Bunyi lonceng sekolah bergema, menandakan jam pulang sekolah. Calista merapikan buku-buku di meja dan mengembalikan ke tas. Rambut panjang diikat tinggi ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Netra matanya cokelat muda, duplikat sang Ayah, Alexius. Calista Ardhias sekarang sudah dewasa, bahkan usianya hampir tujuh belas tahun.
“Hai Calista! Pulang bareng yuk!”
Arabel melongok dari pintu lalu berjalan menghampiri meja sahabatnya. Ia menunggu Calista yang sedang merapikan rambut, sembari berdiri melihat dari jendela kelas Calista yang memang bisa melihat ke lapangan basket di halaman bawah. Netranya segera menangkap sosok lelaki tampan, duduk bersama para siswa lain.
“Ssstt, Calista. Lihat cowok itu. Anak baru dari luar kota. Lumayan cakep ya,” Arabel memanggil Calista dengan bersemangat.
Calista berangsur mendekat karena penasaran. Baru beberapa detik ia mengintip, siswa tampan yang diributkan Arabel mengangkat kepala ke atas dan … matanya beradu pandang dengan Calista!!
Astaga, malunya! batin Calista dalam hati, mengabaikan kalau anak baru itu melambaikan tangan padanya. Ia ketahuan sedang mengintip dari balik tirai jendela!
“Arabel!! Dia lihat aku ngintip!! Kamu sih!” ucap Calista sewot. Sudut matanya masih melihat lelaki itu yang masih duduk di bawah, mengamati mereka berdua.
“Nggak apa Calista! Ayo keluar dari kelas ini, kita pura-pura nggak lihat saja!” Arabel tertawa geli, menarik tangan Calista yang pasrah mengikutinya.
Turun dari lantai dua, Calista langsung dihampiri seorang siswa berkacamata yang ternyata menunggu di bawah tangga. Sebuah amplop putih diberikannya pada Calista.
“Calista Ardhias, ini surat untukmu. Ini surat ungkapan perasaanku dan mohon balasannya.”
Pria berkacamata itu tampak sangat gugup hingga ia berjalan menjauhi Calista. Calista menghampiri sahabatnya yang berdiri menunggu di kejauhan.
“Cowok tadi si Rudi kan? Yang kutu buku itu,” Arabel tersenyum geli. “Ya ampun, itu surat putih apa? Jangan bilang salam tempel! Aku bagiiiii ….”
“Hush! Ini surat cinta,” Calista membuka amplop itu dan menghirup kertas berwarna pink di dalamnya. “Wangi parfum.”
“Astaga. Masih jaman ya nembak pakai surat,” Arabel tertawa geli sambil ikut melihat isi surat untuk Calista dengan kepo.
“Dear Calista, aku selalu memperhatikan dirimu.Senyummu menceriakan hariku, tatapan matamu membuat jantungku berdetak cepat. Aku menyukaimu sejak kita pertama kali bertemu. Maukah kamu menjadi kekasihku? Rudi.”
“Waw, puitis juga dia!”
“Lebay!” Calista langsung meremas kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah.
Keduanya menyusuri halaman sekolah, hingga lapangan basket, tempat siswa tampan yang mereka perbincangkan duduk. Dan ternyata dia masih berada di sana! Calista mengalihkan matanya ke arah lain.
Entah kenapa, gaya cool pria itu dengan kemeja yang dikeluarkan dan wrist band di tangan membuat ia agak salah tingkah, deg deg serr. Belum lagi kalau ingat bagaimana ia mengintip-intip dari atas.
“Hallo, boleh kenalan?”
Tanpa diduga, siswa baru itu berdiri dan berjalan mendekati Arabel dan Calista dengan penuh percaya diri. Calista terdiam sesaat sementaar Arabel langsung mengangguk dengan cepat.
“Boleh dong.”
“Namaku Eden Hariyanto, murid pindahan dari Surabaya,” katanya lagi sambil tersenyum. Senyum melelehkan hati tiap siswi yang melihatnya, termasuk Calista dan Arabel saat ini.
“Aku Arabel, ini Calista,” Arabel memperkenalkan mereka dengan wajah sumringah, karena Calista yang nampak masih diam saja. Hanya senyuman tipis terukir di wajahnya.
“Sepertinya kita pernah bertemu,” Eden tiba-tiba memperhatikan Calista dengan alis berkerut. “Wajahmu seperti familiar.”
“Nggak kok, belum pernah. Perasaan kamu aja,”
Calista menggelengkan kepala dengan heran. Ya masa' dirinya lupa kalau pernah bertemu Eden? Cowok cool begini, nggak mungkin Calista lupa!
“Oh iya ya. Perasaan aku aja kali' ya,” Eden tersenyum dan sungguh, senyuman itu betul-betul memabukkan kaum Hawa! Arabel saja sampai ketar-ketir dibuatnya!
“Woy, Eden! Katanya mau bareng? Gue tinggal nih!” seru seorang siswa dari kaca mobil yang sengaja dibuka. Kacamatanya ditaruh di atas dan ia tampak sangat tidak sabar.
“Iyaaaa gue ke sana!!” Eden balas berteriak lalu menatap Calista lagi. “Aku pergi dulu ya. Senang berkenalan dengan kalian!” serunya sambil berlari ke mobil jip hitam.
“Cakep ya. Aku suka gayanya yang cool, senyumannya juga menawan. Tapi kayaknya aku dicuekin tadi, dia sukanya sama kamu, Calista! Aku tadi agak dicuekin. Ih, sebel!" Arabel mencibirkan bibirnya. “Susah punya teman cantik!”
“Nggak gitu kok Bel,” ucap Calista yang merasa tidak enak. “Dia biasa aja sama aku. Cuma sekedar ramah aja.”
“Ah, masa?? Itu kan cuma basa-basi aja, Ta. Aku ini pandai melihat pandangan orang dan sekali lihat, aku tahu dia tertarik pada kamu. Ta, kamu jangan terlalu polos, dia begitu itu taktik aja biar bisa SKSD sama kamu,” timpa Arabel memperhatikan wajah temannya yang sukses merah merona.
“Sok tau kamu, Bel.”
“Ih dibilangin,” ucap Arabel sambil memutar bola matanya. Sambil mengobrol, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang sekolah. “Aku tahu kamu juga suka kan? Nggak apa, wajar karena cowok baru itu ganteng juga.”
“Iya, aku suka. Tapi kalau teman baikku suka, ya silakan ambil aja.” Calista tersenyum sambil mencubit pipi Arabel membuat sahabatnya mengaduh dan berangsur menjauh.
“Kamu lupa, Beib? Aku itu udah punya gebetan,” Arabel membulatkan bola matanya lalu berucap kesal. “Ya wajar sih, kami aja udah lama jalan bersama tapi status nggak jelas. Aku tuh setia sama dia, Ta! Tapi kita tuh apa, dibilang teman tapi kok rasanya nggak. Dibilang pacaran juga belum sah, dia belum pernah nembak aku. Sorry Ta, jadi curhat nih.”
“Kamu masih mengharapkan dia? Udah sih Bel, tinggalin aja kalau nggak jelas gitu,” Calista menghela nafas sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Masih banyak cowok lain.”
“Aku cinta sama dia, Ta. Ya beda,” Arabel tersenyum malu. “Kita udah kenal lama, kalau siswa baru tadi kan cuma kagum aja, jadi ya beda.”
Keduanya mengobrol lagi sebelum Calista mengangkat handphone-nya yang berdering keras.
“Hallo, Paman?” Calista terdiam mendengar suara berat seorang lelaki dari seberang sana.
“Iya, aku baru saja pulang. Ini sama Arabel, kami nggak ke mana-mana kok. Bye, Paman.”
Calista mematikan ponselnya sambil menghela nafas. Sudah jadi kewajiban untuk melapor pada Paman Jorge, dia sedang di mana dan akan ke mana. Lihat saja, baru telat satu jam saja, Paman Jorge sudah meneleponnya!
“Paman Jorge ya, Calista? Perhatian benget ya!” Arabel mesejajari langkah Calista, mereka berdua sudah menyusuri jalan setapak menuju jalur Bus ke rumah mereka yang berdekatan.
“Pamanmu itu makin usia malah makin ganteng, Ta. Kalau nggak ingat Pamanmu, udah aku dekati.” ucapnya lagi sambil tertawa-tawa.
Calista mendelik ke arah Arabel, “Paman Jorge itu dingin dan tegas. Kalau bilang A ya A, kalau B ya B.”
“Kaku banget ya! Udah ada pendampingnya?"
“Belum Bel. Mungkin pada takut, orangnya kaku banget gitu,” Calista mengedikkan bahu, sebetulnya tak peduli dengan apa yang dilakukan Jorge. Sebabnya, tentu saja karena ia bosan punya Paman yang sangat ‘overprotektif’ !
Bayangan Jorge yang usianya sepuluh tahun di atas, membayang di benak Calista. Tinggi, hidung mancung, kulit putih yang kadang terbakar matahari kalau baru pulang dari dinasnya di luar kota. Maskulin, tampan, dan sikap dinginnya pasti membuat banyak wanita terkagum-kagum. Sayang, kalau didekati kebanyakan wanita mulai mundur teratur karena judesnya bukan main.
Paman, Paman, apa kamu normal? batin Mita dalam hati, lalu cepat mengenyahkan pikirannya. Takut sendiri dia kalau punya Paman yang agak-agak melenceng, keluar dari jalur!
Calista sudah sejak beberapa tahun ini, kesal dengan Jorge karena pria itu sangat bawel padanya dan suka melarang ini dan itu! Paman Jorge terlalu protektif, bahkan melebihi Ibunya sendiri!!
Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu. Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil. “Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras. “Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman." Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi! “Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu
Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto. “Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya. “Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin. “Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum. “Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya. “Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.” “Mereka udah akrab aja ya, Be
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela