"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!
Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah." "Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan. "Memangnya kemana mereka semua?" "Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya. "Libur?" "Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu." GLEK. Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hingga membuatnya menjadi semakin membulat. Apa dia tidak salah dengar? Sejak kapan Matthew ingin menghabiskan hari hanya berdua dengannya? Matthew tertawa kecil melihat wajah Juliet yang sekarang terlihat lucu, membuat Juliet semakin terkejut. Baru kali ini tawa Matthew terlihat dan terdengar berbeda. Biasanya lelaki itu akan tertawa mengejek, atau tertawa sinis padanya. Manik coklat lelaki itu terlihat berkilau dalam kerlipnya yang ceria, dan untuk kali ini Matthew terlihat ramah serta... mudah didekati. "Aku suka dengan tawamu yang ini," ceplos Juliet tanpa sadar menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya. Matthew pun kemudian sontak terdiam mendengar perkataan Juliet yang polos dan tulus, namun membuat sesuatu di dalam dirinya terasa tidak nyaman. "Kamu menyukai tawaku?" Ulangnya lagi. Segaris seringai tipis kembali terlukis di bibirnya, yang serta merta menghilangkan warna tawa dari wajahnya. Matthew mencengkram rambut panjang gadis itu di dekat kulit kepala, hingga membuat Juliet meringis merasakan perih karena rambutnya yang tertarik. "Jangan pernah menyukaiku, apalagi jatuh cinta padaku, Juliet. Jangan pernah berharap apa pun padaku. Ingat itu," ucapnya dalam suara dingin dan raut sebeku es, yang begitu berbeda dengan sebelumnya. *** Suasana sarapan pagi ini hening sekali. Tak ada suara selain denting garpu yang saling beradu dengan pisau dan piring, juga suara gemerincing dari rantai yang menyambungkan borgol di kedua tangan Juliet. Gadis itu kesal karena borgol ini benar-benar menyusahkannya, tapi tetap saja ia tidak berani protes lagi. Selain karena Matthew kembali dalam mode dinginnya, Juliet juga tidak ingin Matthew marah dan menghukumnya tidak mendapatkan sarapan. Ia benar-benar kelaparan setelah kemarin melewatkan makan malam dan terus melayani Matthew sejak sore hingga dini hari. Tapi Juliet sangat bersyukur pagi ini ia dapat mandi dengan nyaman dan tenang, meskipun sedikit kesulitan karena borgol sialan ini. Paling tidak, pagi ini Matthew tidak lagi mengganggunya dengan pelayanan di atas ranjang. Tadi setelah Matthew memberikan peringatan kepadanya di kamar mandi, lelaki itu pun langsung meninggalkan Juliet begitu saja. Tak masalah bagi Juliet sih sebenarnya, ia justru lega karena Matthew memutuskan pergi dari kamar mandinya. "Akh!" Juliet memekik pelan ketika potongan daging steak yang susah payah ia potong serta tusuk dengan garpu pun tiba-tiba saja mencelat dari tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Suara nyaring dentang garpu yang jatuh di atas lantai membuat Matthew melemparkan lirikan malas ke arah Juliet. Lelaki bersurai coklat gelap itu pun berdecak sebal. "Pindah." "Hah?" Juliet mengangkat wajahnya dari piring untuk menatap Matthew yang menyorotnya dengan tatapan tajam. "Pindah? Pindah ke... mana?" Tanya gadis itu tidak mengerti. Matthew tidak menjawab, hanya menggerakkan dagunya sedikit dengan manik yang masih tajam menatap. Juliet yang masih tidak mengerti, mengira Matthew merasa terganggu akan keberadaannya. Maka yang dilakukan gadis itu adalah membawa piringnya dengan berhati-hati karena borgol di kedua pergelangan tangannya, lalu pindah ke kursi yang lebih jauh dari Matthew. "Kamu terlalu jauh," tegur Matthew dengan raut yang terlihat jauh semakin kesal. "Pindah." Juliet pun meringis dalam hati ketika lagi-lagi Matthew menyuruhnya untuk pindah. 'Sebenarnya maunya dia apa sih?! Apa dia tidak tahu kalau memegang piring dalam kondisi tangan diborgol itu sangat sulit??!' Rasanya ingin sekali Juliet berteriak kesal kepada Matthew. Mungkin juga sekalian melempar isi piringnya ke wajah yang tampan tapi sangat sangat menyebalkan itu. Walaupun itu hanya ada di dalam imajinasinya saja. Sambil menghela napas pelan menahan sabar, Juliet kembali berdiri dan membawa piringnya mengitari meja makan panjang itu, dan berhenti bergerak ketika berada sekitar dua kursi dari Matthew. "Apa segini sudah cukup?" Tanya Juliet yang tidak mau lagi-lagi diprotes Matthew saat ia sudah duduk. "Lebih dekat." Jawaban Matthew tentu saja membuat Juliet mengerutkan keningnya bingung. 'Lebih dekat', katanya?? Lagi-lagi sikap dan perilaku Matthew yang berbeda membuat Juliet merasa aneh. Lelaki itu biasanya tidak ingin dekat-dekat dengan dirinya ketika berada di meja makan, meskipun mereka memang selalu sarapan dan makan malam bersama. Matthew tidak pernah peduli dimana Juliet akan duduk. Justru lebih jauh lebih baik. Sebenarnya selama ini Matthew memang selalu mengacuhkannya, kecuali tentu saja di atas ranjang. Ketika akhirnya Juliet memutuskan untuk mengambil posisi duduk tepat di samping Matthew dan menaruh piringnya di sana, tiba-tiba saja gadis itu merasakan pergelangan tangannya ditarik. Dan mendadak dirinya kini telah berada di atas pangkuan Matthew! Matthew mengangkat lengan Juliet yang masih terborgol agar mengalung di lehernya, mengabaikan paras cantik yang sekarang melongo tak percaya dengan sikapnya. "Seperti ini yang kumaksud dengan lebih dekat, Juliet. Ingatlah lain kali," ucap lelaki itu seraya menarik piring Juliet mendekat. "Melihat caramu makan dan menjatuhkan makanan membuatku sakit mata dan telinga. Ayo, sekarang buka mulutmu." Matthew menyodorkan sepotong daging yang telah ditusuk garpu ke depan bibir Juliet. 'Ya ampun... dan sekarang Matthew menyuapiku makan??' Juliet masih tak berkedip dengan mata besarnya yang semakin membulat menatap lelaki separuh bule di depannya itu. 'Apa-apaan ini?? Apa di Amerika kemarin Matthew habis mengalami demam tinggi hingga membuat sikapnya agak berubah??' Juliet kemudian membuka mulutnya dengan patuh untuk menerima suapan dari Matthew. Aneh, sudah dua kali ini Matthew memintanya untuk membuka mulut dan semua tidak ada hubungannya dengan aktivitas panas di atas ranjang. Yang pertama saat Matthew meminta Juliet untuk membuka mulut karena ingin menyikat giginya, dan yang kedua karena ingin menyuapinya. Meskipun Juliet merasa awkward dengan suasana ini, tapi syukurlah rasa lapar membuatnya bisa menepis semuanya. Matthew masih menyuapinya dalam diam, dan Juliet berusaha memfokuskan mulutnya untuk terus mengunyah dan tatapannya hanya tertuju pada bagian kerah kaus santai lelaki itu, menghindar agar tidak bertatapan dengan manik coklat tajam Matthew. Raut puas tercetak di wajah tampan blasteran Indonesia Amerika itu ketika melihat Juliet makan dengan lahap hingga tandas. Matthew lalu meraih gelas berisi air putih, dan mendekatkan pinggirannya ke bibir Juliet agar diminum. "Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Tanya Matthew setelah menaruh gelas air yang telah kosong di atas meja. "Umm... bukankah masih ada makanan pencuci mulut?" Tanya Juliet dengan polosnya. Ia