"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?"
Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga. 'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati. 'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.' Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap. "Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya. "Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?" Tanya Juliet dengan wajah penuh harap, yang tentu sengaja ia berikan untuk memberikan ego Matthew sebuah pancingan yang sempurna. Matthew itu lelaki dominan dengan ego setinggi langit, yang menyukai segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kehendaknya. Dan sangat, sangat, sangat suka ketika Juliet memohon-mohon kepadanya. Gadis itu tahu bahwa ia harus dapat memainkan kartunya dengan benar, tepat dan jangan sampai salah langkah. Meskipun terkadang ia harus mempertaruhkan segalanya dan bertindak lebih berani dengan segala resiko yang ada. Matthew menggerakkan jemarinya di pipi seputih salju itu, mengusapnya dengan perlahan untuk merasakan kelembutannya. Bola mata coklat pasirnya lekat menatap manik bening Juliet yang manis dan bercahaya karena pantulan sinar lampu. Meskipun berat, tapi harus ia akui bahwa sesungguhnya Juliet adalah kelemahannya. Gadis kecil yang terisak dengan tangisan yang menyayat hati di makam ibunya 9 tahun yang lalu. Juliet masih berusia 10 tahun saat itu, dan Matthew 21 tahun. Siapa yang akan menyangka jika kini gadis kecil itu telah membuatnya tergila-gila? "Ya, kita bisa," ucap Matthew pada akhirnya. "Jika kamu menginginkannya, kita bisa melakukan itu, Juliet." Senyum secerah mentari pun sontak merekah di bibir merah muda gadis itu. Wah, ini terlalu mudah! Juliet bahkan tadinya mengira kalau Matthew akan marah dan menghukumnya karena permintaannya barusan! "Sungguh, Matthew? Kamu tidak akan menarik kembali perkataanmu kan?" Matthew yang masih terpukau dengan senyum secantik bidadari yang barusan terlukis di bibir Juliet, kini mulai tersadar. Selama ini gadis itu sangat jarang sekali tersenyum. Tidak, mungkin hampir tidak pernah. Dan Matthew pun tidak pernah mempermasalahkannya, selama ia masih bisa menikmati tubuh menawan gadis itu sepuasnya. Lelaki itu mengusapkan ibu jarinya di bibir penuh yang lembut milik Juliet. Senyum itu telah mengusik hatinya. Membuat sesuatu di dalam dirinya juga menginginkan senyum itu bagai candu seperti bagaimana candunya Matthew kepada tubuh indah gadis ini. "Tidak. Aku tidak akan menariknya kembali," sahut Matthew akhirnya. Ia lalu mengecup bibir sensual itu dengan gemas. Memagutnya kembali karena rasa bibir semanis dan selembut es krim itu selalu membuatnya tergugah. "Selama kamu selalu berada di sisiku, Juliet. Ayo kita lakukan ini semua seperti yang kamu inginkan." *** Juliet terbangun di pagi itu karena mendapatkan hujan ciuman yang bertubi-tubi di wajahnya. Sambil terkikik geli, Juliet membiarkan lelaki bersurai coklat gelap itu memuaskan diri untuk mengecup wajah, leher, lalu turun ke pundaknya. Matthew juga memberikan kecupan di sepanjang tulang selangka Juliet yang menyembul cantik, serta dada bulat sempurna favoritnya. "Matthew, sekarang sudah jam tujuh," seru Juliet yang kaget ketika melihat jam dinding di kamar Matthew. "Bukankah hari ini kamu bekerja?" Tak ada suara selain gumanan pelan tanpa kata dari Matthew yang masih betah mencecap Juliet. Semalam mereka telah kembali ke rumah, setelah seharian puas berwisata di resort Kepulauan Seribu. Sebuah kesepakatan baru yang tercipta di antara mereka memberikan dampak yang sangat positif bagi Matthew. Tak ada lagi tatapan dan sikap yang dingin, tak ada lagi perkataan kasar yang sering membuat Juliet memendam kesal. Meskipun Matthew sama sekali tidak berubah di ranjang, tetap ganas dan tidak bisa menahan dirinya. Mereka kini telah sepakat untuk memulai hubungan sebagai sepasang kekasih. Semua 5 peraturan yang selama ini harus dipatuhi oleh Juliet pun telah dihapus. Juliet tersenyum ketika mengingat bagaimana semalam Matthew terlihat bersungguh-sungguh ingin memperbaiki segalanya. "Jam berapa kuliahmu?" Tanya Matthew setelah puas menambahkan beberapa kiss mark lagi di dada Juliet. "Hari ini ada asistensi di jam sepuluh, lalu ada mata kuliah lagi di jam satu," jawab Juliet. "Aku akan mengantarmu kalau begitu," putus Matthew. "Tapi nanti kamu akan terlambat tiba di kantor, Matthew." Dengan santai lelaki itu mengedikkan bahunya. "Aku pemiliknya, jadi tidak akan masalah." "Lagipula, aku masih ingin bermesraan dengan kekasihku yang sangat seksi ini," bisiknya di telinga Juliet, sebelum menyentuhkan ujung lidahnya di lekukan telinga gadis itu. Juliet memekik kegelian ketika Matthew dengan sengaja menggelitik telinganya dengan lidah. Suara tawa renyah itu membuat Matthew semakin beringas menggelitik. "Matthew, hentikan!" Jerit Juliet sambil tertawa, yang sudah tak tahan dengan rasa gelinya. Beberapa saat kemudian Matthew berhenti menggelitik Juliet, namun dengan sengaja membuai gadis itu dengan usapan jemarinya yang menggoda. Ketika mengetahui bahwa napas Juliet mulai terengah memburu karena hasrat yang mulai terpancing, Matthew pun menyambutnya dengan hasrat yang bahkan jauh lebih besar lagi. Pagi yang indah ini pun menjadi pagi yang panas di kamar Matthew, ketika dua insan manusia melaluinya dengan aktivitas penuh desah dan gairah. *** "Juliet?" Gadis bersurai legam itu pun menoleh dan tersenyum ke sumber suara yang barusan menyapanya. "Halo, Sienna," sahutnya. "Kamu rupanya datang lebih pagi juga untuk asistensi." Sienna duduk di samping Juliet sembari menatap gadis itu dengan kening berkerut. Jam asistensi memang masih lama, sekitar 50 menit lagi. Juliet sengaja datang lebih pagi karena Matthew yang tetap bersikeras mengantarnya kuliah. Maka gadis itu pun memutuskan untuk datang lebih cepat agar Matthew tidak terlalu terlambat sampai di kantornya. "Seharian kemarin aku mengirim banyak sekali chat untukmu. Aku sangat khawatir karena kamu tidak datang untuk kuliah dan tanpa kabar sama sekali," ucap teman dari Juliet itu. "Bahkan kamu melewatkan kuis penting yang bisa mendongkrak nilai akhir. Apa kamu baik-baik saja, Juliet? Apa ada sesuatu yang terjadi dengan kakak angkatmu yang baru kembali dari Amerika itu?" Juliet tersenyum kecil melihat kekhawatiran yang tergambar jelas di wajah gadis berkacamata itu. Senang sekali karena ia sekarang bisa berteman dengan siapa pun setelah Matthew menghapus semua peraturan anehnya, yang salah satunya adalah larangan kepada Juliet untuk memiliki teman. "Ya, kamu benar. Memang ada banyak hal yang terjadi setelah kakak angkatku itu datang," aku Juliet. Gadis itu lalu memegang tangan Sienna dan menatap temannya itu dengan sorot serius. "Sienna, aku telah menganggapmu sebagai seorang sahabat. Jadi bisakah, kamu menyimpan sebuah rahasia?" Selama setahun Matthew berada di Amerika, Juliet dan Sienna telah menjalin persahabatan. Juliet yakin kalau gadis itu dapat dipercaya untuk memegang rahasianya. Selama ini Sienna sebenarnya sangat terbuka padanya, tak ragu untuk bercerita kepada Juliet tentang keluarganya. Sienna terlahir dari keluarga kaya-raya, kedua orang tuanya jenis yang lebih dari mampu untuk memberikan segalanya untuk putrinya, namun sangat minim kasih sayang. Selama ini Juliet selalu menjadi pendengar yang baik untuk Sienna, juga menjadi tempat bersandar bagi gadis itu setiap kali merasa sedih. Dan setelah Matthew berubah, Juliet memutuskan kalau Sienna juga dapat menjadi sekutunya, karena ini saatnya untuk membalik keadaan. Juliet bisa memanfaatkan Sienna yang memiliki banyak kenalan dan akses hampir ke segala bidang terutama dunia hukum, karena ayahnya adalah pemilik firma hukum yang cukup terkenal di Indonesia. Kelihatannya mungkin kejam, tapi pahitnya hidup sejak usianya menginjak 16 tahun telah mengajarkan Juliet untuk selalu jeli melihat peluang apa pun itu bentuknya, untuk dapat bertahan. Bukan tidak sengaja dan tanpa maksud gadis itu mendekati Sienna. Juliet memang telah membidik Sienna untuk menjadi bukan saja teman dekat, tapi juga kaki tangannya. "Rahasia?" Ulang Sienna sembari membetulkan letak kacamatanya. "Rahasia apa?" Juliet melirik ke sekitar ruang kelasnya untuk sesaat, memastikan tidak ada orang satu pun di sana. Lalu manik legamnya pun kemudian kembali tertuju lekat kepada gadis berkacamata di depannya. "Ini adalah kisahku dengan kakak angkatku, Matthew." Selanjutnya, cerita hidupnya yang telah dilecehkan sejak berusia 16 tahun pun mengalir dengan begitu lancarnya. Juliet bahkan terkejut menyadari betapa mudahnya ia bercerita. Sejak berada di dalam penjara Matthew Wiratama, Juliet tak memiliki seorang pun yang bisa diajak bertukar pikiran. Seseorang dimana ia bisa mencurahkan isi hati dan berkeluh-kesah. Dirinya bagaikan mayat hidup yang berfungsi hanya untuk pemuas nafsu Matthew. Ketika semua yang ia ingin katakan telah tersampaikan kepada Sienna, satu-satunya orang yang kini mengetahui rahasia hidupnya, Juliet bisa melihat bagaimana raut shock dan mata gadis itu yang berkaca-kaca di balik lensa. "Aku... sungguh tak menyangka," ucap Sienna kemudian sembari menatap Juliet. "Apa kamu baik-baik saja, Juliet? Tidak, maaf. Aku salah, tentu saja kamu tidak baik-baik saja," ucap Sienna lagi sambil menggenggam tangan Juliet. Juliet tersenyum samar melihat bagaimana temannya itu terlihat serba salah. Sienna gadis yang baik dan teman yang loyal. Ia tahu gadis berkacamata ini mulai terhanyut dengan kisahnya. "Aku sudah baik-baik saja sekarang," jawab Juliet sambil menghela napas pelan. "Sudah bisa menerima takdir hidupku yang memang sudah digariskan." "Tidak," Sienna menggeleng mendengar nada pasrah dari intonasi suara Juliet, tanpa sadar jika gadis itu sesungguhnya sengaja agar Sienna tergugah. "Itu tidak benar! Matthew telah melakukan tindak pidana dengan memperkosa anak di bawah umur! Belum lagi penyekapan dan pemaksaan kehendak. Dia bisa dikenakan pasal berlapis, Juliet. Hukumannya maksimal adalah 20 tahun," tukas Sienna serius. "Kamu juga pasti paham, kan? Itu semua ada di mata kuliah hukum pidana," timpalnya lagi. "Percuma saja. Kamu tahu sendiri siapa Matthew Wiratama, kan? Dia sulit disentuh hukum, Sienna. Melawan Matthew dengan deretan belasan pengacara terkenal yang akan selalu melindunginya adalah hal yang sama mustahilnya dengan melihat kucing bisa terbang," cetus Juliet. "Belum saatnya untuk menggugat Matthew melalui jalur hukum karena itu sama saja dengan bunuh diri. Paling tidak bukan sekarang." Kedua gadis itu pun kemudian sama-sama terdiam dengan pikirannya masing-masing yang berkelana kemana-mana. "Jadi apa rencanamu selanjutnya?" Akhirnya Sienna pun berkata, memecah keheningan yang sempat tercipta. Juliet memainkan pulpennya dan mulai mencoret-coret kertas yang barusan ia robek dari buku tulisnya. Jemarinya mulai menggambar sesuatu di sana. "Lihat, Sienna. Ini adalah aku, dan ini adalah Matthew." Gadis itu menggambar dua sosok dengan rambut panjang dan rambut pendek. "Matthew bilang, dia memiliki perasaan kepadaku." Juliet lalu menggambar bentuk hati di atas kepala sosok yang berambut pendek. "Dan aku, juga akan membalas perasaannya. Pura-pura, tentu saja." Sebuah hati juga digambar di atas kepala sosok yang berambut panjang. Namun dengan sengaja, Juliet menggambarnya dengan garis putus-putus. "Lalu saat seluruh hati Matthew telah kumiliki, saat itulah balas dendam sesungguhnya. Dia harus merasakan bagaimana sakitnya ketika kehilangan." Juliet mencoret-coret gambar hati di atas kepala Matthew dengan membabi-buta, lalu menarik kertas itu dan meremukkannya di dalam genggaman. "Bukan sekedar kehilangan, tapi saat itu juga dia juga tidak akan bisa mengelak lagi pasal pidana yang akan menghukumnya dengan telak!" Kerutan di kening Sienna terlihat semakin dalam mendengar bias penuh kebencian yang menyorot dari bola mata Juliet. "Boleh aku tahu bagaimana tepatnya kamu membuat Matthew merasa kehilangan, Juliet?" Tanya Sienna penasaran, sekaligus juga agak takut melihat Juliet yang penuh tekad sekaligus nekat. Masing-masing sudut bibir Juliet tertarik ke arah samping, menampilkan sebuah senyum datar namun berjuta arti di dalamnya. "Kamu pasti sudah tahu bagaimana kisah akhir hidup karakter bernama Juliet dari cerita Shakespeare kan?" Juliet pun bertanya balik dengan wajah yang dingin membeku, sebeku hatinya. Tak pelak, Sienna pun memekik tertahan sembari menutup mulutnya dengan satu tangan. "Juliet, kamu pasti bercanda kan?" Sergah Sienna sengit, yang mulai mengerti kemana arah rencana Juliet. Gadis berkacamata itu mencengkram kedua lengan teman baiknya itu dengan erat. "Kamu tidak mungkin berniat menelan racun agar Matthew patah hati, sekaligus membuatnya menjadi tersangka kasus pembunuhan, kan??!" ***"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
"Oh. My. God. Apa itu cincin lamaran?!" Pekik gadis berkacamata dengan bola mata membelalak sempurna. "Jadi Matthew benar-benar melamarmu?!"Juliet membiarkan temannya Sienna meraih jemarinya untuk menatap lekat cincin berlian besar dan indah yang tersemat di jari manisnya. Hari ini kebetulan tak ada kuliah karena dosen yang mengajar sedang ijin, dan Juliet pun janjian dengan Sienna untuk bertemu di resto sebuah mal.Sienna berdecak kagum. "Selera Matthew Wiratama memang tidak main-main," ucapnya sembari menatap Juliet."Ah, aku iri sekali. Matthew mengetahui kalau kamu mengandung anaknya, lalu dia pun segera melamar? Ya ampun. Dia pasti tipe lelaki konvensional, yang menginginkan keturunannya lahir dengan kedua orang tuanya telah terikat dalam pernikahan," cetus gadis berkacamata itu dengan mata berbinar-binar.Juliet memutar kedua bola matanya mendengar perkataan Sienna yang terdengar seperti seorang pemuja kepada idolanya."Whatever, Sienna. Bagaimana tentang permintaanku kemarin?
Selama tiga tahun ini, keberadaan Juliet memang terkesan seperti disembunyikan oleh Matthew dari seluruh keluarga besar Wiratama.Dirinya dianggap tiada, meskipun nyata adanya.Matthew sengaja menaruh Juliet di rumah kedua, villa yang biasa digunakan untuk beristirahat oleh keluarganya, alih-alih kediaman utama yang biasa ditempati Matthew dulu bersama kedua orang tuanya.Saat Matthew mengambil Juliet yang yatim piatu dan mengangkatnya menjadi adik asuh, Oma adalah orang yang paling keras menentangnya.Sama seperti Matthew waktu itu, Oma menganggap kematian putranya Ibram dan menantunya Kayana adalah karena kesalah Bayu yang saat itu bertindak sebagai pengemudi mobil naas yang dinaiki mereka.Dan sama juga seperti Matthew, Oma pun menimpakan kesalahan itu kepada Juliet yang sama kehilangannya, dan tidak tahu apa-apa.Hubungan antara Matthew dan Oma saat itu sempat renggang, karena ketidaksetujuan wanita itu ketika cucunya membawa Juliet masuk ke dalam rumah Wiratama.Mereka merasa Mat
**Flashback 3 tahun yang lalu**Juliet lelah sekali setelah menangis hampir seharian penuh di acara pemakaman ayahnya. Tenaganya seperti telah tersedot habis karena kesedihan mendalam yang mengeringkan batin serta jiwanya.Luka yang belum sembuh karena kehilangan ibunda tercinta beberapa tahun yang lalu, kini semakin berdarah dan menganga terbuka karena satu-satunya orang terkasih yang ia miliki kini telah dirampas dari kehidupannya.Malam gelap yang dipenuhi dengan milyaran tetesan hujan yang begitu deras telah tiba, dan Juliet hanya bisa memeluk tubuh mungilnya yang kurus di dalam kamar ayahnya yang kosong, sekosong hatinya."Ayaah... kenapa ayah tega meninggalkanku seorang diri?" bisiknya dalam derai air mata yang kembali mengalir deras membasahi wajahnya.Ia kesepian. Takut. Kesunyian di malam ini sangat mengerikan bagi anak remaja seusia 16 tahun seperti dirinya. Juliet benar-benar menyesal menolak tawaran dari salah satu teman sekelasnya untuk menginap di rumahnya.Ia hanya tida
Hitam. Gelap. Pekat. Matthew tak tahu lagi bagaimana menggambarkan suasana hatinya saat ini selain dengan ketiga kata itu, sejak mengetahui kematian kedua orang tuanya yang sangat tragis dan sangat tiba-tiba. Kecelakaan lalu lintas yang membuat mobil mewah itu terbalik dan terbakar di pinggir jalan, menghanguskan ketiga jasad yang telah tak berbentuk di dalamnya. Sesuatu pasti terjadi di dalam mobil itu sebelum Pak Bayu kehilangan kendali dan membuat mobil itu oleng. Selama ini, supir pribadi keluarganya itu selalu mengemudi dengan hati-hati dan tidak pernah menggunakan kecepatan tinggi. Dan dari rekaman CCTV di jalan raya, terlihat bagaimana ugal-ugalannya mobil itu sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan dan terbalik. Dugaan Matthew, mungkin mereka semua sedang beradu pendapat di dalam sana. Suasana yang semakin memanas pun tak pelak menjadi faktor tercetusnya kecelakaan fatal itu. Ayahnya, Ibram Wiratama mungkin sudah tak dapat menahan emosinya setelah mengetahui perselingkuh
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes