"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.
Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi. Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya. Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras. "Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya. "Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan, yang hanya bertujuan untuk mengelabui Matthew agar mengira bahwa kamu telah tewas dan membuatnya patah hati, sekaligus menjadi tersangka pembunuhan. Tapi tetap saja itu sangat berbahaya!" Tegas Sienna. "Lalu bagaimana jika seandainya suatu saat nanti ia menemukanmu yang masih hidup?" Juliet mengedikkan bahunya dengan santai. "Aku akan operasi plastik agar tidak dikenali dan tinggal di luar negeri," sahutnya enteng seolah tanpa beban, tak merasa bahwa apa yang ia rencanakan itu adalah sesuatu yang sangat berlebihan. Meskipun Juliet memang memiliki banyak sekali uang yang jarang ia gunakan di rekeningnya, yang merupakan kiriman dari Matthew setiap bulan untuknya. "Aku tidak bisa mengijinkanmu melakukannya. Maaf. Aku tidak bisa membantumu." Tatapan Sienna terlihat menusuk penuh ancaman. "Dan kalau kamu masih saja bersikeras melakukan hal seberbahaya itu, aku akan memberitahukan semuanya kepada Matthew!" Kali ini Juliet-lah yang mendesah pelan. Ia harus bisa membujuk Sienna agar mau membantunya, karena ada beberapa aspek dari rencananya yang tidak bisa ia lakukan sendiri dan untuk itu ia sangat membutuhkan bantuan. "Sienna, ayolah. Ini tidak seberbahaya yang kamu kira, kok. Hanya--" "Carilah rencana lain, Juliet," tegas Sienna sembari membetulkan letak kacamatanya. "Yang bahaya serta resikonya tidak setinggi itu. Aku yakin dengan otakmu yang cerdas serta diam-diam ternyata telah menyimpan rencana di luar ekspektasi, pasti kamu juga akan menemukan alternatif yang lain." "Sienna, please--" "Case closed, cari alternatif lain," potong Sienna lagi, tak mempedulikan raut kecewa Juliet yang begitu nyata terpampang di wajah gadis itu. "Lagipula kamu bilang kalau Matthew sekarang bersikap lebih lembut kepadamu, bukan? Mungkin saja... yah, ini mungkin... kamu bisa memberikan kesempatan kedua untuknya, Juliet. Bagaimana jika ternyata dia benar-benar menyesal dan tulus memang ingin menjalin hubungan denganmu?" Pertanyaan itu dijawab oleh sebuah tawa renyah namun penuh dengan nada sinis dari Juliet. "Kamu bilang Matthew menyesal?" Cemooh gadis itu. "Dia bahkan sama sekali tidak meminta maaf, Sienna! Tak pernah ada satu pun kata maaf darinya!" Sergahnya lagi dengan berapi-api. "Tapi jika dipikir lagi, seorang Matthew Wiratama adalah orang paling angkuh dan egois di seluruh dunia. Tentu saja dia tidak akan pernah mau merendahkan diri sendiri dengan meminta maaf," sambung Juliet. "Dan itulah sebabnya jika dia lebih pantas mendapatkan ganjaran atas perbuatannya selama ini kepadaku. Untuk setiap hari dalam dua tahun yang ia habiskan dengan merampas kehidupan serta kebebasanku, Sienna!" *** Ketika jam kuliah siangnya telah berakhir, Juliet benar-benar kaget saat mendapatkan ponselnya yang berbunyi serta nama Matthew yang tertera di sana. Ia saling bertatapan dengan Sienna yang juga balas menatapnya dengan pandangan yang tak dapat diartikan, sebelum kemudian mengangkat sambungan telepon itu. "Halo, Matthew?" [Hai. Kuliahmu hari ini sudah selesai, kan?] "Ummh... ya. Ini baru saja selesai," sahut Juliet. [Kalau begitu keluarlah menuju pintu gerbang kampus. Di sana sudah ada mobil jemputan untukmu.] "Hah? Mobil?" [Ya, kamu kan tidak membawa kendaraan karena tadi pagi akulah yang mengantarmu kuliah, Juliet. Jadi kamu bisa pulang dengan mobil serta supir yang sudah kusiapkan untukmu.] "Oh iya, benar juga. Terima kasih, Matthew." [Sama-sama. Kalau begitu kututup dulu ya? Sampai jumpa nanti sore di rumah.] "Uhm-hum. Sampai jumpa." Saat Juliet menutup sambungan teleponnya, Sienna yang sejak tadi memang mendengar semuanya pun tak sabar ingin bertanya. "Ada apa? Apa yang dia inginkan?" Juliet menggeleng kecil. "Dia cuma bilang kalau telah mengirimkan mobil untukku pulang, karena tadi pagi Matthew-lah yang mengantar." Wajah Sienna yang terlihat lega, menimbulkan senyum kecil di wajah Juliet. "Aku duluan, Sienna. Mobil jemputannya sudah menunggu di depan gerbang." Sienna mengangguk. "Ingat, Juliet. Jangan pernah bertindak gegabah meskipun kamu membenci Matthew. Besok kita bicara lagi, oke?" Juliet berdiri dari duduknya, tanpa anggukan atau gelengan kepala untuk menjawabnya. Gadis itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan temannya yang hanya bisa menghela napas pelan melihat dirinya. Juliet menemukan sebuah mobil Mercedes Benz hitam yang berada di gerbang depan gedung universitas, dan seketika mengenalinya sebagai salah mobil milik Matthew. Ia merasa cukup lega karena Matthew mengirimnya mobil beserta supirnya. Jujur saja, ia agak lelah jika harus menyetir sendiri karena pelayanan maraton di atas ranjang tanpa henti sejak kakak angkatnya itu pulang dari Amerika. Tanpa sadar Juliet pun menguap. Kantuk dan lelah yang menderanya membuat gadis itu pun menyandarkan tubuhnya di bagian sandaran mobil, lalu memejamkan kedua matanya. Hanya dalam beberapa menit saja, Juliet telah jatuh terlelap. Bahkan sebuah suara ponsel yang berdering pun tak juga membuatnya membuka mata. "Ya, Tuan." Ponsel milik sang supirlah yang barusan berdering, dan lelaki paruh baya itu segera mengangkatnya setelah melihat nama Matthew Wiratama yang tercetak di layar. "Ke kantor? Baik, Tuan. Saya akan membawa Nona Juliet ke sana." Si supir pun segera memutar arah kemudinya setelah sambungan telepon itu ditutup. Tujuannya yang semula menuju ke rumah, kini telah berubah karena bos besarnya itu tiba-tiba saja menginginkan dirinya membawa Nona Juliet ke kantor. Perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh lima menit itu akhirnya telah berakhir ketika mobil hitam memasuki sebuah gedung perkantoran dengan tulisan besar 'WIRATAMA FLEET SERVICE' di bagian atas gedung. "Nona, bangunlah. Kita sudah sampai." Juliet membuka kedua matanya dan mengerjap bingung ketika baru menyadari bahwa alih-alih sampai di rumah, dirinya malah kini berada di kantor Matthew! "Maaf, Nona. Tadi di perjalanan Tuan Matthew menelepon saya. Beliau meminta Nona untuk langsung dibawa ke sini," tutur sang supir. Juliet mengangguk mengerti. Pasti karena ia ketiduran, jadi pria paruh baya itu tidak membangunkannya. 'Ck, Matthew ternyata masih saja bersikap seenaknya dengan membawaku ke sini tanpa memberitahu,' decak Juliet dalam hati, setelah memeriksa ponselnya sendiri dan tidak menemukan satu pun pesan atau panggilan tak terjawab dari Matthew. Juliet turun dari mobil dengan dikawal oleh seorang sekuriti khusus yang berjaga di lantai VIP, tempat dimana Matthew sebagai CEO berada. Juliet belum pernah menginjakkan kakinya di gedung ini sebelumnya. Baru kali ini Matthew meminta dirinya untuk bertemu di kantor. Suara denting pelan dari lift yang langsung menuju tepat ke ruangan CEO itu disertai dengan pintu besinya yang langsung membuka. "Silahkan turun, Nona. Anda telah ditunggu oleh Tuan Matthew," ucap petugas keamanan itu sambil tersenyum formal kepada Juliet. Setelah mengucapkan terima kasih, gadis bersurai legam itu melangkahkan kaki jenjangnya yang terbalut flat shoes keluar dari pintu lift, dan sontak dirinya pun terkejut ketika tiba-tiba saja sebuah pelukan erat dari tubuh sekokoh batu karang yang menyergap dirinya. "Aku sudah menunggumu dari tadi," ucap si pemilik tubuh yang memeluknya erat. Juliet menyunggingkan senyum di dada bidang Matthew, dimana wajahnya tersuruk di sana. "Maaf karena aku baru datang." Matthew melepaskan setengah pelukannya, hanya untuk bisa menatap seraut wajah cantik yang kini sengaja ia dongakkan dengan jemarinya. "Aku sangat merindukanmu," bisik lelaki itu dengan wajahnya yang semakin mendekat kepada Juliet untuk melayangkan satu kecupan sekilas namun sarat akan gairah di bibir gadis itu. "Sangat rindu hingga membuatku sulit untuk fokus bekerja." Juliet merasa rikuh dan aneh mendengar kalimat lembut Matthew beserta sorot penuh damba yang tersirat di manik coklat pasir lelaki itu, alih-alih tatapan dingin tanpa emosi yang selama ini ia dapatkan. Jujur saja, Juliet justru telah terbiasa dengan Matthew yang tak berperasaan daripada Matthew yang lembut seperti ini, tapi sepertinya mulai sekarang ia memang harus membiasakan diri. Bukankah ini yang ia inginkan? Matthew yang jinak dan berbalik jatuh cinta padanya? Juliet tersenyum ketika Matthew menarik tangannya menuju ke sebuah pintu ganda yang ternyata di dalamnya adalah ruangan kerja Matthew. "Duduklah, Juliet. Aku akan menelepon dulu sebentar," ucap Matthew ketika mereka telah berada di dalam ruangan yang luas dan modern bernuansa abu-abu dan hitam. Sangat Matthew sekali. Dingin dan tak tersentuh. "Tidak, jangan duduk di situ," ucap Matthew ketika Juliet hendak menghempaskan dirinya di sofa. "Hah?" Juliet terlihat bingung dengan permintaan Matthew. Jika ia tidak duduk di sofa ini, lalu dimana? Matthew menggerakkan dagu ke arah dimana kursi kerjanya berada, dan seketika Juliet pun mengerti. Ada dua kursi di depan meja kerja Matthew, pasti lelaki itu menyuruhnya untuk duduk di sana. "Bukan duduk di kursi tamu, Juliet," ucap Matthew lagi ketika ia melihat gadis itu malah duduk di kursi berlengan di depan meja kerjanya. Matthew menarik tangan Juliet hingga berdiri, lalu menempatkan gadis itu di atas meja kerjanya. "Tapi ini meja, Matthew. Bukan diperuntukkan untuk duduk," protes Juliet sembari tertawa kecil. "Sejak dulu aku sering membayangkanmu duduk di meja ini untuk merayuku yang sedang sibuk bekerja. Sekarang aku ingin sekali mewujudkannya," sahut Matthew dengan senyum menggoda. "Oh. Jadi itu fantasimu? Ya ampun, aku sungguh tidak menyangka jika ternyata sebanyak itu kamu memikirkanku," tukas Juliet yang memberanikan diri untuk balas menggoda. "Oh ya... kamu tidak akan pernah tahu sebanyak apa aku selalu memikirkanmu, Juliet," tutur lelaki itu penuh arti. Satu tangan Matthew terjulur ke pipi putih dengan kulit sepucat salju milik Juliet dan mengusapnya perlahan, sebelum turun ke bibir penuh dan sensual gadis itu. "Shit. Aku harus menelepon dulu," umpat Matthew yang hasratnya kini telah mulai mengambil alih kendali tubuhnya karena keberadaan makhluk menawan yang bernama Juliet. Lelaki bersurai coklat gelap itu pun segera meraih ponsel dari sakunya dengan terburu-buru untuk mulai menelepon, tanpa melepaskan satu tangannya yang lain dari tubuh Juliet. Serangkaian perintah mengenai pekerjaan yang ia berikan kepada seseorang di balik sambungan telepon itu begitu formal, sangat berbanding terbalik dengan jemari tangan satunya yang telah berkelana dengan nakal untuk menjelajahi tubuh gadis di depannya. Juliet mulai tak tahan untuk mendesah ketika Matthew mulai bergerilya di tubuhnya. Sembari menelepon, lelaki itu berulangkali mendaratkan bibirnya di leher serta dada Juliet untuk mencumbu kulit lembut beraroma wangi kesukaannya. Ketika akhirnya Matthew menyudahi telepon itu, dengan santainya lelaki itu melemparkan ponselnya begitu saja, sebelum kemudian memutuskan untuk duduk di kursi tamu berlengan di depan meja kerja. Kini posisi Matthew jauh lebih rendah dari Juliet yang masih berada di atas meja. Lelaki itu pun tersenyum serta menarik paha putih pucat mulus Juliet hingga sekarang berada tepat di hadapannya. Jemari kokoh Matthew mulai bergerak, dengan sangat perlahan namun sepenuh gelora menyusuri paha menawan itu dalam usapan lembut naik dan turun. "Hmm... sangat menggoda sekali. Setelah tahun-tahun yang berlalu, kini akhirnya keinginanku bisa terwujud juga," gumannya dengan kilau hasrat yang mulai terpancar dengan begitu deras dari manik coklat pasirnya yang berkilau menatap gadis di hadapannya. "Dan sekarang wujudkanlah fantasi keduaku, Juliet. Bukalah kakimu," ucap Matthew lagi dalam bisikan menggoda, seiring dengan jemarinya yang telah memegang kedua lutut Juliet lalu perlahan menggerakkannya hingga terbuka. "Sangat seksi," komentar Matthew penuh kepuasan ketika melihat gadis secantik dan sesempurna bidadari yang duduk di atas meja dengan kedua kakinya yang membuka lebar. Juliet menumpukan keseimbangan tubuhnya dengan kedua telapak tangan yang menempel di atas meja, serta kedua telapak kakinya yang berada di atas paha Matthew. Gadis itu menggelinjang geli saat merasakan kecupan-kecupan kecil yang diberikan Matthew dimulai dari lututnya, lalu bergerak ke pahanya, dan semakin naik menuju ke daerah sensitifnya. Suara pekikan kecil disertai desahan lembut yang tak sanggup ia tahan ketika bibir Matthew telah berada di tujuan, membuat sang lelaki diam-diam tersenyum. "Matthew..." Juliet bergerak gelisah ketika lidah lelaki itu mulai menggoda dirinya dari balik panty yang masih menempel menutupi bagian sensitifnya. Telah terbiasa bercinta dengan Matthew di atas ranjang, Juliet yang masih muda dan tidak berpengalaman merasa aneh dengan posisinya saat ini yang berada di atas meja kerja, dan Matthew duduk di kursi di bawahnya. "Jangan beranjak," geram Matthew yang telah terbakar gairah. Kedua tangannya mencengkram kuat kedua paha Juliet saat gadis itu bergerak ingin turun dari meja. "Tetaplah di sana, Juliet. Dan wujudkan fantasiku yang kedua, yaitu bisa mencicipi rasa dirimu serta bercinta dengan sangat panas di atas meja kerja." ***Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
"Oh. My. God. Apa itu cincin lamaran?!" Pekik gadis berkacamata dengan bola mata membelalak sempurna. "Jadi Matthew benar-benar melamarmu?!"Juliet membiarkan temannya Sienna meraih jemarinya untuk menatap lekat cincin berlian besar dan indah yang tersemat di jari manisnya. Hari ini kebetulan tak ada kuliah karena dosen yang mengajar sedang ijin, dan Juliet pun janjian dengan Sienna untuk bertemu di resto sebuah mal.Sienna berdecak kagum. "Selera Matthew Wiratama memang tidak main-main," ucapnya sembari menatap Juliet."Ah, aku iri sekali. Matthew mengetahui kalau kamu mengandung anaknya, lalu dia pun segera melamar? Ya ampun. Dia pasti tipe lelaki konvensional, yang menginginkan keturunannya lahir dengan kedua orang tuanya telah terikat dalam pernikahan," cetus gadis berkacamata itu dengan mata berbinar-binar.Juliet memutar kedua bola matanya mendengar perkataan Sienna yang terdengar seperti seorang pemuja kepada idolanya."Whatever, Sienna. Bagaimana tentang permintaanku kemarin?
Selama tiga tahun ini, keberadaan Juliet memang terkesan seperti disembunyikan oleh Matthew dari seluruh keluarga besar Wiratama.Dirinya dianggap tiada, meskipun nyata adanya.Matthew sengaja menaruh Juliet di rumah kedua, villa yang biasa digunakan untuk beristirahat oleh keluarganya, alih-alih kediaman utama yang biasa ditempati Matthew dulu bersama kedua orang tuanya.Saat Matthew mengambil Juliet yang yatim piatu dan mengangkatnya menjadi adik asuh, Oma adalah orang yang paling keras menentangnya.Sama seperti Matthew waktu itu, Oma menganggap kematian putranya Ibram dan menantunya Kayana adalah karena kesalah Bayu yang saat itu bertindak sebagai pengemudi mobil naas yang dinaiki mereka.Dan sama juga seperti Matthew, Oma pun menimpakan kesalahan itu kepada Juliet yang sama kehilangannya, dan tidak tahu apa-apa.Hubungan antara Matthew dan Oma saat itu sempat renggang, karena ketidaksetujuan wanita itu ketika cucunya membawa Juliet masuk ke dalam rumah Wiratama.Mereka merasa Mat
**Flashback 3 tahun yang lalu**Juliet lelah sekali setelah menangis hampir seharian penuh di acara pemakaman ayahnya. Tenaganya seperti telah tersedot habis karena kesedihan mendalam yang mengeringkan batin serta jiwanya.Luka yang belum sembuh karena kehilangan ibunda tercinta beberapa tahun yang lalu, kini semakin berdarah dan menganga terbuka karena satu-satunya orang terkasih yang ia miliki kini telah dirampas dari kehidupannya.Malam gelap yang dipenuhi dengan milyaran tetesan hujan yang begitu deras telah tiba, dan Juliet hanya bisa memeluk tubuh mungilnya yang kurus di dalam kamar ayahnya yang kosong, sekosong hatinya."Ayaah... kenapa ayah tega meninggalkanku seorang diri?" bisiknya dalam derai air mata yang kembali mengalir deras membasahi wajahnya.Ia kesepian. Takut. Kesunyian di malam ini sangat mengerikan bagi anak remaja seusia 16 tahun seperti dirinya. Juliet benar-benar menyesal menolak tawaran dari salah satu teman sekelasnya untuk menginap di rumahnya.Ia hanya tida
Hitam. Gelap. Pekat. Matthew tak tahu lagi bagaimana menggambarkan suasana hatinya saat ini selain dengan ketiga kata itu, sejak mengetahui kematian kedua orang tuanya yang sangat tragis dan sangat tiba-tiba. Kecelakaan lalu lintas yang membuat mobil mewah itu terbalik dan terbakar di pinggir jalan, menghanguskan ketiga jasad yang telah tak berbentuk di dalamnya. Sesuatu pasti terjadi di dalam mobil itu sebelum Pak Bayu kehilangan kendali dan membuat mobil itu oleng. Selama ini, supir pribadi keluarganya itu selalu mengemudi dengan hati-hati dan tidak pernah menggunakan kecepatan tinggi. Dan dari rekaman CCTV di jalan raya, terlihat bagaimana ugal-ugalannya mobil itu sebelum akhirnya menabrak pembatas jalan dan terbalik. Dugaan Matthew, mungkin mereka semua sedang beradu pendapat di dalam sana. Suasana yang semakin memanas pun tak pelak menjadi faktor tercetusnya kecelakaan fatal itu. Ayahnya, Ibram Wiratama mungkin sudah tak dapat menahan emosinya setelah mengetahui perselingkuh
"Ampun Kak Matthew... aku mohon jangan lakukan itu lagi!!" Juliet menjerit putus asa dengan penuh permohonan.Gadis itu memohon sembari berlutut dan menyembah Matthew, dengan isak tangisnya yang sedari tadi tak hentinya merepih.Matthew menatap gadis yang hanya mengenakan bath robe putih itu dengan ekspresi dingin tak terbaca dan tak tersentuh, hanya diam bagai patung yang tampan dan angkuh.Ini adalah hari ketiga ia membawa Juliet ke dalam rumahnya, di dalam pengawasan dan kekuasaannya.Dan selama itu pula tak terhitung entah berapa kali Matthew menjamah tubuh polos itu dengan menjadikan Juliet sebagai jalang pribadi pemuas hasratnya, sama seperti apa yang telah ia rencanakan sebelumnya."Bangun, Juliet. Jangan menyembahku seperti itu."Nada sedingin gunung es Kutub Utara itu tak pelak membuat Juliet menggigil ketakutan, karena Matthew yang sepertinya sama sekali tidak tersentuh.Selama tiga hari ini ia berusaha melakukan segala cara untuk menghentikan perbuatan keji Matthew yang mem
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes