Beranda / Romansa / Come And Serve Me / 5. The So-Called First Date

Share

5. The So-Called First Date

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya.

"Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran.

"Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab.

"Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren.

"Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, memaksakan kehendak, dan entah pasal hukum apalagi yang telah kamu langgar." Suara makian Darren pun terdengar sesudahnya, meskipun cukup pelan tapi jelas terdengar di telinga Matthew yang masih santai tak menanggapi.

"Tidak mungkin Juliet tidak mengetahuinya, mengingat dirinya telah berada di semester 4 perkuliahan dan pasti dia telah mempelajari tentang pelanggaran hukum pidana seperti yang telah kamu lakukan," tambah Darren lagi.

Akhirnya Matthew mengangkat wajahnya dari layar ponsel untuk menatap Darren. "Aku tak peduli dengan apa pun yang Juliet ambil untuk studinya, ataupun semua rencana yang mungkin saja sebenarnya hanya ada di dalam otakmu," tukas Matthew singkat sambil menyeringai.

"Justru, aku ingin sekali melihatnya. Aku ingin melihat apa yang dilakukan Juliet dengan rencana studinya. Apa dia akan menjadi seorang pengacara? Apa benar diam-diam dia sedang menyusun kekuatan di belakangku untuk menjatuhkanku?"

Matthew terkekeh pelan hingga membuat Darren bergidik. "You will see, Darren. Itu pasti sangat menarik. Aku berharap itu akan terjadi, dan kita lihat saja nanti siapa sesungguhnya yang benar-benar akan jatuh!"

Darren berdecak. "Jangan terlalu mengerikan, Matthew. Kamu membuatku merinding."

"Hah. Seekor semut kecil pun bisa membuatmu merinding," balas Matthew meledek.

"Jangan pernah remehkan seekor semut, jika dia akan menggigit balik dan melawan dengan sekuat tenaga," balas Darren yang kembali menyindir sepupunya.

"Apa kamu benar-benar yakin tidak memiliki perasaan yang khusus kepada Juliet?" Dengan sengaja, Darren kembali mengungkit-ungkit hal yang sama dengan tujuan hanya karena ingin mengusili sepupunya itu.

"Ck. Ini sudah masuk jam istirahat, Darren. Apa kamu tidak mau makan siang dengan salah satu koleksi pacarmu itu?"

Darren tertawa mendengar pertanyaan sarkas Matthew. Tapi ia tak bisa mengelak, pacarnya memang banyak.

"Baiklah," Darren bangkit dari sofa single tempatnya duduk dengan santai.

"Ucapanmu mengingatkanku pada janji makan siang dengan Georgina. Aku permisi dulu, Mr. Matthew Wiratama."

Dengan lagak memberi hormat yang dibuat-buat, Darren pun melangkah menuju pintu sembari bersiul ringan menyanyikan lagu "Can't Take My Eyes Off Of You", lagu lawas yang juga bermaksud untuk menggoda Matthew.

"Nadamu sumbang, sialan! Membuatku sakit telinga!" Teriak Matthew yang kesal menatap punggung sepupunya yang kini telah menghilang dari balik pintu yang tertutup.

***

Juliet menoleh ke arah pintu yang bergerak terbuka, dan gadis itu pun segera menutup dan membereskan buku-buku kuliahnya yang berserakan di atas meja.

Sembari menunggu Matthew yang akan mengatakan akan menjemputnya ke kamar, Juliet memutuskan untuk mengulang pelajaran Hukum Agraria, mata kuliah yang seharusnya ia ikuti kuisnya hari ini, jika saja Matthew mengijinkannya pergi ke kampus.

Darren pasti telah pulang, itu sebabnya Matthew kini datang ke kamarnya. Lelaki itu bahkan sedang berdiri dan menyandar di bingkai pintu, sembari kedua tangannya bersidekap menatap dirinya tajam.

"Aku mau jalan-jalan," ucap Matthew tanpa melepaskan tatapan tajamnya dari wajah Juliet.

"Oke. Selamat jalan, kalau begitu." Juliet menyahut, merasa sangat lega karena akhirnya ia punya setengah hari terbebas dari Matthew.

"Bersamamu."

"Hah?" Rasa-rasanya telinga Juliet seperti sudah salah dengar. Apa barusan Matthew bilang ingin jalan-jalan dengannya?? Tapi itu tidak mungkin kan?? Karena sepanjang yang Juliet tahu, Matthew itu sangat alergi terlihat di depan umum bersamanya.

"Kuberi waktu tiga menit untuk bersiap-siap. Kamu tahu kalau aku benci menunggu kan, Juliet?" Sekali lagi Matthew memaku sorot tajamnya di wajah gadis itu, sebelum kemudian melangkah keluar dan menghilang dari kamar Juliet.

Juliet masih tetap diam terpaku di tempatnya berdiri setelah beberapa saat Matthew pergi. Menatap sisa-sisa bayangan lelaki itu yang telah lenyap.

Semakin lama sikap Matthew semakin aneh... dan Juliet tidak bisa untuk tidak curiga. Bagaimana mungkin lelaki yang biasanya acuh padanya itu tiba-tiba saja melakukan banyak hal yang sangat jauh di luar kebiasaannya??

***

"Kamu terlambat sebelas detik."

Juliet meringis mendengar nada tajam dari bibir Matthew saat ia baru saja memasuki mobil Rolls Royce Ghost milik Matthew.

Lelaki itu benar-benar serius saat mengatakan bahwa semua pekerja telah ia liburkan hari ini. Terbukti, bahkan Matthew yang biasanya selalu menggunakan jasa supir pribadi kemana-mana, khusus untuk hari ini dialah yang menyetir sendiri.

"Maaf," sahut Juliet pendek, menanggapi teguran dingin Matthew mengenai keterlambatannya yang hanya beberapa detik itu. Gadis itu malas beralasan, karena selain Matthew yang membenci alasan seseorang yang sudah jelas bersalah, selain itu juga ia hanya terlambat beberapa detik.

"Kamu harus di hukum," ucap Matthew sembari mulai memutar kemudi untuk keluar dari kediaman mewahnya. Ternyata hanya pengawal yang menjaga keamanan serta bersiaga di gerbang pagar tinggi yang masih bekerja hari ini, Matthew tidak benar-benar meliburkan semua pekerja.

Juliet hanya diam saja tak menanggapi perkataan Matthew, sembari menatap kejauhan dari jendela kaca. Hukuman Matthew biasanya tak jauh dari sesuatu yang tak senonoh, dan ia sudah mulai terbiasa akan hal itu setelah tiga tahun menjadi wanita simpanan lelaki itu.

Justru kecanggungan yang Juliet rasakan adalah keberadaannya saat ini, hanya berdua di dalam mobil bersama Matthew. Menuju ke... entahlah kemana. Bukankah tadi Matthew bilang ingin jalan-jalan dengannya?

Tapi tak ada satu pun tempat yang terpikirkan oleh Juliet yang kira-kira akan dituju oleh lelaki itu. Karena ini memang untuk pertama kalinya Matthew mengajaknya keluar.

Oh, oke. Ternyata Matthew mengajaknya ke mal. Juliet bisa melihat arah mobil mewah ini yang bergerak memasuki daerah pusat perbelanjaan di tengah kota, dan harus Juliet akui kalau ada sedikit bias kekecewaan dalam dirinya.

Tadinya ia berharap kalau Matthew akan mengajaknya... entahlah, berwisata mungkin. Ke pantai, taman, museum atau semacamnya... karena bagi Juliet, mal bukanlah tempat favoritnya.

Tapi siapa dirinya? Mana mungkin Juliet protes, karena Matthew bahkan sama sekali tidak meminta pendapatnya.

"Kamu turunlah terlebih dahulu, dan tunggu aku di toko roti La Petite Lulu di lantai dua," titah Matthew yang menghentikan mobilnya di bagian main entrance mal.

Juliet mengangguk tanpa kata dan membuka pintu sebelum melangkahkan kakinya yang terbalut sepatu flat keluar dari mobil. Ia mengerti jika Matthew pasti masih enggan terlihat bersama dengan dirinya, dan Juliet pun tidak keberatan dengan hal itu.

Sesampainya di toko roti La Petite Lulu, Juliet tersenyum senang melihat jejeran roti-roti hangat yang aromanya sangat menggugah selera. Gadis itu memutuskan untuk membeli beberapa potong untuk dirinya dan Matthew, serta dua botol air mineral.

"Eh, Juliet? Kamu Juliet anak Hukum, kan?"

Suara seseorang yang menyapa dirinya membuat Juliet mengalihkan pandangan ke samping, dimana seorang lelaki berdiri dan tersenyum kepadanya.

Juliet pun mengerutkan keningnya melihat wajah yang rasa-rasanya familier namun ia tidak mengingat namanya. "Hm... iya. Maaf, tapi kamu siapa ya?"

Lelaki itu tertawa pelan, membuat setitik lesung tercipta di pipinya. "Hai. Namaku Virgo, kakak kelas satu tingkat di atasmu."

Oh, ternyata dia kuliah di kampus yang sama dengan Juliet. Pantas saja sepertinya wajah lelaki itu sangat familier.

Tapi... tunggu sebentar. Virgo??

"Eh, Virgo? Virgo yang asisten Dosen mata kuliah Hukum Agraria??" Juliet meringis malu karena baru menyadari dengan siapa dia berhadapan saat ini.

"Maaf, daya ingatku memang agak buruk."

Kenapa bisa dia tidak mengingat si asisten Dosen yang dulu pernah menggantikan Dosen Hukum Agraria mengajar di kelasnya?

Virgo kembali tertawa melihat gadis cantik di depannya yang jadi merasa tidak enak padanya.

"Nggak masalah. Lagi pula aku cuma satu kali mengajar, jadi wajar saja kalau kamu lupa," sahut Virgo santai. "Oh iya, pagi ini ada kuis Hukum Agraria kan? Kenapa kamu nggak ikut?"

"Kok Kak Virgo bisa tahu kalau aku nggak ikut kuis?" Tanya balik Juliet.

"Simpel sih, karena Pak Dosen lagi-lagi menugaskan aku yang memberikan kuisnya," cetus lelaki berkulit putih dengan maniknya yang berbentuk monolid.

"Oh..."

"Jadi kenapa kamu melewatkan kuis hari ini? Padahal nilainya cukup tinggi untuk mendongkrak nilai akhir, lho."

"Itu, uhm..." Juliet pun berusaha berpikir cepat untuk menemukan alasan yang tepat. "Aku--"

"Juliet!"

Suara berat dengan intonasi nada yang dingin tiba-tiba menyeruak, memanggil nama gadis yang kini terkejut melihat sosok yang baru hadir di antara dirinya dan Virgo.

Juliet pun menelan ludah melihat ekspresi kelam penuh tuduhan di wajah lelaki itu, seakan sedang memergoki kekasihnya yang sedang selingkuh.

"Matthew." Juliet menyebut nama lelaki itu dengan lidah yang kelu. Oh ya ampuun... ini gawat. Matthew paling tidak suka melihatnya berbincang dengan orang lain, terutama lelaki!

"Dia siapa, Juliet?" Tanya Virgo bingung.

"Kamu yang siapa? Ada perlu apa dengan Juliet?" Tanya balik Matthew dengan nada sedingin dan setenang lautan sebelum ombak badai datang menerjang.

"Matthew, dia asisten dosen di kampusku. Namanya Virgo. Virgo, ini kakak angkatku, Matthew." Juliet pun buru-buru memperjelas situasi agar tidak terjadi salah paham.

"Tadi Virgo tidak sengaja melihatku di sini, lalu dia menyapaku," jelas Juliet lagi, ketika melihat Matthew yang diam saja tanpa tanggapan apa pun. Jujur, itu sangat menakutkan baginya.

"Halo, apa kabar?" Akhirnya Virgo-lah yang memutuskan untuk lebih dulu menyapa sembari menjulurkan satu tangannya, meskipun Matthew menampilkan ekspresi yang sama sekali tak bersahabat.

Matthew menyunggingkan half smirk sebelum menyambut jabat tangan Virgo. "Kabarku cukup baik. Tapi akan lebih baik setelah menjauh dari sini," ucapnya penuh sindiran, dengan mencengkram kuat jemari Virgo hingga membuat lelaki muda itu mengernyit kesakitan.

Serta-merta Virgo pun segera melepaskan jabat tangannya, sebelum Matthew benar-benar akan meremukkan tulangnya. Lelaki muda itu kemudian meringis sembari mengusap jemari tangan kanannya yang terasa bengkak.

"Kurasa sekarang aku harus pergi," ucap Virgo setelah  melihat betapa mengerikannya sorot penuh permusuhan yang terpancar dari manik coklat Matthew.

"Sampai ketemu di kampus, Juliet. Sampai jumpa lagi, Matthew." Virgo tersenyum dan melambaikan tangan kepada Juliet, lalu sedikit menganggukkan kepala kepada Matthew.

Juliet yang tidak berani mengucapkan kalimat yang sama kepada Virgo, akhirnya hanya memulas senyum di bibirnya dan ikut melambaikan tangan.

"Matthew?" Juliet memanggil lelaki itu ketika Matthew tiba-tiba saja menarik tangannya keluar dari toko roti La Petite Lulu.

"Aku membeli roti untuk kamu, karena aromanya enak sekali di toko tadi." Juliet pun akhirnya berkata lagi, karena nyatanya Matthew tidak mengindahkan panggilannya.

Gadis bersurai panjang itu memekik pelan karena Matthew tiba-tiba saja menghentikan langkahnya, membuat kening Juliet menabrak punggung keras lelaki itu.

"Mana rotinya?" Tanya Matthew dengan satu tangan yang tersodor dengan gestur meminta.

Juliet memberikan bungkusan berisi roti dan air mineral kepada Matthew, yang langsung diterima dengan antusias oleh Matthew dan manik coklatnya yang terlihat berbinar.

Juliet sedikit terkesima melihatnya. Sesuka itukah Matthew dengan roti dari toko La Petite Lulu? Namun semua itu hanya sesaat, karena wajah dinginnya kembali lagi tak berapa lama kemudian.

"Jangan mengira dapat menyogokku dengan ini, kamu akan tetap mendapatkan hukuman karena terlambat 11 detik dan ditambah mengobrol dengan lelaki lain."

Juliet kembali diam saja tanpa menanggapi. Malah dirinya bingung karena Matthew hanya memegang bungkus rotinya saja sambil terus berjalan menyusuri mal yang tidak terlalu ramai di hari kerja, sembari tak lepas untuk terus menggenggam jemarinya.

"Kenapa rotinya tidak dimakan?" Tanya gadis itu.

Matthew menatap Juliet dengan tatapan aneh seakan gadis itu gila. "Ini benda pertama yang kamu beli khusus untukku. Mana mungkin aku memakannya? Aku malah akan menyimpannya baik-baik."

Hah?? Dia bilang apa??

Baru kali ini Juliet berani tertawa di depan Matthew, meskipun hanya tawa kecil namun lepas. "Itu cuma roti, Matthew. Makan saja. Aku akan membelikannya lagi untukmu."

"Rasanya pasti tidak akan sama dengan yang pertama," kilah Matthew. "Dan jangan tertawa lagi. Atau aku terpaksa menghajar dua lelaki di sana yang sejak tadi memandangimu."

Juliet mengerjap kaget, lalu diam-diam melirik ke arah yang dimaksud oleh Matthew. Ternyata benar, ada dua orang lelaki yang berdiri di depan etalase salah satu toko yang sedang memandangi dirinya.

Juliet buru-buru menundukkan kepalanya. Semua kata-kata yang keluar dari mulut Matthew selama ini bukanlah omong kosong, jadi lebih baik ia menghindari hal-hal yang tidak diinginkan sebelum semuanya makin kacau.

Juliet mendehem pelan "Uhm, Matthew... kamu selalu mengisi rekeningku dengan uang yang sangat banyak setiap bulan, kan? Jadi bagaimana kalau hari ini, aku yang akan traktir makan siang?"

Ide itu tiba-tiba saja tercetus di dalam otak Juliet karena melihat lelaki itu yang terlihat sangat senang akan pemberiannya.

Matthew berusaha menyembunyikan rasa senangnya dengan tetap berwajah datar. Ia merasa bodoh, merasa sangat kekanakkan karena begitu girang hanya karena roti yang diberikan oleh Juliet, serta tawaran traktiran makan dari gadis itu.

Dia bisa membeli kepemilikan sepuluh resto termewah di negara ini kalau mau, tapi semua itu akan kalah maknanya dengan Juliet yang tiba-tiba saja berinisiatif untuk membayarinya makan siang.

Dia... menyukai ide itu. Sangat.

"Uhm... tapi dengan syarat : aku yang akan menentukan tempatnya," tukas Juliet yang mulai mencoba untuk berani sedikit jahil, sejak Matthew yang kembali setelah setahun di Amerika ini sepertinya jauh lebih lembut dan lebih mudah untuk didekati.

Dan juga jauh lebih manusiawi.

***

Matthew mendengus kecil dan mengernyit melihat situasi di sekelilingnya. Sudah ia duga kalau Juliet benar-benar ingin membalas dendam atas perlakuannya selama ini, dengan membawanya makan siang di tempat ini.

Alih-alih resto Prancis atau Yunani seperti kesukaan Matthew, Juliet malah membawanya ke sebuah... warung bakso dan mie ayam kecil di pinggir jalan!

Bahkan Rolls Roys Ghost-nya yang terparkir di pinggir jalan kecil itu jadi tontonan orang-orang sekitar, seperti objek wisata baru dan spot selfie untuk anak remaja.

Seorang pelayan membawakan dua mangkuk bakso hangat dengan asap yang masih mengepul, lalu meletakkannya di hadapan Matthew dan Juliet.