tadi melihat crème brulee disajikan di atas meja, yang memang merupakan salah satu dessert faforitnya. "Tapi tidak perlu terus seperti ini, Matthew. Aku sungguh bisa makan sendiri," ucap Juliet sembari menggeleng pelan. "Baiklah." Matthew mengangkat lengan Juliet yang mengalung di lehernya, lalu memutar tubuh gadis itu hingga membelakanginya tetapi masih di dalam pangkuan. Setelah Juliet duduk menghadap meja, Matthew menjangkau mangkuk kecil berisi crème brulee dengan tangannya yang panjang, lalu menariknya ke hadapan Juliet. "Silahkan nikmati dessert-mu, Juliet. Aku akan menikmati dessert-ku sendiri," ucap lelaki itu sebelum mulai menyusupkan kelima jemarinya di paha Juliet, lalu menggeser ujung gaun santai selutut itu semakin ke atas. "Matthew..." "Teruslah makan crème brulee-mu," desis Matthew menahan suara geraman dari bibirnya, saat jemarinya telah menemukan celah surga dan mengusap-usapnya. Desahan lembut Juliet yang menyebut namanya semakin membuat akal sehatnya seolah terbakar hangus. Usapan Matthew yang pelan namun penuh dengan penekanan itu membuat Juliet tak mampu lagi berkonsentrasi pada makanannya. Ah, ia benci dengan dirinya sendiri yang selalu saja terlalu mudah terhanyut Matthew Wiratama yang mahir dalam hal menggoda. Sekuat tenaga Juliet berusaha mengabaikan jari Matthew yang merayu bagian sensitif dirinya. Ia menyendok crème brulee-nya dengan tangan yang gemetar, lalu memaki dalam hati saat makanan di sendoknya itu malah jatuh ke atas meja. Percuma saja. Ia tidak akan pernah bisa menghabiskan makanannya. Juliet melenguh kecil ketika akhirnya jari Matthew menerobos masuk dan mulai bergerak liar di dalam sana. Kedua tangannya telah layu tergantung di masing-masing sisi tubuhnya, dengan punggung yang menempel tak berdaya ke dada Matthew. Saat akhirnya terjangan klimaks menerpa Juliet diiringi dengan erangan lirih yang menguar dari bibir penuh merah muda itu, Matthew pun mulai menarik perlahan tangannya dari tubuh gadis itu. "And this is my dessert," bisiknya dengan napas berat dan aroma mint yang meniup telinga Juliet, sembari menghisap jarinya yang basah karena cairan cinta gadis itu dengan penuh rasa nikmat. "The perfect dessert ever." *** "Aku kira kamu tidak akan kembali lagi ke Indonesia." Matthew melirik sekilas ke arah Darren yang barusan berkata, seorang sepupu sekaligus tangan kanannya yang telah mengurus perusahaannya, Wiratama Fleet Service, setahun terakhir ini selama dia berada di Amerika. "Kenapa aku harus tidak kembali?" Tanya balik Matthew dengan santai. "Perusahaanku masih di negara ini, kan?" Darren memutar kedua bola matanya yang coklat mirip dengan Matthew. Mereka adalah sepupu dari pihak almarhum ibu mereka yang kakak-adik, dan Darren bukanlah produk blasteran seperti Matthew melainkan asli Amerika. Namun selama lima tahun terakhir ini, dia diajak ayah Matthew untuk membantu di perusahaan, dan telah menjadi tangan kanan Ibram Wiranata sebelum akhirnya perusahaan itu jatuh ke putra semata wayangnya karena kematian Ibram. "Jadi karena alasan perusahaan ya? Bukan karena di sini ada gadis kecil peliharaanmu itu?" Ledek Darren sembari terkekeh kecil saat Matthew kembali meliriknya tajam. "Come on, Matthew! Apa sesusah itu mengakui kalau ternyata dia-lah yang bisa mengambil hatimu, hm? Perlu pembuktian seperti apa lagi? Apa waktu setahun berusaha menjauh darinya masih belum cukup? Ternyata beda benua pun kamu masih tetap menginginkan Juliet, kan?" "Shut up, Darren." "Hahahahaaa...!!" Darren tertawa dengan begitu puasnya hingga terbungkuk-bungkuk. Ia bahagia sekali bisa membuat Matthew Wiranata, orang yang hampir selalu menang dalam setiap argumen itu kini tak bisa berkata-kata membalas perkataannya. "Lama-lama kamu semakin menyebalkan," sergah Matthew seraya melempar dengan kasar kertas perjanjian yang dibawa Darren ke rumahnya untuk Matthew tanda tangani. Darren meraih kertas yang dilempar Matthew dengan santai sambil tersenyum. Kegusaran Matthew itu semakin memperjelas kecurigaannya barusan. Tampaknya sepupunya ini memang memiliki perasaan khusus pada Juliet. "Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, Matthew," nasihat lelaki itu, kali ini dengan mimik yang cukup terlihat serius. "Niatmu yang awalnya ingin balas dendam ternyata kini malah menjadi senjata makan tuan, jadi bukalah lembaran baru bersama Juliet. Aku yakin gadis itu suatu saat akan luluh jika kamu memperlakukannya dengan lembut dan selayaknya wanita terhormat." Matthew berdecih pelan. "Kamu dan asumsimu itu kupersilahkan jika ingin pergi sekarang juga, Darren. Bukankah tujuanmu kemari hanya untuk meminta tanda tanganku pada persetujuan perjanjian?" Usirnya. "Ck, ck. Kasar sekali," ucap Darren berpura-pura mengeluh. "Bagaimana Juliet bisa luluh kalau sikapmu selalu begini, sepupu? Hati-hati. Ada banyak lelaki di luar sana yang akan siap menawarkan kehangatan dan kenyamanan yang tidak ia dapatkan darimu. Lelaki seperti aku, misalnya." Matthew hampir saja melemparkan ponsel mahalnya ke kepala Darren, jika saja tidak terdengar suara ketukan di pintu. Sesosok tubuh sensual memasuki ruangan kerja Matthew sembari tersenyum. Kedua tangannya yang telah lepas dari borgol, memegang baki berisi dua cangkir kopi hangat yang masih mengepul serta sepiring kecil camilan. Ketika Darren datang, Matthew langsung melepas borgol di tangan Juliet karena tidak ingin sepupunya yang berisik itu mengomelinya. "Maaf mengangganggu. Aku hanya membawakan kopi untukmu dan Darren," ucap Juliet dengan senyumnya yang menawan. "Halo, Juliet. Apa kabar? God! Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu terlihat semakin cantik saja sih?" Darren yang sangat antusias itu justru terlihat menyebalkan bagi Matthew. "Halo, Darren. Maaf jika kopinya kurang sesuai. Hari ini semua pelayan libur jadi akulah yang meraciknya sendiri," sahut Juliet yang sengaja mengabaikan pujian Darren. Sejak menjadi wanita milik Matthew, Juliet harus berhati-hati menanggapi setiap lelaki yang menggodanya, karena tidak ingin membuat Matthew marah dan berakhir dirinyalah yang dihukum. "Wow. Benarkah? Semua pelayan libur?" Darren menatap Matthew bingung. "Apa kamu segitu tidak ingin diganggu sehingga meliburkan seluruh pelayan, Matthew?" Sindirnya. Matthew mendehem pelan tanpa menjawab. Ia berdiri dari kursi kerja dan berjalan ke arah Juliet, lalu menarik pergelangan tangan gadis itu untuk diseret ke arah pintu keluar ruangan. "Pergi ke kamarmu dan jangan keluar sampai aku yang memintamu untuk keluar," titahnya dengan manik coklatnya yang terhunus tajam kepada Juliet. "Satu lagi, Juliet. Tak ada yang menyuruhmu untuk membuatkan kopi dan membawanya kemari. Jadi jangan pernah tunjukkan wajahmu dimana pun selama ada Darren di sekitar, mengerti?!" ***"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya."Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran."Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab."Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren."Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, me
Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes