. Meski ya, kejadian beberapa waktu lalu membuat
Serena tampak asyik dengan kertas berisi desain perhiasan berbagai bentuk. Gelang, kalung, cincin, dan anting, semua ada. Gadis itu tampak tekun. Kegemaran Serena yang satu ini kadang membuat dia seolah tenggelam di dalamnya. Jika sudah begitu, Serena tidak akan mendengar suara lain. Atau dia tidak akan peduli akan hal lain yang terjadi di sekitarnya.Beberapa waktu berada di The Palace. Tidak ada kegiatan lain yang bisa Serena lakukan selain membuat desain. Gadis itu menghela napas setelah beberapa waktu, bosan juga rasanya.Dia ingin keluar, tapi bagaimana jika Al tak mengizinkannya. Kata Max, pria itu sangat susah dibujuk. Namun Max menyarankan agar Serena mencobanya.Putri Nereida sesaat terdiam. Dia kembali teringat akan ibunya. Bagaimana caranya agar dia bisa mencari tahu kabar ibunya. Apa dia baik-baik saja? Atau ....Pikirannya mendadak buntu. Moodnya untuk mendesain sirna seketika. Serena lantas menyimpan semua desainnya. Memasukkannya ke dalam laci lantas menguncinya.Suasa
Al bergerak maju, saat dahan patah. Sudah bisa dipastikan Serena bakal jatuh. Dan benar saja, tubuh gadis itu meluncur turun bersama patahan dahan. Pria tinggi besar tersebut, sigap menangkap raga Serena, sempat menoleh ke belakang, guna memastikan hanya rumpuat tanpa batu kerikil yang jadi tempat landing mereka. Serena menjerit ketakutan, dengan Al lekas mendekap tubuhnya juga melindungi kepala sang gadis. Brukk! Bunyi dua badan di atas rerumputan terdengar. Tapi tak seorangpun mendekat untuk menolong. Anak buah Al sangat tahu, jika sang tuan tidak memanggil, artinya Al tidak mau dibantu. Al dan Serena tampak tersengal. Dada keduanya bergerak naik turun dengan cepat. Tangan Al lekas menurunkan gaun Serena yang tersingkap sampai pinggang. Untungnya gadis itu memakai hot pants hingga hanya pahanya yang terekspose. "Bodoh!" Kata itu terucap begitu saja dari bibir Al. Dia pandangi Serena yang masih terbaring di atas tubuhnya. Satu posisi yang membuat Al menggeram kesal. "Kau y
Malam menjelang puncak, ketika Al melangkah memasuki kamar Serena. Satu kebiasaan yang cepat Al pahami adalah Serena menyukai kegelapan jika suasana hatinya sedang tidak bagus.Al menduganya demikian. Dua kali dia mendapati kamar Serena gelap saat sang gadis marah dan sedih. Pria itu berjongkok di sisi ranjang. Dia mana satu tangan Serena terjulur, memperlihatkan bekas merah penuh luka di punggungnya.Tak ada kata yang terucap, hanya tangan Al yang sibuk bekerja. Olesan benda kental berwarna bening membuat Serena berjengit tapi tak sampai bangun. Sensasi dingin membuat kulit Serena membaik seketika.Ingat, Max adalah dokter sekaligus ilmuwan jenius yang pernah Al temui. Dari otaknya bisa lahir benda berbahaya yang bisa mengancam umat manusia. Sekaligus obat yang sangat mujarab. Salah satunya yang baru saja Serena dapatkan. Sesaat Al memandang paras sang istri yang terlelap. Sudut bibirnya tertarik melihat bibir bengkak Serena.Al perlahan mengeluarkan sebutir pil yang kemudian dia g
