"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya.
"Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran. "Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab. "Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren. "Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, memaksakan kehendak, dan entah pasal hukum apalagi yang telah kamu langgar." Suara makian Darren pun terdengar sesudahnya, meskipun cukup pelan tapi jelas terdengar di telinga Matthew yang masih santai tak menanggapi. "Tidak mungkin Juliet tidak mengetahuinya, mengingat dirinya telah berada di semester 4 perkuliahan dan pasti dia telah mempelajari tentang pelanggaran hukum pidana seperti yang telah kamu lakukan," tambah Darren lagi. Akhirnya Matthew mengangkat wajahnya dari layar ponsel untuk menatap Darren. "Aku tak peduli dengan apa pun yang Juliet ambil untuk studinya, ataupun semua rencana yang mungkin saja sebenarnya hanya ada di dalam otakmu," tukas Matthew singkat sambil menyeringai. "Justru, aku ingin sekali melihatnya. Aku ingin melihat apa yang dilakukan Juliet dengan rencana studinya. Apa dia akan menjadi seorang pengacara? Apa benar diam-diam dia sedang menyusun kekuatan di belakangku untuk menjatuhkanku?" Matthew terkekeh pelan hingga membuat Darren bergidik. "You will see, Darren. Itu pasti sangat menarik. Aku berharap itu akan terjadi, dan kita lihat saja nanti siapa sesungguhnya yang benar-benar akan jatuh!" Darren berdecak. "Jangan terlalu mengerikan, Matthew. Kamu membuatku merinding." "Hah. Seekor semut kecil pun bisa membuatmu merinding," balas Matthew meledek. "Jangan pernah remehkan seekor semut, jika dia akan menggigit balik dan melawan dengan sekuat tenaga," balas Darren yang kembali menyindir sepupunya. "Apa kamu benar-benar yakin tidak memiliki perasaan yang khusus kepada Juliet?" Dengan sengaja, Darren kembali mengungkit-ungkit hal yang sama dengan tujuan hanya karena ingin mengusili sepupunya itu. "Ck. Ini sudah masuk jam istirahat, Darren. Apa kamu tidak mau makan siang dengan salah satu koleksi pacarmu itu?" Darren tertawa mendengar pertanyaan sarkas Matthew. Tapi ia tak bisa mengelak, pacarnya memang banyak. "Baiklah," Darren bangkit dari sofa single tempatnya duduk dengan santai. "Ucapanmu mengingatkanku pada janji makan siang dengan Georgina. Aku permisi dulu, Mr. Matthew Wiratama." Dengan lagak memberi hormat yang dibuat-buat, Darren pun melangkah menuju pintu sembari bersiul ringan menyanyikan lagu "Can't Take My Eyes Off Of You", lagu lawas yang juga bermaksud untuk menggoda Matthew. "Nadamu sumbang, sialan! Membuatku sakit telinga!" Teriak Matthew yang kesal menatap punggung sepupunya yang kini telah menghilang dari balik pintu yang tertutup. *** Juliet menoleh ke arah pintu yang bergerak terbuka, dan gadis itu pun segera menutup dan membereskan buku-buku kuliahnya yang berserakan di atas meja. Sembari menunggu Matthew yang akan mengatakan akan menjemputnya ke kamar, Juliet memutuskan untuk mengulang pelajaran Hukum Agraria, mata kuliah yang seharusnya ia ikuti kuisnya hari ini, jika saja Matthew mengijinkannya pergi ke kampus. Darren pasti telah pulang, itu sebabnya Matthew kini datang ke kamarnya. Lelaki itu bahkan sedang berdiri dan menyandar di bingkai pintu, sembari kedua tangannya bersidekap menatap dirinya tajam. "Aku mau jalan-jalan," ucap Matthew tanpa melepaskan tatapan tajamnya dari wajah Juliet. "Oke. Selamat jalan, kalau begitu." Juliet menyahut, merasa sangat lega karena akhirnya ia punya setengah hari terbebas dari Matthew. "Bersamamu." "Hah?" Rasa-rasanya telinga Juliet seperti sudah salah dengar. Apa barusan Matthew bilang ingin jalan-jalan dengannya?? Tapi itu tidak mungkin kan?? Karena sepanjang yang Juliet tahu, Matthew itu sangat alergi terlihat di depan umum bersamanya. "Kuberi waktu tiga menit untuk bersiap-siap. Kamu tahu kalau aku benci menunggu kan, Juliet?" Sekali lagi Matthew memaku sorot tajamnya di wajah gadis itu, sebelum kemudian melangkah keluar dan menghilang dari kamar Juliet. Juliet masih tetap diam terpaku di tempatnya berdiri setelah beberapa saat Matthew pergi. Menatap sisa-sisa bayangan lelaki itu yang telah lenyap. Semakin lama sikap Matthew semakin aneh... dan Juliet tidak bisa untuk tidak curiga. Bagaimana mungkin lelaki yang biasanya acuh padanya itu tiba-tiba saja melakukan banyak hal yang sangat jauh di luar kebiasaannya?? *** "Kamu terlambat sebelas detik." Juliet meringis mendengar nada tajam dari bibir Matthew saat ia baru saja memasuki mobil Rolls Royce Ghost milik Matthew. Lelaki itu benar-benar serius saat mengatakan bahwa semua pekerja telah ia liburkan hari ini. Terbukti, bahkan Matthew yang biasanya selalu menggunakan jasa supir pribadi kemana-mana, khusus untuk hari ini dialah yang menyetir sendiri. "Maaf," sahut Juliet pendek, menanggapi teguran dingin Matthew mengenai keterlambatannya yang hanya beberapa detik itu. Gadis itu malas beralasan, karena selain Matthew yang membenci alasan seseorang yang sudah jelas bersalah, selain itu juga ia hanya terlambat beberapa detik. "Kamu harus di hukum," ucap Matthew sembari mulai memutar kemudi untuk keluar dari kediaman mewahnya. Ternyata hanya pengawal yang menjaga keamanan serta bersiaga di gerbang pagar tinggi yang masih bekerja hari ini, Matthew tidak benar-benar meliburkan semua pekerja. Juliet hanya diam saja tak menanggapi perkataan Matthew, sembari menatap kejauhan dari jendela kaca. Hukuman Matthew biasanya tak jauh dari sesuatu yang tak senonoh, dan ia sudah mulai terbiasa akan hal itu setelah tiga tahun menjadi wanita simpanan lelaki itu. Justru kecanggungan yang Juliet rasakan adalah keberadaannya saat ini, hanya berdua di dalam mobil bersama Matthew. Menuju ke... entahlah kemana. Bukankah tadi Matthew bilang ingin jalan-jalan dengannya? Tapi tak ada satu pun tempat yang terpikirkan oleh Juliet yang kira-kira akan dituju oleh lelaki itu. Karena ini memang untuk pertama kalinya Matthew mengajaknya keluar. Oh, oke. Ternyata Matthew mengajaknya ke mal. Juliet bisa melihat arah mobil mewah ini yang bergerak memasuki daerah pusat perbelanjaan di tengah kota, dan harus Juliet akui kalau ada sedikit bias kekecewaan dalam dirinya. Tadinya ia berharap kalau Matthew akan mengajaknya... entahlah, berwisata mungkin. Ke pantai, taman, museum atau semacamnya... karena bagi Juliet, mal bukanlah tempat favoritnya. Tapi siapa dirinya? Mana mungkin Juliet protes, karena Matthew bahkan sama sekali tidak meminta pendapatnya. "Kamu turunlah terlebih dahulu, dan tunggu aku di toko roti La Petite Lulu di lantai dua," titah Matthew yang menghentikan mobilnya di bagian main entrance mal. Juliet mengangguk tanpa kata dan membuka pintu sebelum melangkahkan kakinya yang terbalut sepatu flat keluar dari mobil. Ia mengerti jika Matthew pasti masih enggan terlihat bersama dengan dirinya, dan Juliet pun tidak keberatan dengan hal itu. Sesampainya di toko roti La Petite Lulu, Juliet tersenyum senang melihat jejeran roti-roti hangat yang aromanya sangat menggugah selera. Gadis itu memutuskan untuk membeli beberapa potong untuk dirinya dan Matthew, serta dua botol air mineral. "Eh, Juliet? Kamu Juliet anak Hukum, kan?" Suara seseorang yang menyapa dirinya membuat Juliet mengalihkan pandangan ke samping, dimana seorang lelaki berdiri dan tersenyum kepadanya. Juliet pun mengerutkan keningnya melihat wajah yang rasa-rasanya familier namun ia tidak mengingat namanya. "Hm... iya. Maaf, tapi kamu siapa ya?" Lelaki itu tertawa pelan, membuat setitik lesung tercipta di pipinya. "Hai. Namaku Virgo, kakak kelas satu tingkat di atasmu." Oh, ternyata dia kuliah di kampus yang sama dengan Juliet. Pantas saja sepertinya wajah lelaki itu sangat familier. Tapi... tunggu sebentar. Virgo?? "Eh, Virgo? Virgo yang asisten Dosen mata kuliah Hukum Agraria??" Juliet meringis malu karena baru menyadari dengan siapa dia berhadapan saat ini. "Maaf, daya ingatku memang agak buruk." Kenapa bisa dia tidak mengingat si asisten Dosen yang dulu pernah menggantikan Dosen Hukum Agraria mengajar di kelasnya? Virgo kembali tertawa melihat gadis cantik di depannya yang jadi merasa tidak enak padanya. "Nggak masalah. Lagi pula aku cuma satu kali mengajar, jadi wajar saja kalau kamu lupa," sahut Virgo santai. "Oh iya, pagi ini ada kuis Hukum Agraria kan? Kenapa kamu nggak ikut?" "Kok Kak Virgo bisa tahu kalau aku nggak ikut kuis?" Tanya balik Juliet. "Simpel sih, karena Pak Dosen lagi-lagi menugaskan aku yang memberikan kuisnya," cetus lelaki berkulit putih dengan maniknya yang berbentuk monolid. "Oh..." "Jadi kenapa kamu melewatkan kuis hari ini? Padahal nilainya cukup tinggi untuk mendongkrak nilai akhir, lho." "Itu, uhm..." Juliet pun berusaha berpikir cepat untuk menemukan alasan yang tepat. "Aku--" "Juliet!" Suara berat dengan intonasi nada yang dingin tiba-tiba menyeruak, memanggil nama gadis yang kini terkejut melihat sosok yang baru hadir di antara dirinya dan Virgo. Juliet pun menelan ludah melihat ekspresi kelam penuh tuduhan di wajah lelaki itu, seakan sedang memergoki kekasihnya yang sedang selingkuh. "Matthew." Juliet menyebut nama lelaki itu dengan lidah yang kelu. Oh ya ampuun... ini gawat. Matthew paling tidak suka melihatnya berbincang dengan orang lain, terutama lelaki! "Dia siapa, Juliet?" Tanya Virgo bingung. "Kamu yang siapa? Ada perlu apa dengan Juliet?" Tanya balik Matthew dengan nada sedingin dan setenang lautan sebelum ombak badai datang menerjang. "Matthew, dia asisten dosen di kampusku. Namanya Virgo. Virgo, ini kakak angkatku, Matthew." Juliet pun buru-buru memperjelas situasi agar tidak terjadi salah paham. "Tadi Virgo tidak sengaja melihatku di sini, lalu dia menyapaku," jelas Juliet lagi, ketika melihat Matthew yang diam saja tanpa tanggapan apa pun. Jujur, itu sangat menakutkan baginya. "Halo, apa kabar?" Akhirnya Virgo-lah yang memutuskan untuk lebih dulu menyapa sembari menjulurkan satu tangannya, meskipun Matthew menampilkan ekspresi yang sama sekali tak bersahabat. Matthew menyunggingkan half smirk sebelum menyambut jabat tangan Virgo. "Kabarku cukup baik. Tapi akan lebih baik setelah menjauh dari sini," ucapnya penuh sindiran, dengan mencengkram kuat jemari Virgo hingga membuat lelaki muda itu mengernyit kesakitan. Serta-merta Virgo pun segera melepaskan jabat tangannya, sebelum Matthew benar-benar akan meremukkan tulangnya. Lelaki muda itu kemudian meringis sembari mengusap jemari tangan kanannya yang terasa bengkak. "Kurasa sekarang aku harus pergi," ucap Virgo setelah melihat betapa mengerikannya sorot penuh permusuhan yang terpancar dari manik coklat Matthew. "Sampai ketemu di kampus, Juliet. Sampai jumpa lagi, Matthew." Virgo tersenyum dan melambaikan tangan kepada Juliet, lalu sedikit menganggukkan kepala kepada Matthew. Juliet yang tidak berani mengucapkan kalimat yang sama kepada Virgo, akhirnya hanya memulas senyum di bibirnya dan ikut melambaikan tangan. "Matthew?" Juliet memanggil lelaki itu ketika Matthew tiba-tiba saja menarik tangannya keluar dari toko roti La Petite Lulu. "Aku membeli roti untuk kamu, karena aromanya enak sekali di toko tadi." Juliet pun akhirnya berkata lagi, karena nyatanya Matthew tidak mengindahkan panggilannya. Gadis bersurai panjang itu memekik pelan karena Matthew tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membuat kening Juliet menabrak punggung keras lelaki itu. "Mana rotinya?" Tanya Matthew dengan satu tangan yang tersodor dengan gestur meminta. Juliet memberikan bungkusan berisi roti dan air mineral kepada Matthew, yang langsung diterima dengan antusias oleh Matthew dan manik coklatnya yang terlihat berbinar. Juliet sedikit terkesima melihatnya. Sesuka itukah Matthew dengan roti dari toko La Petite Lulu? Namun semua itu hanya sesaat, karena wajah dinginnya kembali lagi tak berapa lama kemudian. "Jangan mengira dapat menyogokku dengan ini, kamu akan tetap mendapatkan hukuman karena terlambat 11 detik dan ditambah mengobrol dengan lelaki lain." Juliet kembali diam saja tanpa menanggapi. Malah dirinya bingung karena Matthew hanya memegang bungkus rotinya saja sambil terus berjalan menyusuri mal yang tidak terlalu ramai di hari kerja, sembari tak lepas untuk terus menggenggam jemarinya. "Kenapa rotinya tidak dimakan?" Tanya gadis itu. Matthew menatap Juliet dengan tatapan aneh seakan gadis itu gila. "Ini benda pertama yang kamu beli khusus untukku. Mana mungkin aku memakannya? Aku malah akan menyimpannya baik-baik." Hah?? Dia bilang apa?? Baru kali ini Juliet berani tertawa di depan Matthew, meskipun hanya tawa kecil namun lepas. "Itu cuma roti, Matthew. Makan saja. Aku akan membelikannya lagi untukmu." "Rasanya pasti tidak akan sama dengan yang pertama," kilah Matthew. "Dan jangan tertawa lagi. Atau aku terpaksa menghajar dua lelaki di sana yang sejak tadi memandangimu." Juliet mengerjap kaget, lalu diam-diam melirik ke arah yang dimaksud oleh Matthew. Ternyata benar, ada dua orang lelaki yang berdiri di depan etalase salah satu toko yang sedang memandangi dirinya. Juliet buru-buru menundukkan kepalanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Matthew selama ini bukanlah omong kosong, jadi lebih baik ia menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebelum semuanya makin kacau. Juliet mendehem pelan "Uhm, Matthew... kamu selalu mengisi rekeningku dengan uang yang sangat banyak setiap bulan, kan? Jadi bagaimana kalau hari ini, aku yang akan traktir makan siang?" Ide itu tiba-tiba saja tercetus di dalam otak Juliet karena melihat lelaki itu yang terlihat sangat senang akan pemberiannya. Matthew berusaha menyembunyikan rasa senangnya dengan tetap berwajah datar. Ia merasa bodoh, merasa sangat kekanakkan karena begitu girang hanya karena roti yang diberikan oleh Juliet, serta tawaran traktiran makan dari gadis itu. Dia bisa membeli kepemilikan sepuluh resto termewah di negara ini kalau mau, tapi semua itu akan kalah maknanya dengan Juliet yang tiba-tiba saja berinisiatif untuk membayarinya makan siang. Dia... menyukai ide itu. Sangat. "Uhm... tapi dengan syarat : aku yang akan menentukan tempatnya," tukas Juliet yang mulai mencoba untuk berani sedikit jahil, sejak Matthew yang kembali setelah setahun di Amerika ini sepertinya jauh lebih lembut dan lebih mudah untuk didekati. Dan juga jauh lebih manusiawi. *** Matthew mendengus kecil dan mengernyit melihat situasi di sekelilingnya. Sudah ia duga kalau Juliet benar-benar ingin membalas dendam atas perlakuannya selama ini, dengan membawanya makan siang di tempat ini. Alih-alih resto Prancis atau Yunani seperti kesukaan Matthew, Juliet malah membawanya ke sebuah... warung bakso dan mie ayam kecil di pinggir jalan! Bahkan Rolls Roys Ghost-nya yang terparkir di pinggir jalan kecil itu jadi tontonan orang-orang sekitar, seperti objek wisata baru dan spot selfie untuk anak remaja. Seorang pelayan membawakan dua mangkuk bakso hangat dengan asap yang masih mengepul, lalu meletakkannya di hadapan Matthew dan Juliet. Matthew hanya diam sembari menatap Juliet yang terlihat sangat lahap mengunyah baksonya, dan berdecih pelan melihat gadis itu yang makan seperti pengungsi kelaparan. "Baksonya memang seenak itu," protes Juliet yang tidak terima karena Matthew menatapnya dengan pandangan merendahkan. "Kalau kamu tidak mau, biar aku saja yang habiskan," ucap gadis itu lagi, sembari menarik mangkuk Matthew. "Ck. Dasar gadis rakus," Matthew menepuk tangan Juliet yang menyentuh mangkuknya. "Jangan pernah sentuh makananku yang berharga." Kali ini Juliet pun tak dapat menahan gelak tawa gelinya. "Berharga? Kenapa? Karena aku yang membelinya untukmu?" "Ya, tentu saja karena itu alasannya." Matthew akhirnya memutuskan untuk fokus mencicipi makanan itu, karena pikirannya yang tiba-tiba saja berkabut melihat tawa Juliet. "Karena kamu sepelit itu, Juliet. Tidak pernah membelikanku apa pun." "Tapi kamu sudah memiliki segalanya, Matthew." "Ya, segalanya. Kecuali pemberian dari kamu." "Tunggu." Juliet menatap lelaki di depannya dengan tatapan heran. "Jadi selama ini kamu berharap begitu, ya?" Matthew hanya diam dan mengedikkan bahunya sambil terus mengunyah bakso. Ya ampun. Apa Matthew anak remaja belasan tahun? Dia kekanakkan sekali, tak seperti usianya yang telah menginjak 30 tahun! Mereka kemudian makan dalam diam, tak melanjutkan pembicaraan. Namun batin mereka masing-masing begitu berisik dengan kata hati yang berbicara. "Ini bisa dibilang kencan, nggak sih?" Juliet tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan iseng yang tanpa dia sadari telah menggunakan bahasa kasual yang lebih santai kepada Matthew. "Ya. Anggap saja ini kencan pertama kita. Walaupun... " pandangan nanar Matthew sesaat mengedar ke sekeliling warung tenda kecil itu. "Sama sekali tidak proper." Juliet terbahak melihat hidung mancung Matthew yang berkerut. Berhasil juga akhirnya ia membuat Matthew kesal, tanpa harus menerima wajah dingin dan datar ala Matthew seperti biasa. Ternyata benar dugaannya, si gunung es angkuh ini mulai mencair. "Nggak usah bayar, Mbak. Untuk Mbak cantik dan Masnya yang ganteng, saya kasih gratis semuanya," ucap sang pemilik warung bakso itu sambil tersenyum, ketika Juliet berniat untuk membayar makanan mereka. "Loh? Kok gratis, Pak?" Tanya Juliet kaget. "Karena kalian berdua sudah membuat warung saya laris dan penuh hari ini. Tuh liat, yang datang saja sampai antri. Mereka mau lihat Mas bule yang ganteng dan Mbak yang cantik, katanya," sahut si Bapak pemilik warung sambil tertawa pelan. Dan Juliet pun baru tersadar bahwa apa yang diucapkan oleh Bapak itu benar adanya. Tempat duduk di warung yang sebelumnya sepi, kini penuh sesak oleh rata-rata para gadis yang menatap lekat kepada Matthew. Juliet pun tertawa dalam hati melihat pemandangan itu. Matthew dengan wajah setengah bulenya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar membuat lelaki itu seakan seperti sesosok malaikat yang tersesat di pojokan gang. Lucu sekali. Gadis itu pun lalu berterima kasih kepada pemilik warung, dan diam-diam menyelipkan dua lembar uang seratus ribu di bawah mangkuk kosong. Lagi-lagi Juliet ingin tertawa ketika melihat gadis-gadis muda yang sengaja berdiri di belakang Matthew dan sangat exciting meski hanya bisa selfie dengan punggung lelaki itu. Mereka sepertinya malu atau tidak berani mendekati Matthew. Tidak salah juga sih, karena meskipun tampan, namun ekspresi lelaki itu sangat dingin dan tidak ramah. "Kamu mau kemana lagi hari ini?" Tanya Matthew ketika mereka telah berada kembali di dalam mobil, yang mulai melaju dengan kecepatan sedang di jalanan. Juliet tersenyum takjub mendengar pertanyaan Matthew barusan. Ia senang karena lelaki itu kini meminta pendapatnya, hal yang lagi-lagi baru kali ini terjadi. Dan sepertinya Matthew cukup menganggap serius pada acara kencan pertama mereka ini. Baguslah. Ini akan mempermudah semua rencana yang telah ia susun, dan bisa dilaksanakan jauh lebih cepat dari yang telah diperkirakan. "Ke pantai." Juliet pun menyahut dengan tegas, seiring dengan seulas senyum yang terukir di bibirnya. 'Lihat saja, kali ini akulah yang akan membuatmu hancur, Matthew Wiratama.'Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
"Datanglah, dan layani aku sekarang." Kalimat yang terdengar di telinga Juliet itu selalu berhasil membuat dadanya serasa sesak dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Seharusnya dia sudah terbiasa. Ya. Bukankah kalimat itu selalu diucapkan oleh seorang Matthew Wiratama kepadanya melalui telepon, jika lelaki itu telah pulang ke rumah mewahnya? Masalahnya... Matthew tidak pernah kembali lagi ke rumah itu selama setahun terakhir ini karena harus mengurus bisnis barunya di Boston. Dan setahun tanpa harus melayani lelaki itu membuat Juliet merasa... seperti gadis biasa. Gadis normal yang seakan tidak memiliki beban berat di pundaknya. "Baik, Matthew. Aku mengerti," adalah jawaban standar dari Juliet sebelum gadis itu kemudian memutuskan sambungan teleponnya. Takdir hidup telah menjadikannya seorang Juliet Amanda, yang telah menjadi anak yatim piatu 3 tahun yang lalu di usianya yang ke 16 tahun. Dan Matthew Wiratama yang baik hati serta pemaaf, yang dengan hati seluas s