Bunyi lonceng sekolah bergema, menandakan jam pulang sekolah. Calista merapikan buku-buku di meja dan mengembalikan ke tas. Rambut panjang diikat tinggi ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Netra matanya cokelat muda, duplikat sang Ayah, Alexius. Calista Ardhias sekarang sudah dewasa, bahkan usianya hampir tujuh belas tahun.
“Hai Calista! Pulang bareng yuk!”
Arabel melongok dari pintu lalu berjalan menghampiri meja sahabatnya. Ia menunggu Calista yang sedang merapikan rambut, sembari berdiri melihat dari jendela kelas Calista yang memang bisa melihat ke lapangan basket di halaman bawah. Netranya segera menangkap sosok lelaki tampan, duduk bersama para siswa lain.
“Ssstt, Calista. Lihat cowok itu. Anak baru dari luar kota. Lumayan cakep ya,” Arabel memanggil Calista dengan bersemangat.
Calista berangsur mendekat karena penasaran. Baru beberapa detik ia mengintip, siswa tampan yang diributkan Arabel mengangkat kepala ke atas dan … matanya beradu pandang dengan Calista!!
Astaga, malunya! batin Calista dalam hati, mengabaikan kalau anak baru itu melambaikan tangan padanya. Ia ketahuan sedang mengintip dari balik tirai jendela!
“Arabel!! Dia lihat aku ngintip!! Kamu sih!” ucap Calista sewot. Sudut matanya masih melihat lelaki itu yang masih duduk di bawah, mengamati mereka berdua.
“Nggak apa Calista! Ayo keluar dari kelas ini, kita pura-pura nggak lihat saja!” Arabel tertawa geli, menarik tangan Calista yang pasrah mengikutinya.
Turun dari lantai dua, Calista langsung dihampiri seorang siswa berkacamata yang ternyata menunggu di bawah tangga. Sebuah amplop putih diberikannya pada Calista.
“Calista Ardhias, ini surat untukmu. Ini surat ungkapan perasaanku dan mohon balasannya.”
Pria berkacamata itu tampak sangat gugup hingga ia berjalan menjauhi Calista. Calista menghampiri sahabatnya yang berdiri menunggu di kejauhan.
“Cowok tadi si Rudi kan? Yang kutu buku itu,” Arabel tersenyum geli. “Ya ampun, itu surat putih apa? Jangan bilang salam tempel! Aku bagiiiii ….”
“Hush! Ini surat cinta,” Calista membuka amplop itu dan menghirup kertas berwarna pink di dalamnya. “Wangi parfum.”
“Astaga. Masih jaman ya nembak pakai surat,” Arabel tertawa geli sambil ikut melihat isi surat untuk Calista dengan kepo.
“Dear Calista, aku selalu memperhatikan dirimu.Senyummu menceriakan hariku, tatapan matamu membuat jantungku berdetak cepat. Aku menyukaimu sejak kita pertama kali bertemu. Maukah kamu menjadi kekasihku? Rudi.”
“Waw, puitis juga dia!”
“Lebay!” Calista langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Keduanya menyusuri halaman sekolah, hingga lapangan basket, tempat siswa tampan yang mereka perbincangkan duduk. Dan ternyata dia masih berada di sana! Calista mengalihkan matanya ke arah lain.
Entah kenapa, gaya cool pria itu dengan kemeja yang dikeluarkan dan wrist band di tangan membuat ia agak salah tingkah, deg deg serr. Belum lagi kalau ingat bagaimana ia mengintip-intip dari atas.
“Hallo, boleh kenalan?”
Tanpa diduga, siswa baru itu berdiri dan berjalan mendekati Arabel dan Calista dengan penuh percaya diri. Calista terdiam sesaat sementaar Arabel langsung mengangguk dengan cepat.
“Boleh dong.”
“Namaku Eden Hariyanto, murid pindahan dari Surabaya,” katanya lagi sambil tersenyum. Senyum melelehkan hati tiap siswi yang melihatnya, termasuk Calista dan Arabel saat ini.
“Aku Arabel, ini Calista,” Arabel memperkenalkan mereka dengan wajah sumringah, karena Calista yang nampak masih diam saja. Hanya senyuman tipis terukir di wajahnya.
“Sepertinya kita pernah bertemu,” Eden tiba-tiba memperhatikan Calista dengan alis berkerut. “Wajahmu seperti familiar.”
“Nggak kok, belum pernah. Perasaan kamu aja,”
Calista menggelengkan kepala dengan heran. Ya masa' dirinya lupa kalau pernah bertemu Eden? Cowok cool begini, nggak mungkin Calista lupa!
“Oh iya ya. Perasaan aku aja kali' ya,” Eden tersenyum dan sungguh, senyuman itu betul-betul memabukkan kaum Hawa! Arabel saja sampai ketar-ketir dibuatnya!
“Woy, Eden! Katanya mau bareng? Gue tinggal nih!” seru seorang siswa dari kaca mobil yang sengaja dibuka. Kacamatanya ditaruh di atas dan ia tampak sangat tidak sabar.
“Iyaaaa gue ke sana!!” Eden balas berteriak lalu menatap Calista lagi. “Aku pergi dulu ya. Senang berkenalan dengan kalian!” serunya sambil berlari ke mobil jip hitam.
“Cakep ya. Aku suka gayanya yang cool, senyumannya juga menawan. Tapi kayaknya aku dicuekin tadi, dia sukanya sama kamu, Calista! Aku tadi agak dicuekin. Ih, sebel!" Arabel mencibirkan bibirnya. “Susah punya teman cantik!”
“Nggak gitu kok Bel,” ucap Calista yang merasa tidak enak. “Dia biasa aja sama aku. Cuma sekedar ramah aja.”
“Ah, masa?? Itu kan cuma basa-basi aja, Ta. Aku ini pandai melihat pandangan orang dan sekali lihat, aku tahu dia tertarik pada kamu. Ta, kamu jangan terlalu polos, dia begitu itu taktik aja biar bisa SKSD sama kamu,” timpa Arabel memperhatikan wajah temannya yang sukses merah merona.
“Sok tau kamu, Bel.”
“Ih dibilangin,” ucap Arabel sambil memutar bola matanya. Sambil mengobrol, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah. “Aku tahu kamu juga suka kan? Nggak apa, wajar karena cowok baru itu ganteng juga.”
“Iya, aku suka. Tapi kalau teman baikku suka, ya silakan ambil aja.” Calista tersenyum sambil mencubit pipi Arabel membuat sahabatnya mengaduh dan berangsur menjauh.
“Kamu lupa, Beib? Aku itu udah punya gebetan,” Arabel membulatkan bola matanya lalu berucap kesal. “Ya wajar sih, kami aja udah lama jalan bersama tapi status nggak jelas. Aku tuh setia sama dia, Ta! Tapi kita tuh apa, dibilang teman tapi kok rasanya nggak. Dibilang pacaran juga belum sah, dia belum pernah nembak aku. Sorry Ta, jadi curhat nih.”
“Kamu masih mengharapkan dia? Udah sih Bel, tinggalin aja kalau nggak jelas gitu,” Calista menghela nafas sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Masih banyak cowok lain.”
“Aku cinta sama dia, Ta. Ya beda,” Arabel tersenyum malu. “Kita udah kenal lama, kalau siswa baru tadi kan cuma kagum aja, jadi ya beda.”
Keduanya mengobrol lagi sebelum Calista mengangkat handphone-nya yang berdering keras.
“Hallo, Paman?” Calista terdiam mendengar suara berat seorang lelaki dari seberang sana.
“Iya, aku baru saja pulang. Ini sama Arabel, kami nggak ke mana-mana kok. Bye, Paman.”
Calista mematikan ponselnya sambil menghela nafas. Sudah jadi kewajiban untuk melapor pada Paman Jorge, dia sedang di mana dan akan ke mana. Lihat saja, baru telat satu jam saja, Paman Jorge sudah meneleponnya!
“Paman Jorge ya, Calista? Perhatian benget ya!” Arabel mesejajari langkah Calista, mereka berdua sudah menyusuri jalan setapak menuju jalur Bus ke rumah mereka yang berdekatan.
“Pamanmu itu makin usia malah makin ganteng, Ta. Kalau nggak ingat Pamanmu, udah aku dekati.” ucapnya lagi sambil tertawa-tawa.
Calista mendelik ke arah Arabel, “Paman Jorge itu dingin dan tegas. Kalau bilang A ya A, kalau B ya B.”
“Kaku banget ya! Udah ada pendampingnya?"
“Belum Bel. Mungkin pada takut, orangnya kaku banget gitu,” Calista mengedikkan bahu, sebetulnya tak peduli dengan apa yang dilakukan Jorge. Sebabnya, tentu saja karena ia bosan punya Paman yang sangat ‘overprotektif’ !
Bayangan Jorge yang usianya sepuluh tahun di atas, membayang di benak Calista. Tinggi, hidung mancung, kulit putih yang kadang terbakar matahari kalau baru pulang dari dinasnya di luar kota. Maskulin, tampan, dan sikap dinginnya pasti membuat banyak wanita terkagum-kagum. Sayang, kalau didekati kebanyakan wanita mulai mundur teratur karena judesnya bukan main.
Paman, Paman, apa kamu normal? batin Mita dalam hati, lalu cepat mengenyahkan pikirannya. Takut sendiri dia kalau punya Paman yang agak-agak melenceng, keluar dari jalur!
Calista sudah sejak beberapa tahun ini, kesal dengan Jorge karena pria itu sangat bawel padanya dan suka melarang ini dan itu! Paman Jorge terlalu protektif, bahkan melebihi Ibunya sendiri!!
Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu. Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil. “Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras. “Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman." Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi! “Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu
Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto. “Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya. “Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin. “Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum. “Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya. “Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.” “Mereka udah akrab aja ya, Be
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d