"Mati kau! Mati kau!" Ucap Serena seraya memasukkan cairan bening transparan tanpa warna ke dalam sup yang terhidang di meja makan.Gadis itu dengan cepat mengaduknya. Lantas berlari naik ke kamarnya kembali, begitu mendengar suara mobil mendekat. Beberapa orang di The Palace akan ada yang pulang untuk makan malam. Al termasuk yang paling tepat waktu saat makan malam. Sesuai harapan Serena, Al pulang. Setelah mencuci tangan dia duduk di kursinya. Menemaninya ada Beita.Al mengambil makanannya lebih dulu. Serena tampak antusias melihat Al langsung memakan supnya."Mati kau!" Gumam Serena penuh semangat. Al hanya diam sesaat, sebelum akhirnya menarik mangkok sup ke depannya. Al memakan supnya seorang diri. Sementara Beita lebih memilih steak-nya.Serena jelas melongo, kenapa Al tidak apa-apa. Padahal Serena sudah menuang seluruh isi botol ke dalam sup."Masak dia tidak mati. Padahal di sini tertulis Polonium, deathly poison," gumam Serena sambil memandangi botol racun yang tampak koso
"Dia kebal racun, gila! Ini gila!"Serena frustasi sendiri begitu tahu Al tidak mempan oleh racun apapun. Bahkan racun polonium yang boleh dibilang sama mematikannya dengan racun botulium, bisa Al atasi."Kau pikir untuk apa aku bekerja untuknya. Inilah yang kulakukan. Menjaga tubuhnya dari semua ancaman termasuk racun."Ucapan Max kembali terngiang di telinganya, membuat Serena bergidik ngeri. Dia pikir manusia kebal racun hanya ada di zaman kuno, itupun karena pengaruh sihir. Tidak tahunya di era seperti ini, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk membuat tubuh manusia tidak mempam oleh serangan racun.Serena masih mondar mandir di kamarnya. Sampai suara mobil membuat gadis itu berlari ke jendela. Alterio pulang. Mendadak kengerian menyergap Serena. Dia takut Al kembali menuntut balas padanya. "Bagaimana ini? Kemarin dia hampir membunuhku. Sekarang kalau dia mau balas aku lagi bagaimana?"Serena merapat ke dinding, dia takut menghadapi Al. Tapi setelah lama menunggu, dia tidak men
"Mau ke mana?" Aduh! Serena balik mundur lagi ketika Felix menarik sling bag miliknya. "Mau cari bus," balas Serena berharap Felix akan melepaskan sling bag-nya. Namun pria di depannya justru tertawa. "Kau carilah di map, mana ada bus lewat sini." Perkataan Felix membuat Serena manyun. Hal itu membuat Felix sadar. "Oh, sorry. Kau tidak punya ponsel." Menyedihkan, seumur hidup Serena belum pernah memiliki ponsel. Apalagi sejak dia masuk The Palace. Ponsel tidak punya, uang apalagi. Sebenarnya tadi Serena asal saja mengatakan ingin mencari bus, padahal uang satu senpun dia tidak punya. Dia cuma berharap bertemu keberuntungan di jalan. Ada orang baik yang mau memberinya tumpangan ke Royal Diamond. Yang penting bisa pergi dulu ke sana, masalah pulang pikir nanti. Saat itulah, Max dan yang lain muncul dari arah pintu. Biasanya Felix akan satu mobil dengan Max. Al dengan Beita. Dan pasutri itu pasti satu kendaraan. Namun pagi itu, Serena langsung dibuat mual ketika empat mobil dian
Motor besar Al berhenti di satu tempat yang membuat Serena mengerutkan dahi. Tempat seperti basement tapi lebih pribadi."Kerja di sini?"Al tidak menjawab, dia hanya melepas helm, menyisir rambut dengan jari untuk kemudian berjalan menuju lift.Serena hanya melongo diam. Sampai suara Al membuat perempuan itu terkejut. Keduanya masuk ke lift yang kemudian bergerak cepat menuju lantai sepuluh.Selama itu tak ada yang bicara. Serena diam-diam melihat ke arah Al. Pria di depannya, karakter sebenarnya seperti apa.Kalimatnya pedas, tak pernah terdengar ramah, tapi segala tindak tanduknya membuat Serena berpikir kalau Al peduli padanya."Peduli apa, dia hanya ingin menyiksaku, membuatku bingung. Pria sepertinya patut dibenci," batin Serena."Sudah selesai memaki?"Eh? Serena membekap mulutnya sendiri. Al cenayang ya, bisa tahu apa yang Serena pikirkan.Serena hanya diam, tidak berani membalas pertanyaan Al. Dia salah tingkah sendiri, ketahuan mengumpat pria yang selama naik motor tadi, mem
Uhuk! Serena langsung terbatuk begitu kakinya melangkah masuk ke sebuah tempat, yang aromanya seketika membuat perutnya mual.Felix terbahak dengan Al menggulung senyum."Ini baru pintu masuknya," bisik Al di telinga Serena."Di dalam lebih parah?" Serena memastikan."Bagi kami biasa, entah buatmu." Felix menjawab dari sebelah kiri.Al dan Felix seperti pengawal dengan Sergie dan Lalita mengikuti dari arah belakang. Meski mood Serena masih didominasi sedih, tapi gadis itu bisa tertawa kala melihat Lalita ikut dengannya."Jadi bagaimana? Mau putar haluan?" Tawar Al. Mata elangnya yang tadi sibuk memindai kini kembali memandang Serena.Al tahu benar wajah dibalik masker itu menyembunyikan berbagai ekspresi yang mungkin lucu andai digabung jadi satu.Al bisa melihat raut kepo, cemas, antusias, sekaligus takut berganti-ganti di paras sang istri."Gak ah, sekali-kali pengen tahu yang namanya diskotik, klub malam. Biar gak disebut cupu, udik."Balasan Serena membuat Al dan Felix saling pand
"Kamu ngawasin aku! Aku bukan tahanan!"Serena memandang lurus Al yang menunjukkan anting safir di tangannya."Ini cuma ada buat alat komunikasi, tidak ada kameranya. Pakai!""Tidak mau!"Al memejamkan mata, dia coba meredam emosi yang sempat mencuat naik. Rasa yang muncul setelah Al lega luar biasa melihat Serena baik-baik saja."Boleh tidak tolong aku sekali ini saja. Pakai ini, dengan ini kita bisa terhubung meski tanpa ponsel. Jika ada bahaya macam tadi, kamu bisa kasih tahu aku."Serena mengerutkan dahi, tampak berpikir. "Ayolah, Ren. Edgar itu orangnya nekat. Makanya aku belum publish pernikahan kita. Sebelum urusanku sama Edgar selesai.""Ye, aku gak ngarep divalidasi ya."Al menepuk jidatnya. Seharusnya dia tahu kalau Serena tidak peduli, pernikahannya diketahui orang banyak atau tidak. Tidak adanya landasan cinta di antara keduanya, terlebih Serena.Membuat gadis itu begitu santai menjalani hari, meski statusnya istri. Awalnya Al begitu, tapi belakangan ini hatinya ... beru
Seharian berada di rumah ternyata membuat Serena bosan. Dia pikir akan menyenangkan saat Al memberinya cuti.Gadis itu hanya berkabar dengan Ravi, yang akan mengurus pengambilalihan Eternal Diamond dari tangan Anthony secepat mungkin.Pengacara sedang memprosesnya. Serena setuju Eternal Diamond kembali padanya tapi syaratnya harus Ravi yang meng-handlenya.Serena hanya ingin mendesain tanpa mau pusing memikirkan managemen, marketing dan sebagainya.Ravi jelas ingin menolak tapi Nandito mencegahnya. Memang lebih baik ED diurus olehnya dulu. Pelan-pelan mereka bisa membujuk Serena untuk kembali ke kantor.Bagaimanapun ED adalah milik Nereida, perempuan itu membangunnya dari nol dengan tangannya sendiri sejak belasan tahun lalu. Kalaupun Ravi yang mengurusnya, dia pun hanya sebagai perpanjangan tangan Serena."Haish bosannya!" Gerutu Serena, dia melempar buku berisi draft desain ke atas kasur. Masalahnya, semakin dia diam tanpa kesibukan. Bayangan kepergian sang ibu, kian nyata di benakn
Beberapa waktu sebelumnya. Nandito dibuat tercengang, nyaris syok ketika Paul dan Felix mengatakan kalau tuan mereka bersedia jadi investor bagi Alexander Grup yang nyaris kolaps.Gustav bahkan sampai menganga mendengar jumlah dana yang akan digelontorkan pada mereka."Dua triliun," gumam Gustav tidak percaya.Dengan jumlah sebesar itu mereka bisa merampungkan semua proyek yang sempat tertunda karena masalah modal. Bahkan rencana merambah dunia game virtual bisa mereka wujudkan.Lebih mengherankan lagi ketika Nandito bertanya dengan investasi sebesar itu apa ada syarat khusus yang harus mereka penuhi. Jaminan saham, atau bagi hasil sekian persen atau sejenisnya.Saat Paul dan Felix mengatakan mereka hanya meminta kontrak kerja sama biasa, Nandito seketika jadi curiga."Apa ada alasan khusus kenapa kalian membantu kami?""Anda memang jeli, Tuan Alexander," puji Felix terus terang.Di awal sejak Paul dan Felix memperkenalkan diri, Nandito sudah curiga kalau dua pria di depannya tidak se
"Lepas!""Tidak! Sebelum kau beritahu aku, kenapa kau sebut aku pembohong!"Al kembali menahan tangan Serena, dia tidak suka dituduh melakukan hal yang tak pernah dia lakukan."Masih tanya? Kau tidak sadar sudah ingkar janji. Kau bilang mau bantu pamanku. Mana? Tante Elle sampai menamparku, dia bilang aku anak haram, pembawa sial. Gara-gara aku perusahaan Paman dalam bahaya."Serena tidak tahu kenapa dia jadi begitu blak-blakan. Entah kenapa waktu melihat Al dia auto curhat.Bahkan Serena sampai menangis kala menumpahkan uneg-uneg di kepalanya. "Diam saja? Berarti benar kau cuma bohong padaku. Harusnya aku tidak percaya padamu."Al terbengong melihat Serena menepis cekalan tangannya, kemudian berjalan menjauhinya. Namun pria itu segera mengejar. Kembali dia tarik tangan Serena.Gadis tersebut berontak, tapi Al tak melepaskannya kali ini. Al justru mendekap erat tubuh Serena. Meski terus meronta, tapi Al tidak peduli."Kamu kalau ngambek lucu juga. Aduhh." Al meringis ketika Serena me
Kantor Alexander Grup.Nandito memijat pelipisnya yang mendadak pening. Begitu dia menolak perjodohan dengan Marvel Delayota, keluarga itu langsung meminta dana yang sejatinya sudah ada di rekening perusahaan, untuk dikirimkan kembali pada mereka.Syarat cairnya dana tersebut cuma jawaban "iya" dari Serena. Mereka sudah sepakat, jadi ketika Nandito sadar sudah melanggarnya dia tidak bisa berbuat apa-apa."Tuan, investor lain telah menarik diri," lapor sang asisten takut-takut.Nandito hanya mengangguk, dia paham situasinya sangat sulit. Tapi dia juga tidak akan memaksa Serena. Memaksa sang keponakan menerima perjodohan ini sama saja dengan menjual Serena.Serena baru saja kehilangan ibunya, masih berduka. Dan ini kali pertama Serena pulang ke mansion Alexander. Tidak! Nandito tidak mau membuat perasaan Serena tidak nyaman.Semua pebisnis pernah mengalami masa sulit. Tak terkecuali Alexander Grup dan dirinya. Dia akan menemukan cara untuk membangkitkan perusahaanya.Meski caranya sanga
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang." Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya. "Berikan aku data tentang Alexander Grup." Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri. "Marvel Delayota, keluarga Delayota." Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya. "Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan." "Asal dana dari keluarga Delayota?" "Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar. "Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki. "Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix. "Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen