Bagaikan sehabis diterjang badai super dahsyat.
Begitulah kiranya apa yang terlihat pada ranjang dimana Juliet berada. Semuanya kacau dan semuanya tidak berada di tempatnya. Seprai sutra yang tadinya rapi melapisi kasur lembut nan empuk kini telah tercerabut kasar dan kusut tak berbentuk. Semua bantal dan guling telah teronggok di atas lantai, tercampakkan begitu saja oleh Matthew yang merasa terganggu dengan keberadaan benda-benda itu saat tubuhnya berada di atas tubuh Juliet. Sangat cocok dengan situasi di sekelilingnya, yang juga sama porak-porandanya karena dihancurkan oleh Matthew yang kesal karena Juliet tidak berada di rumah ketika ia pulang. Salah satu benda yang masih sesuai dengan tempat serta fungsinya adalah selimut sutra, yang kini sedang menutupi tubuh polos Juliet yang penuh keringat dan gemetar karena kelelahan. 'Syukurlah, paling tidak untuk sekarang ini semuanya telah usai', desah Juliet dalam hati sembari memejamkan matanya. Tak ada yang berubah dari Matthew selama setahun tidak berjumpa. Nafsu lelaki itu masih seperti kuda jantan liar yang penuh stamina dan tenaga. Maniak yang semalaman ini berkali-kali terus menyentuhnya tanpa pernah merasa puas. Suara langkah kaki berat dan tegas dari arah pintu yang mendadak terbuka, membuat manik Juliet kembali membuka lebar. Juliet menangkap siluet tubuh tinggi dihiasi otot maskulin yang hanya mengenakan bath robe berwarna biru polos. Matthew. Lelaki itu memasuki kamar Juliet sembari menenggak air dari dalam botol termos berukuran sedang agar suhunya tetap terjaga, seperti kebiasaannya yang memang lebih menyukai air hangat. "Kenapa, kamu mau minum juga?" Tanya lelaki bersurai coklat gelap itu ketika memergoki Juliet melihatnya menyesap air dalam termos sembari menelan ludah seperti orang yang kehausan. Satu alis lebatnya menukik naik dengan seulas seringai tipis yang menyertainya. "Mau kuambilkan minum untukmu?" Juliet menggeleng sopan atas tawaran itu, meskipun ia tahu kalau sebenarnya Matthew hanya menyindirnya dan tidak benar-benar akan mengambilkannya minum. Matthew itu arogan, jahat, keji dan memperlakukan dirinya hanya sebagai boneka pemuas birahi. Juliet sangat jarang mendapatkan perlakuan lembut dari lelaki itu. "Tidak, terima kasih. Aku akan mengambilnya sendiri dari dapur," ucap Juliet kemudian. Meskipun seluruh tubuhnya pegal dan nyeri, tapi gadis itu harus memaksakan diri. Ia sungguh-sungguh kehausan. Dengan menekan selimut untuk menutupi tubuhnya, Juliet pun bangkit dari ranjang dengan sedikit tertatih. Ia bermaksud berjalan ke kamar mandi terlebih dahulu untuk mengenakan bath robe, sebelum turun ke dapur. Juliet memekik kaget ketika tiba-tiba saja tangannya dicengkram dan tubuhnya diseret kembali ke atas tempat tidur. Matthew mendorong Juliet hingga terhempas ke atas kasur, dan menyeringai senang melihat bagaimana manik legam berkilau itu membelalak menggemaskan. Tubuhnya kemudian bergerak untuk menaiki tubuh Juliet. "Jadi rupanya kamu haus, hm?" Dengan sengaja, Matthew menenggak air di depan Juliet yang kini mengernyit tak suka melihatnya. 