"Datanglah, dan layani aku sekarang."
Kalimat yang terdengar di telinga Juliet itu selalu berhasil membuat dadanya serasa sesak dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Seharusnya dia sudah terbiasa. Ya. Bukankah kalimat itu selalu diucapkan oleh seorang Matthew Wiratama kepadanya melalui telepon, jika lelaki itu telah pulang ke rumah mewahnya? Masalahnya... Matthew tidak pernah kembali lagi ke rumah itu selama setahun terakhir ini karena harus mengurus bisnis barunya di Boston. Dan setahun tanpa harus melayani lelaki itu membuat Juliet merasa... seperti gadis biasa. Gadis normal yang seakan tidak memiliki beban berat di pundaknya. "Baik, Matthew. Aku mengerti," adalah jawaban standar dari Juliet sebelum gadis itu kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Takdir hidup telah menjadikannya seorang Juliet Amanda, yang telah menjadi anak yatim piatu 3 tahun yang lalu di usianya yang ke 16 tahun. Dan Matthew Wiratama yang baik hati serta pemaaf, yang dengan hati seluas samudra pun mau menampung gadis yang telah kehilangan ayahnya karena kecelakaan itu. Atau setidaknya begitulah yang orang-orang kira mengenai hubungannya dengan Matthew. Almarhum ayah Juliet adalah satu-satunya orang tua yang gadis itu miliki, dan ayahnya adalah supir yang bekerja untuk keluarga Wiratama. Di hari yang naas itu, ayah Juliet sedang membawa mobil mewah dengan penumpangnya adalah ayah dan ibu Matthew. Mereka hendak menghadiri sebuah undangan pernikahan anak dari kolega ayah Matthew. Di tengah jalan, mobil itu oleng dan menurut beberapa saksi mata sempat berjalan zig zag sebelum menabrak sebuah truk dan terhempas ke pinggir jalan dengan posisi terbalik. Ketiganya pun langsung tewas di tempat dengan kondisi yang mengenaskan. Saat itu dunia Juliet serasa runtuh. Ia tidak memiliki siapa pun selain ayahnya. Ibunya telah meninggal dunia sejak ia kecil. Sanak saudara pun tak punya. Di usia 16 tahun, Juliet harus hidup sebatang kara seorang diri. Namun di siang hari itu, suara ketukan di pintu serta seraut wajah yang luar biasa tampan namun sangat dingin membuat Juliet terkejut. Kedatangan Matthew Wiratama ke rumahnya adalah sebuah kejutan yang tak ia sangka. Apalagi... ternyata lelaki itu pun ingin membantunya. Meskipun semuanya tidak seperti yang ia kira sebelumnya, dan Juliet pun kini hanya bisa menyesali hari pertemuannya dengan Matthew waktu itu. "Juliet, kamu sudah mau pulang?" Tanya Sienna, satu-satunya teman yang Juliet miliki, menatapnya yang sedang merapikan semua alat tulisnya. Saat ini mereka sedang berada di perpustakaan untuk sama-sama mengerjakan tugas kuliah. Juliet tersenyum dan mengangguk kecil kepada gadis berkacamata itu. "Matthew sudah pulang, jadi aku harus sudah berada di rumah sebelum malam, Sienna." "Oh. Jadi kakak angkatmu yang tampan, baik dan kaya itu sudah kembali dari Amerika?? Aah, senangnya! Kalian pasti mau kangen-kangenan ya?!" Mata sipit Sienna semakin menyipit dan membentuk sebuah garis ketika gadis itu tersenyum lebar. Ah, Sienna tidak tahu saja Matthew yang sebenarnya. Juliet memang merahasiakan hubungan amoral antara dirinya dan Matthew, selain karena perintah dari lelaki itu, juga karena ia pun malu karena posisinya yang sesungguhnya adalah menjadi wanita penghangat ranjang bagi Matthew. "Aku duluan, Sienna." Tanpa menjawab pertanyaan Sienna, Juliet segera memeluk buku-buku tebal yang ia pinjam dari perpustakaan dan menyampirkan tasnya di pundak. Ia merapikan semua peralatannya dengan cepat seolah dikejar waktu. "Hei, Juliet! Bukumu masih ada padaku--" "Simpan saja!" Ucap tegas Juliet sembari melambaikan tangan kepada Sienna. Baru saja ia hendak berlalu, tetiba Juliet teringat satu hal penting yang harus ia sampaikan kepada satu-satunya teman yang ia miliki di kampus ini. "Uhm, Sienna... ponselku akan dimatikan selama ada Matthew di rumah." "Hah? Jadi gimana caranya aku bisa menghubungi kamu?" Tanya Sienna heran. Juliet pun meringis dalam hati membayangkan jika temannya itu menelepon atau sekedar chattingan dan Matthew memergokinya. Ya Tuhan. Itu akan sangat menakutkan, karena Matthew tidak mengijinkan Juliet memiliki teman. "Yaa... sementara ini kamu nggak bisa. Kalau kamu mau cerita apa pun kan bisa saat di kampus. Oke? Maaf, aku buru-buru. Bye, Sienna." Langkah kaki cepat Juliet pun segera mengayun, mengurungkan kalimat tanya yang kembali akan keluar dari bibir Sienna. Gadis berkacamata itu hanya bisa menatap temannya yang telah setengah berlari dari kejauhan, dan tersenyum sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Segitu kangennya Juliet sama kakak angkatnya ya? Hahaa..." *** Juliet memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Peduli setan kalau dirinya kena tilang! Lebih baik dia berurusan dengan Polisi daripada dengan Matthew. Lagipula toh Matthew telah kembali ke Jakarta. Dan tak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan oleh seorang Matthew Wiratama. 'Ah, sial!!! Kenapa pula harus macet di sini!!' Juliet mengutuk kota ini dengan segala eksistensi di dalamnya. Jakarta, kota dimana dirinya telah dilahirkan, ditinggalkan, dan dilecehkan. Desahan penuh kepasrahan pun akhirnya keluar dari bibir ranum merah muda tanpa perona itu, ketika jalan pintas yang ia kira dapat menghemat waktu pun ternyata dipenuhi kendaraan yang memadati jalan. Juliet menatap tangannya yang mulai berkeringat dan gemetar. Hal yang selalu terjadi jika ia akan bertemu dengan Matthew setelah sekian lama tak berjumpa. Semoga saja Matthew tidak marah, dan tidak memberinya hukuman karena terlambat. Atau, semoga saja jalanan ini secara ajaib lancar tanpa macet. Ya, semoga. Tak berapa lama kemudian, ternyata salah satu dari doa Juliet pun terkabul. Kemacetan itu perlahan mulai terurai, dan gadis itu pun berseru gembira sebelum mulai kembali tancap gas. Sekitar empat puluh lima menit kemudian, mobil Juliet telah sampai di sebuah kediaman yang berdiri megah dan angkuh, sebuah properti milik Matthew Wiratama. Rumah ini bukanlah rumah utama keluarga Wiratama dimana dulu kedua orang tua Matthew masih hidup, tapi seperti rumah kedua. Rumah dimana Juliet tinggal, sengaja dijauhkan dari keluarga besar Wiratama seperti seorang wanita simpanan. Tidak, tidak 'seperti', tapi dia memang wanita simpanan, meskipun Matthew sendiri sesungguhnya juga belum berkeluarga. Pertanyaan pun akan timbul, apakah Juliet tidak pernah berniat untuk melarikan diri saja? Dan jawabannya adalah... sudah beberapa kali ia mencoba, dan berulang kali pula antek-antek Matthew Wiratama selalu berhasil menemukannya. Bahkan mungkin sudah ratusan kali Juliet mencoba untuk kabur sejak pertama kali Matthew menyentuhnya di usia 16 tahun, tapi semua percuma. Juliet hanya akan kembali lagi ke hadapan lelaki yang mengklaim tubuh Juliet sebagai miliknya. "Nona Juliet, cepatlah! Tuan Matthew telah menunggu Anda sejak tadi!" Seorang pelayan di rumah mewah milik Matthew Wiratama menyapa panik Juliet yang baru saja turun dari mobilnya. "Kenapa Matthew tidak memberi kabar jika mau pulang?" Keluh Juliet yang tangannya langsung ditarik oleh Tiana, pelayan yang kini tengah menyeret dirinya ke dalam rumah. "Tuan Matthew terlihat sangat marah ketika tidak menemukan Anda di rumah sesore ini, Nona," ucap Tiana dengan suara pelan saat mereka menaiki tangga yang sangat besar dan mewah, dengan karpet tebal nan lembut yang melapisi dan ukiran dari emas yang menghiasi bagian railing-nya. Tiana masih terus menarik tangan Juliet sembari meracau tentang sikap Matthew, yang melempar semua isi di dalam kamarnya karena murka ketika lelaki itu tidak menemukan Juliet di mana pun. Ya ampun. Ini benar-benar sial. Ya, Juliet sadar jika ia telah melakukan kesalahan dengan melanggar salah satu peraturan dari Matthew, yaitu harus telah berada di rumah sebelum jam tiga sore. Padahal saat ini waktu telah menunjukkan hampir jam lima. Juliet pun hanya bisa meneguk ludahnya ketika melihat Matthew yang berdiri di antara celah pintu kamar gadis itu yang terbuka. Tiana telah lari terbirit-birit, meninggalkan dirinya dengan ketakutan ketika melihat ekspresi dingin di wajah Tuannya. "Ha-halo, Matthew. Maaf, aku terlambat..." Suara lembut Juliet itu nyatanya tak juga membuat Matthew tergerak untuk menjawab. Manik coklatnya hanya menatap wajah cantik gadis di depannya dalam diam dengan tatapan tak terbaca. Meneliti senti demi senti kulit putih pucat dengan semburat rona jingga yang cantik jika ia cubit atau hisap kuat-kuat. Juliet pun ikut menatap wajah lelaki yang telah memiliki tubuhnya sejak gadis itu berusia 16 tahun. Waktu setahun ternyata mampu membuat seseorang yang telah sempurna secara fisik, menjadi lebih sempurna seakan tanpa cela. Bagaimana mungkin ada manusia yang setampan ini? Juliet merasa bahwa hal itu sangat tidak adil, apalagi karena Matthew bukan saja tampan, tapi juga kaya raya dan berkuasa. Seakan dunia pun ikut bertekuk lutut di depannya. Matthew terus menatap intens gadis di depannya. Matanya berkilat lapar, bagai serigala yang melihat mangsa lemah tak berdaya di hadapannya yang siap untuk diterkam. Ia tak berkata apa pun, hanya menggeser sedikit tubuhnya agar Juliet dapat masuk ke dalam kamar. Namun ketika gadis itu berjalan hendak masuk, Matthew langsung menyambar pinggang ramping Juliet dan mendekatkan wajahnya. "Hm..." Matthew mengendus rambut hitam berkilat itu dari ubun-ubun kepala Juliet, lalu turun ke telinga dan lehernya. Ia terus mengendus kulit putih pucat dengan aroma vanilla yang memabukkan. Juliet membiarkan lelaki itu menghirup tubuhnya sepuasnya, hal yang kerapkali dilakukan Matthew pada saat pertama kali mereka berjumpa setelah sekian lama. "Aaakh!!" Juliet menjerit kaget ketika tiba-tiba saja Matthew menggigit bahunya hingga tanpa sadar setitik cairan bening pun muncul di sudut mata gadis itu. Sakit. "Itu untuk hukuman karena telah membuatku menunggumu," ucap suara berat dan serak yang mengalun di telinga Juliet. Juliet kembali menjerit kaget ketika Matthew menggendong tubuhnya dengan kasar dan menjatuhkannya di atas ranjang dengan keras. Matthew yang masih berdiri di sisi ranjang kini mulai menggerakkan tangannya untuk melepaskan jas navy mahal yang membalut tubuhnya dengan pas, lalu mencabut asal kemeja putih bersih dari balik lingkar pinggang celana dan membuka kancingnya. SREEEK!!! Dan sekarang kemeja putih bersih itu pun telah bernasib sama seperti jas yang telah ia lempar sebelumnya, teronggok tak berbentuk di atas lantai. Kini bagian atas tubuh Matthew telah terpampang polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, memperlihatkan sebuah simbol kemaskulinan seorang pria dengan otot-otot indah yang memenuhi setiap jengkal kulitnya. Matthew memiliki darah blasteran Indonesia dan Amerika. Papanya, Ibram Wiratama adalah asli Indonesia, sedangkan ibunya, Kayana Wiratama adalah seorang mantan supermodel berdarah asli Amerika. Wajah rupawan lelaki itu adalah sebuah perpaduan sempurna dari aura ketegasan penuh intimidasi dari almarhum Ibram Wiratama, dan juga kecantikan dari almarhumah Kayana. Kedua orang tua Matthew yang telah tiada karena kecelakaan lalu lintas. Juliet menatap otot-otot yang memenuhi tubuh lelaki rupawan itu. Apakah ini hanya imajinasinya, ataukah memang tubuh Matthew semakin berotot? Mungkin selama setahun di Amerika dia semakin rajin berlatih di gym. "Apa yang kamu tunggu?" Suara maskulin itu memecah keheningan di antara mereka, serta membuat Juliet tersadar dari lamunannya. "Cepat kemari, Juliet. Aku sudah membuka sendiri busanaku di bagian atas. Dan sekarang giliranmu untuk membuka di bagian bawah." ***Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh Juliet saat menjadi seorang wanita simpanan untuk seorang Matthew Wiratama.Peraturan pertama : selalu patuh dan taat pada apa pun yang diperintahkan.Sebagai pemimpin tertinggi Wiratama Fleet Service, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi laut, darat dan udara, Matthew memiliki ego yang tinggi.Ia sudah menjadi pemimpin perusahaan multimiliar dollar di usia yang cukup belia, 27 tahun. Warisan yang ia dapatkan setelah ayahnya, Ibram Wiratama, meninggal dalam sebuah kecelakaan.Kejeniusan dan kecerdasan lelaki itu membuat Wiratama Fleet Service tetap survive, meskipun selama beberapa saat sempat kolaps karena kehilangan sosok pemimpinnya yaitu Ibram Wiratama.Matthew berhasil membawa perusahaannya keluar dari krisis, dan setelah itu dirinya pun mampu mendapatkan kepercayaan dari para pemegang saham serta secara resmi menduduki posisi menggantikan almarhum ayahnya sebagai CEO.Kegemilangan yang ia peroleh mendapatkan
Bagaikan sehabis diterjang badai super dahsyat.Begitulah kiranya apa yang terlihat pada ranjang dimana Juliet berada. Semuanya kacau dan semuanya tidak berada di tempatnya. Seprai sutra yang tadinya rapi melapisi kasur lembut nan empuk kini telah tercerabut kasar dan kusut tak berbentuk.Semua bantal dan guling telah teronggok di atas lantai, tercampakkan begitu saja oleh Matthew yang merasa terganggu dengan keberadaan benda-benda itu saat tubuhnya berada di atas tubuh Juliet.Sangat cocok dengan situasi di sekelilingnya, yang juga sama porak-porandanya karena dihancurkan oleh Matthew yang kesal karena Juliet tidak berada di rumah ketika ia pulang.Salah satu benda yang masih sesuai dengan tempat serta fungsinya adalah selimut sutra, yang kini sedang menutupi tubuh polos Juliet yang penuh keringat dan gemetar karena kelelahan.'Syukurlah, paling tidak untuk sekarang ini semuanya telah usai', desah Juliet dalam hati sembari memejamkan matanya. Tak ada yang berubah dari Matthew selama
"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah.""Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan."Memangnya kemana mereka semua?""Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya."Libur?""Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu."GLEK.Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hi
"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya."Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran."Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab."Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren."Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, me
Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes