"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!
Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah." "Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan. "Memangnya kemana mereka semua?" "Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya. "Libur?" "Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu." GLEK. Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hingga membuatnya menjadi semakin membulat. Apa dia tidak salah dengar? Sejak kapan Matthew ingin menghabiskan hari hanya berdua dengannya? Matthew tertawa kecil melihat wajah Juliet yang sekarang terlihat lucu, membuat Juliet semakin terkejut. Baru kali ini tawa Matthew terlihat dan terdengar berbeda. Biasanya lelaki itu akan tertawa mengejek, atau tertawa sinis padanya. Manik coklat lelaki itu terlihat berkilau dalam kerlipnya yang ceria, dan untuk kali ini Matthew terlihat ramah serta... mudah didekati. "Aku suka dengan tawamu yang ini," ceplos Juliet tanpa sadar menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya. Matthew pun kemudian sontak terdiam mendengar perkataan Juliet yang polos dan tulus, namun membuat sesuatu di dalam dirinya terasa tidak nyaman. "Kamu menyukai tawaku?" Ulangnya lagi. Segaris seringai tipis kembali terlukis di bibirnya, yang serta merta menghilangkan warna tawa dari wajahnya. Matthew mencengkram rambut panjang gadis itu di dekat kulit kepala, hingga membuat Juliet meringis merasakan perih karena rambutnya yang tertarik. "Jangan pernah menyukaiku, apalagi jatuh cinta padaku, Juliet. Jangan pernah berharap apa pun padaku. Ingat itu," ucapnya dalam suara dingin dan raut sebeku es, yang begitu berbeda dengan sebelumnya. *** Suasana sarapan pagi ini hening sekali. Tak ada suara selain denting garpu yang saling beradu dengan pisau dan piring, juga suara gemerincing dari rantai yang menyambungkan borgol di kedua tangan Juliet. Gadis itu kesal karena borgol ini benar-benar menyusahkannya, tapi tetap saja ia tidak berani protes lagi. Selain karena Matthew kembali dalam mode dinginnya, Juliet juga tidak ingin Matthew marah dan menghukumnya tidak mendapatkan sarapan. Ia benar-benar kelaparan setelah kemarin melewatkan makan malam dan terus melayani Matthew sejak sore hingga dini hari. Tapi Juliet sangat bersyukur pagi ini ia dapat mandi dengan nyaman dan tenang, meskipun sedikit kesulitan karena borgol sialan ini. Paling tidak, pagi ini Matthew tidak lagi mengganggunya dengan pelayanan di atas ranjang. Tadi setelah Matthew memberikan peringatan kepadanya di kamar mandi, lelaki itu pun langsung meninggalkan Juliet begitu saja. Tak masalah bagi Juliet sih sebenarnya, ia justru lega karena Matthew memutuskan pergi dari kamar mandinya. "Akh!" Juliet memekik pelan ketika potongan daging steak yang susah payah ia potong serta tusuk dengan garpu pun tiba-tiba saja mencelat dari tangannya dan terjatuh ke atas lantai. Suara nyaring dentang garpu yang jatuh di atas lantai membuat Matthew melemparkan lirikan malas ke arah Juliet. Lelaki bersurai coklat gelap itu pun berdecak sebal. "Pindah." "Hah?" Juliet mengangkat wajahnya dari piring untuk menatap Matthew yang menyorotnya dengan tatapan tajam. "Pindah? Pindah ke... mana?" Tanya gadis itu tidak mengerti. Matthew tidak menjawab, hanya menggerakkan dagunya sedikit dengan manik yang masih tajam menatap. Juliet yang masih tidak mengerti, mengira Matthew merasa terganggu akan keberadaannya. Maka yang dilakukan gadis itu adalah membawa piringnya dengan berhati-hati karena borgol di kedua pergelangan tangannya, lalu pindah ke kursi yang lebih jauh dari Matthew. "Kamu terlalu jauh," tegur Matthew dengan raut yang terlihat jauh semakin kesal. "Pindah." Juliet pun meringis dalam hati ketika lagi-lagi Matthew menyuruhnya untuk pindah. 