Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang.
Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap acuh Al membuat Serena kesal. Ingat, gadis itu pemberani jika tidak ada Nereida yang dijadikan sandera. Detik setelahnya, Serena menerjang maju. Dia menyerang Al, mendorong Al hingga tubuh besar itu terbentur dinding. Tangan kurus Serena berakhir dengan menekan leher Al, hampir mencekiknya. Tatapan keduanya saling terkunci. Max melongo dengan Al menyeringai tipis. Boleh juga. Ada yang berani bertingkah bar-bar di depan Al. "Aku tidak minta kau nikahi, aku hanya minta tempat tinggal ...." "Aku tidak mau dengar! Pergi sana!” Al kembali menunjukkan arogansinya. Arrghhh! Serena meringis ketika Al membalik keadaan. Pria itu dengan mudah mengubah posisi, hingga sekarang Serena yang terjepit keadaannya. Tangannya ditelikung di belakang punggung, sementara wajahnya menghadap dinding berlapis marmer. "Lepas!" Desis Serena. "Kau pikir, kau bisa mengalahkanku! Aku bukan orang yang mudah dikalahkan!” Al berucap dengan gigi bergeletuk menahan amarah. Dia lelah, mengantuk, pulang ingin tidur. Bukannya tidur yang dia dapat, tapi malah biang kerok yang harus dia hadapi. "Dan aku bukan orang yang mudah menyerah,” kata Serena setelahnya. Tanpa Max dan Al duga. Serena mampu menumbangkan tubuh besar Al. Pria itu mengerang saat punggungnya beradu dengan lantai marmer yang keras. "Sialan!" Emosi Al menggelegak sampai puncak. Sedang Max hanya bisa menahan tawa di balik lima jari yang dia gunakan untuk membekap mulutnya. Al pagi-pagi sudah di-smack down oleh perempuan yang fisiknya boleh dibilang kurus kering. "Memangnya siapa kau? Kenapa aku tidak boleh melawanmu. Asal lawannya bukan uang aku pasti menang." Satu sudut bibir Al tertarik, seringai mengerikan kembali terlukis di paras tampan yang kali ini tidak tertutup masker. "Sayangnya uang adalah ranjangku. Aku pastikan kau menyesal sudah berurusan denganku." Bola mata Serena melebar, bersamaan dengan Al yang melingkarkan jemari panjangnya di leher Serena. Pria itu berniat mencekik Serena. "Ja-jangan bunuh saya, Tuan." Serena kembali kalah telak. Jika pria di depannya punya ranjang uang, maka nasibnya tidak akan jauh beda dengan sebelumnya. "Tapi aku ingin sekali melihatmu mati di tanganku!" Al berujar dingin, nyaris tanpa belas kasih terselip dalam ucapannya. Al mulai mencengkeram leher kurus Serena, dia baru akan menguatkan cekikannya ketika tubuh Serena lebih dulu melemas. Setelahnya tubuh Serena sudah tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Dan Al bukan pria yang mau susah payah menolong Serena. Dia biarkan saja tubuh Serena jatuh membentur lantai. "Penipu!" Geram Al tanpa rasa kasihan. "Kau membunuhnya Al," kata Max seraya mendekati Serena. Al tak merespon, dia hanya menatap acuh pada tubuh Serena. "Tunggu dulu!" Kata Max ketika dia memeriksa denyut nadi Serena. "Dia hanya pura-pura!” Al yakin dengan dugaannya. "Basicku dokter, jadi tugas utamaku memang menolong orang. Oh, ini gawat Al. Gadis ini butuh pertolongan segera. Darurat!" Al hanya menggeleng pelan melihat Max menggendong Serena masuk ke lorong di sisi kiri. Jalan yang langsung menghubungkan tempat itu ke laboratorium pribadi milik Max. Dorongan nafas kasar terdengar seiring langkah Al berjalan menuju lift, yang membawanya naik ke lantai empat. Di mana kamarnya berada. Lift bahkan berada di dalam kamar yang berarti benda tadi dibuat khusus untuk Al. Pria itu langsung masuk ke kamar mandi, melucuti pakaiannya, lantas mengguyur tubuh atletis di bawah aliran shower. Dalam diam, Al menyentuh lehernya, di mana sebuah kalung berada di sana. Sebuah kalung bermata kepala elang hitam. "Harusnya kau yang berada di sini, bukan aku." *** Hari beranjak siang ketika Al bangun setelah mendapat tidur selama dua jam. Lumayan, setidaknya dia merasa lebih segar. Pria itu hanya mencuci muka untuk kemudian berganti pakaian, lalu turun menuju ruang makan. "Jadi bagaimana? Mau ke kantor?" Seorang perempuan berpakaian seksi menyambut Al yang baru duduk di meja makan. Dengan rambut dicat coklat terang, perempuan tersebut terlihat sangat cantik. Wanita itu lantas menyiapkan kopi, juga makanan untuk Al. Sikapnya sudah seperti seorang istri melayani suaminya. "Ke mana Paul?" Tanya Al tak melihat suami si perempuan. "Dia masih tidur," balas sang wanita sambil menggigit bibir. Al acuh pada sosok yang kini duduk di depannya. Pria itu makan dalam diam. Sampai dia selesai. "Ara, katakan pada Paul kalau dia yang akan ke kantor hari ini. Bersamamu." Bahu Ara merosot, padahal tadi terlihat begitu antusias. "Al, tidak bisakah kita pergi bersama, kau tahu kan dia akan selalu begitu jika dekat denganku." Al pilih diam, tak menjawab. Hingga perempuan di depannya jadi kesal. Dia selalu saja gagal saat ingin berduaan dengan pria dingin di depannya. Suasana hening sesaat, sampai seorang pria muncul. Rambut pirangnya sungguh menarik perhatian. "Aku dengar, pengantinmu sudah datang. Di mana dia?”"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
"Bukan. Tidak ada kontrak atau semacamnya."Al memandang Serena yang kini sedang menelaah isi berkas yang ada di tangannya. Sudut bibir Al tertarik. Gadis di depannya sangat unik. Kemarin tampak berani, sekarang bertingkah macam kelinci kecil yang takut dia terkam.Al mendengus samar. Kelinci kecil, bagus sekali nama itu jika disematkan pada Serena. Imut di luar tapi menyimpan banyak kejutan di dalam."Saya dikirim sebagai penebus hutang Anthony Hernandez pada Anda." Serena ingin memperjelas statusnya."Bagus kalau kamu mengetahuinya. Dengan begitu kamu tahu, kalau kamu tidak punya hak untuk menuntut apapun dariku. Kau harus mengikuti semua keinginanku. Semua itu ada di situ."Al menatap tajam pada Serena yang kini juga memandangnya. Serena menelan ludah. Betapa menakutkannya deretan kalimat yang Al ucapkan. Ini sama saja dengan Serena masuk penjara. Tapi sekali lagi, dia bisa apa jika mereka punya ibunya sebagai sandera.Gadis itu masih ingat bagaimana ancaman Thalia sebelum dia d
"Ibu, aku akan menikah hari ini. Tolong restui aku."Bulir bening menitik di sudut netra Serena. Gadis itu dengan cepat menghapusnya, sebelum Ara kembali memarahinya.Walau galak dan judes, Serena akui kalau Ara mempersiapkan dirinya dengan baik. Mulai dari make up, gaun pengantin dan printilannya. Semua ekslusif dari brand ternama. Ini di luar dugaan Serena."Aku melakukannya karena perintah bos. Jangan kau pikir karena aku baik padamu."Serena diam saja. Tidak ada gunanya dia berdebat dengan Ara saat ini. Lagi pula pikirannya sedang tidak fokus. Benaknya bergejolak, satu sisi ingin lari. Sisi lain ketakutan kalau hal buruk akan menimpanya di kemudian hari."Cepatlah." Ara berteriak setelah melihat keluar melalui jendela Ara.Serena berdiri. Lumayan kesusahan dengan heels delapan senti yang Ara paksakan padanya. Perempuan itu dengan judes berujar kalau Serena pendek, makanya perlu ganjal tinggi supaya tidak jomplang saat berdiri di samping Al.Siapa yang peduli, Serena pikir tak akan
