"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!"
"Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan baik-baik saja, Bu. Seperti kata Ibu. Serena ini kuat." Buah dari Serena menolak keinginan Frans, dia disiram berember-ember air di malam yang nyaris mencapai puncaknya. Ditambah cuaca dingin tengah melanda, bisa dibayangkan bagaimana Serena harus bertahan. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan Frans. Satu-satunya hal yang membuat Serena kalah adalah Nereida. Dia tidak sanggup melihat sang ibu diikat tangan dan kakinya lalu disumpal mulutnya. Nereida dipaksa melihat bagaimana Serena disiksa. Tidak ada yang bisa Nereida lakukan selain menangis dan berdoa, supaya putrinya diberi kekuatan untuk bertahan. Keduanya berada di gudang, kemungkinan mereka akan dikurung di sana malam ini. Tidak ada makanan, tidak ada tempat tidur yang layak. Hanya lantai tanah beralas jerami. "Maafkan Ibu, Rena. Karena Ibu kamu jadi menderita." Kata Nereida seraya terus menitikkan air mata. "Kenapa kita tidak minta bantuan Kak Ravi saja. Dia pasti mau membantu kita." Nereida hanya diam mendengar perkataan Serena. Yang Serena tahu, Ravi Alexander adalah satu-satunya keluarga sang ibu yang masih tersisa. Pria itu juga baik pada Serena. Pria tampan yang selalu membuat Serena bahagia dan tersenyum. "Tidak bisa, Rena. Mereka membenci Ibu. Karena Ibu tidak menuruti nasehat mereka agar tak menikah dengan Frans. Mereka menilai Frans tidak pernah mencintai Ibu." Lirih suara Nereida sudah cukup untuk menggambarkan betapa nestapanya hidup perempuan tersebut. "Dan terbukti benar kan. Dia itu cuma mau menguasai harta Ibu. Lihat sekarang, dia mencampakkan Ibu begitu saja. Jika dia pria baik, Rena rela pergi jika dia tidak mau melihat Rena. Tapi dia ... jahat, kejam, tidak punya hati." Nereida menunduk dia akui yang dikatakan Serena benar. Dia yang terlalu mencintai Frans, sampai rela dimanfaatkan. Hal inilah yang membuat keluarga Ravi murka, hingga membenci Nereida. Tersisa Ravi yang tetap bersikap baik pada Serena dan ibunya. "Hati-hati kalau sedang bicara." Nereida pada akhirnya hanya bisa memperingatkan Serena Jika ada yang mengadu, hukuman Serena bisa tambah berat. Terkadang dinding pun bisa mendengar. Namun Serena acuh saja. Dia menyandarkan tubuh ke dinding kayu. Coba melawan dingin yang masih menyiksa. Netra birunya memandang langit-langit tinggi di atasnya. Seingat Serena, dia dan ibunya sudah diperlakukan buruk sejak dia masih kecil lagi. Dulu dia tidak tahu kenapa dia dibedakan dalam segala hal. Lambat laun Serena akhirnya mengerti kalau dia bukanlah anak kandung Frans. Dia anak yang Nereida akui lahir dari pria yang tidak diketahui identitasnya. Bahkan sang ibu tidak tahu siapa yang sudah menanam benih malam itu. Serena disuruh bekerja di rumah itu jika ingin makan. Sebelum pergi bekerja di restoran, Serena harus membantu pekerjaan pekerja lain. Pun dengan sang ibu. Perempuan berstatus nyonya di kediaman besar tersebut punya pekerjaan mencuci piring dan merawat kebun. Padahal fisik Nereida sangat rapuh. Tapi Frans dan yang lainnya tidak peduli. Untungnya Serena masih diizinkan bersekolah, hingga gadis itu bisa membaca dan menulis. Tidak ketinggalan pelajaran meski hanya sampai sekolah menengah atas. "Ibu tahu kan, kalau aku tidak takut dengan apapun. Aku hanya takut jika Ibu kenapa-kenapa. Takut kalau Ibu terluka." Bulir bening mengalir dari mata Serena yang memandang kosong langit-langit gudang. "Ibu akan bertahan. Kamu jangan khawatir," ujar Nereida menenangkan. Tanpa sadar dia ikut menitikkan air mata. Sudah banyak penderitaan yang Serena alami. Dicaci, dimaki, dihina. Belum kekerasan fisik yang terkadang Serena terima karena hal sepele. Perempuan itu ingat bagaimana punggung Serena berdarah-darah saat Frans mencambuknya. Semua hanya karena laporan Thalia yang mengatakan kalau Serena menggoda Ravi. Thalia sudah lama menyukai