Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.
Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu. "Sudah bangun sekarang?" Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya. "Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet. Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya. Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya. "Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pelan ketika melihat penunjuk waktu yang menempel di dinding kamar bercat putih dengan ornamen serta perabot yang terdiri dari serba kayu, menambah kesan alami namun tetap aesthetic. Bahkan ranjang tempat dimana mereka berdua sekarang berada pun terbuat dari kayu jati kokoh terbaik, dengan ornamen minimalis dan kelambu putih tipis yang menguarkan vibes romantis sekaligus hangat. Meskipun kini ranjangnya sendiri sudah tak berbentuk lagi, sangat berantakan bagai sehabis diterpa angin puting beliung. Seprai putih yang telah tercerabut dari kasur empuk, selimut coklat muda yang mengumpul kusut di kaki Juliet, bantal yang kini posisinya malah menjadi guling untuk Juliet, membuat Matthew diam-diam memberikan bantalnya sendiri dan menyelipkannya di kepala gadis itu ketika Juliet telah terlelap. Matthew tahu Juliet terbiasa tidur dengan memeluk guling, sementara benda itu tidak akan tersedia di hotel-hotel dan resort seperti ini. Setelah ia puas menyentuh Juliet saat mereka masih berada di pantai, Matthew menggendong tubuh gadis itu memasuki resort menuju ke kamar VVIP terbaik yang telah ia pesan. Karena butir-butir pasir pantai yang masih menempel di tubuh mereka, Matthew memutuskan untuk membawa Juliet ke dalam kamar mandi terlebih dahulu agar sama-sama membersihkan badan, sebelum kemudian akhirnya menarik tangan gadis itu ke atas ranjang. Selanjutnya pun bisa ditebak, lelaki yang memang tak pernah merasa puas itu kembali melanjutkan untuk menjamah tubuh menawan, dari gadis yang selama ini ia simpan untuk dirinya sendiri. Tidak peduli meski Juliet memohon-mohon untuk berhenti karena gadis itu terlalu letih untuk melayani hasratnya. "Mmmh... memangnya kenapa kalau sudah jam tiga sore?" Tanya Matthew yang masih mengendus kulit Juliet di bagian tulang selangkanya yang menyembul dengan cantik. "Uung... tidak. Aku hanya asal berucap saja," sahut Juliet yang kembali mengalihkan tatapannya kepada lelaki itu. Matthew mendengus pelan, ia benci sekali ketika Juliet menyebutkan waktu. Seolah-olah gadis itu berusaha untuk segera menyudahi keintiman di antara mereka. "Uh, Matthew?! Mau kemana??" Juliet terkejut ketika lelaki itu tiba-tiba saja menggendongnya dan beranjak dari ranjang. "Mandi," ucap lelaki itu lagi dengan ayunan langkah menuju kamar mandi. "Aku bisa jalan sendiri," tukas Juliet yang merasa rikuh karena dari tadi lelaki itu selalu saja menggendongnya kemana-mana. "Tapi aku ingin melakukannya," cetus Matthew santai. "Seharusnya kamu senang karena aku memperlakukanmu dengan lembut, Juliet. Atau jangan-jangan kamu lebih suka diperlakukan dengan kasar, hm?" Juliet pun akhirnya memilih untuk diam tidak menjawab. Sejujurnya ia cukup lega, karena ternyata Matthew lagi-lagi hanya berniat untuk memandikannya sama seperti ketika mereka baru tiba dari pantai tadi. Terkadang Juliet tidak habis pikir dengan sikap lelaki bersurai coklat gelap itu yang kadang lembut dan kadang kasar. Sangat tidak bisa diprediksi, sekaligus juga sangat membingungkan. Sehabis mandi, Matthew menggandengnya menuju dining area untuk makan siang yang terlambat. Juliet tidak mau ambil pusing lagi dengan sikap Matthew