Seorang pria dengan wajah sangar, juga tatapan mematikan keluar dari sebuah mobil yang berhenti tepat di kediaman utama The Palace.Netra biru benderangnya memindai tempat yang tadi dijadikan venue pernikahan Al dan Serena. Tempat itu sekarang sudah bersih, tanpa menyisakan aura pernikahan sama sekali.Namun hidung lelaki itu mampu mencium samar aroma vanila yang khas. Satu aroma yang mengingatkannya akan seseorang."Apa kabarnya sekarang? Apa yang terjadi malam itu membuahkan anak," tanyanya dalam hati.Lelaki itu lekas bergerak saat dia melihat Felix berjalam santai ke arahnya. "Mau bertemu Al, Ed?" Sapa pria itu enteng."Kalian habis pesta?" Tanya seorang perempuan yang mengenakan pakaian ketat hingga lekuk tubuhnya tercetak jelas."Tentu saja, Nona Vasti. Everyday is a party day. Want to join us?" Tawar Felix dengan nada menggoda.Yang dipanggil Vasti berdecak kesal. Dia abaikan Felix. Vasti lebih memilih mengikuti pria yang Felix panggil "Ed" masuk ke satu ruangan yang ada di sis
Serena jelas kesal, tapi dia tak berani menunjukkannya, pada sosok yang kini sedang bicara dengan seseorang menggunakan ponsel. Satu jam dia dibiarkan berdiri tanpa boleh duduk.Apa salahnya coba, kalau pun dia ada salah harusnya Al sebutkan saja. Dia akan minta maaf, terima hukuman jika dia memang layak mendapatkannya. Tapi ini, sejak dia dibawa masuk ke ruang kerja lelaki itu sampai sekarang, Al tidak bicara sepatahkatapun kecuali perintah, "Berdiri di sana."Padahal di ruangan itu ada benda yang membuat jiwa Serena meronta-ronta. Sejak tadi ingin menyentuhnya. Tumpukan buku yang berderet di rak sepanjang dinding ruang kerja Al. Kalau bukan buku, beri saja dia kertas dan pensil. Dia akan habiskan sepanjang hari dengan benda itu.Al agaknya mulai ingin menyiksa Serena. Status penebus hutang yang melekat padanya, membuat Serena tak berhak membantah tiap perintah lelaki yang berstatus suami."Tapi ini sudah lama, kakiku pegal," gumam Serena. Belum lagi ditambah perutnya yang mulai la
Serena sempat berjengit kaget mendengar teriakan Al menggelegar di tempat itu. Meski detik setelahnya Serena mengubah ekspresinya jadi polos, macam bocah TK kena marah bapaknya."Aku bosan. Lagi pula aku tidak melanggar hukuman. Aku hanya mengubahnya jadi duduk," balas Serena santai.Emosi Al meroket naik, pasalnya Serena mengambil bukunya. Lebih menjengkelkan lagi, Serena asal saja mengembalikannya. "Kau menyentuh milikku, tanpa seizinku!" Desis Al coba menahan diri."Aku minta izin kok," sahut Serena tidak mau kalah."Kapan?" Sergah Al tak merasa."Waktu kamu di luar tadi," balas Serena tanpa dosa.Al mendorong napasnya kasar. "Tambah hukumannya." Sudah jelas Serena sengaja menantangnya. Berani sekali gadis di hadapannya berkata seperti tadi."Sambil baca buku," tawar Serena."Tiga jam." Sengaja Al ingin menyiksa Serena."Deal!" Tanpa diduga Serena langsung menerima hukuman yang Al berikan.Serena akan jalani hukumannya dengan riang gembira asal ditemani buku. Al tidak tahu saja ji
"Kenapa mukamu? Kayak mau makan orang."Pertanyaan Felix membuat Al mendengus kesal. Dia tidak menjawab. Hanya satu perintah yang mengalun setelahnya."Berikan aku data tentang Alexander Grup."Tanpa banyak protes, Felix langsung melakukannya. Tangannya bergerak cepat di depan laptop. Sementara Al sibuk dengan urusannya sendiri."Marvel Delayota, keluarga Delayota."Netra sekelam malam Al memicing, jarinya lincah memainkan tombol di keyboard. Sampai dia berhenti ketika Felix memberikan hasil penyelidikannya."Keuangannya kurang bagus. Ada dana, tapi tak bisa dicairkan. Sepertinya itu dana bersyarat, maksudnya ada syarat tertentu supaya dana itu bisa diberikan.""Asal dana dari keluarga Delayota?""Tepat sekali." Felix mengkonfirmasi setelah mencaritahu sebentar."Kamu tahu syaratnya apa?" Al seperti sedang ingin bermain teka teki."Bagian saham, akuisisi, lebih mengerikan pengambilalihan perusahaan," tebak Felix."Salah, syaratnya Serena Valencia harus menikah dengan Marvel Delayota."
Awalnya Serena ingin acuh soal perjodohannya dengan Marvel Delayota. Namun saat dia berniat kembali ke kamar, dia melewati ruang baca, di mana Nandito dan Elle terlibat perdebatan sengit.Dari hasil menguping Serena jadi tahu kalau dampak dari dirinya menolak perjodohan itu, Alexander Grup bisa mengalami kerugian.Elle jelas tidak terima, tapi sang paman meyakinkan Elle kalau mereka bisa mengatasinya. Tante Serena sibuk menyalahkan dirinya."Satu triliun," gumam Serena. Perempuan itu duduk sambil memeluk lutut di kasur. Dia pandangi cincin cantik yang melingkar di jari manisnya.Dia sudah tidak punya urusan dengan Al. Ibunya telah meninggal, soal utang Anthony, biarlah pria itu urus sendiri. Al pasti bisa menemukan cara untuk menagihnya."Bercerai. Itu jalan paling baik. Janda? Tidak ada yang tahu aku menikah, selain penghuni The Palace. Jadi janda pun tidak masalah."Maka begitulah, Serena menghubungi Al. Mengutarakan keinginannya untuk berpisah. Al diam saja waktu Serena menyinggun
Serena mengangkat jemarinya di mana sebentuk cincin melingkar di sana. Dari tampilannya saja sudah terlihat kalau cincin itu bernilai tinggi."Siapa suamimu? Beraninya dia meminangmu tanpa menemui kami. Apa ibumu tahu kamu menikah?"Serena menunduk. Dia tidak bisa membeberkan identitas Alterio Inzaghi. Lelaki itu melarangnya."Aku tidak bisa memberitahu siapa dia. Saat itu aku dijadikan penebus hutang oleh keluarga Hernandez," balas Serena sendu.Nandito langsung mengepalkan tangan. "Beraninya mereka lakukan itu! Rav, kenapa kamu tidak cegah waktu itu. Kamu kakaknya, kamu wajib melindungi Serena."Ravi juga yang jadi korban. Lelaki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Jangan salahkan kak Ravi, Paman. Serena yang larang dia buat nolongin Rena waktu itu. Soalnya mereka ngancam bakal nyakitin ibu. Sekarang semua sudah terlambat. Serena salah, ibu meninggal karena Serena."Duka kembali menggelayut di paras Serena. Semakin ditelaah, semakin Serena merasa kalau kepergian Nereida karen
Serena menghentikan langkah, dia berbalik hingga pandangannya bertemu dengan pria yang tadi siang dikenalkan padanya. Marvel Delayota. Serena mengerutkan dahi, apa yang pria itu lakukan di sini."Apa yang Anda lakukan?" Serena bertanya tanpa basa basi.Dia sudah muak dengan segala tipu daya, pura-pura atau sejenisnya.Marvel mendekati Serena. "Untuk bertemu dengan Anda," balas Marvel to the poin."Saya? Kenapa? Bukan mencari Riva?" Riva adik Ravi, dua tahun di bawah Serena, lima tahun di bawah sang kakak."Saya tidak punya urusan dengan Riva. Urusan saya dengan Anda," tandas Marvel. Dia suka tampilan Serena yang apa adanya. Kaos longgar dengan celana training. Serta rambut dicepol asal. Cantik dalam pandangan Marvel.Paras natural tanpa make up. Sungguh pemandangan langka, di tengah maraknya para wanita yang ingin tampil cantik dengan riasan berlebihan di wajah."Soal saya? Saya dan Anda baru bertemu satu kali dan Anda sudah menyebut kita ada urusan."Marvel menggulung senyum, dia la
Elle mundur menjauh, ketakutan melihat sosok Serena yang tanpa ragu menarik rambut Soraya. Teman Elle menjerit-jerit minta tolong, tapi tidak ada yang berani menolong.Mereka tahu siapa Serena. Nona muda di keluarga Alexander. Meski banyak orang di kediaman itu mencibir soal asal usul Serena, tapi mereka tetap tak berani berbuat apa-apa.Terlebih tuan besar dan tuan muda mereka sangat mengayomi Serena."Tolong, tolong saya tuan Alexander," mohon Soraya. Akting memukau Soraya suguhkan, siapa tahu Nandito Alexander atau Ravi terpikat padanya. Namun tebakan Soraya salah, dua pria keluarga Alexander terlalu lurus untuk dia goda."Kalau Paman membelanya, aku juga akan benci Paman," ancam Serena. Dia gulung rambut Soraya hingga perempuan itu menjerit kesakitan lebih lantang."Siapa yang mau membelanya. Terserah kau mau melakukan apa padanya."Bola mata Soraya nyaris melompat keluar dari tempatnya mendengar jawaban Nandito. Pria itu bahkan mendukung tindakan Serena, sinting.Serena menyungg
"Serius kau biarkan dia masuk sendirian?" Felix bertanya pada Al yang saat ini berdiam diri di ruang kerjanya."Dia pulang ke rumah keluarganya," balas Al enteng."Bahkan yang namanya keluarga bisa jadi musuh yang berbahaya. Kita tahu kalau Elle Alexander tidak menyukai Serena dan Nereida," tandas Felix."Lalu apa gunanya kita tempatkan Sergie dan Lalita di sana. Lagi pula, akan ada banyak orang. Elle Alexander tidak mungkin bertindak seenaknya.""Al aku temukan sesuatu!" Paul menyerbu masuk dengan wajah antusias.Al dan Felix sama-sama menyuguhkan ekspresi yang bisa diartikan sebagai "apa maksudmu""Elle Alexander dan Soraya berteman. Tebak ke mana arah pertemanan mereka.""Soraya, adik ipar Frans Hernandez. Coba aku tebak, perempuan matre yang rela membuka paha supaya dapat lakik kaya. Agar hidup mereka terjamin." Felix menyahut cepat.Paul menjentikkan jari, tepat sekali jawaban Felix."Jika Elle hidup terhormat dengan Nandito Alexander, Soraya lebih pilih jadi benalu. Menempel pad
Thalia melipat tangan, tatapannya tajam mengarah pada Anthony. "Kau mengincarnya?""Aku mau dia sejak lama, tapi dia selalu bisa kabur. Tidak masalah dia bekas Alterio. Dia tambah cantik juga seksi. Betul tidak?"Anthony mencondongkan tubuhnya, dengan Thalia lekas memalingkan muka, enggan mengakui kalau yang dikatakan sang kakak benar."Dari mana kau tahu dia Alterio Inzaghi?"Anthony mengedikkan bahu. Tanggapan Anthony membuat Thalia berdecih kesal."Tapi instingku mengatakan jika Alterio Inzaghi. Bagaimana tampan bukan?"Thalia akui, sosok yang membawa Serena pergi mempunyai rupa menawan. Dari sepasang mata yang dibingkai alis tebal, sudah mewakili seluruh fitur ketampanan yang lelaki itu miliki.Adik Anthony menggertakkan rahang, jika dia tahu Alterio tampan, dia akan terima pernikahan hari itu. Tapi sekarang, justru Serena yang menikah dengan Alterio. Namun semua itu masih praduga dari Anthony. Baik Thalia maupun Anthony belum bisa memastikan kebenarannya."Yang kau katakan tadi
"Max, periksa dia. Aku membiusnya, dia berisik."Perintah Al begitu pria itu sampai di laboratorium Max.Serena sudah dibaringkan di tempat tidur. Max dengan sigap memeriksa. Sementara Al akhirnya mengutus Lalita untuk mengikuti Ravi. Dia harus pastikan Nereida mendapatkan pemakaman yang layak.Jika keluarga Alexander tidak ingin memberikan, maka dia yang akan melakukannya."Hanya syok. Tidak berbahaya." Lapor Max kala Al sudah berdiri di hadapannya.Al memandang Serena yang pipinya masih basah oleh airmata. "Aku cukup paham perasaannya. Dia kumpulkan uang, dia minta aku carikan donor jantung untuknya. Giliran semua sudah siap, ibunya justru meninggal. Mana caranya tragis gitu. Wajar kalau Serena mengamuk."Suami Serena masih tak merespon. Dia hanya diam sambil memperhatikan istrinya."Biarkan dia istirahat kalau begitu."Max menurut, dia dan Al keluar dari tempat itu. Satu kesalahan fatal yang Al dan Max lakukan."Tapi istrimu hebat. Untuk pemula ...."Suara Max menghilang di balik
Serena kehilangan kata saat memeluk ibunya yang sudah tidak bergerak. Bunyi bising alat pendeteksi detak jantung tak lagi mengganggunya. Semua tidak ada artinya jika sang ibu tak lagi bersamanya."Jangan pergi, jangan tinggalkan Rena. Rena mohon, Bu. Rena janji, Rena akan bersama Ibu, Rena tidak akan tinggalkan Ibu. Ibu, bangun. Ya, jangan begini."Lalita menunduk, dia tidak pernah menangis tapi kali ini dia melakukannya. Sergie juga cuma berdiri mematung, bak prajurit siap menerima perintah dari komandannya."Rena ...."Ravi menyentuh bahu Serena. Tapi sang gadis menggeleng ribut. "Tidak! Ibu masih hidup!" Tandasnya coba mengingkari apa yang logikanya beritahu.Berat bagi Ravi untuk menerima, tapi faktnya memang seperti itu. Dia sudah mengkonfirmasi pada Lalita dan benar. Menyakitkan, sangat. Saat Serena siap memberikan kebahagiaan, Nereida justru pergi."Rena ...." Ravi berucap lagi ketika Serena mulai berhenti menangis. Gadis itu sejak tadi menunduk, tidak berucap sepatahkatpun.Sa