Ravi Alexander, tapi pria itu tak pernah menggubrisnya. Ravi justru bersikap baik pada Serena. Hal ini yang memicu kemarahan Thalia. Nereida menghela napas. Serena harus pergi dari sini. Rumah ini bukan tempat yang aman untuk sang putri. Itu belum ancaman lain yang datang dari Anthony. Walau sudah punya tunangan, Anthony masih tetap mengincar Serena. Entah apa yang Anthony pikirkan. Pria itu beberapa kali mencoba menyentuh Serena. Namun sejauh ini usahanya selalu gagal. Mungkin karena Anthony tahu, Serena dan dirinya tidak ada hubungan darah. Thalia dan Anthony anak istri pertama Frans yang sudah meninggal, sebelum pria itu menikah kembali dengan Nereida. Tak selamanya Serena bisa menjaga diri jika Anthony terus mengincarnya. Maka jalan satu-satunya untuk menyelamatkan Serena adalah mengirim sang putri pergi dari tempat ini. Dipandanginya paras Serena yang tak kalah cantik dari Thalia. Ditambah mata biru menawan yang akan membuat siapapun terpana. Serena tinggal dipoles sedikit, dijamin kecantikannya akan menarik banyak pria untuk mendekat. Sungguh, Nereida tak pernah mau berpisah dari Serena. Tapi jika hanya itu yang bisa dilakukan, Nereida rela menjalaninya. "Rena, menikahlah dengan Alterio InzaghiHembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto
Max menghentikan tawa saat tatapan Al serasa mampu menghabisinya. "Kau lancang!" Maki Al tanpa mengalihkan pandangannya dari Max."Oh, ayolah Al. Aku hanya terdesak. Jadi ya aku asal berikan itu padanya. Buat ganti, lagi pula dia cuma berada di kamar. Kau saja yang lancang masuk ke kamarnya. Mau ngapain coba?" Max mengulum senyum, melihat wajah salah tingkah Al. Bagaimana Al tidak ingin menghajar Max. Dia masuk ke kamar Serena saat gadis itu hanya mengenakan lingerie tipis. Untung posisi Serena membelakangi pintu, hingga dia tak melihat Al masuk ke kamarnya.Al sendiri merasa heran, dia sudah terbiasa melihat banyak tubuh seksi disuguhkan padanya. Selama ini dia tidak pernah tergoda. Melihat mereka pun hanya sekilas.Namun semalam, semua terasa berbeda. Serena seperti punya magnet, membuat Al perlu lebih dari sepuluh menit sadar kalau dia berada di tempat yang salah.Apa karena Max menyatakan kalau Serena bisa dia tiduri, bisa mengandung anaknya. Haish! Al seketika mengumpat diriny
Hari masih gelap ketika suara tembakan beradu dengan sunyinya malam. Beberapa sosok berlari mengejar sejumlah orang. "Sial! Kenapa mereka susah sekali dibekuk. Tuan muda harus segera pulang. Pengantinnya sudah datang," ucap seorang pria dengan pierching menghiasi telinga dan alisnya Suara decakan kesal terdengar dari sosok dengan tubuh tinggi besar, menjulang. Wajahnya tertutup oleh masker, walau begitu ketampanannya tak perlu diragukan lagi. "Bagaimana Al? Sudah siap melepas masa lajang?" Sindir yang lain, pria yang tubuhnya juga tinggi tapi tak sebesar figur yang dipanggil Al tadi. "Berisik! Selesaikan mereka dulu, baru bahas perempuan," si Al menyahut. Deep voice-nya begitu sopan masuk ke telinga. Gelak tawa terdengar. Bisa mereka bayangkan bagaimana jengkelnya tampang si Al ini. "Lagian Al, kau mau-mau saja waktu si Anthony nyodorin adiknya buat kau kawinin." "Heh! Kau tahu tidak tujuan Al ngelakuin itu?" Pria bertindik melempar wacana di tengah adu peluru. "Apalagi, dia m
"Apa ini?" Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya."Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya.Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri."Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.”“Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu."Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya."Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al."Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan."Kau piki
Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang. Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap ac
