Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil.
“Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak menggunakan tangan untuk menahan tubuhnya. Tapi hal itu tidak terjadi dengan Anthony. Pria itu menghantam kemudi lumayan keras. Salahnya juga tidak pakai seat belt. Putri Nereida menggunakan kesempatan itu untuk kabur. Sementara Anthony merasakan nyeri luar biasa di pelipis. Saat dia menyentuh tempat itu, darah tampak mengalir di sana. Anthony menggeram marah. “Awas kau Serena! Kau tidak akan lolos dariku!” Kakak Thalia keluar mobil, bermaksud menyusul Serena yang sudah lari menjauh. Tapi niat Anthony gagal ketika tubuhnya ambruk ke tanah. Sepertinya luka di kepalanya cukup parah. Kepala Anthony berdenyut sakit dengan pandangan mulai kabur. “Halo, cepat kemari!” Perintah Anthony pada seseorang di ujung sana. Pria itu meninju tanah, merasa marah luar biasa. Besok Serena harus pergi ke The Palace. Kalau tidak hari ini, tidak akan ada lagi kesempatan untuk menikmati tubuh adik tirinya. Jika semua orang menganggap Serena punya tubuh tidak menarik. Anthony tidak demikian. Dia pernah tanpa sengaja melihat Serena berganti pakaian. Sungguh di luar dugaan, walau tubuh Serena kurus tapi aset depan belakang sang gadis tampak begitu menggoda. Sejak saat itu, Anthony berulang kali mencoba untuk meniduri Serena, tapi selalu gagal. Putri Nereida punya seribu satu cara untuk melepaskan diri dari jeratan Anthony. Tanpa Serena dan Anthony tahu. Kejadian tadi disaksikan oleh seorang pria berpakaian hitam, dengan masker menutupi wajah. Lelaki tadi duduk di dalam mobil yang terparkir tak jauh dari tempat Anthony. Paras dinginnya tak terbaca kala dia melihat Serena mengambil langkah seribu. Melarikan diri dari Anthony yang kini terkapar tidak berdaya. Sosok bermasker itu lantas melajukan mobil, meninggalkan area tersebut sambil menelepon. "Al, dia berhasil kabur," lapornya. Setelahnya dia turut menghilang, menyusul Serena yang sudah lebih dulu berlarian di jalanan. "Huft! Selamat!" Serena berhasil selamat saat itu, tapi tidak saat dia kembali ke rumah. Dia langsung disambut kemarahan Frans begitu kakinya menginjak pintu kediaman Hernandez. "Dasar anak haram! Apa yang sudah kau lakukan pada Anthony? Kau dendam padanya lalu berniat melukainya begitu?!" Serena tidak menjawab, dia hanya sekilas melihat ke arah Anthony yang kepalanya dibalut perban. Bekas darah juga masih terlihat di sana. Putri Nereida menarik sudut bibirnya. Pandai sekali Anthony bersandiwara. Padahal dia tak melakukan apapun pada Anthony, menyentuh pun tidak. Bagaimana bisa Anthony menghasut semua orang hingga dia yang disalahkan. Serena mendelik ke arah Anthony saat lelaki tersebut menyeringai sinis padanya. Pada akhirnya dia tahu kalau Anthony cuma pura-pura. Serena meringis ketika pelipisnya di toyor Thalia. "Kalau kakakku sampai kenapa-kenapa, aku akan ganti memukul kepalamu!" Ancam Thalia. "Kurung saja dia di gudang. Dia kabur dari rumah, lalu melukai kepalaku. Jangan diberi makan. Besok langsung antarkan dia ke The Palace. Biar dihajar sama anak buah Black Diamond." "Ide bagus! Aku benci melihat wajahnya." Thalia menyambut suka cita rencana Anthony. Dua orang ini memang partner in crime sejati jika korbannya adalah Serena. Maka malam itu, Serena menghabiskan malam terakhirnya di kediaman Hernandez dengan meringkuk menahan lapar di sebuah gudang. Lagi-lagi gudang jadi tempat Serena menjalani sisa hari. Pukul sepuluh malam ketika Nereida juga didorong masuk ke tempat itu. Hingga keduanya bisa saling berpelukan. "Makanlah." Dari balik bajunya Nereida mengeluarkan sepotong roti. "Jangan cemas. Ibu sudah makan tadi." Nereida tersenyum seraya mengusap wajah sang putri. Seolah tahu kalau Serena pasti akan menolak makan roti yang dia bawa. "Ibu harus bertahan sampai Rena datang." "Ibu kan sudah berjanji." Serena mengulas senyum sambil meminum susu kotak yang juga Nereida bawakan. Karena janji itulah, Serena setuju menikah dengan Alterio Inzaghi. "Tiga bulan, tunggu Rena tiga bulan lagi. Rena akan menjemput Ibu. Rena janji, saat itu Ibu akan dioperasi." Giliran Nereida yang menipiskan bibir. "Yang penting kamu jaga diri baik-baik. Ibu akan baik-baik saja." Netra biru Serena berkaca-kaca. Dipeluknya Nereida, "Rena sayang sama Ibu. Cuma Ibu yang Rena punya di dunia ini." "Ibu juga sayang sama Serena. Hiduplah lebih baik setelah ini." Pagi belum sepenuhnya terang ketika Serena sudah berdiri di depan sebuah bangunan yang memang cocok dengan namanya. The Palace, sebutannya sesuai dengan visual tempatnya. "Siapa kau? Kau bukan Thalia Hernandez?" Seorang pria dengan paras tampan bertanya. Terdengar dingin dan acuh. Serena sedikit merasa takut. "Saya Serena Valencia, putri Hernandez yang lain," jawab Serena gugup. Pria di depan Serena mengerutkan dahi. Dia belum pernah mendengar putri lain dari keluarga Hernandez, selain Thalia. Serena terus menunduk, tak berani memandang lelaki asing yang tengah memindai tampilannya. Bersamaan dengan itu, satu mobil datang. Berhenti tepat di belakang Serena. Figur tinggi besar keluar dari benda hitam berkilat, terus berjalan melewati Serena begitu saja. Acuh, tidak peduli. Sampai laki-laki tadi memanggil. "Al, mereka mengirim putri Hernandez yang lain, bagaimana ini?" Yang dipanggil "Al" berhenti, dia berbalik, ikut melihat ke arah Serena. "Usir dia!"Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto
"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto