Share

6. The Painful Memories

Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.

Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.

Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet.

"Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.

Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.

Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah karena dirinya.

Saat Juliet mengatakan bahwa ia ingin ke pantai, Matthew pun segera memutar kendali setirnya menuju ke arah sebuah hotel.

Ya, hotel.

Seorang Matthew Wiratama tidak akan mau repot-repot menyetir ke arah pantai, maka lelaki itu lebih memilih datang ke hotel yang menyediakan fasilitas helikopter.

Matthew membawa Juliet ke sebuah pulau kecil di gugusan Kepulauan Seribu, dan menyewa seluruh resort yang ada di sana. Meskipun menurutnya apa yang dilakukan Matthew terlalu berlebihan, tapi Juliet juga tak heran lagi. Lelaki itu memang sangat menyukai privacy.

Juliet membalikkan badannya menghadap Matthew yang masih diam tak bergeming di atas hammock, dan gadis itu pun melambaikan tangannya.

"Matthew! Ayo main air bersamaku!" Teriak gadis itu penuh semangat.

Matthew menatap malas kepada seorang gadis yang kini berlari kecil menuju ke tempatnya berada.

"Ck. Jangan dekat-dekat," desis lelaki itu sembari berdecak. "Tubuhmu basah semua, Juliet."

Juliet pun sontak menghentikan langkahnya dengan wajah yang tertegun dan sedikit cemberut. "Tapi kita sedang di pantai. Sudah sewajarnya basah-basahan, kan?"

"Terserah. Tapi aku tidak suka."

Juliet pun serta-merta terdiam mendengarnya. Ah, kenapa Matthew kembali ke mode dingin lagi sih? Padahal sebelumnya mereka sempat mengobrol ketika berada di dalam helikopter.

Tapi Juliet memutuskan untuk tidak menyerah. Ia akan lebih berani kali ini, karena melihat ada kesempatan untuk lebih dekat dengan Matthew, yang sekarang jauh lebih manusiawi setelah pulang dari Amerika.

Lagipula, bermain di pantai hanya sendirian tanpa teman itu lama-lama membosankan juga.

Dengan memberanikan diri alias bermodal nekat, Juliet membungkukkan badannya untuk meraup pasir basah di dekat kakinya dengan jemari. Tangannya sedikit bergetar karena takut akan konsekuensi yang mungkin akan ia terima, yaitu Matthew yang marah besar dan menghukumnya.

Tapi jika tidak dicoba, bagaimana hubungan mereka bisa berkembang? Dan bagaimana rencana Juliet bisa berjalan?

"AAAAAHHH!!! JULIET!!!" Matthew berteriak keras ketika merasakan butiran pasir basah yang dilemparkan Juliet ke dadanya yang tidak mengenakan baju. Karena cuaca yang panas, Matthew pun membuka kaus berkerahnya, dan hanya mengenakan celana jeans santai yang masih melekat di tubuhnya.

Juliet terkikik geli dan memutuskan untuk mengayunkan langkahnya berlari ke arah pantai. Semoga saja kali Matthew akan mengejar dirinya.

Dan ternyata apa yang diharapkan oleh gadis itu pun seketika terkabul.

"Awas kau!!" Teriak Matthew dengan geram. Lelaki itu beranjak berdiri dari hammock, berlari untuk mengejar Juliet.

Meskipun gadis itu telah berlari lebih dulu, namun kaki panjang Matthew tentu saja dapat menyusulnya dengan mudah. Tak butuh waktu lama bagi Matthew untuk menangkap pinggang Juliet dari belakang serta mengangkat tubuh gadis itu tinggi-tinggi ke atas.

Juliet memekik dan tertawa lepas ketika Matthew mengayunkan tubuhnya, bersikap seakan ingin melempar diri Juliet ke dalam air.

"Matthew... lepass!!" Jerit Juliet, ketika Matthew dengan sengaja berulang-ulang kali hendak melemparnya ke air.

"Lepas? Oke." Dengan santainya Matthew kemudian benar-benar melempar tubuh Juliet beberapa meter ke dalam air, membuat gadis itu terbenam seluruhnya dari ujung kaki hingga ke pangkal rambut.

Ketika Juliet menyembulkan kepalanya, Matthew pun ikut melompat dan menceburkan dirinya, berenang sedikit untuk mendekat ke arah Juliet.

"Dasar gadis nakal," geramnya sembari menjambak rambut panjang Juliet. "Kamu mulai berani melemparku dengan tanah basah, hm?"

Alih-alih merasa takut dengan kilatan amarah yang terlukis pada sorot manik coklat Matthew, Juliet malah semakin mendekatkan tubuhnya. Kedua tangannya mengalung di leher Matthew, dengan kedua kakinya melingkar di pinggang lelaki itu.

Gadis itu sengaja melukis secercah senyum penuh pesona di wajahnya, tahu bahwa semua sikapnya yang menggoda itu telah membuat Matthew mulai tergugah.

"Aku tidak suka basah sendirian," bisik Juliet pelan namun penuh arti, setelah mendekatkan bibirnya di telinga Matthew.

Kobaran api mulai memenuhi bola mata sewarna pasir pantai milik Matthew. Suara lembut yang berbisik di telinganya telah membuat napas lelaki itu mulai memburu. Seringai yang terpulas di wajahnya sesungguhnya membuat Juliet bergidik. Matthew terlihat sangat tampan, namun juga sekaligus menakutkan.

"Setahun kutinggalkan, kamu sudah mulai pintar menggoda ya? Siapa yang mengajarimu, Juliet? Apa kamu diam-diam memiliki pacar di belakangku, hm?"

Senyum yang semula terukir di wajah Juliet pun sontak menghilang ketika Matthew melepas jambakannya di rambut Juliet, lalu tiba-tiba saja lelaki itu mengelus-elus leher jenjangnya. Seketika kenangan mengerikan saat pertama kali Matthew menidurinya di masa lalu kembali terngiang di pikiran Juliet.

Seluruh tubuhnya mulai gemetar. Juliet masih ingat semua rasa sakit itu. Bagaimana Matthew melakukannya dengan kasar dan penuh amarah.

Bahkan saat itu Juliet mengira dirinya akan mati di tangan lelaki berwajah setampan malaikat, yang semula ia kira adalah pangeran berkuda yang akan menyelamatkan dirinya yang yatim piatu dan sebatang kara di usia semuda itu.

Juliet takut sekali Matthew akan mencekik lehernya, hal yang dulu lelaki itu juga lakukan sembari merampas kesuciannya. Meninggalkan bekas memerah yang menyakitkan di lehernya.

"M-Matthew..." Juliet mulai menggigil ketakutan ketika lehernya telah tertutupi oleh seluruh jemari lelaki itu. Manik legamnya mulai berkaca-kaca. Matthew memang tidak mengencangkan cengkeramannya di leher Juliet, tapi kenangan buruk di masa lalu telah membuatnya trauma.

"Jawab pertanyaanku, Juliet. Apa kamu diam-diam memiliki lelaki lain di belakangku?"

Juliet menggeleng kuat-kuat dengan sebutir air mata yang mulai jatuh membasahi wajahnya, diikuti oleh sebutir lagi yang ikut luruh menyusul.

"Tidak pernah ada lelaki lain, Matthew," bisiknya lirih dengan tangis yang tertahan.

Manik coklat yang semula berkilat marah itu kini mulai sedikit meredup. Sedikit. Sebelum dengusan tajam keluar dari bibir Matthew.

"Teruslah melingkarkan kedua tangan dan kakimu padaku," titah lelaki itu kemudian. Tangan Matthew kini bertengger di bokong Juliet yang berada di dalam air, lalu meremasnya dengan kuat.

Matthew pun menyerang bibir Juliet yang lembut dan manis seperti es krim stroberi itu dengan buas dan menuntut. Bahkan juga menggigitnya.

Perlahan langkah kaki panjang lelaki itu menapak keluar dari kedalaman air laut yang dangkal. Matthew sama sekali tidak melepaskan pagutannya dari bibir Juliet, sama seperti gadis itu yang juga tidak melepaskan dirinya yang masih menempel pada Matthew.

Ia tidak berani.

Untuk kali ini Juliet memang mengambil resiko yang terlalu tinggi dengan melemparkan pasir ke tubuh Matthew, serta menggoda lelaki itu dengan sikap layaknya wanita binal.

Tadinya Juliet mengira kalau Matthew telah berubah menjadi sedikit lebih lunak sepulangnya dari Amerika, dan ia ingin mengambil kesempatan itu untuk kepentingan rencana balas dendamnya.

Tapi ternyata Juliet telah salah perhitungan.

Meskipun Matthew terlihat jauh lebih jinak dibandingkan setahun yang lalu sebelum kelergiannya ke Amerika, tapi ternyata lelaki itu masih tetap sama.

"Uuhk!!" Juliet terkejut ketika Matthew tiba-tiba saja membanting tubuhnya di atas pasir basah yang lembut, ketika mereka telah sampai di bibir pantai.

Matthew segera mengungkung tubuh Juliet di bawahnya. Manik coklat lelaki itu menatap siluet sensual dari gaun Juliet yang basah dan menempel di dadanya, mencetak bulatan sempurna itu dengan sangat jelas. Matthew pun merasakan darahnya semakin berdesir hebat.

"Matthew, jangan di sini...," ringis Juliet memohon ketika lelaki itu menarik kasar gaun Juliet ke atas, dengan jemari yang mulai menyelinap masuk ke dalam pakaian dalam gadis itu dan bergerilya di sana.

"Peraturan ke-empat, Juliet. Ingat?" Desis Matthew dengan gelora yang telah menguasai dirinya. Rintihan lirih Juliet serta kaki gadis itu yang mengais tanah memberontak membuat jemari Matthew semakin beringas memporak-porandakan bagian lembut dan sensitif gadis itu.

Ia bahkan tak peduli lagi bahwa saat ini mereka berdua tengah berada di tempat terbuka, meskipun Matthew berani jamin tak akan ada yang berani mengganggu mereka karena seluruh pulau ini telah ia sewa.

Ketika suara jeritan tertahan keluar dari bibir Juliet disertai bukti pelepasannya yang membasahi jemari Matthew, lelaki itu pun menyeringai penuh kepuasan.

Sejenak Matthew mendaratkan kecupan keras di bibir Juliet yang sedikit membuka dengan desahan napas ribut yang menguar dari sana.

"Peraturan ke-empat. Harus selalu bersedia kapanpun dan dimanapun aku menginginkannya. Ingatlah selalu akan hal itu, Juliet Amanda," bisik Matthew di telinga gadis itu, sebelum ia menjamah tubuh menawan Juliet dengan lebih intim dan menyeluruh.

***

Isakan tangis penuh kepiluan keluar dari bibir gadis kecil yang masih berusia sepuluh tahun itu. Rambutnya yang panjang dan dikuncir ikut bergerak-gerak perlahan mengikuti gerakan kepalanya yang tergugu dalam isakan.

Matanya yang sembab karena tangis yang tiada henti, tak lepas mengarah kepada sebuah pusara bertanah merah basah di depannya.

Seorang lelaki memeluknya erat, lalu mengecup lembut puncak kepala anak perempuan itu dengan penuh kasih sayang.

"Ibumu sudah tenang bersama Tuhan, Juliet," ucap suara serak karena tangis yang sama. Matanya pun merah dan juga sembab. "Kita harus merelakannya, agar ibumu bisa beristirahat dengan tenang, Sayang." Lelaki itu kemudian menghapus air mata putrinya yang tak berhenti berlinang.

Sang istri yang telah sakit-sakitan selama beberapa tahun terakhir, kini akhirnya terpaksa menyerah juga pada takdir setelah berjuang begitu lama.

"Ayah, tolong jangan pernah pergi meninggalkanku seperti ibu," ucap gadis kecil itu seraya memeluk ayahnya erat-erat. "Huu... huu... Aku tidak akan sanggup merasakan sakit yang seperti ini lagi. Berjanjilah, ayah. Berjanjilah tidak akan meninggalkanku sendirian!"

Dada sang ayah serasa semakin sesak, ketika mendengar kalimat yang diucapkan dalam tangis sesenggrukan putrinya. Mereka berdua berpelukan erat, tak peduli dengan rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi.

Para pelayat yang datang pun ikut terharu melihat bagaimana ayah dan putrinya itu menangisi orang terkasih mereka yang telah berada di dalam perut bumi.

Termasuk di antara mereka adalah seorang pemuda tampan berusia 21 tahun, yang tak hentinya menatap kedua orang yang sedang berpelukan dalam kesedihan itu.

"Matthew, ayo kita pulang."

Pemuda itu mengalihkan wajahnya kepada sang ayah, Ibram Wiratama, yang baru saja mengajaknya untuk pulang.

"Apa kita tidak menemui Pak Bayu dulu?" Tanya Matthew kepada ayahnya. "Sekedar mengucapkan belansungkawa sekaligus pamit," tambahnya lagi.

Ayahnya terdiam sesaat, lalu seulas senyum tipis terpulas di wajahnya. "Silahkan kamu saja yang menemui Bayu. Ayah akan menunggumu di sini."

Matthew mengangguk, berusaha mengerti meskipun tidak bisa memahami. Ia memang tahu sudah sejak lama ayahnya kurang menyukai Pak Bayu, supir pribadi ibunya dengan alasan yang entah apa.

Suara langkah kaki Matthew yang mulai mendekat, membuat Bayu pun serta merta menoleh kepadanya.

"Saya turut berduka atas kehilangan istri tercinta, Pak Bayu." Sebuah senyum sopan dan jabat tangan penuh hormat terulur untuk lelaki yang masih memeluk putrinya itu.

"Tuan Muda Matthew." Bayu melepaskan pelukan dari tubuh putrinya untuk menyambut uluran tangan Matthew.

"Terima kasih sekali sudah ikut hadir dalam pemakaman ini. Saya baru tahu kalau Tuan Muda berada di Jakarta."

Matthew mengangguk kecil. "Kebetulan kuliah sedang libur, jadi saya memutuskan untuk pulang."

Bayu kemudian menatap putrinya yang sejak tadi hanya terdiam. "Juliet, ayo beri salam kepada Tuan Muda Matthew. Beliau ini adalah putra dari Pak Ibram dan Ibu Kayana."

Gadis kecil itu menatap lelaki tinggi di depannya dengan tatapan kosong. Rasa kehilangan yang amat besar masih begitu jelas tergambar di wajahnya, membuat Juliet tidak bisa fokus pada semuanya.

"Halo, Tuan Muda Matthew. Apa kabar?"

Matthew tersenyum sedih kepada gadis kecil yang usianya 11 tahun di bawahnya itu. Kasihan sekali. Maniknya yang legam terlihat hampa karena ditinggal ibunya.

"Halo, Juliet. Namamu indah sekali. Mengingatkanku pada salah satu cerita Shakespeare," ungkap Matthew.

"Ibuku yang memberi nama itu, karena ibu menyukai kisah Romeo dan Juliet," cetus gadis kecil itu dengan wajah sendu.

"Tapi bukankah kisah mereka berakhir menyedihkan?" Tanya Matthew penasaran.

"Kata ibu, itu adalah kisah di dalam cerita Shakespeare. Dan aku akan mengubahnya menjadi bahagia di dunia nyata," sahut Juliet lagi, kali ini mulai ada sedikit senyum di bibirnya.

"Wow. Ibumu keren sekali," puji Matthew tulus, yang membuat senyum Juliet semakin lebar.

"Ya, ibuku memang sangat keren."

***

Kedua kelopak mata Matthew perlahan membuka, setelah sekelebat kenangan menyapa mimpi dalam lelapnya.

Kepalanya tertoleh ke samping, untuk menemukan seorang gadis yang tidur dengan sangat nyenyak di sisi tempat tidurnya. Belasan jejak kemerahan memenuhi leher, dada, tangan, perut bahkan paha putih pucat dan mulus itu.

Matthew selalu tak bisa menahan hasratnya yang meledak-ledak bagai hewan buas yang memangsa buruannya jika berada di samping Juliet.

Wajah pulas gadis itu terlihat sangat damai ketika terlelap seperti ini.

"Cantik," guman Matthew saat memandangi manik besar yang terpejam rapat dan bibir penuh yang mengundang milik Juliet. Cantik seperti bidadari.

Matthew hampir saja terbuai dengan perasaannya sendiri kala menatap sosok menawan di sampingnya, ketika ia kembali mengingat alasan kenapa dirinya begitu membenci Juliet dan Bayu, ayah gadis itu.

Sebuah kenangan lain, yang membuatnya muak dan murka. Kenangan yang terjadi beberapa tahun setelah kematian ibunda Juliet, dan beberapa hari sebelum kejadian naas yang menimpa Ibram, Kayana, dan Bayu.

Yaitu kenangan saat Matthew memergoki ayah dan ibunya tengah bertengkar hebat suatu hari, dan mengetahui bahwa penyebab pertengkaran mereka adalah karena perselingkuhan ibunya.

"Aku tidak mencintaimu lagi, Ibram," ucap Kayana, sang ibu, waktu itu.

Matthew yang mencuri dengar perkataan ibunya dari balik pintu hanya bisa gemetar tak percaya mendengarnya.

"Lalu apa maumu, Kayana? Hah?? Kamu mau meminta cerai dariku dan menikahi bajingan itu?! Apa kamu sudah gila?!! Jika kamu memang tidak mencintaiku lagi, setidaknya pikirkanlah Matthew putramu, Sialan!!" Bentak Ibram dengan bola mata berkilat gusar.

Kayana mengangkat dagunya tinggi-tinggi dengan wajah sedingin salju yang membeku di tengah musim dingin.

"Aku tidak akan pernah malu untuk mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padanya, Ibram. Ya, aku jatuh cinta pada lelaki yang memberiku kasih sayang yang begitu besar dan tidak pernah kudapatkan darimu!"

Kedua suami istri itu kemudian saling berpandangan dengan tatapan yang sama-sama menyiratkan benci.

"Dan Matthew adalah lelaki dewasa sekarang. Dia sangat pintar dan mandiri, berbeda dengan Juliet yang masih remaja dan membutuhkan sosok ibu di sisinya. Ceraikan aku sekarang juga, Ibram. Agar aku dan Bayu bisa segera menikah secepatnya."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status