Matthew hanya diam sembari menatap Juliet yang terlihat sangat lahap mengunyah baksonya, dan berdecih pelan melihat gadis itu yang makan seperti pengungsi kelaparan.

"Baksonya memang seenak itu," protes Juliet yang tidak terima karena Matthew menatapnya dengan pandangan merendahkan.

"Kalau kamu tidak mau, biar aku saja yang habiskan," ucap gadis itu lagi, sembari menarik mangkuk Matthew.

"Ck. Dasar gadis rakus," Matthew menepuk tangan Juliet yang menyentuh mangkuknya. "Jangan pernah sentuh makananku yang berharga."

Kali ini Juliet pun tak dapat menahan gelak tawa gelinya. "Berharga? Kenapa? Karena aku yang membelinya untukmu?"

"Ya, tentu saja karena itu alasannya." Matthew akhirnya memutuskan untuk fokus mencicipi makanan itu, karena pikirannya yang tiba-tiba saja berkabut melihat tawa Juliet.

"Karena kamu sepelit itu, Juliet. Tidak pernah membelikanku apa pun."

"Tapi kamu sudah memiliki segalanya, Matthew."

"Ya, segalanya. Kecuali pemberian dari kamu."

"Tunggu." Juliet menatap lelaki di depannya dengan tatapan heran. "Jadi selama ini kamu berharap begitu, ya?"

Matthew hanya diam dan mengedikkan bahunya sambil terus mengunyah bakso.

Ya ampun. Apa Matthew anak remaja belasan tahun? Dia kekanakkan sekali, tak seperti usianya yang telah menginjak 30 tahun!

Mereka kemudian makan dalam diam, tak melanjutkan pembicaraan. Namun batin mereka masing-masing begitu berisik dengan kata hati yang berbicara.

"Ini bisa dibilang kencan, nggak sih?" Juliet tiba-tiba saja melontarkan pertanyaan iseng yang tanpa dia sadari telah menggunakan bahasa kasual yang lebih santai kepada Matthew.

"Ya. Anggap saja ini kencan pertama kita. Walaupun... " pandangan nanar Matthew sesaat mengedar ke sekeliling warung tenda kecil itu. "Sama sekali tidak proper."

Juliet terbahak melihat hidung mancung Matthew yang berkerut. Berhasil juga akhirnya ia membuat Matthew kesal, tanpa harus menerima wajah dingin dan datar ala Matthew seperti biasa. Ternyata benar dugaannya, si gunung es angkuh ini mulai mencair.

"Nggak usah bayar, Mbak. Untuk Mbak cantik dan Masnya yang ganteng, saya kasih gratis semuanya," ucap sang pemilik warung bakso itu sambil tersenyum, ketika Juliet berniat untuk membayar makanan mereka.

"Loh? Kok gratis, Pak?" Tanya Juliet kaget.

"Karena kalian berdua sudah membuat warung saya laris dan penuh hari ini. Tuh liat, yang datang saja sampai antri. Mereka mau lihat Mas bule yang ganteng dan Mbak yang cantik, katanya," sahut si Bapak pemilik warung sambil tertawa pelan.

Dan Juliet pun baru tersadar bahwa apa yang diucapkan oleh Bapak itu benar adanya. Tempat duduk di warung yang sebelumnya sepi, kini penuh sesak oleh rata-rata para gadis yang menatap lekat kepada Matthew.

Juliet pun tertawa dalam hati melihat pemandangan itu. Matthew dengan wajah setengah bulenya yang tampan dan tubuhnya yang tinggi besar membuat lelaki itu seakan seperti sesosok malaikat yang tersesat di pojokan gang. Lucu sekali.

Gadis itu pun lalu berterima kasih kepada pemilik warung, dan diam-diam menyelipkan dua lembar uang seratus ribu di bawah mangkuk kosong.

Lagi-lagi Juliet ingin tertawa ketika melihat gadis-gadis muda yang sengaja berdiri di belakang Matthew dan sangat exciting meski hanya bisa selfie dengan punggung lelaki itu.

Mereka sepertinya malu atau tidak berani mendekati Matthew. Tidak salah juga sih, karena meskipun tampan, namun ekspresi lelaki itu sangat dingin dan tidak ramah.

"Kamu mau kemana lagi hari ini?" Tanya Matthew ketika mereka telah berada kembali di dalam mobil, yang mulai melaju dengan kecepatan sedang di jalanan.

Juliet tersenyum takjub mendengar pertanyaan Matthew barusan. Ia senang karena lelaki itu kini meminta pendapatnya, hal yang lagi-lagi baru kali ini terjadi.

Dan sepertinya Matthew cukup menganggap serius pada acara kencan pertama mereka ini. Baguslah.

Ini akan mempermudah semua rencana yang telah ia susun, dan bisa dilaksanakan jauh lebih cepat dari yang telah diperkirakan.

"Ke pantai." Juliet pun menyahut dengan tegas, seiring dengan seulas senyum yang terukir di bibirnya.

'Lihat saja, kali ini akulah yang akan membuatmu hancur, Matthew Wiratama.'

Bab terkait

  • Come And Serve Me   6. The Painful Memories

    Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar

  • Come And Serve Me   7. The Love Fool

    Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe

  • Come And Serve Me   8. The Perfect Plan

    "Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?

  • Come And Serve Me   9. The Fantasies

    "Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan

  • Come And Serve Me   10. The Revenge Begins

    Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak

  • Come And Serve Me   11. The Presumption

    "Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m

  • Come And Serve Me   12. The Unborn Baby

    Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per

  • Come And Serve Me   13. The Manipulative Juliet

    "Oh. My. God. Apa itu cincin lamaran?!" Pekik gadis berkacamata dengan bola mata membelalak sempurna. "Jadi Matthew benar-benar melamarmu?!"Juliet membiarkan temannya Sienna meraih jemarinya untuk menatap lekat cincin berlian besar dan indah yang tersemat di jari manisnya. Hari ini kebetulan tak ada kuliah karena dosen yang mengajar sedang ijin, dan Juliet pun janjian dengan Sienna untuk bertemu di resto sebuah mal.Sienna berdecak kagum. "Selera Matthew Wiratama memang tidak main-main," ucapnya sembari menatap Juliet."Ah, aku iri sekali. Matthew mengetahui kalau kamu mengandung anaknya, lalu dia pun segera melamar? Ya ampun. Dia pasti tipe lelaki konvensional, yang menginginkan keturunannya lahir dengan kedua orang tuanya telah terikat dalam pernikahan," cetus gadis berkacamata itu dengan mata berbinar-binar.Juliet memutar kedua bola matanya mendengar perkataan Sienna yang terdengar seperti seorang pemuja kepada idolanya."Whatever, Sienna. Bagaimana tentang permintaanku kemarin?

Bab terbaru

  • Come And Serve Me   60. The Photographer

    "Akulah Virgo, Karina sayang. Dan lelaki itu, lelaki yang bersamamu sebelumnya... justru dialah Jeremy yang sesungguhnya."Karina mengernyit kaget. Apa pula maksudnya ini??"Dia mengambil tubuhku, dan berusaha menyembunyikan jiwaku jauh-jauh. Bahkan dia juga ingin membuatku musnah. Dia mungkin terlihat lelaki baik, tapi satu hal yang harus kamu tahu, Cantik. Dia belum mengeluarkan tabiat aslinya. Yang jauh... jauh lebih kejam dari diriku."Jeremy mengeluarkan devil's smirk-nya melihat wajah bingung Karina, lalu mengecup bibir gadis itu dengan sepenuh gairah.Karina menjauhkan bibirnya dari Jeremy, karena ada yang ingin ia katakan. "Kamu bohong!" Sergah gadis itu sengit. "Virgo tidak pernah memperlakukanku dengan kasar sepertimu, Jeremy!"Lelaki itu menelengkan kepalanya sembari tertawa kecil mendengar perkataan Karina. "Jadi kamu kira hanya karena lembut padamu selama ini, maka dia tidak bisa bersikap kasar, hm?""Baik, akan kubuktikan kalau diriku yang kasar ini pun bisa bersikap lem

  • Come And Serve Me   59. The Strongest Bond In The World

    Suara ketukan pelan di pintu membuat Matthew mengangkat kepalanya dari layar monitor. Berpikir bahwa mungkin itu adalah sekretarisnya yang hendak memberitahukan sesuatu."Ya, masuk!"Pintu itu pun terbuka, disertai oleh seraut wajah cantik yang muncul dari baliknya dan tersenyum kepada Matthew."Muffin?!" Matthew segera berdiri dari kursinya dan melangkah tergesa ke arah pintu, sementara Juliet telah masuk ke dalam ruangam dan tersenyum semakin lebar melihat suaminya yang menyongsong kedatangannya dengan penuh semangat, penuh cinta dan ketulusan.Matthew mengecup sekilas bibir lembut Juliet lalu memeluk tubuh istrinya dengan erat. "Kejutan yang sangat manis dan menyenangkan melihatmu datang ke kantor, Muffin. I really miss you.""Matthew, sebenarnya aku ke sini untuk--" Juliet tak bisa melanjutkan kalimatnya lagi karena suaminya yang tak sabaran kini sudah melumat bibirnya dengan serakah. Sebuah ciuman penuh dengan kepemililan mutlak yang hanya kepada dirinya.Juliet berusaha menghin

  • Come And Serve Me   58. The Real Soul

    Tak pernah terbayangkan di benak Karina bahwa ia akan berada di posisi ini.Ia bahkan tidak akan pernah tahu rasanya, berada di bawah tatapan seseorang yang ia kenal, namun sekaligus juga tidak ia kenal. Sebuah pribadi yang biasanya selalu tersenyum dan penuh tawa, namun kali ini datar dan dingin seolah patung tanpa nyawa.Mereka adalah dua jiwa yang berada di dalam satu tubuh yang sama, dengan kepribadian yang jauh saling berbeda. Bagaikan siang dan malam, api dan air, malaikat dan iblis.Bagaimana mungkin seseorang menyimpan jiwa yang berbeda di dalam dirinya? Karina tidak akan pernah mengerti jawabnya, karena ia belum pernah bersentuhan dengan seseorang seperti Virgo sebelumnya.Yang pasti, detik ini adalah detik paling menakutkan yang ia alami sepanjang hidupnya. Dan Karina tidak tahu, apakah detik selanjutnya akan membawanya ke saat-saat penuh kengerian?"J-Jeremy??" Lidah Karina terasa kelu ketika mengucap nama itu. Nama yang sebulan lalu ia nantikan, namun tak kunjung datang. N

  • Come And Serve Me   57. The Anticipated Personality

    "Apa barusan kamu memanggilku dengan nama 'Virgo' alih-alih 'Reiner' seperti biasa, Karina?"Karina pun serta merta tersadar ketika mendengar pertanyaan Virgo yang diucapkan dengan suara lembut namun penuh dengan tuntutan."Ck. Itu cuma nama. Apa bedanya jika aku memanggilmu Reiner atau Virgo? Keduanya juga namamu kan?"Virgo terdiam sembaru menatap seraut wajah cantik dengan tubuh seksi yang duduk di sampingnya. "Tentu saja beda, Nona," lugasnya sembari menarik tangan dan pinggang Karina hingga gadis itu kini telah berada pindah di atas pangkuannya.Karina diam saja ketika Virgo membuat dirinya berada di posisi intim seperti sekarang. Setelah tinggal bersama Virgo selama sebulan, ia sudah tidak terlalu kaget lagi dengan tingginya gairah lelaki itu yang hampir setiap saat menginginkan tubuhnya.Meskipun melelahkan, tapi Karina bersyukur karena Virgo sangat lembut memperlakukannya.Virgo merangkum wajah Karina dengan kedua tangannya, lalu mengecup bibir sensual milik gadis itu, merasa

  • Come And Serve Me   56. The Naughty Girl

    Karina mulai merasa bosan. Sejak tadi ia hanya menemani Virgo yang sibuk terus menerus menyapa dan mengobrol dengan para kolega bisnisnya .Namun gadis itu juga tak bisa mengelak karena Virgo memeluk pinggangnya tanpa lepas seakan tidak ingin ia diam-diam menyelinap pergi. Huh, menyebalkan.Saat Virgo sedang mendengarkan lawan bicaranya yang sibuk mengoceh tentang pasar saham, Karina pun berbisik pelan kepada lelaki itu."Aku mau ke toilet dulu."Virgo pun mengalihkan wajahnya kepada Karina. "Mau kuantarkan?"Gadis itu pun menggeleng kecil. "Tidak perlu. Cuma sebentar kok.""Ya sudah. Jangan terlalu lama, atau aku yang akan menyusulmu ke sana."Dan akhirnya Karina bisa bernapas lega setelah Virgo membiarkannya pergi. Duh, pesta ini membosankan sekali!! Sama sekali buka seperti ini bayangan Karina akan sebuah pesta yang sebenarnya.Meskipun sang penyelenggara pesta adalah pasangan tua yang merayakan 25 tahun usia pernikahan perak mereka, tapi apa anak-anak mereka tidak memberikan nas

  • Come And Serve Me   55. The Apology

    "Halo, Oma."Pergerakan dari tangan berkeriput yang lincah memotongi tangkai bunga itu pun terhenti, ketika mendengar sebuah suara yang memasuki area kebun tengah menyapanya.Wajah wanita tua itu pun menengadah, dan mengernyit saat menyadari bahwa yang datang adalah seseorang yang paling ia tidak sukai."Maaf jika mengganggu waktu santai Oma. Tapi, bisakah kita bicara?" Ucap suara itu lagi, yang kali ini terdengar sarat akan permohonan.Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Oma Anita. Hanya sebuah tatapan tajam dan menusuk yang ia berikan untuk sosok wanita yang berdiri di depannya."Siapa yang mengijinkanmu untuk berdiri di depanku dan mengajukan pertanyaan tak tahu malu seperti itu?" Sentak Oma Anita kesal. Ia mengacungkan gunting untuk memotong bunga. "Pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyakitimu!""Oma, kumohon. Beri waktu untukku mengungkapkan apa yang ingin kukatakan," ucap wanita itu lagi dengan manik beningnya yang berkaca-kaca.BRAKK!!Wanita tua itu membanting gu

  • Come And Serve Me   54. The Fake Lovers

    "Apa sudah selesai?" Virgo bertanya kepada salah satu pegawai butik yang baru saja keluar dari kamarnya."Tinggal berdandan sedikit lagi, Tuan Virgo," sahut orang itu sembari membungkukkan badannya hormat.Virgo mengangguk, dan berjalan memasuki kamarnya dimana Karina sedang berganti baju dan berdandan sebelum mereka berdua pergi ke sebuah pesta.Tampak Karina sedang duduk di sebuah kursi di depam cermin dengan dikelilingi oleh dua orang yang menata rambut serta memoles wajahnya."Jangan menggunakan make-up terlalu tebal, dia lebih cantik jika lebih natural," tutur Virgo kepada sang make-up artist yang menganggukkan kepalanya kepada Virgo, sementara Karina juga ikut menatapnya dari balik cermin.Gadis itu melihat bahwa Virgo telah siap dengan mengenakan setelan modern tuxedo lengkap. Jika seperti ini, Virgo terlihat jauh lebih matang dari usia yang sebenarnya. Dan juga berlipat kali lebih tampan.Malam ini, Virgo mengajaknya ke dalam sebuah pesta untuk kalangan atas. Sebuah pesta ulan

  • Come And Serve Me   53. The Failed Experiment

    "Matthew." Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari jendela ke arah suara lembut yang memanggilnya, lalu tersenyum saat seraut wajah rupawan mendatangi dan tiba-tiba saja memeluknya erat. "Wah wah, ada apa ini? Aku pasti sedang bermimpi indah karena mendapatkan sebuah pelukan dari seorang bidadari," goda Matthew. Sebuah kecupan ia layangkan di ubun-ubun kepala Juliet, sebelum gadis itu melepaskan pelukan mereka untuk menatap manik coklat pasir itu. "Ada apa, Muffin? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Matthew ketika melihat Juliet yang hanya diam saja menatapnya. Ia mengelus rambut panjang yang tergerai indah itu sembari merapikan helai-helainya. Juliet menggeleng pelan, lalu kembali memeluk Matthew. Ia tidak ingin Matthew tahu bahwa ia telah mendengar pertengkaran antara lelaki itu dan Oma Anita. Dan bagaimana hal itu sedikit banyak mempengaruhi Matthew, terlihat dari bagaimana Juliet memergokinya yang sedang melamun menatap ke jendela. "Aku sayang kamu," ucap Julie

  • Come And Serve Me   52. The Great Temptations

    "Come and serve me, Nona Karina sang penggoda." Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja Karina merasakan merinding di sekujur tubuhnya ketika mendengar suara maskulin yang mengalun dengan serak dan dalam itu. Tatapan dari manik monolid Virgo lurus lekat terarah kepada dirinya, semakin dekat semakin jelas terlihat bahwa sorotnya mengandung kobaran api yang dahsyat. Terlebih, ketika Virgo melangkahkan kakinya dalam ayunan yang tegas, namun perlahan dan penuh perhitungan. Karina tak bergeming, ia masih terkesima dengan sosok yang jauh lebih tinggi dan lebih besar darinya itu, yang malah melakukan langkah pertama untuk menggoda alih-alih dirinya. Saat kini Virgo telah berada tepat di hadapan Karina, kedua insan itu pun saling bertatapan. Karina akhirnya menyunggingkan senyum tipis, dan berpikir pasti Virgo menanti dirinya untuk memulai. Benar juga. Gadis itu terlalu terbawa pada sikap Virgo tadi hingga terlupa bahwa di sini, saat ini, dirinyalah yang seharusnya memegang kendali. Baik

DMCA.com Protection Status