Ada beberapa peraturan yang harus dipatuhi oleh Juliet saat menjadi seorang wanita simpanan untuk seorang Matthew Wiratama.
Peraturan pertama : selalu patuh dan taat pada apa pun yang diperintahkan. Sebagai pemimpin tertinggi Wiratama Fleet Service, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa transportasi laut, darat dan udara, Matthew memiliki ego yang tinggi. Ia sudah menjadi pemimpin perusahaan multimiliar dollar di usia yang cukup belia, 27 tahun. Warisan yang ia dapatkan setelah ayahnya, Ibram Wiratama, meninggal dalam sebuah kecelakaan. Kejeniusan dan kecerdasan lelaki itu membuat Wiratama Fleet Service tetap survive, meskipun selama beberapa saat sempat kolaps karena kehilangan sosok pemimpinnya yaitu Ibram Wiratama. Matthew berhasil membawa perusahaannya keluar dari krisis, dan setelah itu dirinya pun mampu mendapatkan kepercayaan dari para pemegang saham serta secara resmi menduduki posisi menggantikan almarhum ayahnya sebagai CEO. Kegemilangan yang ia peroleh mendapatkan apresiasi luar biasa dari media serta publik, yang menyoroti semua tindak-tanduknya sebagai putra tunggal yang menjadi yatim piatu dengan tiba-tiba seraya mendapatkan warisan kepemimpinan sebuah perusahaan skala besar. Juliet ingat masa-masa itu. Di saat dimana Matthew menunjukkan sikap yang berbeda antara di depan publik dan di depannya, di dalam kamar, di atas ranjang. Tanpa ada satu orang pun yang tahu, saat itu Matthew sesungguhnya sangat stres dan depresi dengan semua beban yang menggelayuti pundaknya. Dan semua kecemasannya itu pun dilampiaskannya kepada Juliet. Semua orang melihat Matthew sebagai pribadi matang yang jenius dan baik hati serta memiliki hati seluas samudra, ketika dirinya membawa Juliet ke dalam rumah mewahnya untuk mengangkat dirinya sebagai adik angkat. Seorang putri dari supir yang juga ikut tewas dalam kecelakaan yang melibatkan kedua orang tua Matthew, dan Matthew selalu menyalahkan Juliet atas kekhilafan ayahnya itu. Hanya orang-orang yang bekerja di dalam rumah inilah yang tahu bagaimana sikap Matthew yang sesungguhnya kepada Juliet. Mereka tahu bagaimana Tuan mereka itu telah membuat seorang gadis muda polos menjadi sangat tersiksa, namun mereka terlalu takut untuk menolong Juliet atau pun speak up ke media. Sebesar itulah pengaruh Matthew Wiratama kepada mereka. Matthew bukan jenis orang yang sabar dan pemaaf, itulah dirinya yang sesungguhnya, berbanding terbalik dengan kabar yang telah beredar di luaran sana. Semua titah yang keluar dari bibirnya harus segera dilaksanakan. Tanpa kecuali, tanpa alasan. "Apa yang kamu tunggu, hm? Cepat kemari, Juliet. Aku sudah membuka sendiri busanaku di bagian atas. Dan sekarang giliranmu untuk membuka di bagian bawah." Dan kalimat itu adalah perintah yang harus segera dipatuhi oleh Juliet jika dia tidak ingin mendapatkan hukuman. Hari ini gadis itu telah melakukan kesalahan dengan melanggar satu peraturan. Juliet segera beranjak dengan mengangkat tubuhnya. Manik legam gadis itu sempat melirik situasi di kamarnya yang telah porak-poranda bagai diterjang angin puting beliung. Ternyata benar apa yang dikatakan Tiana. Matthew sangat marah hingga membuat kamarnya jadi berantakan begini. Matthew berdiri tepat di samping ranjang, membuat Juliet merangkak di atas kasur untuk mendekati lelaki itu dan berlutut dengan menumpukan lututnya yang beralas seprai lembut di hadapan lelaki itu. Wajahnya tepat berada di depan dada Matthew. Untuk sesaat ia mendongak, dan beradu tatap dengan manik coklat yang telah tenggelam dalam bara api yang mulai berkobar karena hasrat. "Aku berada di kampus seharian ini, Matthew. Bolehkah jika aku mandi terlebih dulu?" Adalah pertanyaan yang dilontarkan oleh Juliet dengan penuh harap. Ia sangat ingin menyegarkan diri dulu sebelum semuanya dimulai. "Tidak. Aku lebih suka aroma keringatmu dibandingkan aroma sabun," balas Matthew dalam seringai miring yang terlukis di bibirnya serta sebuah suara dengusan kecil yang membuat Juliet hanya bisa diam dan pasrah. Kedua tangan ramping itu pun kemudian terjulur, dengan perlahan dan hati-hati membuka ikat pinggang mahal dengan bahan yang terbuat dari kulit hewan berkualitas tinggi. Selesai berkutat dengan sabuk, tahap selanjutnya Juliet pun mulai membuka kancing dan menurunkan risleting celana berbahan wool yang membalut kaki panjang Matthew dengan pas. Kini bagian bawah busana Matthew telah turun dan mengumpul kusut di mata kaki lelaki itu, namun Matthew masih tak bergeming untuk melangkahkan kaki untuk melepaskannya. "Sentuh." Juliet melirik kembali wajah Matthew selama dua detik, sebelum pandangannya tertuju pada bagian sensitif lelaki itu yang terbalut boxer brief hitam. Bagian yang telah menggembung, dan semakin membesar seiring dengan satu tangan Juliet yang mulai menyentuhnya dari balik satu-satunya penutup yang tersisa dari tubuh Matthew. "Damned it!" Geraman gusar diwarnai frustasi seksual pun terdengar. Matthew menarik pergelangan tangan dari jemari lentik yang menyentuhnya dengan lembut namun membuatnya sangat tergoda. Sesungguhnya Matthew masih ingin menghukum Juliet karena membuatnya kesal. Meskipun ingin sekali menyangkal, namun satu-satunya wajah yang ingin ia lihat sekembalinya dirinya ke negara ini adalah wajah Juliet. Dan satu-satunya tubuh yang ingin ia sentuh, adalah tubuh menawan ini. Matthew merasa gila ketika ia kembali setelah setahun di Amerika, dan tidak menemukan Juliet dimana pun setelah mencari gadis itu di setiap sudut rumah. Ia bahkan kehilangan kontrol diri dan melempar semua barang-barang di kamar Juliet hingga kamar ini pun porak-poranda. Juliet terkesiap pelan saat Matthew tiba-tiba saja menarik pergelangan tangannya, lalu mencengkram erat pinggangnya dan mengangkat tubuhnya. Secara refleks Juliet pun melingkarkan kedua kakinya di pinggang Matthew, dengan kedua tangan yang telah mengalung di leher lelaki itu. "Kamu sangat tidak patuh, gadis nakal," bisik Matthew di telinga Juliet, yang diikuti oleh gigitan-gigitan kecil di sana. "Sudah mulai berani membangkang, hm?" Juliet memejamkan mata dan meringis dalam hati sembari menelengkan kepalanya ke salah satu sisi, untuk memberikan akses kepada Matthew yang mulai bergerilya menyesap kulit lembut di ceruk lehernya. Satu hal yang kini ia ketahui dengan pasti, Matthew akan menghukumnya karena telah melanggar peraturan yang ia buat. Peraturan kedua : selalu berada di rumah sebelum jam tiga sore. "Maafkan aku," ucap Juliet lirih, mengacu pada pelanggaran yang telah ia lakukan hari ini, yaitu tidak pulang tepat waktunya. Gadis itu kembali menggigit bibirnya dengan perasaan meremang saat jemari Matthew mulai bergerak menyelinap di balik blusnya, mengusap kulit pinggang sehalus sutra itu naik dan turun dengan perlahan. Kecupan Matthew kini mulai berpindah ke dada Juliet. Gadis itu bisa merasakan panasnya bibir Matthew bahkan dari balik blus serta penutup dada yang ia kenakan. "Hm. Jadi siapa temanmu sekarang?" Juliet menggeleng kecil sebelum menjawab pertanyaan bernada intimidatif itu. Sekarang saatnya ia harus berbohong dengan sangat meyakinkan agar Matthew percaya. "Tidak ada, Matthew. Aku tidak memiliki teman, sesuai perintahmu." Peraturan ketiga : tidak boleh berteman dengan siapa pun, baik perempuan apalagi laki-laki. Juliet hanya bisa berdoa dalam hati agar Matthew percaya padanya dan tidak menyelidiki sendiri ke kampusnya. Jangan sampai Sienna mendapatkan kesialan karena dekat dengannya! Terakhir kali Matthew mengetahui ada seorang lelaki di kampus Juliet yang bernama Theo mendekatinya, sesuatu yang aneh pun terjadi. Besoknya lelaki itu telah menghilang entah kemana. Juliet mendengar berita bahwa lelaki itu telah pindah ke kampus di kota lain, entah apakah itu benar atau tidak. Ia tak berani mencari tahu, apalagi bertanya kepada Matthew. Tapi Juliet yakin ini semua pasti ada hubungannya dengan lelaki setengah bule bermanik coklat itu. Tidak mungkin Theo mendadak pindah begitu saja, di saat lelaki itu seharusnya mengikuti lomba atletik beberapa hari lagi untuk mewakili kampusnya. Lalu beberapa minggu kemudian, seorang teman satu kelompok project mengajak Juliet untuk belajar bersama seusai mata kuliah, yang kemudian dilanjutkan dengan makan siang di kantin kampus. Dan hal yang sama pun terulang kembali keesokan harinya. Juliet yang mengira kali ini ia bisa berteman pun harus kembali menelan pahitnya kecewa dan juga sangat ketakutan, karena temannya itu pun menghilang seperti halnya Theo. "Apa ucapanmu kali ini bisa dipercaya, Juliet Amanda?" "Ya, Matthew. Kamu bisa mempercayaiku. Aku tidak akan berbohong kepadamu." Dalam hati, Juliet berjanji akan menjauhi Sienna mulai detik ini juga! Ya Tuhan, apa yang dia pikirkan ketika memutuskan untuk berteman dengan gadis berkaca-mata itu?! Juliet benar-benar bodoh, mengira bahwa Matthew tidak akan kembali ke Indonesia, dan mengira bahwa dirinya bisa menjalani kehidupan yang normal layaknya gadis-gadis yang lain. Hidup Juliet tidak akan pernah bisa normal kembali, selama Matthew Wiratama masih menginginkan dirinya di atas ranjangnya. "Baiklah. Untuk kali ini aku percaya," ucap Matthew sembari menatap binar cahaya di dalam manik legam Juliet. Lelaki itu kembali mendudukkan Juliet di atas ranjang, lalu membelai pipi gadis itu dengan lembut. Begitulah Matthew. Kadang menyentuhnya dengan lembut, tapi lebih sering kasar dan beringas seperti hewan kelaparan. "Apa saja yang kamu lakukan selama setahun belakangan ini? Pasti kamu merasa bebas tanpa ada aku kan?" Cetus Matthew sembari terkekeh pelan. Juliet membuka mulutnya hendak menjawab, namun sesuatu membuatnya tersadar bahwa pertanyaan Matthew tadi hanyalah retorika belaka. Karena ketika Juliet membuka mulutnya, ibu jari Matthew langsung menelusup masuk dan mengusap bagian dalam bibir bawah Juliet yang lembut dan basah. "Aku sangat merindukan bibirmu," bisik lelaki itu dengan maniknya yang tertuju ke bibir Juliet. Kemudian ibu jarinya menyusuri gigi seputih mutiara yang berjejer rapi, dan semakin masuk ke dalam untuk membelai lidah Juliet. Napas Matthew terdengar semakin berat seiring dengan Juliet yang kini telah berinisiatif untuk menghisap lembut jemarinya. Hanya Juliet yang bisa membuatnya terbakar dengan begitu cepat laksana api disiram bensin. "Buka bajumu. Aku menginginkanmu sekarang juga." Peraturan keempat : harus selalu bersedia kapan pun Matthew memintanya. Juliet mengangguk kecil, lalu dengan patuh mulai bergerak untuk membuka kancing bagian atas blusnya. Matthew sengaja belum menarik ibu jarinya dari dalam mulut Juliet, namun manik coklatnya kini telah tertuju penuh pada jemari Juliet yang mulai berkutat di kancing bajunya. Jakun lelaki itu terlihat naik turun ketika menatap dengan sepenuh hasrat kepada bagian dada Juliet yang menyembul menggiurkan berselimut kulit putih pucat. Setahun terakhir absen bercinta dengan Matthew membuat Juliet sedikit rikuh. Dengan jemari yang bergetar, ia pun berusaha menguatkan diri. Ini memang sudah takdirnya. Saat blus itu akhirnya jatuh teronggok di atas seprai sutra menyisakan bra berenda hitam di dadanya, Juliet pun menundukkan kepala. Ia tidak menangis, karena sudah terlambat tiga tahun untuk menangisi takdirnya menjadi gadis milik Matthew. Dia hanya malu. Setahun ini Juliet lupa pada bagaimana tatapan seorang lelaki yang sedang penuh gelora. Ia malu melihat hal itu pada sorot manik coklat Matthew. Matthew mengeluarkan ibu jarinya dari dalam mulut Juliet untuk memegang dagu gadis itu dan mendongakkan wajahnya. Lelaki itu terdiam tanpa kata ketika melihat rona jingga di wajah Juliet yang semakin menambah kecantikannya. 