'Apa dia sengaja ingin pamer dan membuatku semakin tersiksa karena kehausan?!' Teriak batin gadis itu sembari mengalamatkan sejuta makian untuk Matthew, walaupun hanya berani di dalam hati. "Hmmp!!" Juliet sangat terkejut ketika tiba-tiba saja Matthew memagut bibirnya. Gadis itu mengira Matthew akan menciumnya, namun Juliet terkesiap ketika merasakan sesuatu yang mengalir di dalam mulutnya. "Telan, Juliet. Bukankah kamu haus?" Juliet yang tersadar pun seketika mengerjap, dan menelan air yang diberikan Matthew melalui mulutnya. Lelaki itu... memberinya minum? Meskipun dengan cara yang aneh dari mulut ke mulut, tetap saja Juliet tergugu heran ketika Matthew kembali mengulanginya hingga tiga kali. Ini aneh, tumben sekali lelaki itu peduli. "Good. Aku suka sekali dengan gadis yang penurut," cetus Matthew setelah Juliet menelan habis air ketiga yang ia berikan lewat mulut. "Sekarang kamu berhak untuk mendapatkan reward-nya, Juliet." Bisikan halus serupa janji iblis, beserta napas hangat Matthew yang menerpa kulitnya itu membuat Juliet merinding. "Matthew, please... aku lelah," ringis gadis itu mengharapkan belas kasihan, meskipun ia tahu bahwa Matthew tidak akan pernah mengasihaninya. "Lelah?" Kekehan kecil yang menguar dari bibir Matthew membuat Juliet tahu bahwa kali ini pun dia tidak akan mendapatkan keinginannya. "Kamu tidak kuijinkan untuk merasa lelah, Juliet. Karena kita masih sangat jauh dari kata usai." Dan segera setelah Matthew mengatakan kalimat tersebut, ia pun mulai bergerak untuk menghirup aroma faforitnya, aroma kulit Juliet yang membuatnya mabuk dan selalu tenggelam dalam gelora. *** Gadis yang sedang terlelap di atas ranjang berselimutkan kain sutra itu mulai sedikit menggerakkan kepalanya. Sepertinya ia mulai terbangun. Dengan perlahan, kelopak matanya yang terasa berat bagai ditimpa batu yang sangat besar itu pun sedikit demi sedikit mulai terbuka. "Sshh..." suara desisan dan segaris kernyit di keningnya adalah sebuah representasi dari sakit dan perih di tubuhnya. Maniknya kemudian menatap ke arah jendela. Ternyata sudah pagi. Seseorang telah membuka gorden kamarnya, membuat sinar matahari pagi masuk menembus kaca dan sela-sela tirai tipis berwarna putih. Matthew tidak terlihat di mana pun, sama seperti yang sudah-sudah. Juliet sudah sangat terbiasa dengan lelaki egois itu yang akan langsung menghilang begitu saja jika ia sudah merasakan kepuasan, membiarkan Juliet dalam rasa benci pada diri sendiri. Suara erangan pelan pun seketika lolos dari bibir penuh merah muda itu. Sial, hari ini ada kuis di kampusnya yang akan ikut mendongkrak nilai tes akhir. Gara-gara Matthew yang membuat tubuhnya remuk, sekarang Juliet pasti tidak akan bisa fokus pada soal-soal yang diberikan! Gadis itu memaksakan diri untuk bangun meskipun godaan untuk kembali tidur sangat besar. Dengan perlahan, ia menurunkan satu kakinya lalu disusul oleh kaki yang lain menjejak di karpet putih yang lembut. BRUUUKK!! "AAUUWW!" Juliet menjerit kencang dan meringis ketika ia malah terjerembab di lantai saat mencoba untuk berdiri. 'Dasar Matthew brengsek! Dia sudah membuat kedua lututku gemetar dan akhirnya sekarang tak bisa menopang tubuh!' Rutuk geram Juliet dalam hati. Dengan sisa-sisa tenaganya, gadis bersurai hitam itu pun terpaksa harus merangkak perlahan menuju ke kamar mandi. Sesampainya di sana, target Juliet adalah keran wastafel yang bisa ia gunakan sebagai tumpuan untuk berdiri. Juliet ingin sekali menggosok gigi dan berkumur-kumur dengan bersih, berusaha menghilangkan sisa-sisa diri Matthew yang masih tertinggal di dalam mulutnya. Gadis itu mendesah kecil penuh kelegaan ketika berhasil berdiri miring ke depan dengan menumpukan kedua pahanya pada pinggiran wastafel. Namun baru saja jemarinya meraih batang sikat gigi, Juliet terkejut ketika melihat pintu kamar mandinya yang tiba-tiba saja terbuka dari arah luar. Dan ia lebih terkejut lagi, ketika melihat sosok penuh aura intimidasi yang menatapnya dalam-dalam. "M-Matthew?!" Seru Juliet yang tanpa sadar sedikit menjerit karena ia benar-benar kaget. "Apa ada sesuatu yang tertinggal?" Adalah pertanyaan refleks dari Juliet yang diucapkan, karena selama ini Matthew tidak pernah kembali pagi hari begini setelah semalam menghabiskan gairahnya. Matthew tidak menjawab. Manik coklat lelaki itu intens penuh gelora memandangi sekujur tubuh bagian belakang Juliet yang tidak mengenakan apa pun. Lalu tatapannya kemudian beralih ke jemari Juliet yang memegang sikat gigi. "Untuk apa kamu bangun sepagi ini?" Tegurnya kemudian dengan ekspresi tidak suka. "Aku... ada kuliah pagi," sahut Juliet yang masih membelakangi Matthew dan menatapnya melalui cermin wastafel. Sepertinya lelaki itu sehabis berolah raga pagi, terlihat dari kaus hijaunya yang basah oleh keringat dan celana pendek santai yang ia kenakan. Apa dia tidak lelah setelah semalam memporak-porandakan tubuh Juliet? Bagaimana mungkin lelaki itu masih memiliki tenaga untuk berolahraga? Ck. Dia pasti bukan manusia. Alih-alih berucap kembali, lelaki itu malah semakin merapatkan tubuhnya dengan bagian belakang tubuh Juliet yang polos. Aroma feromon yang sangat kuat pun serta-merta menerjang indera penciuman Juliet. Aroma maskulin yang dominan, bagaikan seorang Alpha-male dalam gerombolan serigala. Tangan kirinya terjulur dari belakang untuk meraih pasta gigi, dan tangan kanannya mencengkram tangan Juliet yang memegang sikat gigi. "Buka mulutmu," ucapnya, ketika telah mengoleskan pasta gigi di atas bulu sikat. "Aku bisa sikat gigi sendiri," tolak Juliet. "Kita akan melakukannya bersama-sama." "Tapi itu menjijikkan, Matthew!" Seru gadis itu seraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Bagian mananya yang menjijikkan jika setiap senti bagian di dalam mulutmu semuanya pernah kumasuki, hm?" Juliet pun tak mampu berkata-kata lagi ketika Matthew benar-benar menyikat giginya dari belakang. Kedua manik legam gadis itu hanya bisa membelalak lebar, bingung dan tidak mengerti dengan perubahan sikap Matthew setelah setahun tidak bertemu. Kenapa? Apa alasan di balik perubahan seorang Matthew yang sekarang sepertinya lebih... lembut? Apa jangan-jangan di Amerika dia telah kerasukan jin baik hati? "Done. Sekarang berkumurlah." Matthew membersihkan sikat gigi itu dengan dibasuh menggunakan air yang mengalir dari keran, sementara Juliet mengambil gelas untuk berkumur. Posisi mereka sama sekali belum berubah, dengan bagian depan tubuh Matthew yang menempel pada bagian belakang tubuh Juliet. Gadis itu pun sama sekali tidak menyadari jika satu tangan Matthew diam-diam telah menyusup ke dalam saku celana pendek olahraganya untuk mengambil sebuah benda yang terbuat dari besi kokoh dan berkilat. CKLEK!! "Matthew!!" Juliet menjerit ketika menyadari bahwa kedua pergelangan tangannya tiba-tiba telah terbungkus oleh borgol, yang tadi secepat kilat dipakaikan oleh Matthew tanpa sempat Juliet memberontak. "Hari ini kamu tidak akan kemana-mana, Juliet Amanda. Jadi buang saja jauh-jauh harapan akan mengikuti kuliah pagimu." ***"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah.""Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan."Memangnya kemana mereka semua?""Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya."Libur?""Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu."GLEK.Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hi
"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya."Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran."Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab."Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren."Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, me
Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak
"Kenapa lama sekali? Apa kamu baik-baik saja?"Juliet duduk kembali di kursinya dengan senyum manis yang terlukis kepada Matthew."Aku hanya sedikit sakit perut," sahut gadis itu sembari mulai mengambil mangkuk sup iga hangat di depannya. Sepertinya hanya makanan ini yang tidak terlalu membuat perutnya menolak."Apa kamu mau ke dokter?""Tidak perlu, Matthew. Sekarang sudah lebih baik," bohong Juliet. Rasanya sekarang seperti ada yang mengaduk-aduk perutnya, membuatnya mual dan pusing.Matthew menatap lekat gadis di depannya, lalu lelaki itu pun menggelengkan kepala. "Tidak, kita akan ke dokter setelah makan siang," putus lelaki itu, yang serta merta membuat jantung Juliet berdebar dengan keras.Bisa gawat kalau dokter mendeteksi sesuatu pada tubuhnya, padahal Juliet berniat ingin menyembunyikan kemungkinan kehamilannya dari Matthew. Ia ingin memastikannya sendiri terlebih dahulu untuk menyusun rencana selanjutnya.Juliet pun berpikir keras untuk menemukan jalan keluar agar Matthew m
Sienna terus berlari tanpa memperhatikan apa pun di sekitarnya. Jantungnya berdebar kencang, tidak hanya karena aktivitas fisik yang dilakukannya, tetapi juga karena emosi yang meluap-luap di dalam dirinya. Langkah-langkahnya yang cepat menggema di sepanjang koridor kampus, seolah mengiringi detak jantungnya yang berdegup keras. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari ruang kesehatan itu, sejauh mungkin dari tempat ini, dari segala hal yang membuatnya merasa terpojok. Gadis itu bahkan tidak menyadari bahwa kakinya telanjang, karena buru-buru turun dari ranjang portabel di ruang kesehatan tadi tanpa sempat mengenakan kembali flat shoes-nya. Dinginnya lantai tidak terasa menyakitkan bagi Sienna, mungkin karena pikirannya terlalu kacau untuk memproses rasa apa pun selain keinginan untuk melarikan diri. Orang-orang yang melihat Sienna berlari kencang di lorong kampus jelas dibuat bingung dan terkejut. Gadis itu menjadi pusat perhatian dengan begitu mudahnya, namun ia sama
"Uh..." Sienna membuka kedua matanya dengan perlahan, merasa kepalanya sangat pusing dan berat. Lalu ia pun mengerjap pelan ketika menyadari bahwa kini dirinya telah berada di tempat asing. 'Eh? Kok aku bisa ada di sini?' Ruangan yang berukuran sedang ini setahu Sienna adalah ruang kesehatan yang merupakan fasilitas dari kampusnya. Saat ini ia sedang berbaring di ranjang portabel dari besi, serta selembar selimut putih yang menutupi tubuhnya.Gadis itu masih merasa disorientasi, seolah ada ruang kosong di dalam benaknya yang memutus ingatan terakhirnya. Sebentar... Bukankah sebelumnya ia sedang berada di kelas? Ya, benar. Ia sedang membalas pesan dari Darren, sambil menunggu dosen pengganti yang datang terlambat, lalu... Lalu.Bagai ada petir yang menyambar, Sienna kembali mengingat kilasan ingatan yang menghujam otaknya. Orang itu. Dosen baru yang mengganti Pak Rudi, adalah orang itu. Apa yang dia lakukan di fakultas hukum? Bukankah... dia guru matematika?Sienna tiba-tiba mer
"Uhuk-uhukk!" Darren segera memberikan segelas air kepada Sienna yang batuk-batuk karena tersedak, akibat mengunyah dengan terburu-buru. Sambil menepuk pelan punggung gadis itu dengan satu tangan, tangan satunya lagi ia gunakan untuk memberikan minum langsung ke bibir Sienna. "Thanks, Darren." Sienna berucap setelah batuknya mereda. "Pelan-pelan saja mengunyahnya, Sunshine." Sienna hanya melemparkan tatapan kesal namun tidak berkata apa-apa kepada Darren. Bagaimana ia tidak terburu-buru? Ia hampir terlambat masuk kuliah hari ini, dan semua itu gara-gara Darren yang tak ada habisnya meminta jatah bercinta. Ck. Bahkan sampai sekarang kedua kakinya masih lemas dan agak gemetar karena lelah. Meskipun begitu, ia harus kuliah hari ini. Ia tidak ingin terus membolos, apalagi sudah beberapa hari kemarin ia mangkir kuliah untuk menyelidiki kasus Mathilda. "Kamu kok nggak makan sih?" tanya gadis itu heran karena Darren yang sejak tadi ikut duduk di sampingnya, namun hanya menatapny
Sienna membuka matanya perlahan ketika merasakan tubuhnya digerakkan dengan lembut. Darren-lah yang melakukannya. Pria itu sedang memindahkan tubuhnya yang sedang asyik tertidur di atas tubuh Darren, untuk direbahkan di kasur lembut. Entah kenapa, kehangatan yang terpancar dari kulit pria itu bisa membuat Sienna rileks hingga akhirnya ia pun terlelap dengan pulas. Otot keras pria itu bertemu dengan tubuhnya yang lembut terasa seperti paduan yang sempurna dan saling melengkapi. "Darren?" Sienna menatap Darren dengan matanya yang masih sayu karena mengantuk, menyiratkan tanya kenapa dirinya dipindahkan. "Kamu jadi terbangun ya? Maaf, Sunshine." Darren mengusap lembut bibir Sienna dan mengecupnya sekilas. "Tidurlah lagi." "Kamu mau kemana?" Tanya Sienna lagi, ketika melihat Darren yang menyelimutinya lalu beranjak turun dari atas ranjang. "Cuma mau ke dapur untuk membuatkan sarapan," sahut pria bersurai pirang itu dengan manik biru lautnya yang cerah dan berkilau penuh senyum m
Sienna keluar dari mobil mewah milik Darren, lalu dengan sengaja membanting pintunya dengan wajah yang masih tertekuk."Kenapa kamu masih saja membawaku ke sini? Aku mau pulang!" Sergah gadis itu dengan kaki yang menghentak kesal dan manik bening dari balik lensa kaca mata yang mendelik ke arah Darren.Padahal Sienna sudah berusaha mengubah sikapnya menjadi agak penurut, dengan membiarkan Darren mengajaknya makan siang dan berjalan-jalan di mal. Sienna bahkan membiarkan pria itu menggandeng tangannya dan memeluknya di tempat umum, mempertontonkan kemesraan layaknya sepasang kekasih.Meskipun Sienna masih tetap tidak menganggap Darren adalah kekasihnya, berbanding terbalik dengan Darren yang sudah mengklaim bahwa Sienna adalah gadisnya.Ia mengira dengan mengikuti apa kemauan pria itu, paling tidak Darren akan mengabulkan permintaannya untuk pulang ke apartemennya. Aaah... Sienna benar-benar rindu dengan situasi kamar dan kasurnya yang empuk. Namun yang justru terjadi saat ini adalah
"Phobia pada kegelapan?" Virgo mengulang pertanyaan Darren sambil berusaha mengingat-ingat.Benar juga, seingatnya dulu saat nereka masih kecil, Sienna memang tidak suka berada di dalam ruangan yang minim cahaya. Apa sekarang pun masih?"Ya. Sienna sangat ketakutan saat berada di dalam suasana yang gelap. Dia... bahkan berada di taraf yang seperti tidak sadar bahwa sudah menyakiti diri sendiri," sahut Darren dengan wajah yang menyiratkan kecemasan."Kamu sepupunya yang paling dekat kan? Apa Sienna pernah bercerita tentang hal itu?"Virgo menggeleng. "Sienna itu cukup tertutup meskipun dari luar terlihat cuek dan berani," cetusnya. "Kami memang cukup dekat sebagai sepupu, tapi tidak sedekat itu untuk menceritakan hal-hal yang terlalu pribadi."Darren mendesah pelan, kecewa karena tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Virgo benar, Sienna itu gadis yang agak tertutup."Bagaimana dengan masa kecilnya?" Tanya Darren lagi, pantang menyerah. "Apa pernah terjadi sesuatu yang traumatis s
"Heekkhh... hkk... kkhh..."Suara gumanan pelan namun aneh itu membuat tidur lelap Darren pun seketika menjadi terjaga. Perlahan kelopak matanya terbuka, namun tak berapa lama menjadi menyipit bingung, ketika menyadari bahwa ia tidak menemukan seseorang di samping sisi ranjangnya.Kemana Sienna??"Huukkhh..."Suara aneh itu kembali terdengar lagi.Darren pun bergerak untuk beranjak duduk di atas tempat tidurnya sambil menajamkan pendengarannya. Kegelapan yang menyelimuti di sekelilingnya membuatnya tak dapat melihat apa pun.Pria bersurai pirang itu pun memutuskan untuk menyalakan lampu tidur di atas nakas. Bias cahaya kuning lembut pun serta merta memberikan penerangan, meskipun samar-samar.Manik biru laut lelaki itu pun membelalak lebar karena terkejut, ketika menemukan sosok yang ia cari kini tengah duduk di lantai, dengan punggungnya yang bersandar di dinding."Heehkk... uhkk..."Tatapan gadis itu terlihat kosong seperti boneka tanpa nyawa. Bibirnya terbuka, mengeluarkan suara se
"Aku tidak tahu harus berkata apa kepadamu, Muffin."Juliet hanya bisa meringis mendengar nada dingin yang menguar dari suara maskulin suaminya. Ia sadar bahwa di sini semua kesalahan memang bersumber dari dirinya, namun sungguh, ia tidak pernah menyangka akan menjadi sekacau ini.Ia yang tadinya ingin memberikan kejutan manis untuk suaminya dengan menyelidiki diam-diam tentang Mathilda Wiratama, ternyata malah menyebabkan sahabatnya Sienna dan sepupunya Matthew berada dalam masalah.Hampir saja Sienna diperkosa dan Darren yang nyaris kehilangan nyawa, ketika mereka menjalankan misi yang ia minta!Ya ampun...Wanita bersurai gelap dengan perutnya yang mulai membuncit itu benar-benar menyesal. Tangannya yang sejak tadi menggenggam erat tangan sahabatnya, Sienna, mulai terlihat sedikit gemetar.Saat ini Juliet sedang duduk di atas sofa double seated bersama Sienna, sementara itu Matthew dan Darren masing-masing berada di sofa single."Sienna, Darren... maaf," cicit wanita cantik bersura
Setelah sarapan, Sienna segera mandi dan berpakaian dengan cepat. Cuaca cerah pagi ini harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bagi mereka untuk mencari jalan pulang.Setelah hujan sehari semalam, masih tersisa beberapa genangan air di jalanan yang rusak dan becek penuh lumpur.Semoga saja lumpurnya tidak tebal, agar ban mobil mereka tidak terjebak dan malah tidak bisa bergerak.Darren membukakan pintu untuk Sienna, yang dibalas dengan ucapan terima kasih oleh gadis itu.Hanya saja Sienna tidak tahu, bahwa ada seulas senyum simpul penuh arti di wajah tampan lelaki itu."Darren!!" Pekik Sienna sambil mendelik kesal dan mengusap bokongnya yang baru saja mendapatkan cubitan gemas dari Darren.Tawa pelan lelaki itu semakin membuat Sienna kesal, dan gadis itu pun akhirnya masuk ke dalam mobil sambil menghempaskan tubuhnya."Modus!" Cebiknya sembari memutar kedua bola mata. Dasar laki-laki. Dulu saat pertama kali mengenal Darren, Sienna tidak akan pernah menyangka jika lelaki ini sangat mes