'Sebenarnya maunya dia apa sih?! Apa dia tidak tahu kalau memegang piring dalam kondisi tangan diborgol itu sangat sulit??!' Rasanya ingin sekali Juliet berteriak kesal kepada Matthew. Mungkin juga sekalian melempar isi piringnya ke wajah yang tampan tapi sangat sangat menyebalkan itu. Walaupun itu hanya ada di dalam imajinasinya saja. Sambil menghela napas pelan menahan sabar, Juliet kembali berdiri dan membawa piringnya mengitari meja makan panjang itu, dan berhenti bergerak ketika berada sekitar dua kursi dari Matthew. "Apa segini sudah cukup?" Tanya Juliet yang tidak mau lagi-lagi diprotes Matthew saat ia sudah duduk. "Lebih dekat." Jawaban Matthew tentu saja membuat Juliet mengerutkan keningnya bingung. 'Lebih dekat', katanya?? Lagi-lagi sikap dan perilaku Matthew yang berbeda membuat Juliet merasa aneh. Lelaki itu biasanya tidak ingin dekat-dekat dengan dirinya ketika berada di meja makan, meskipun mereka memang selalu sarapan dan makan malam bersama. Matthew tidak pernah peduli dimana Juliet akan duduk. Justru lebih jauh lebih baik. Sebenarnya selama ini Matthew memang selalu mengacuhkannya, kecuali tentu saja di atas ranjang. Ketika akhirnya Juliet memutuskan untuk mengambil posisi duduk tepat di samping Matthew dan menaruh piringnya di sana, tiba-tiba saja gadis itu merasakan pergelangan tangannya ditarik. Dan mendadak dirinya kini telah berada di atas pangkuan Matthew! Matthew mengangkat lengan Juliet yang masih terborgol agar mengalung di lehernya, mengabaikan paras cantik yang sekarang melongo tak percaya dengan sikapnya. "Seperti ini yang kumaksud dengan lebih dekat, Juliet. Ingatlah lain kali," ucap lelaki itu seraya menarik piring Juliet mendekat. "Melihat caramu makan dan menjatuhkan makanan membuatku sakit mata dan telinga. Ayo, sekarang buka mulutmu." Matthew menyodorkan sepotong daging yang telah ditusuk garpu ke depan bibir Juliet. 'Ya ampun... dan sekarang Matthew menyuapiku makan??' Juliet masih tak berkedip dengan mata besarnya yang semakin membulat menatap lelaki separuh bule di depannya itu. 'Apa-apaan ini?? Apa di Amerika kemarin Matthew habis mengalami demam tinggi hingga membuat sikapnya agak berubah??' Juliet kemudian membuka mulutnya dengan patuh untuk menerima suapan dari Matthew. Aneh, sudah dua kali ini Matthew memintanya untuk membuka mulut dan semua tidak ada hubungannya dengan aktivitas panas di atas ranjang. Yang pertama saat Matthew meminta Juliet untuk membuka mulut karena ingin menyikat giginya, dan yang kedua karena ingin menyuapinya. Meskipun Juliet merasa awkward dengan suasana ini, tapi syukurlah rasa lapar membuatnya bisa menepis semuanya. Matthew masih menyuapinya dalam diam, dan Juliet berusaha memfokuskan mulutnya untuk terus mengunyah dan tatapannya hanya tertuju pada bagian kerah kaus santai lelaki itu, menghindar agar tidak bertatapan dengan manik coklat tajam Matthew. Raut puas tercetak di wajah tampan blasteran Indonesia Amerika itu ketika melihat Juliet makan dengan lahap hingga tandas. Matthew lalu meraih gelas berisi air putih, dan mendekatkan pinggirannya ke bibir Juliet agar diminum. "Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Tanya Matthew setelah menaruh gelas air yang telah kosong di atas meja. "Umm... bukankah masih ada makanan pencuci mulut?" Tanya Juliet dengan polosnya. Ia tadi melihat crème brulee disajikan di atas meja, yang memang merupakan salah satu dessert faforitnya. "Tapi tidak perlu terus seperti ini, Matthew. Aku sungguh bisa makan sendiri," ucap Juliet sembari menggeleng pelan. "Baiklah." Matthew mengangkat lengan Juliet yang mengalung di lehernya, lalu memutar tubuh gadis itu hingga membelakanginya tetapi masih di dalam pangkuan. Setelah Juliet duduk menghadap meja, Matthew menjangkau mangkuk kecil berisi crème brulee dengan tangannya yang panjang, lalu menariknya ke hadapan Juliet. "Silahkan nikmati dessert-mu, Juliet. Aku akan menikmati dessert-ku sendiri," ucap lelaki itu sebelum mulai menyusupkan kelima jemarinya di paha Juliet, lalu menggeser ujung gaun santai selutut itu semakin ke atas. "Matthew..." "Teruslah makan crème brulee-mu," desis Matthew menahan suara geraman dari bibirnya, saat jemarinya telah menemukan celah surga dan mengusap-usapnya. Desahan lembut Juliet yang menyebut namanya semakin membuat akal sehatnya seolah terbakar hangus. Usapan Matthew yang pelan namun penuh dengan penekanan itu membuat Juliet tak mampu lagi berkonsentrasi pada makanannya. Ah, ia benci dengan dirinya sendiri yang selalu saja terlalu mudah terhanyut Matthew Wiratama yang mahir dalam hal menggoda. Sekuat tenaga Juliet berusaha mengabaikan jari Matthew yang merayu bagian sensitif dirinya. Ia menyendok crème brulee-nya dengan tangan yang gemetar, lalu memaki dalam hati saat makanan di sendoknya itu malah jatuh ke atas meja. Percuma saja. Ia tidak akan pernah bisa menghabiskan makanannya. Juliet melenguh kecil ketika akhirnya jari Matthew menerobos masuk dan mulai bergerak liar di dalam sana. Kedua tangannya telah layu tergantung di masing-masing sisi tubuhnya, dengan punggung yang menempel tak berdaya ke dada Matthew. Saat akhirnya terjangan klimaks menerpa Juliet diiringi dengan erangan lirih yang menguar dari bibir penuh merah muda itu, Matthew pun mulai menarik perlahan tangannya dari tubuh gadis itu. "And this is my dessert," bisiknya dengan napas berat dan aroma mint yang meniup telinga Juliet, sembari menghisap jarinya yang basah karena cairan cinta gadis itu dengan penuh rasa nikmat. "The perfect dessert ever." *** "Aku kira kamu tidak akan kembali lagi ke Indonesia." Matthew melirik sekilas ke arah Darren yang barusan berkata, seorang sepupu sekaligus tangan kanannya yang telah mengurus perusahaannya, Wiratama Fleet Service, setahun terakhir ini selama dia berada di Amerika. "Kenapa aku harus tidak kembali?" Tanya balik Matthew dengan santai. "Perusahaanku masih di negara ini, kan?" Darren memutar kedua bola matanya yang coklat mirip dengan Matthew. Mereka adalah sepupu dari pihak almarhum ibu mereka yang kakak-adik, dan Darren bukanlah produk blasteran seperti Matthew melainkan asli Amerika. Namun selama lima tahun terakhir ini, dia diajak ayah Matthew untuk membantu di perusahaan, dan telah menjadi tangan kanan Ibram Wiranata sebelum akhirnya perusahaan itu jatuh ke putra semata wayangnya karena kematian Ibram. "Jadi karena alasan perusahaan ya? Bukan karena di sini ada gadis kecil peliharaanmu itu?" Ledek Darren sembari terkekeh kecil saat Matthew kembali meliriknya tajam. "Come on, Matthew! Apa sesusah itu mengakui kalau ternyata dia-lah yang bisa mengambil hatimu, hm? Perlu pembuktian seperti apa lagi? Apa waktu setahun berusaha menjauh darinya masih belum cukup? Ternyata beda benua pun kamu masih tetap menginginkan Juliet, kan?" "Shut up, Darren." "Hahahahaaa...!!" Darren tertawa dengan begitu puasnya hingga terbungkuk-bungkuk. Ia bahagia sekali bisa membuat Matthew Wiranata, orang yang hampir selalu menang dalam setiap argumen itu kini tak bisa berkata-kata membalas perkataannya. "Lama-lama kamu semakin menyebalkan," sergah Matthew seraya melempar dengan kasar kertas perjanjian yang dibawa Darren ke rumahnya untuk Matthew tanda tangani. Darren meraih kertas yang dilempar Matthew dengan santai sambil tersenyum. Kegusaran Matthew itu semakin memperjelas kecurigaannya barusan. Tampaknya sepupunya ini memang memiliki perasaan khusus pada Juliet. "Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari, Matthew," nasihat lelaki itu, kali ini dengan mimik yang cukup terlihat serius. "Niatmu yang awalnya ingin balas dendam ternyata kini malah menjadi senjata makan tuan, jadi bukalah lembaran baru bersama Juliet. Aku yakin gadis itu suatu saat akan luluh jika kamu memperlakukannya dengan lembut dan selayaknya wanita terhormat." Matthew berdecih pelan. "Kamu dan asumsimu itu kupersilahkan jika ingin pergi sekarang juga, Darren. Bukankah tujuanmu kemari hanya untuk meminta tanda tanganku pada persetujuan perjanjian?" Usirnya. "Ck, ck. Kasar sekali," ucap Darren berpura-pura mengeluh. "Bagaimana Juliet bisa luluh kalau sikapmu selalu begini, sepupu? Hati-hati. Ada banyak lelaki di luar sana yang akan siap menawarkan kehangatan dan kenyamanan yang tidak ia dapatkan darimu. Lelaki seperti aku, misalnya." Matthew hampir saja melemparkan ponsel mahalnya ke kepala Darren, jika saja tidak terdengar suara ketukan di pintu. Sesosok tubuh sensual memasuki ruangan kerja Matthew sembari tersenyum. Kedua tangannya yang telah lepas dari borgol, memegang baki berisi dua cangkir kopi hangat yang masih mengepul serta sepiring kecil camilan. Ketika Darren datang, Matthew langsung melepas borgol di tangan Juliet karena tidak ingin sepupunya yang berisik itu mengomelinya. "Maaf mengangganggu. Aku hanya membawakan kopi untukmu dan Darren," ucap Juliet dengan senyumnya yang menawan. "Halo, Juliet. Apa kabar? God! Kenapa setiap kali kita bertemu, kamu terlihat semakin cantik saja sih?" Darren yang sangat antusias itu justru terlihat menyebalkan bagi Matthew. "Halo, Darren. Maaf jika kopinya kurang sesuai. Hari ini semua pelayan libur jadi akulah yang meraciknya sendiri," sahut Juliet yang sengaja mengabaikan pujian Darren. Sejak menjadi wanita milik Matthew, Juliet harus berhati-hati menanggapi setiap lelaki yang menggodanya, karena tidak ingin membuat Matthew marah dan berakhir dirinyalah yang dihukum. "Wow. Benarkah? Semua pelayan libur?" Darren menatap Matthew bingung. "Apa kamu segitu tidak ingin diganggu sehingga meliburkan seluruh pelayan, Matthew?" Sindirnya. Matthew mendehem pelan tanpa menjawab. Ia berdiri dari kursi kerja dan berjalan ke arah Juliet, lalu menarik pergelangan tangan gadis itu untuk diseret ke arah pintu keluar ruangan. "Pergi ke kamarmu dan jangan keluar sampai aku yang memintamu untuk keluar," titahnya dengan manik coklatnya yang terhunus tajam kepada Juliet. "Satu lagi, Juliet. Tak ada yang menyuruhmu untuk membuatkan kopi dan membawanya kemari. Jadi jangan pernah tunjukkan wajahmu dimana pun selama ada Darren di sekitar, mengerti?!" ***"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya."Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran."Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab."Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren."Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, me
Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Bisa jadi kamu cuma mengalami mabuk laut, atau bisa juga... karena kamu sedang mengandung anak kita."Juliet menelan ludahnya dengan kasar mendengar asumsi Matthew yang diucapkan dengan nada datar, namun ia bisa melihat jika lelaki itu seperti sedang menutupi sesuatu."Mengandung?" Juliet mengulang kembali ucapan Matthew dengan manik legamnya yang mengerjap polos, bersikap seolah ia benar-benar terkejut."Apa itu mungkin? Hahaa... rasanya aneh sekali. Aku tak pernah berpikir tentang seorang anak sebelumnya," ucap Juliet sembari tertawa pelan, berusaha mengingkari debaran aneh di dadanya.Matthew tersenyum dengan jemarinya yang terulur ke wajah Juliet untuk menghapus noda muntah yang masih sedikit tertinggal di sana."Sebelumnya aku pun tak pernah sedetik pun memikirkan tentang hal itu," aku lelaki blasteran itu dengan jujur. "Sebelum aku kembali ke Indonesia, lalu melihatmu yang semakin cantik dan dewasa setelah satu tahun yang berlalu."Juliet menatap Matthew dengan pandangan tak per
"Akulah Virgo, Karina sayang. Dan lelaki itu, lelaki yang bersamamu sebelumnya... justru dialah Jeremy yang sesungguhnya."Karina mengernyit kaget. Apa pula maksudnya ini??"Dia mengambil tubuhku, dan berusaha menyembunyikan jiwaku jauh-jauh. Bahkan dia juga ingin membuatku musnah. Dia mungkin terlihat lelaki baik, tapi satu hal yang harus kamu tahu, Cantik. Dia belum mengeluarkan tabiat aslinya. Yang jauh... jauh lebih kejam dari diriku."Jeremy mengeluarkan devil's smirk-nya melihat wajah bingung Karina, lalu mengecup bibir gadis itu dengan sepenuh gairah.Karina menjauhkan bibirnya dari Jeremy, karena ada yang ingin ia katakan. "Kamu bohong!" Sergah gadis itu sengit. "Virgo tidak pernah memperlakukanku dengan kasar sepertimu, Jeremy!"Lelaki itu menelengkan kepalanya sembari tertawa kecil mendengar perkataan Karina. "Jadi kamu kira hanya karena lembut padamu selama ini, maka dia tidak bisa bersikap kasar, hm?""Baik, akan kubuktikan kalau diriku yang kasar ini pun bisa bersikap lem
Suara ketukan pelan di pintu membuat Matthew mengangkat kepalanya dari layar monitor. Berpikir bahwa mungkin itu adalah sekretarisnya yang hendak memberitahukan sesuatu."Ya, masuk!"Pintu itu pun terbuka, disertai oleh seraut wajah cantik yang muncul dari baliknya dan tersenyum kepada Matthew."Muffin?!" Matthew segera berdiri dari kursinya dan melangkah tergesa ke arah pintu, sementara Juliet telah masuk ke dalam ruangam dan tersenyum semakin lebar melihat suaminya yang menyongsong kedatangannya dengan penuh semangat, penuh cinta dan ketulusan.Matthew mengecup sekilas bibir lembut Juliet lalu memeluk tubuh istrinya dengan erat. "Kejutan yang sangat manis dan menyenangkan melihatmu datang ke kantor, Muffin. I really miss you.""Matthew, sebenarnya aku ke sini untuk--" Juliet tak bisa melanjutkan kalimatnya lagi karena suaminya yang tak sabaran kini sudah melumat bibirnya dengan serakah. Sebuah ciuman penuh dengan kepemililan mutlak yang hanya kepada dirinya.Juliet berusaha menghin
Tak pernah terbayangkan di benak Karina bahwa ia akan berada di posisi ini.Ia bahkan tidak akan pernah tahu rasanya, berada di bawah tatapan seseorang yang ia kenal, namun sekaligus juga tidak ia kenal. Sebuah pribadi yang biasanya selalu tersenyum dan penuh tawa, namun kali ini datar dan dingin seolah patung tanpa nyawa.Mereka adalah dua jiwa yang berada di dalam satu tubuh yang sama, dengan kepribadian yang jauh saling berbeda. Bagaikan siang dan malam, api dan air, malaikat dan iblis.Bagaimana mungkin seseorang menyimpan jiwa yang berbeda di dalam dirinya? Karina tidak akan pernah mengerti jawabnya, karena ia belum pernah bersentuhan dengan seseorang seperti Virgo sebelumnya.Yang pasti, detik ini adalah detik paling menakutkan yang ia alami sepanjang hidupnya. Dan Karina tidak tahu, apakah detik selanjutnya akan membawanya ke saat-saat penuh kengerian?"J-Jeremy??" Lidah Karina terasa kelu ketika mengucap nama itu. Nama yang sebulan lalu ia nantikan, namun tak kunjung datang. N
"Apa barusan kamu memanggilku dengan nama 'Virgo' alih-alih 'Reiner' seperti biasa, Karina?"Karina pun serta merta tersadar ketika mendengar pertanyaan Virgo yang diucapkan dengan suara lembut namun penuh dengan tuntutan."Ck. Itu cuma nama. Apa bedanya jika aku memanggilmu Reiner atau Virgo? Keduanya juga namamu kan?"Virgo terdiam sembaru menatap seraut wajah cantik dengan tubuh seksi yang duduk di sampingnya. "Tentu saja beda, Nona," lugasnya sembari menarik tangan dan pinggang Karina hingga gadis itu kini telah berada pindah di atas pangkuannya.Karina diam saja ketika Virgo membuat dirinya berada di posisi intim seperti sekarang. Setelah tinggal bersama Virgo selama sebulan, ia sudah tidak terlalu kaget lagi dengan tingginya gairah lelaki itu yang hampir setiap saat menginginkan tubuhnya.Meskipun melelahkan, tapi Karina bersyukur karena Virgo sangat lembut memperlakukannya.Virgo merangkum wajah Karina dengan kedua tangannya, lalu mengecup bibir sensual milik gadis itu, merasa
Karina mulai merasa bosan. Sejak tadi ia hanya menemani Virgo yang sibuk terus menerus menyapa dan mengobrol dengan para kolega bisnisnya .Namun gadis itu juga tak bisa mengelak karena Virgo memeluk pinggangnya tanpa lepas seakan tidak ingin ia diam-diam menyelinap pergi. Huh, menyebalkan.Saat Virgo sedang mendengarkan lawan bicaranya yang sibuk mengoceh tentang pasar saham, Karina pun berbisik pelan kepada lelaki itu."Aku mau ke toilet dulu."Virgo pun mengalihkan wajahnya kepada Karina. "Mau kuantarkan?"Gadis itu pun menggeleng kecil. "Tidak perlu. Cuma sebentar kok.""Ya sudah. Jangan terlalu lama, atau aku yang akan menyusulmu ke sana."Dan akhirnya Karina bisa bernapas lega setelah Virgo membiarkannya pergi. Duh, pesta ini membosankan sekali!! Sama sekali buka seperti ini bayangan Karina akan sebuah pesta yang sebenarnya.Meskipun sang penyelenggara pesta adalah pasangan tua yang merayakan 25 tahun usia pernikahan perak mereka, tapi apa anak-anak mereka tidak memberikan nas
"Halo, Oma."Pergerakan dari tangan berkeriput yang lincah memotongi tangkai bunga itu pun terhenti, ketika mendengar sebuah suara yang memasuki area kebun tengah menyapanya.Wajah wanita tua itu pun menengadah, dan mengernyit saat menyadari bahwa yang datang adalah seseorang yang paling ia tidak sukai."Maaf jika mengganggu waktu santai Oma. Tapi, bisakah kita bicara?" Ucap suara itu lagi, yang kali ini terdengar sarat akan permohonan.Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Oma Anita. Hanya sebuah tatapan tajam dan menusuk yang ia berikan untuk sosok wanita yang berdiri di depannya."Siapa yang mengijinkanmu untuk berdiri di depanku dan mengajukan pertanyaan tak tahu malu seperti itu?" Sentak Oma Anita kesal. Ia mengacungkan gunting untuk memotong bunga. "Pergi dari sini atau aku akan benar-benar menyakitimu!""Oma, kumohon. Beri waktu untukku mengungkapkan apa yang ingin kukatakan," ucap wanita itu lagi dengan manik beningnya yang berkaca-kaca.BRAKK!!Wanita tua itu membanting gu
"Apa sudah selesai?" Virgo bertanya kepada salah satu pegawai butik yang baru saja keluar dari kamarnya."Tinggal berdandan sedikit lagi, Tuan Virgo," sahut orang itu sembari membungkukkan badannya hormat.Virgo mengangguk, dan berjalan memasuki kamarnya dimana Karina sedang berganti baju dan berdandan sebelum mereka berdua pergi ke sebuah pesta.Tampak Karina sedang duduk di sebuah kursi di depam cermin dengan dikelilingi oleh dua orang yang menata rambut serta memoles wajahnya."Jangan menggunakan make-up terlalu tebal, dia lebih cantik jika lebih natural," tutur Virgo kepada sang make-up artist yang menganggukkan kepalanya kepada Virgo, sementara Karina juga ikut menatapnya dari balik cermin.Gadis itu melihat bahwa Virgo telah siap dengan mengenakan setelan modern tuxedo lengkap. Jika seperti ini, Virgo terlihat jauh lebih matang dari usia yang sebenarnya. Dan juga berlipat kali lebih tampan.Malam ini, Virgo mengajaknya ke dalam sebuah pesta untuk kalangan atas. Sebuah pesta ulan
"Matthew." Lelaki itu mengalihkan tatapannya dari jendela ke arah suara lembut yang memanggilnya, lalu tersenyum saat seraut wajah rupawan mendatangi dan tiba-tiba saja memeluknya erat. "Wah wah, ada apa ini? Aku pasti sedang bermimpi indah karena mendapatkan sebuah pelukan dari seorang bidadari," goda Matthew. Sebuah kecupan ia layangkan di ubun-ubun kepala Juliet, sebelum gadis itu melepaskan pelukan mereka untuk menatap manik coklat pasir itu. "Ada apa, Muffin? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Matthew ketika melihat Juliet yang hanya diam saja menatapnya. Ia mengelus rambut panjang yang tergerai indah itu sembari merapikan helai-helainya. Juliet menggeleng pelan, lalu kembali memeluk Matthew. Ia tidak ingin Matthew tahu bahwa ia telah mendengar pertengkaran antara lelaki itu dan Oma Anita. Dan bagaimana hal itu sedikit banyak mempengaruhi Matthew, terlihat dari bagaimana Juliet memergokinya yang sedang melamun menatap ke jendela. "Aku sayang kamu," ucap Julie
"Come and serve me, Nona Karina sang penggoda." Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saja Karina merasakan merinding di sekujur tubuhnya ketika mendengar suara maskulin yang mengalun dengan serak dan dalam itu. Tatapan dari manik monolid Virgo lurus lekat terarah kepada dirinya, semakin dekat semakin jelas terlihat bahwa sorotnya mengandung kobaran api yang dahsyat. Terlebih, ketika Virgo melangkahkan kakinya dalam ayunan yang tegas, namun perlahan dan penuh perhitungan. Karina tak bergeming, ia masih terkesima dengan sosok yang jauh lebih tinggi dan lebih besar darinya itu, yang malah melakukan langkah pertama untuk menggoda alih-alih dirinya. Saat kini Virgo telah berada tepat di hadapan Karina, kedua insan itu pun saling bertatapan. Karina akhirnya menyunggingkan senyum tipis, dan berpikir pasti Virgo menanti dirinya untuk memulai. Benar juga. Gadis itu terlalu terbawa pada sikap Virgo tadi hingga terlupa bahwa di sini, saat ini, dirinyalah yang seharusnya memegang kendali. Baik