Serena hanya diam selama perjalanan. Sepuluh menit berlalu sejak dia diseret Anthony masuk ke mobil. “Kita mau ke mana?” Tanya Serena penuh kewaspadaan. Dia lumayan mengenal karakter Anthony. Pria brengsek yang beberapa kali coba menyentuhnya. “Ke tempat di mana kita bisa senang-senang. Jangan cemas, kita bisa melakukannya. Ingat, tidak ada hubungan darah di antara kita," balas Anthony sembari tersenyum mesum. Serena lumayan terkejut, nekat juga Anthony ini. Dia tahu maksud kakak Thalia. Tapi Serena tidak akan sudi disentuh oleh lelaki berambut ikal di sampingnya. Maka ketika jalanan terlihat sepi. Serena memulai aksinya. Dia ganggu Anthony saat mengemudi. “Apa yang kau lakukan, ha? Kau ingin kita mati?!” Bentak Anthony. “Kau yang mati, aku masih mau hidup!” Hardik Serena balik tanpa takut. Serena terus mengacau Anthony. Mobil mulai oleng, bergerak tidak tentu arah. Hingga Anthony terpaksa mengerem mobil secara tiba-tiba. Serena nyaris terbentur dashboard jika dia tak men
Hembusan nafas terdengar dari bibir Serena. Gadis itu sedang duduk di taman kota. Setelah tubuhnya mampu bertahan dari guyuran air dingin. Serena berhasil menyelinap keluar rumah pagi tadi. Saat Frans, Thalia dan Anthony tidak ada di rumah. Serta semua staf sibuk dengan tugas masing-masing. "Halo, sudah lama menunggu?" Suara itu membuat Serena mengembangkan senyum dari balik masker. Pria di depannya memang selalu membawa kebahagiaan untuk Serena. Pantas saja jika putri Nereida menyukainya. Lelaki yang tak lain adalah Ravi Alexander. "Tidak juga," balas Serena. "Kamu pakai masker pasti dia habis memukulmu. Kenapa kalian tidak mau menerima bantuanku?" Ravi tampak prihatin dengan keadaan Serena. Dia tahu kalau Frans kerap melakukan kekerasan pada Serena. "Kata Ibu nanti akan jadi masalah buat Kakak. Jadi begini saja aku sudah senang." Netra Serena menyipit menandakan gadis itu sedang tersenyum lebar. Ravi mendengus sebelum mengusap puncak kepala Serena. "Yang sabar ya. Panggil ak
"Lepaskan aku! Ibu! Jangan sakiti ibuku!" "Rasakan ini! Rasakan!" Serena menggigil kedinginan ketika tubuhnya disiram air dingin bertubi-tubi. Siraman air berhenti, kini tubuhnya diseret paksa untuk kemudian dilempar ke dalam gudang. "Rasakan itu, berani kau menolak perintah Papa." Suara Thalia terdengar sangat puas, memandang tubuh Serena yang basah kuyup dengan bibir memucat, juga badan bergetar. "Ibu, Ibu! Ibu tidak apa-apa?" Serena merangkak ke arah sang ibu lalu membuka ikatan tangan dan kakinya. Juga lakban yang menutup mulut Nereida. "Rena, kamu kedinginan." Nereida berniat memeluk Serena. Tapi sang gadis menolak. "Nanti baju Ibu ikut basah. Rena tidak mau Ibu ikut sakit. Ini simpanlah." Serena mengulurkan sebotol obat yang ragu untuk Nereida terima. "Ini gaji terakhir Serena, Bu. Simpan, Serena tidak tahu lagi kapan akan mendapat uang untuk beli obat Ibu." Nereida segera memeluk Serena yang tampak pasrah, tak bisa menolak keinginan sang ibu. "Serena akan ba
"Kenapa saya harus menggantikan kak Thalia untuk menikah dengan orang itu?"Pertanyaan itu mengalir lancar dari bibir seorang gadis berpakaian lusuh dengan wajah kusam dan rambut diikat asal.Serena Valencia namanya. Hari ini dia baru dipecat dari restoran tempat dia bekerja sebagai pelayan. Semua karena ulah kakaknya sendiri.Thalia, perempuan yang kini duduk manis di sofa sambil memainkan kukunya yang dicat merah menyala. Kakaknya berulah, sengaja membuat keributan di restoran, hingga Serena yang kena akibatnya.Serena dipecat dari pekerjaan, yang jadi satu-satunya sumber pendapatan guna membeli obat untuk sang ibu. Ada seulas benci bersemayam di hati Serena untuk Thalia."Masih tanya kenapa? Tentu saja untuk menunjukkan kalau kau ada gunanya. Lihat! Kau hanya anak haram yang kubesarkan di rumahku. Sudah waktunya kau membalas budi." Seorang pria menjawab penuh emosi."Tapi, A-Tuan. Bukankah ini kesalahan Kak Anthony. Kenapa saya yang harus menanggungnya?"Yang disebut namanya meloto