'Apa gadis ini sedang merasa malu? Damned! Juliet selalu paling tahu bagaimana membuatku semakin menginginkannya.' "Biar aku yang membuka sisanya." Setelah mengucapkan kalimat itu, Matthew mulai bergerak melucuti semua kain yang tersisa di tubuh Juliet. Ia sudah tidak sabar ingin segera memulai permainan penuh gairah ini untuk menuntaskan segenap hasrat yang seperti meledakkan dirinya dari dalam. Matthew membaringkan tubuh polos menawan Juliet di atas ranjang, dan mulai memagut bibir penuh yang begitu menggemaskan untuk digigit. Tangannya mulai menyentuh semua benda favoritnya di tubuh Juliet, meremas, membelai, mencubit pelan, hingga memilin lembut. Desahan lirih yang keluar dari bibir gadis itu membuat Matthew semakin menggila. Ah, betapa indahnya nada itu di telinganya. "Buka kakimu, Juliet," titah Matthew yang kini telah berada di kaki gadis itu, dan menatap nyalang pada bagian lembut di antara kaki Juliet yang telah terbuka. Suara kesiap pelan diikuti rintihan Juliet pun mengalun di udara, ketika kepala Matthew telah terbenam di bawah sana. Lelaki itu menyantapnya bagai hidangan terlezat di dunia, tanpa ampun dan sangat rakus seakan dirinya tengah dilanda kelaparan. "Matthew!!" Juliet menjerit ketika sebuah gelombang tinggi yang bergulung-gulung tiba-tiba menerjang dirinya, membuatnya melesat tinggi ke angkasa selama beberapa saat, sebelum akhirnya jatuh di antara bintang-bintang yang gemerlap. Napas Juliet berhembus dengan ribut kala pelepasan telah melandanya. Dadanya yang bulat cantik sempurna bergerak naik turun, sangat indah dipandang di mata Matthew. Seringai miring penuh kepuasan terlukis di bibir Matthew ketika melihat Juliet telah tak berdaya dalam lautan gelora sama sepertinya. Dengan perlahan namun pasti, Matthew bergerak menaiki tubuh Juliet setelah mendaratkan kecupan sekilas pada bagian yang merekah bagai mahkota mawar merah muda Juliet. Matthew menghujamkan dirinya memasuki Juliet, mendorong dengan keras hingga membuat Juliet meringis dan tanpa sadar mencengkram lengannya yang berotot. Kuku panjang gadis itu terbenam di dalam kulitnya, namun Matthew tidak peduli akan rasa sakit yang ditimbulkan dari kuku-kuku itu. Ia justru sangat suka ketika melihat bekas kuku Juliet di tubuhnya. "Katakan, Juliet. Katakan kalimat itu," titah Matthew dengan suara serak sarat gairah ketika dirinya mulai menggerakkan tubuh dan semakin membuat Juliet merintih. "Aku cuma milikmu," desah Juliet di sela-sela napasnya yang serasa hampir putus karena gerakan Matthew yang semakin keras dan semakin cepat menghujam dirinya. "Aku hanya milikmu, Matthew Wiratama." Dan peraturan yang kelima : selalu mengucapkan sederet kalimat bermakna kepemilikan Matthew atas dirinya, setiap kali mereka bercinta. ***Bagaikan sehabis diterjang badai super dahsyat.Begitulah kiranya apa yang terlihat pada ranjang dimana Juliet berada. Semuanya kacau dan semuanya tidak berada di tempatnya. Seprai sutra yang tadinya rapi melapisi kasur lembut nan empuk kini telah tercerabut kasar dan kusut tak berbentuk.Semua bantal dan guling telah teronggok di atas lantai, tercampakkan begitu saja oleh Matthew yang merasa terganggu dengan keberadaan benda-benda itu saat tubuhnya berada di atas tubuh Juliet.Sangat cocok dengan situasi di sekelilingnya, yang juga sama porak-porandanya karena dihancurkan oleh Matthew yang kesal karena Juliet tidak berada di rumah ketika ia pulang.Salah satu benda yang masih sesuai dengan tempat serta fungsinya adalah selimut sutra, yang kini sedang menutupi tubuh polos Juliet yang penuh keringat dan gemetar karena kelelahan.'Syukurlah, paling tidak untuk sekarang ini semuanya telah usai', desah Juliet dalam hati sembari memejamkan matanya. Tak ada yang berubah dari Matthew selama
"Tapi kenapa aku harus diborgol?!" Seru Juliet yang merasa tidak terima. Selama ini ia sudah seperti hewan peliharaan bagi Matthew, dan sekarang lelaki itu juga mau membuatnya seperti tahanan penjara?!Matthew berdecak kecil. "Ini hanya untuk memastikan saja kalau kamu tidak akan melarikan diri karena sekarang tak ada seorang pun di rumah ini selain kita berdua, Juliet. Jadi aku tidak mau ambil resiko dengan gadis nakal yang mengambil kesempatan di saat aku lengah.""Hah? Tak ada orang?" Ulang Juliet bingung. Rumah megah Matthew Wiratama ini padahal memiliki dua belas pelayan, lima orang tukang kebun dan empat supir. Belum lagi tiga pengawal yang berjaga di depan."Memangnya kemana mereka semua?""Kuliburkan satu hari," sahut Matthew santai sembari memain-mainkan ujung rambut panjang Juliet dengan jemarinya."Libur?""Ya. Libur. Karena hari ini aku sedang tidak ingin diganggu saat sedang bersamamu."GLEK.Juliet menelan ludah dengan manik bulatnya yang serta merta membelalak lebar, hi
"Kali ini aku benar-benar ingin bicara serius denganmu, Matthew," ucap Darren tiba-tiba, sekembalinya Matthew ke ruangan kerja setelah mengantarkan Juliet ke kamarnya."Apa kamu tahu atau hanya berpura-pura tidak tahu dengan jurusan studi yang diambil oleh Juliet di kampusnya? Apa kamu tahu bahwa selama ini dia memilih fakultas hukum?" Tanya Darren yang penasaran."Memangnya kenapa jika Juliet memilih jurusan itu?" Sahut Matthew tak peduli. Lelaki itu duduk di sofa panjang di depan Darren, sembari membuka ponselnya untuk mengecek apakah ada pesan yang penting untuk dijawab."Juliet mungkin terlihat polos dan lemah pada tampak luarnya, tapi entah kenapa feeling-ku justru mengatakan hal yang sebaliknya. Bukan tidak mungkin dia sengaja mengambil jurusan hukum dalam rangka mencari celah untuk menjatuhkanmu," tukas Darren."Karena bukankah apa yang sudah kamu lakukan selama ini semuanya memang melanggar hukum? Kamu meniduri anak di bawah umur saat Juliet berusia 16 tahun. Lalu menyekap, me
Suara tawa Juliet yang terdengar lepas dan ceria itu nyatanya tak juga membuat Matthew beranjak dari tempatnya merebah.Gadis bersurai legam itu tak bosannya bermain air dan mengejar ombak pantai sejak setengah jam yang lalu. Padahal siang ini matahari bersinar cukup terik, dan Juliet hanya mengenakan topi milik Matthew untuk menahan silaunya sinar matahari.Matthew sendiri terlihat tak tertarik untuk bermain air bersama Juliet. Lelaki itu hanya tiduran serta berayun pelan di atas hammock (tempat tidur gantung yang biasa di pantai), sembari manik coklatnya yang tertutup kaca mata hitam mengawasi Juliet."Dasar kekanakkan," guman pelan lelaki itu ketika melihat Juliet yang cekikikan sendiri karena tubuhnya dihempas ombak.Tapi setelah ia pikir lagi, gadis itu memang baru berusia 19 tahun, 11 tahun lebih muda darinya. Selama ini Matthew hanya telah terbiasa melihat sisi Juliet yang lebih dewasa dari usia sebenarnya.Tanpa menyadari bahwa penyebab Juliet 'dipaksa' untuk dewasa adalah kar
Sebuah sapuan lembut di pipinya membuat Juliet terbangun dan perlahan membuka kedua kelopak matanya.Manik sebening tetes embun itu pun mengerjap satu kali, sebelum sepenuhnya terbuka walaupun masih terlihat sayu."Sudah bangun sekarang?"Juliet mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan dari Matthew itu, tanpa sadar mulai sedikit terpesona pada seraut wajah tampan yang menyapanya."Bagus," ucap Matthew serak sembari mendekatkan wajahnya ke leher Juliet. Hidungnya yang mancung berkelana di sepanjang kulit halus dalam ceruk leher gadis itu, menghadirkan sensasi meremang bagi Juliet.Juliet diam saja, membiarkan Matthew terus menikmati dirinya dengan menghirup aroma kulit gadis itu. Terkadang Juliet merasa bahwa Matthew sedikit aneh, seringkali lelaki itu mengendusnya seperti seekor hewan yang sedang membaui sesuatu yang menarik perhatiannya.Gadis itu hanya tidak mengerti kalau semakin dirinya berkeringat, justru Matthew semakin menyukainya."Sudah jam tiga sore?" Guman Juliet pe
"Katakan apa yang harus aku lakukan padamu, Juliet. What should I do?" Juliet menatap manik coklat Matthew yang sedang menyorot dirinya dengan intens. Mensyukuri bahwa detik ini, momen ini, akhirnya datang juga.'Matthew pasti tidak menyadari kalau sesungguhnya dia telah jatuh hati kepadaku,' batin Juliet dalam hati.'Atau mungkin juga dia sadar, namun merasa enggan untuk mengakuinya karena rasa benci yang telah mengakar begitu dalam di hatinya.'Juliet tersenyum samar, lalu meraih jemari Matthew dan dengan sengaja meletakkannya di pipinya. Juliet membalas tatapan Matthew beberapa saat, sebelum mulai berucap."Apa pun itu, aku hanya berharap agar kita memulai segalanya dari awal, Matthew." Gadis itu pun menggigit bibirnya, berusaha menekan batinnya yang memberi peringatan, karena ia akan mengatakan kalimat yang tidak sesuai dengan kata hatinya.Sebuah kalimat kebohongan pertama untuk sebuah rencana balas dendamnya."Bisakah kita memulai ini selayaknya orang-orang normal di luar sana?
"Jangan menatapku aneh begitu," tegur Juliet ketika mendapati Sienna yang terus saja memandangi dirinya dalam diam.Saat ini kedua gadis itu tengah berada di kantin kampus untuk makan siang bersama, setelah menjalani sesi kuliah asistensi.Sienna menggelengkan kepalanya dan mendesah pelan. "Aku cuma tidak habis pikir dengan rencanamu, Juliet. Menurutku itu terlalu berbahaya dan sangat beresiko tinggi," cetus gadis berkacamata itu seraya menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya.Juliet terdiam sambil terus mengaduk spageti di depannya. Sejak tadi belum ada sesuap makanan yang masuk ke dalam perutnya. Kehilangan nafsu makan seperti ini memang sering ia alami jika sedang berpikir keras."Maksudku... dengan minum racun? Yang benar saja, Juliet! Sepertinya kamu terlalu larut dengan rencana gilamu itu. Oke, aku belum selesai bicara!" Ucap Sienna sembari mendelik kepada Juliet yang terlihat hendak memotong ucapannya."Ya, aku tahu kalau racun yang kamu minum bukanlah racun mematikan
Pintu kamar mandi itu pun bergerak membuka, disusul dengan seorang lelaki yang melangkah keluar sembari menggendong seorang gadis.Tubuh keduanya sama-sama basah berbalut handuk, namun si gadis terlihat memejamkan mata seperti orang yang sedang tertidur.Sebuah seringai kecil yang menghias wajah tampan sang lelaki. Pandangannya menyapu seluruh tubuh berbalut kulit seputih salju yang telah dipenuhi jejak merah cinta, akibat perbuatan beringasnya yang baru saja berakhir beberapa saat yang lalu."Juliet Amanda..." bisikan itu tersemat di bibir lelaki itu, napasnya berhembus menerpa kulit wajah gadis yang masih terlelap itu, menerpa anak-anak rambut legam yang setengah basah di pipinya.Namun ternyata panggilan itu tak jua membuatnya membuka mata dan terbangun. Lelaki itu lalu memandangi gerakan napas yang konstan dan berirama di dada Juliet.Terbersit sebuah penyesalan yang menyeruak di dalam hatinya. Gadis ini pasti sangat kelelahan setelah melayani birahinya yang tak berkesudahan sejak