Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing.
"Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil aku jika kamu dan bibi benar-benar perlu bantuan. Aku akan usahakan datang menolong." Ingin sekali Ravi membantu, tapi jika Serena dan Nereida selalu menolak, dia bisa apa. "Tentu saja. Oh iya, ini yang kakak minta kemarin. Jangan sampai Thalia tahu." Tidak terkira bahagia yang Serena rasa, hanya dengan bertemu sepupunya. Ravi sungguh sosok baik hati yang dikirimkan pada Serena. Perhatian Ravi mampu menghibur hati Serena yang kerap merasakan kesedihan. Serena mengulurkan sehelai kertas yang langsung diteliti oleh Ravi. "Heart of a mother. Kamu benar-benar berbakat. Bibi pasti bangga denganmu. Ibumu desainer perhiasan top di zamannya." Putri Nereida kembali mengulas senyum. Dia tidak berharap banyak. Mengingat besok dia harus pergi ke The Palace, menuju tempat yang sama sekali tidak dia ketahui seperti apa bentuknya. Apakah cantik seperti namanya atau macam neraka layaknya kediaman Hernandez. Dan satu lagi, apakah setelah hari ini, dia akan bertemu kembali dengan Ravi, sepupunya sekaligus pria yang dia suka. Serena tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Gadis itu hanya bisa mengucapkan selamat tinggal dalam hati saat Ravi beranjak pergi. Jam kantor sudah akan dimulai. Serena tidak mau menciptakan masalah untuk Ravi. Baginya sudah cukup menyimpan nama Ravi dalam hati, tanpa punya keberanian untuk memberitahu si pemilik nama. Satu sebab Serena merasa tak pantas mengharap perhatian lebih dari seorang Ravi Alexander. Dua, karena Thalia juga menyukai pria itu. Serena jelas bukan lawan untuk Thalia yang punya segalanya. Berbagai pikiran yang berkecamuk membuat Serena tidak fokus saat berjalan menyusuri trotoar. Akibatnya dia tanpa sengaja menabrak seseorang. "Maaf, saya tidak sengaja." Sama-sama memakai masker membuat Serena dan lelaki tinggi besar yang dia tabrak tak bisa melihat wajah masing-masing. Satu yang pasti, pria di depan Serena punya tatapan elang paling mematikan yang pernah Serena lihat. Netra sepekat jelaga tersebut seolah mampu membunuh lawan tanpa perlu menyentuh. Pria itu tak bersuara, tapi tatapannya tajamnya mampu menciutkan nyali Serena. "Ya maaf, kan saya bilang tidak sengaja. Lagian situ yang tak tabrak, saya yang mental. Itu badan apa batu." Sarkas Serena, tapi orang tersebut sepertinya tidak peduli dengan ocehan sang gadis bermata biru. Dia tinggalkan Serena begitu saja. Sedikit senggolan di bahu cukup membuat Serena nyaris oleng. Agaknya pria itu ingin balas dendam. "Sombong amat. Tahulah body lebar kek gapura provinsi. Eh, dia itu bagaimana sih, itu kan lampu ijo. Kenapa malah nyebrang!" Serena berlari mengejar si pria yang menurutnya sembrono. Menyeberang jalan saat kendaraan sedang padat melintas. Si lelaki hampir mencapai tengah jalan ketika Serena menarik paksa tubuh besarnya. Pria itu hampir saja terjungkal oleh tindakan mendadak Serena. Sebelum kaki panjangnya berhasil menyeimbangkan tubuhnya kembali. Tangan sosok tersebut terangkat, membuat satu orang di seberang jalan urung bergerak. Figur yang sama-sama bermasker dan berpakaian hitam. Ditambah tatapan sama tajamnya dengan lelaki yang sedang diseret Serena menepi. "Kau mau bunuh diri atau bagaimana? Sudah tahu lampu ijo kenapa nekat menyeberang!" Marah Serena meski nafasnya tersengal. Tenaganya terkuras lumayan banyak guna menarik badan titan pria di depannya. Sosok yang sejak tadi hanya diam, tanpa bicara sepatah katapun. Padahal Serena sudah mengoceh ke mana-mana. "He! Kau dengar tidak apa yang kukatakan?" Serena kesal juga dicuekin. Inilah Serena kalau di luar rumah. Gadis yang sebenarnya berani, blak-blakan juga sedikit bar-bar. Dia hanya kalah kalau ibunya yang dijadikan sandera. Lain hal, Serena tak punya gentar. Padahal Serena tidak tahu siapa lelaki yang berdiri di hadapannya. Pria itu melihat ke arah tangan Serena yang masih memegang tangannya. “Oh, maaf.” Serena mengangkat tangan, sadar pria arogan di depannya tidak suka disentuh. "Kau yang tidak tahu aturan. Kau tidak lihat yang di sana itu!” Alamak! Serena menepuk jidatnya ketika dia melihat seorang pria sedang menunggu di trotoar dengan wajah terlihat lemas. Sepertinya sedang sakit parah. "Maaf," cicit Serena penuh rasa bersalah. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan temanku. Awas kau!" Ancaman sang pria terdengar menakutkan di telinga Serena. Setelahnya pria itu berlari menerobos jalanan yang lampunya kali ini merah. "Kan aku sudah bilang maaf. Lagian aku kan cuma mau menolong," kata Serena sendu. Dipandangnya mobil hitam berkilat yang mulai melaju meninggalkan tempat itu. Bersamaan dengan itu, tangan Serena yang ditarik seseorang. "Lepas!" Serena berteriak begitu tahu siapa yang melakukan hal tadi. "Diam kau! Ikut aku! Atau dia akan merasakan akibatnya!" "Tidak mau!" Serena berontak. Tapi pria yang mencengkram tangan Serena lebih kuat tenaganya. Susah payah melepaskan diri, Serena gagal juga pada akhirnya. Serena dipaksa masuk ke dalam mobil, sebelum kendaraan itu pergi dari sana. "Aku bilang diam! Atau ibumu akan menderita. Ini akan jadi hukuman karena kau berani menyelinap keluar rumah." Serena menatap horor pria yang sedang mengendalikan kemudi. Dia harus lari, bagaimanapun caranya.Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
"Bukan. Tidak ada kontrak atau semacamnya."Al memandang Serena yang kini sedang menelaah isi berkas yang ada di tangannya. Sudut bibir Al tertarik. Gadis di depannya sangat unik. Kemarin tampak berani, sekarang bertingkah macam kelinci kecil yang takut dia terkam.Al mendengus samar. Kelinci kecil, bagus sekali nama itu jika disematkan pada Serena. Imut di luar tapi menyimpan banyak kejutan di dalam."Saya dikirim sebagai penebus hutang Anthony Hernandez pada Anda." Serena ingin memperjelas statusnya."Bagus kalau kamu mengetahuinya. Dengan begitu kamu tahu, kalau kamu tidak punya hak untuk menuntut apapun dariku. Kau harus mengikuti semua keinginanku. Semua itu ada di situ."Al menatap tajam pada Serena yang kini juga memandangnya. Serena menelan ludah. Betapa menakutkannya deretan kalimat yang Al ucapkan. Ini sama saja dengan Serena masuk penjara. Tapi sekali lagi, dia bisa apa jika mereka punya ibunya sebagai sandera.Gadis itu masih ingat bagaimana ancaman Thalia sebelum dia d
"Ibu, aku akan menikah hari ini. Tolong restui aku."Bulir bening menitik di sudut netra Serena. Gadis itu dengan cepat menghapusnya, sebelum Ara kembali memarahinya.Walau galak dan judes, Serena akui kalau Ara mempersiapkan dirinya dengan baik. Mulai dari make up, gaun pengantin dan printilannya. Semua ekslusif dari brand ternama. Ini di luar dugaan Serena."Aku melakukannya karena perintah bos. Jangan kau pikir karena aku baik padamu."Serena diam saja. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan Ara saat ini. Lagi pula pikirannya sedang tidak fokus. Benaknya bergejolak, satu sisi ingin lari. Sisi lain ketakutan kalau hal buruk akan menimpanya di kemudian hari."Cepatlah." Ara berteriak setelah melihat keluar melalui jendela Ara.Serena berdiri. Lumayan kesusahan dengan heels delapan senti yang Ara paksakan padanya. Perempuan itu dengan judes berujar kalau Serena pendek, makanya perlu ganjal tinggi supaya tidak jomplang saat berdiri di samping Al.Siapa yang peduli, Serena pikir tak akan
Seorang pria dengan wajah sangar, juga tatapan mematikan keluar dari sebuah mobil yang berhenti tepat di kediaman utama The Palace.Netra biru benderangnya memindai tempat yang tadi dijadikan venue pernikahan Al dan Serena. Tempat itu sekarang sudah bersih, tanpa menyisakan aura pernikahan sama sekali.Namun hidung lelaki itu mampu mencium samar aroma vanila yang khas. Satu aroma yang mengingatkannya akan seseorang."Apa kabarnya sekarang? Apa yang terjadi malam itu membuahkan anak," tanyanya dalam hati.Lelaki itu lekas bergerak saat dia melihat Felix berjalam santai ke arahnya. "Mau bertemu Al, Ed?" Sapa pria itu enteng."Kalian habis pesta?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan pakaian ketat hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas."Tentu saja, Nona Vasti. Everyday is a party day. Want to join us?" Tawar Felix dengan nada menggoda.Yang dipanggil Vasti berdecak kesal. Dia abaikan Felix. Vasti lebih memilih mengikuti pria yang Felix panggil "Ed" masuk ke satu ruangan yang ada di sis
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang."Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya."Berikan aku data tentang Alexander Grup."Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri."Marvel Delayota, keluarga Delayota."Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya."Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan.""Asal dana dari keluarga Delayota?""Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar."Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki."Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix."Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel Delayota."
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen
Serena menghentikan langkah, dia berbalik hingga pandangannya bertemu dengan pria yang tadi siang dikenalkan padanya. Marvel Delayota. Serena mengerutkan dahi, apa yang pria itu lakukan di sini."Apa yang Anda lakukan?" Serena bertanya tanpa basa basi.Dia sudah muak dengan segala tipu daya, pura-pura atau sejenisnya.Marvel mendekati Serena. "Untuk bertemu dengan Anda," balas Marvel to the poin."Saya? Kenapa? Bukan mencari Riva?" Riva adik Ravi, dua tahun di bawah Serena, lima tahun di bawah sang kakak."Saya tidak punya urusan dengan Riva. Urusan saya dengan Anda," tandas Marvel. Dia suka tampilan Serena yang apa adanya. Kaos longgar dengan celana training. Serta rambut dicepol asal. Cantik dalam pandangan Marvel.Paras natural tanpa make up. Sungguh pemandangan langka, di tengah maraknya para wanita yang ingin tampil cantik dengan riasan berlebihan di wajah."Soal saya? Saya dan Anda baru bertemu satu kali dan Anda sudah menyebut kita ada urusan."Marvel menggulung senyum, dia la
Elle mundur menjauh, ketakutan melihat sosok Serena yang tanpa ragu menarik rambut Soraya. Teman Elle menjerit-jerit minta tolong, tapi tidak ada yang berani menolong.Mereka tahu siapa Serena. Nona muda di keluarga Alexander. Meski banyak orang di kediaman itu mencibir soal asal usul Serena, tapi mereka tetap tak berani berbuat apa-apa.Terlebih tuan besar dan tuan muda mereka sangat mengayomi Serena."Tolong, tolong saya tuan Alexander," mohon Soraya. Akting memukau Soraya suguhkan, siapa tahu Nandito Alexander atau Ravi terpikat padanya. Namun tebakan Soraya salah, dua pria keluarga Alexander terlalu lurus untuk dia goda."Kalau Paman membelanya, aku juga akan benci Paman," ancam Serena. Dia gulung rambut Soraya hingga perempuan itu menjerit kesakitan lebih lantang."Siapa yang mau membelanya. Terserah kau mau melakukan apa padanya."Bola mata Soraya nyaris melompat keluar dari tempatnya mendengar jawaban Nandito. Pria itu bahkan mendukung tindakan Serena, sinting.Serena menyungg
"Serius kau biarkan dia masuk sendirian?" Felix bertanya pada Al yang saat ini berdiam diri di ruang kerjanya."Dia pulang ke rumah keluarganya," balas Al enteng."Bahkan yang namanya keluarga bisa jadi musuh yang berbahaya. Kita tahu kalau Elle Alexander tidak menyukai Serena dan Nereida," tandas Felix."Lalu apa gunanya kita tempatkan Sergie dan Lalita di sana. Lagi pula, akan ada banyak orang. Elle Alexander tidak mungkin bertindak seenaknya.""Al aku temukan sesuatu!" Paul menyerbu masuk dengan wajah antusias.Al dan Felix sama-sama menyuguhkan ekspresi yang bisa diartikan sebagai "apa maksudmu""Elle Alexander dan Soraya berteman. Tebak ke mana arah pertemanan mereka.""Soraya, adik ipar Frans Hernandez. Coba aku tebak, perempuan matre yang rela membuka paha supaya dapat lakik kaya. Agar hidup mereka terjamin." Felix menyahut cepat.Paul menjentikkan jari, tepat sekali jawaban Felix."Jika Elle hidup terhormat dengan Nandito Alexander, Soraya lebih pilih jadi benalu. Menempel pad
Thalia melipat tangan, tatapannya tajam mengarah pada Anthony. "Kau mengincarnya?""Aku mau dia sejak lama, tapi dia selalu bisa kabur. Tidak masalah dia bekas Alterio. Dia tambah cantik juga seksi. Betul tidak?"Anthony mencondongkan tubuhnya, dengan Thalia lekas memalingkan muka, enggan mengakui kalau yang dikatakan sang kakak benar."Dari mana kau tahu dia Alterio Inzaghi?"Anthony mengedikkan bahu. Tanggapan Anthony membuat Thalia berdecih kesal."Tapi instingku mengatakan jika Alterio Inzaghi. Bagaimana tampan bukan?"Thalia akui, sosok yang membawa Serena pergi mempunyai rupa menawan. Dari sepasang mata yang dibingkai alis tebal, sudah mewakili seluruh fitur ketampanan yang lelaki itu miliki.Adik Anthony menggertakkan rahang, jika dia tahu Alterio tampan, dia akan terima pernikahan hari itu. Tapi sekarang, justru Serena yang menikah dengan Alterio. Namun semua itu masih praduga dari Anthony. Baik Thalia maupun Anthony belum bisa memastikan kebenarannya."Yang kau katakan tadi
"Max, periksa dia. Aku membiusnya, dia berisik."Perintah Al begitu pria itu sampai di laboratorium Max.Serena sudah dibaringkan di tempat tidur. Max dengan sigap memeriksa. Sementara Al akhirnya mengutus Lalita untuk mengikuti Ravi. Dia harus pastikan Nereida mendapatkan pemakaman yang layak.Jika keluarga Alexander tidak ingin memberikan, maka dia yang akan melakukannya."Hanya syok. Tidak berbahaya." Lapor Max kala Al sudah berdiri di hadapannya.Al memandang Serena yang pipinya masih basah oleh airmata. "Aku cukup paham perasaannya. Dia kumpulkan uang, dia minta aku carikan donor jantung untuknya. Giliran semua sudah siap, ibunya justru meninggal. Mana caranya tragis gitu. Wajar kalau Serena mengamuk."Suami Serena masih tak merespon. Dia hanya diam sambil memperhatikan istrinya."Biarkan dia istirahat kalau begitu."Max menurut, dia dan Al keluar dari tempat itu. Satu kesalahan fatal yang Al dan Max lakukan."Tapi istrimu hebat. Untuk pemula ...."Suara Max menghilang di balik
Serena kehilangan kata saat memeluk ibunya yang sudah tidak bergerak. Bunyi bising alat pendeteksi detak jantung tak lagi mengganggunya. Semua tidak ada artinya jika sang ibu tak lagi bersamanya."Jangan pergi, jangan tinggalkan Rena. Rena mohon, Bu. Rena janji, Rena akan bersama Ibu, Rena tidak akan tinggalkan Ibu. Ibu, bangun. Ya, jangan begini."Lalita menunduk, dia tidak pernah menangis tapi kali ini dia melakukannya. Sergie juga cuma berdiri mematung, bak prajurit siap menerima perintah dari komandannya."Rena ...."Ravi menyentuh bahu Serena. Tapi sang gadis menggeleng ribut. "Tidak! Ibu masih hidup!" Tandasnya coba mengingkari apa yang logikanya beritahu.Berat bagi Ravi untuk menerima, tapi faktnya memang seperti itu. Dia sudah mengkonfirmasi pada Lalita dan benar. Menyakitkan, sangat. Saat Serena siap memberikan kebahagiaan, Nereida justru pergi."Rena ...." Ravi berucap lagi ketika Serena mulai berhenti menangis. Gadis itu sejak tadi menunduk, tidak berucap sepatahkatpun.Sa