yang sekarang seakan memperlakukannya dengan penuh perhatian. Gadis itu menganggap bahwa sikap Matthew yang seperti ini laksana arah mata angin, yang begitu gampangnya berubah haluan bahkan hanya dalam hitungan detik. Jika sekarang lelaki itu terlihat seperti seseorang yang sedang jatuh cinta, bukan tidak mungkin di detik selanjutnya ia malah berubah menjadi monster jahat yang suka menyakiti Juliet. "Apa ada yang aneh di wajahku?" Juliet bertanya penuh rasa heran kepada Matthew yang sejak tadi hanya melihatnya mengunyah makanan alih-alih menghabiskan isi di dalam piringnya. Seperti orang yang baru tersadar dari lamunan, Matthew pun tersentak dengan suara kesiap pelan yang lolos dari bibirnya. Namun beberapa saat kemudian lelaki itu terlihat bisa menguasai diri dan kembali dalam mode dingin seperti Matthew yang biasanya. "Kamu harus belajar tata krama di meja makan, Juliet. Sungguh, melihat caramu menyantap hidangan sangat tidak beretika dan membuatku sakit kepala," cela lelaki itu seraya mendengus dan memasukkan sendok berisi makanan ke dalam mulutnya. "Ck. Tak bisakah kamu makan dengan baik dan perlahan??" Gerutu Matthew yang kemudian menarik serbet dan mengusap sudut bibir Juliet yang belepotan saus spageti. Membuat gadis bersurai panjang itu pun sontak diam dan terpana. Sampai di sini, Juliet pun tak bisa untuk tidak bergeming lagi. Karena ini terlalu aneh. Matthew terlalu aneh! Tak pernah sekali pun sosok lelaki blasteran itu pernah memperhatikan cara Juliet makan selama ini. Gadis itu memang cukup berantakan saat makan, tapi biasanya Matthew tidak pernah peduli dan berkata apa pun, apalagi hingga mengelap serta membersihkan sudut mulutnya seperti ini. Juliet mengerjap pelan, berusaha memfokuskan pandangannya pada wajah Matthew yang begitu dekat dengan wajahnya. Dan begitu serius mengelap noda saus di bibir Juliet. "Kenapa, Matthew?" Suara pelan yang mengeluarkan pertanyaan itu pun akhirnya meluncur begitu saja dari bibir Juliet tanpa bisa ia cegah lagi. "Kenapa kamu menjadi begitu berbeda sejak kembali dari Amerika?" Matthew mengalihkan tatapannya dari bibir Juliet ke manik bening gadis itu. Sebuah kecupan sekilas kemudian dialamatkan ke bibir lembut Juliet, sebelum lelaki itu berucap. "Karena kalimat klise yang berkata bahwa batas antara benci dan cinta itu sangat tipis, dan seseorang yang merasakan salah satu perasaan itu bisa jadi berada di posisi yang salah, namun dia tidak menyadarinya," jawab Matthew sengaja bermain kata-kata. "Maksudnya?" Tanya Juliet berusaha mencerna semua perkataan Matthew yang membuatnya berdebar, namun gadis itu tidak ingin salah mengartikan. Matthew menarik tangannya yang masih memegang serbet dari bibir Juliet, lalu meletakkan material itu di atas meja. "Untuk saat ini, aku belum bisa menentukan bagaimana perasaan yang sejujurnya kurasakan kepadamu, Juliet. Aku sangat yakin kalau membencimu, tapi terkadang... aku juga tidak merasa membencimu." Jemari lelaki itu kemudian terulur untuk membelai bibir Juliet yang penuh dan mengundang untuk terus dikecup. Tatapan dari bola mata coklat pasir Matthew kini ikut meredup, hanyut dalam damba untuk memagut liar bibir yang menggiurkan itu. Namun Matthew menahan diri. Ia tidak ingin larut mengikuti hasratnya, karena ia pun sadar diri bahwa akan sulit untuk berhenti ketika disodori tubuh Juliet yang menawan. Ia sudah ketagihan, dan berada di taraf yang cukup mengkhawatirkan. "Cepat selesaikan makanmu," ucap Matthew dengan suara serak karena menahan gairah. "Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat." Tanpa berniat untuk membantah, Juliet pun segera menandaskan isi piringnya yang tinggal sedikit lagi, lalu meneguk gelas berisi air putih. Tak lama kemudian, dua sosok rupawan itu pun beranjak dari dining area. Lagi-lagi Matthew menggandeng tangan Juliet tanpa sedikit pun rasa rikuh. Lelaki itu ternyata mengajaknya ke bagian belakang resort yang rupanya adalah sebuah istal atau kandang kuda. Juliet pun tak bisa menyembunyikan rasa kagumnya pada figur hewan luar biasa yang ada di sana dan ternyata ada belasan jumlahnya. Kuda-kuda itu terlihat sangat sehat dan terawat. Seumur hidup, baru kali ini Juliet dapat melihat wujud hewan ini dalam jarak yang sangat dekat seperti ini. Satu-satunya kenangan yang ia ingat tentang kuda adalah ketika ayah mengajaknya ke kebun binatang ketika dirinya masih sangat kecil, dan di sanalah Juliet pertama kali melihat kuda dalam jarak yang agak jauh karena ia terlalu takut. Matthew memilih kuda berwarna sehitam arang namun setiap helainya berkilat bagai serpihan glitter. "Namanya 'Devil'," ucap Matthew seraya menunjuk kuda hitam yang ia maksud. "Dia cantik kan?" Juliet mengangguk pelan, sembari melihat penjaga istal yang sedang memasang pelana ganda pada Devil. Ya, nama itu sepertinya memang cocok sekali untuk kuda yang sedang menatap Juliet dengan mata hitamnya. Matthew kemudian menaiki Devil dengan tangkas lalu duduk di atasnya. Satu tangannya memegang erat tali kekang, sementara tangan yang lain terjulur ke arah Juliet. "Ayo naik." Juliet meringis ragu. Sebenarnya sejak tadi ia agak takut jika Matthew mengajaknya berkuda, dan kini ketakutannya pun telah terbukti. "Umh... aku tidak bisa, Matthew," ujar Juliet sembari menggeleng pelan. "Ayolah, Juliet. Apa kamu takut jatuh? Jangan takut karena aku akan selalu memegangmu dengan sangat erat." Juliet terpaku mendengar perkataan Matthew yang diucapkan dengan nada serius, serta bagaimana bola mata coklatnya terlihat berkilau terkena pantulan cahaya lampu. Entah kenapa, Juliet seakan bisa merasakan arti yang berbeda dari kalimat terakhir Matthew tadi. Makna ambigu yang membuatnya seluruh tulangnya serasa menggigil. Semoga saja ini cuma pikiran buruknya yang berbicara, dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan maksud lelaki itu. Juliet menyunggingkan senyum kaku, lalu memutuskan untuk meraih tangan Matthew yang terjulur kepadanya. Lelaki ini besera segala sikapnya yang misterius dan tidak bisa ditebak bagaikan sebuah rumus matematika rumit yang ingin sekali dipecahkan oleh Juliet. Terlalu banyak variabel-variabel baru yang bermunculan, yang mengakibatkan perhitungan baru yang tak terduga. Tapi Juliet bertekad bahwa dirinya suatu saat akan dapat menaklukkan seorang Matthew Wiratama, serta sekaligus membalas semua perbuatan lelaki itu selama ini yang telah melecehkan dirinya. Dengan cara perlahan-lahan mengumpulkan amunisi, lalu menembakkan pelurunya di momen yang paling tepat. Karena berpikir terlalu keras tentang dendamnya, Juliet bahkan telah melupakan rasa takutnya ketika berada di atas kuda. Gadis itu baru tersadar ketika Matthew bertanya bagaimana perasaannya sekarang. Matthew yang duduk di belakang Juliet sekaligus bertindak sebagai pengendali tali kekang, telah membawa mereka kembali ke pinggir pantai. "Uhm... ternyata tidak semenakutkan seperti yang kukira sebelumnya," jawab jujur gadis itu. Malah Juliet baru menyadari bahwa menaiki kuda yang berjalan pelan di atas pasir pantai adalah salah satu momen terbaik dalam hidupnya. Rasanya seperti meluncur dengan kecepatan konstan, dan itu rasanya cukup menyenangkan. "Coba elus lehernya," titah Matthew kepada Juliet. "Kuda sangat suka jika lehernya dielus. Dan tolong tubuhmu jangan kaku begitu. Rileks, Juliet." Matthew tersenyum ketika melihat Juliet yang mulai mengelus leher kuda dengan perlahan. Satu tangannya yang memeluk pinggang gadis itu dari belakang tanpa sadar semakin mengeratkan pegangannya dengan posesif. "Lihat. Dia menyukaimu," bisik Matthew di telinga Juliet, ketika melihat kepala Devil yang sedikit tertoleh ke arah gadis itu. Juliet kini pun ikut tersenyum. Bulu-bulu Devil ternyata cukup lembut, begitu pun dengan surainya yang panjang. "Aku juga menyukainya," balas Juliet yang tertawa kecil mendengar ringkikikan pelan Devil. Matthew tak menjawab, hanya memalingkan wajahnya menatap ke ujung garis pantai nun jauh di sana, dimana matahari senja yang terlihat akan tenggelam telah dinaungi semburat awan berwarna oranye. Juliet juga ikut memandangi keindahan landscape yang membuatnya berdecak kagum. "Indah sekali," gumannya pelan. Matthew memindahkan tangannya yang semula memeluk pinggang Juliet hingga kini memegang tengkuk gadis itu, mengarahkan wajahnya ke samping lalu mengecup bibirnya. Juliet yang sudah terbiasa diserang tiba-tiba seperti itu tidak akan kaget lagi, hanya saja dia sedikit terpana dengan kelembutan ciuman Matthew kali ini. Tak ada hasrat yang menuntut, tak ada lidah yang menelusup masuk dan menyapu segalanya dengan liar. Matthew hanya menggunakan bibirnya untuk menghisap lembut bibir atas dan bawah Juliet secara bergantian, sebelum kemudian memperdalam pagutannya. Juliet pun mendesah pelan, sebagai pertanda bahwa ia telah larut dalam ciuman Matthew. Baru kali ini ia merasakan bahwa penyatuan dua bibir ternyata bisa dilakukan dengan begitu lembut dan membuat dirinya menikmati. Matthew bukan saja lelaki yang pertama kali menjamah tubuhnya, tapi juga telah menjadi first kiss-nya. Namun sebelum pulang dari Amerika, lelaki itu tak pernah mengecup bibirnya dengan sikap selembut ini. Matthew selalu saja melakukannya dengan berapi-api penuh nafsu, hingga kadang membuat Juliet kesulitan untuk bernapas. Diiringi suasana senja yang temaram, kedua insan itu terus saling berpagutan mesra. Juliet membalas ciuman Matthew dengan tak kalah lembutnya, membuat lelaki itu tersenyum di balik cumbuannya. "I'm so crazy about you," bisik Matthew tiba-tiba di sela-sela ciuman mereka. "Aku benar-benar tergila-gila padamu, tak peduli bagaimana kerasnya usahaku untuk mengabaikanmu dengan pergi ke Amerika selama setahun, namun kenyataannya aku tetap saja tak bisa melupakanmu semudah itu." Juliet terkesiap mendengar perkataan Matthew, hingga sontak melepaskan bibirnya untuk menatap lelaki itu tepat di mata. Senyum Matthew yang sangat jarang ia lihat ternyata menawan sekali di jarak yang sedekat ini. Juliet pun terpaku dengan bagaimana manik coklat pasir Matthew yang menatapnya dengan sorot berbeda. Teduh. Penuh rasa damba yang tersemat begitu dahsyat di dalamnya. Bukankah Matthew membenci dirinya? Juliet memekik kaget ketika merasakan cengkeraman di pinggangnya, sebelum tubuhnya diangkat dengan begitu mudahnya dan dibalik hingga kini Juliet dan Matthew pun duduk saling berhadapan. Matthew menggenggam jemari Juliet, lalu mengangkatnya ke bibir untuk dikecup satu persatu. "Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet masih tak berkata apa pun. Ia masih mencerna, menelaah dan memeriksa apakah untuk kali ini sikap Matthew tidak akan berubah lagi. Namun ketika ia melihat bagaimana Matthew menatapnya dengan sorot penuh keputus-asaan, kini Juliet mulai sedikit teryakini. Bahwa untuk kali ini, giliran dirinyalah yang akan memegang kendali. Bahwa untuk kali ini, semesta pada akhirnya memberikan kesempatan pada dirinya untuk membuat Matthew Wiratama, orang yang telah mencuri kebebasannya sebagai manusia sejak berusia 16 tahun, merampas kesuciannya, sekaligus mengekangnya dengan peraturan-peraturan tak masuk akal... ...akan mendapatkan balasan yang lebih dari kata "setimpal". ***"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
"Oh. My. God. Apa itu cincin lamaran?!" Pekik gadis berkacamata dengan bola mata membelalak sempurna. "Jadi Matthew benar-benar melamarmu?!"Juliet membiarkan temannya Sienna meraih jemarinya untuk menatap lekat cincin berlian besar dan indah yang tersemat di jari manisnya. Hari ini kebetulan tak ada kuliah karena dosen yang mengajar sedang ijin, dan Juliet pun janjian dengan Sienna untuk bertemu di resto sebuah mal.Sienna berdecak kagum. "Selera Matthew Wiratama memang tidak main-main," ucapnya sembari menatap Juliet."Ah, aku iri sekali. Matthew mengetahui kalau kamu mengandung anaknya, lalu dia pun segera melamar? Ya ampun. Dia pasti tipe lelaki konvensional, yang menginginkan keturunannya lahir dengan kedua orang tuanya telah terikat dalam pernikahan," cetus gadis berkacamata itu dengan mata berbinar-binar.Juliet memutar kedua bola matanya mendengar perkataan Sienna yang terdengar seperti seorang pemuja kepada idolanya."Whatever, Sienna. Bagaimana tentang permintaanku kemarin?
Selama tiga tahun ini, keberadaan Juliet memang terkesan seperti disembunyikan oleh Matthew dari seluruh keluarga besar Wiratama.Dirinya dianggap tiada, meskipun nyata adanya.Matthew sengaja menaruh Juliet di rumah kedua, villa yang biasa digunakan untuk beristirahat oleh keluarganya, alih-alih kediaman utama yang biasa ditempati Matthew dulu bersama kedua orang tuanya.Saat Matthew mengambil Juliet yang yatim piatu dan mengangkatnya menjadi adik asuh, Oma adalah orang yang paling keras menentangnya.Sama seperti Matthew waktu itu, Oma menganggap kematian putranya Ibram dan menantunya Kayana adalah karena kesalah Bayu yang saat itu bertindak sebagai pengemudi mobil naas yang dinaiki mereka.Dan sama juga seperti Matthew, Oma pun menimpakan kesalahan itu kepada Juliet yang sama kehilangannya, dan tidak tahu apa-apa.Hubungan antara Matthew dan Oma saat itu sempat renggang, karena ketidaksetujuan wanita itu ketika cucunya membawa Juliet masuk ke dalam rumah Wiratama.Mereka merasa Mat
**Flashback 3 tahun yang lalu**Juliet lelah sekali setelah menangis hampir seharian penuh di acara pemakaman ayahnya. Tenaganya seperti telah tersedot habis karena kesedihan mendalam yang mengeringkan batin serta jiwanya.Luka yang belum sembuh karena kehilangan ibunda tercinta beberapa tahun yang lalu, kini semakin berdarah dan menganga terbuka karena satu-satunya orang terkasih yang ia miliki kini telah dirampas dari kehidupannya.Malam gelap yang dipenuhi dengan milyaran tetesan hujan yang begitu deras telah tiba, dan Juliet hanya bisa memeluk tubuh mungilnya yang kurus di dalam kamar ayahnya yang kosong, sekosong hatinya."Ayaah... kenapa ayah tega meninggalkanku seorang diri?" bisiknya dalam derai air mata yang kembali mengalir deras membasahi wajahnya.Ia kesepian. Takut. Kesunyian di malam ini sangat mengerikan bagi anak remaja seusia 16 tahun seperti dirinya. Juliet benar-benar menyesal menolak tawaran dari salah satu teman sekelasnya untuk menginap di rumahnya.Ia hanya tida
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes