Share

9. The Fantasies

"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.

Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.

Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.

Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras.

"Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya.

"Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan, yang hanya bertujuan untuk mengelabui Matthew agar mengira bahwa kamu telah tewas dan membuatnya patah hati, sekaligus menjadi tersangka pembunuhan. Tapi tetap saja itu sangat berbahaya!" Tegas Sienna.

"Lalu bagaimana jika seandainya suatu saat nanti ia menemukanmu yang masih hidup?"

Juliet mengedikkan bahunya dengan santai. "Aku akan operasi plastik agar tidak dikenali dan tinggal di luar negeri," sahutnya enteng seolah tanpa beban, tak merasa bahwa apa yang ia rencanakan itu adalah sesuatu yang sangat berlebihan.

Meskipun Juliet memang memiliki banyak sekali uang yang jarang ia gunakan di rekeningnya, yang merupakan kiriman dari Matthew setiap bulan untuknya.

"Aku tidak bisa mengijinkanmu melakukannya. Maaf. Aku tidak bisa membantumu." Tatapan Sienna terlihat menusuk penuh ancaman. "Dan kalau kamu masih saja bersikeras melakukan hal seberbahaya itu, aku akan memberitahukan semuanya kepada Matthew!"

Kali ini Juliet-lah yang mendesah pelan. Ia harus bisa membujuk Sienna agar mau membantunya, karena ada beberapa aspek dari rencananya yang tidak bisa ia lakukan sendiri dan untuk itu ia sangat membutuhkan bantuan.

"Sienna, ayolah. Ini tidak seberbahaya yang kamu kira, kok. Hanya--"

"Carilah rencana lain, Juliet," tegas Sienna sembari membetulkan letak kacamatanya. "Yang bahaya serta resikonya tidak setinggi itu. Aku yakin dengan otakmu yang cerdas serta diam-diam ternyata telah menyimpan rencana di luar ekspektasi, pasti kamu juga akan menemukan alternatif yang lain."

"Sienna, please--"

"Case closed, cari alternatif lain," potong Sienna lagi, tak mempedulikan raut kecewa Juliet yang begitu nyata terpampang di wajah gadis itu.

"Lagipula kamu bilang kalau Matthew sekarang bersikap lebih lembut kepadamu, bukan? Mungkin saja... yah, ini mungkin... kamu bisa memberikan kesempatan kedua untuknya, Juliet. Bagaimana jika ternyata dia benar-benar menyesal dan tulus memang ingin menjalin hubungan denganmu?"

Pertanyaan itu dijawab oleh sebuah tawa renyah namun penuh dengan nada sinis dari Juliet. "Kamu bilang Matthew menyesal?" Cemooh gadis itu. "Dia bahkan sama sekali tidak meminta maaf, Sienna! Tak pernah ada satu pun kata maaf darinya!" Sergahnya lagi dengan berapi-api.

"Tapi jika dipikir lagi, seorang Matthew Wiratama adalah orang paling angkuh dan egois di seluruh dunia. Tentu saja dia tidak akan pernah mau merendahkan diri sendiri dengan meminta maaf," sambung Juliet.

"Dan itulah sebabnya jika dia lebih pantas mendapatkan ganjaran atas perbuatannya selama ini kepadaku. Untuk setiap hari dalam dua tahun yang ia habiskan dengan merampas kehidupan serta kebebasanku, Sienna!"

***

Ketika jam kuliah siangnya telah berakhir, Juliet benar-benar kaget saat mendapatkan ponselnya yang berbunyi serta nama Matthew yang tertera di sana.

Ia saling bertatapan dengan Sienna yang juga balas menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan, sebelum kemudian mengangkat sambungan telepon itu.

"Halo, Matthew?"

[Hai. Kuliahmu hari ini sudah selesai, kan?]

"Ummh... ya. Ini baru saja selesai," sahut Juliet.

[Kalau begitu keluarlah menuju pintu gerbang kampus. Di sana sudah ada mobil jemputan untukmu.]

"Hah? Mobil?"

[Ya, kamu kan tidak membawa kendaraan karena tadi pagi akulah yang mengantarmu kuliah, Juliet. Jadi kamu bisa pulang dengan mobil serta supir yang sudah kusiapkan untukmu.]

"Oh iya, benar juga. Terima kasih, Matthew."

[Sama-sama. Kalau begitu kututup dulu ya? Sampai jumpa nanti sore di rumah.]

"Uhm-hum. Sampai jumpa."

Saat Juliet menutup sambungan teleponnya, Sienna yang sejak tadi memang mendengar semuanya pun tak sabar ingin bertanya.

"Ada apa? Apa yang dia inginkan?"

Juliet menggeleng kecil. "Dia cuma bilang kalau telah mengirimkan mobil untukku pulang, karena tadi pagi Matthew-lah yang mengantar."

Wajah Sienna yang terlihat lega, menimbulkan senyum kecil di wajah Juliet. "Aku duluan, Sienna. Mobil jemputannya sudah menunggu di depan gerbang."

Sienna mengangguk. "Ingat, Juliet. Jangan pernah bertindak gegabah meskipun kamu membenci Matthew. Besok kita bicara lagi, oke?"

Juliet berdiri dari duduknya, tanpa anggukan atau gelengan kepala untuk menjawabnya. Gadis itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan temannya yang hanya bisa menghela napas pelan melihat dirinya.

Juliet menemukan sebuah mobil Mercedes Benz hitam yang berada di gerbang depan gedung universitas, dan seketika mengenalinya sebagai salah mobil milik Matthew.

Ia merasa cukup lega karena Matthew mengirimnya mobil beserta supirnya. Jujur saja, ia agak lelah jika harus menyetir sendiri karena pelayanan maraton di atas ranjang tanpa henti sejak kakak angkatnya itu pulang dari Amerika.

Tanpa sadar Juliet pun menguap. Kantuk dan lelah yang menderanya membuat gadis itu pun menyandarkan tubuhnya di bagian sandaran mobil, lalu memejamkan kedua matanya. Hanya dalam beberapa menit saja, Juliet telah jatuh terlelap.

Bahkan sebuah suara ponsel yang berdering pun tak juga membuatnya membuka mata.

"Ya, Tuan."

Ponsel milik sang supirlah yang barusan berdering, dan lelaki paruh baya itu segera mengangkatnya setelah melihat nama Matthew Wiratama yang tercetak di layar.

"Ke kantor? Baik, Tuan. Saya akan membawa Nona Juliet ke sana."

Si supir pun segera memutar arah kemudinya setelah sambungan telepon itu ditutup. Tujuannya yang semula menuju ke rumah, kini telah berubah karena bos besarnya itu tiba-tiba saja menginginkan dirinya membawa Nona Juliet ke kantor.

Perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh lima menit itu akhirnya telah berakhir ketika mobil hitam memasuki sebuah gedung perkantoran dengan tulisan besar 'WIRATAMA FLEET SERVICE' di bagian atas gedung.

"Nona, bangunlah. Kita sudah sampai."

Juliet membuka kedua matanya dan mengerjap bingung ketika baru menyadari bahwa alih-alih sampai di rumah, dirinya malah kini berada di kantor Matthew!

"Maaf, Nona. Tadi di perjalanan Tuan Matthew menelepon saya. Beliau meminta Nona untuk langsung dibawa ke sini," tutur sang supir.

Juliet mengangguk mengerti. Pasti karena ia ketiduran, jadi pria paruh baya itu tidak membangunkannya.

'Ck, Matthew ternyata masih saja bersikap seenaknya dengan membawaku ke sini tanpa memberitahu,' decak Juliet dalam hati, setelah memeriksa ponselnya sendiri dan tidak menemukan satu pun pesan atau panggilan tak terjawab dari Matthew.

Juliet turun dari mobil dengan dikawal oleh seorang sekuriti khusus yang berjaga di lantai VIP, tempat dimana Matthew sebagai CEO berada.

Juliet belum pernah menginjakkan kakinya di gedung ini sebelumnya. Baru kali ini Matthew meminta dirinya untuk bertemu di kantor.

Suara denting pelan dari lift yang langsung menuju tepat ke ruangan CEO itu disertai dengan pintu besinya yang langsung membuka.

"Silahkan turun, Nona. Anda telah ditunggu oleh Tuan Matthew," ucap petugas keamanan itu sambil tersenyum formal kepada Juliet.

Setelah mengucapkan terima kasih, gadis bersurai legam itu melangkahkan kaki jenjangnya yang terbalut flat shoes keluar dari pintu lift, dan sontak dirinya pun terkejut ketika tiba-tiba saja sebuah pelukan erat dari tubuh sekokoh batu karang yang menyergap dirinya.

"Aku sudah menunggumu dari tadi," ucap si pemilik tubuh yang memeluknya erat.

Juliet menyunggingkan senyum di dada bidang Matthew, dimana wajahnya tersuruk di sana.

"Maaf karena aku baru datang."

Matthew melepaskan setengah pelukannya, hanya untuk bisa menatap seraut wajah cantik yang kini sengaja ia dongakkan dengan jemarinya.

"Aku sangat merindukanmu," bisik lelaki itu dengan wajahnya yang semakin mendekat kepada Juliet untuk melayangkan satu kecupan sekilas namun sarat akan gairah di bibir gadis itu.

"Sangat rindu hingga membuatku sulit untuk fokus bekerja."

Juliet merasa rikuh dan aneh mendengar kalimat lembut Matthew beserta sorot penuh damba yang tersirat di manik coklat pasir lelaki itu, alih-alih tatapan dingin tanpa emosi yang selama ini ia dapatkan.

Jujur saja, Juliet justru telah terbiasa dengan Matthew yang tak berperasaan daripada Matthew yang lembut seperti ini, tapi sepertinya mulai sekarang ia memang harus membiasakan diri.

Bukankah ini yang ia inginkan? Matthew yang jinak dan berbalik jatuh cinta padanya?

Juliet tersenyum ketika Matthew menarik tangannya menuju ke sebuah pintu ganda yang ternyata di dalamnya adalah ruangan kerja Matthew.

"Duduklah, Juliet. Aku akan menelepon dulu sebentar," ucap Matthew ketika mereka telah berada di dalam ruangan yang luas dan modern bernuansa abu-abu dan hitam. Sangat Matthew sekali. Dingin dan tak tersentuh.

"Tidak, jangan duduk di situ," ucap Matthew ketika Juliet hendak menghempaskan dirinya di sofa.

"Hah?" Juliet terlihat bingung dengan permintaan Matthew. Jika ia tidak duduk di sofa ini, lalu dimana?

Matthew menggerakkan dagu ke arah dimana kursi kerjanya berada, dan seketika Juliet pun mengerti. Ada dua kursi di depan meja kerja Matthew, pasti lelaki itu menyuruhnya untuk duduk di sana.

"Bukan duduk di kursi tamu, Juliet," ucap Matthew lagi ketika ia melihat gadis itu malah duduk di kursi berlengan di depan meja kerjanya.

Matthew menarik tangan Juliet hingga berdiri, lalu menempatkan gadis itu di atas meja kerjanya.

"Tapi ini meja, Matthew. Bukan diperuntukkan untuk duduk," protes Juliet sembari tertawa kecil.

"Sejak dulu aku sering membayangkanmu duduk di meja ini untuk merayuku yang sedang sibuk bekerja. Sekarang aku ingin sekali mewujudkannya," sahut Matthew dengan senyum menggoda.

"Oh. Jadi itu fantasimu? Ya ampun, aku sungguh tidak menyangka jika ternyata sebanyak itu kamu memikirkanku," tukas Juliet yang memberanikan diri untuk balas menggoda.

"Oh ya... kamu tidak akan pernah tahu sebanyak apa aku selalu memikirkanmu, Juliet," tutur lelaki itu penuh arti. Satu tangan Matthew terjulur ke pipi putih dengan kulit sepucat salju milik Juliet dan mengusapnya perlahan, sebelum turun ke bibir penuh dan sensual gadis itu.

"Shit. Aku harus menelepon dulu," umpat Matthew yang hasratnya kini telah mulai mengambil alih kendali tubuhnya karena keberadaan makhluk menawan yang bernama Juliet.

Lelaki bersurai coklat gelap itu pun segera meraih ponsel dari sakunya dengan terburu-buru untuk mulai menelepon, tanpa melepaskan satu tangannya yang lain dari tubuh Juliet.

Serangkaian perintah mengenai pekerjaan yang ia berikan kepada seseorang di balik sambungan telepon itu begitu formal, sangat berbanding terbalik dengan jemari tangan satunya yang telah berkelana dengan nakal untuk menjelajahi tubuh gadis di depannya.

Juliet mulai tak tahan untuk mendesah ketika Matthew mulai bergerilya di tubuhnya. Sembari menelepon, lelaki itu berulangkali mendaratkan bibirnya di leher serta dada Juliet untuk mencumbu kulit lembut beraroma wangi kesukaannya.

Ketika akhirnya Matthew menyudahi telepon itu, dengan santainya lelaki itu melemparkan ponselnya begitu saja, sebelum kemudian memutuskan untuk duduk di kursi tamu berlengan di depan meja kerja.

Kini posisi Matthew jauh lebih rendah dari Juliet yang masih berada di atas meja. Lelaki itu pun tersenyum serta menarik paha putih pucat mulus Juliet hingga sekarang berada tepat di hadapannya. Jemari kokoh Matthew mulai bergerak, dengan sangat perlahan namun sepenuh gelora menyusuri paha menawan itu dalam usapan lembut naik dan turun.

"Hmm... sangat menggoda sekali. Setelah tahun-tahun yang berlalu, kini akhirnya keinginanku bisa terwujud juga," gumannya dengan kilau hasrat yang mulai terpancar dengan begitu deras dari manik coklat pasirnya yang berkilau menatap gadis di hadapannya.

"Dan sekarang wujudkanlah fantasi keduaku, Juliet. Bukalah kakimu," ucap Matthew lagi dalam bisikan menggoda, seiring dengan jemarinya yang telah memegang kedua lutut Juliet lalu perlahan menggerakkannya hingga terbuka.

"Sangat seksi," komentar Matthew penuh kepuasan ketika melihat gadis secantik dan sesempurna bidadari yang duduk di atas meja dengan kedua kakinya yang membuka lebar.

Juliet menumpukan keseimbangan tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang menempel di atas meja, serta kedua telapak kakinya yang berada di atas paha Matthew.

Gadis itu menggelinjang geli saat merasakan kecupan-kecupan kecil yang diberikan Matthew dimulai dari lututnya, lalu bergerak ke pahanya, dan semakin naik menuju ke daerah sensitifnya.

Suara pekikan kecil disertai desahan lembut yang tak sanggup ia tahan ketika bibir Matthew telah berada di tujuan, membuat sang lelaki diam-diam tersenyum.

"Matthew..." Juliet bergerak gelisah ketika lidah lelaki itu mulai menggoda dirinya dari balik panty yang masih menempel menutupi bagian sensitifnya.

Telah terbiasa bercinta dengan Matthew di atas ranjang, Juliet yang masih muda dan tidak berpengalaman merasa aneh dengan posisinya saat ini yang berada di atas meja kerja, dan Matthew duduk di kursi di bawahnya.

"Jangan beranjak," geram Matthew yang telah terbakar gairah. Kedua tangannya mencengkram kuat kedua paha Juliet saat gadis itu bergerak ingin turun dari meja.

"Tetaplah di sana, Juliet. Dan wujudkan fantasiku yang kedua, yaitu bisa mencicipi rasa dirimu serta bercinta dengan sangat panas di atas meja kerja."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status