Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.
“Kenapa?” tanya Koko penasaran.
“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.
“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.
“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.
“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.
“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”
“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil ikut melihat layar ponsel Arabel.
“Emang..tapi pamannya Calista itu sebetulnya baik...dan tampan,” kata Arabel sambil cengar-cengir dan mengetik balasan untuk Jorge. Sementara Koko hanya mengedikkan bahunya.
Arabel mendatangi Calista yang masih mendengarkan Eden bercerita, “Ta, pulang yuk. Udah malem,” katanya. “Tuh kamu juga udah dicariin Paman Jorge.”
“Yaelah cepet banget....ini masih belum juga jam sepuluh,” kata Eden sambil tertawa. “Baru mau ajak kalian lagi jalan ke tempat yang asyik banget pokoknya!”
Calista memandang Eden dengan penasaran, “Oh ya? Wah jadi pingin tau ya Bel.” Dia tertawa namun tiba-tiba dia memasukkan tangannya ke dalam tas dan mengambil ponselnya yang berdering.
Calista memandang Arabel dan menaikkan alisnya dengan kesal. Paman Jorge, siapa lagi? Mereka sudah tahu sama tahu. Calista tidak mengangkatnya, namun dia menatap Eden.
“Lain kali aja ya, Eden. Aku mesti pulang,”ucap Calista sambil memanyunkan bibirnya. “Sebetulnya pingin sih...” katanya dengan nada menggantung.
“Ya sudah ikut aja,” bujuk Eden lagi sedikit memaksa. “Nanti kami antarkan tengah malam ke rumah. Ya jam satu ngga apa kan?”
Arabel memandang Calista ingin tahu. Apa jadinya kalau Calista benar-benar mengiyakan dan reaksi Paman Jorge kalau Calista pulang tengah malam? Pasti Arabel ikut ditelepon juga, menanyakan keadaan Calista.
Bukan nggak mungkin Paman Jorge menyusul ke tempat Calista.
Calista sempat goyah sedikit namun menggelengkan kepalanya, “Maaf Eden, lain kali aja. Aku betul-betul harus pulang.”
“Oke Calista, lain kali ya...” kata Eden lagi sambil tersenyum. “Kita jalan lagi.”
Calista tersenyum, lalu melambaikan tangan pada Eden dan kawan-kawannya, naik mobil yang dipesan online dan pulang bersama Arabel dan Koko.
Betul saja, di depan rumah sudah duduk Jorge sambil membaca koran di teras. Calista turun dari mobil duluan sementara Arabel terus ke rumahnya yang ada di kompleks samping.
Calista memasuki halaman rumah, “Aku pulang,” katanya sambil melangkah di jalan yang penuh bebatuan licin karena bekas hujan. Calista membalas tatapan tajam pamannya yang sudah menurunkan koran.
“Kenapa telepon paman tidak diangkat dan pesan paman tidak dibalas?” kata Jorge sambil melihat jam, “Ini sudah hampir jam sebelas.”
Calista menghela nafas, “Paman berlebihan, aku aman-aman saja dan ada Arabel juga kok.” Dia membuka sepatunya lalu berjalan hendak membuka tuas pintu.
Jorge tidak mengatakan apa pun, dia menghempaskan korannya lalu memastikan pintu gerbang sudah tertutup rapat dan masuk ke dalam rumah.“Jorge...kamu tidak perlu sampai begitu ke Calista. Kakak yakin dia baik-baik saja,” ucap kak Emily, mama Calista yang melihat Jorge yang sibuk menelepon Calista berkali-kali.
“Nggak apa, kak. Hanya mengingatkan Calista saja kalau jangan pulang terlalu malam,” ucap Jorge yang nyatanya teleponnya tidak diangkat sama sekali oleh Calista. Membuat dia agak kesal.
Calista melihat ke layar ponsel saat sudah masuk ke kamar, sudah ada pesan dari Eden lagi.Sudah pulang? tanyanya.
Sudah. Baru aja, jawab Calista.
Cukup lama Calista membalas pesan-pesan Eden. Eden mengirimkan foto dia sedang berada di sebuah klub bersama Jacob, Steve dan Merlyn. Mereka tampak bergembira berkumpul dan bersenang-senang. Ada bir bintang di tengah-tengah meja.
Calista agak takut tapi dia penasaran juga, hal-hal yang belum pernah ada dalam rutinitas kehidupannya yang menjenuhkan. Apa boleh ya sesekali? pikirnya lagi. Tidak perlu meminta izin dengan Paman Jorge juga.
***
Sementara itu jauh di sana, ada seorang perempuan yang sedang kesal karena teleponnya tidak diangkat-angkat. Dahlia Irkhasia melempar ponselnya ke tempat tidur dengan jengkel. Hanya seorang Jorge yang sama sekali tidak mengacuhkannya dari semenjak mereka saling kenal.
Padahal Dahlia merasa tidak ada yang kurang dari dirinya...wajah cantik, penampilan bagus, pintar, dan berprestasi. Banyak orang yang menginginkan dia jadi calon istri, dan banyak orangtua yang memperebutkan dia untuk jadi calon menantu.
Segala cara sudah dicobanya untuk merebut hati Jorge, namun tidak pernah berhasil...atau mungkin belum.
“Kak! Aku sudah pulang!” seru seorang anak lelaki yang terdengar memasuki rumah.
Dahlia mendengus sebal lalu menjawab seruan anak itu yang ternyata adeknya sendiri, “Dari mana saja kamu?! Ini sudah hampir jam dua pagi!”
“Yah namanya juga anak muda, kak! Kayak nggak tau aja,” ucap anak lelaki itu dengan nafas yang sedikit berbau alkohol.
Dahlia bangkit dari tempat duduknya dan berkacak pinggang dengan emosi, “Heh kamu tahu Ayah mengirim kamu ke sini, bukan untuk bersenang-senang tau! Kalau kamu ketahuan begini lagi, aku kembalikan ke Ayah!”
Sementara anak lelaki itu hanya tertawa dan naik ke lantai atas, yaitu kamar tidurnya. Dahlia menggeleng-gelengkan kepala dengan emosi. Dia hanya tinggal berdua dengan adik lelaki yang nggak bisa diatur itu. Entah kenapa ayah malah mengirimnya ke situ!
Mungkin karena Cuma Dahlia yang dipikirnya bisa tega menghajar adeknya itu atau ayah memang sudah lepas tanggung jawab mengingat dia sudah punya istri baru dan anak-anak yang baru lahir.
Dahlia geli kalau mengingat ayahnya yang selingkuh dengan sekretarisnya sendiri. Setelah ketahuan, baru ayahnya cerai dan membangun rumah tangga bersama istri baru itu. Ibu yang sakit-sakitan sudah meninggal setahun kemudian, mungkin karena pikiran. Karena sebetulnya Ibu mereka sangat mencintai ayah.
Dahlia langsung pindah ke Jakarta, sementara adeknya yang tinggal bersama ayah malah semakin membandel dan masuk dalam pergaulan malam. Malang memang, namun Dahlia tau itu hanya pelarian adeknya karena kecewa dengan sang ayah. Jadi kadang, dia juga tidak bisa bilang apa-apa.
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d
Calista perlahan membuka matanya dan seketika terkesiap saat menyadari bahwa dia masih berada di apartemen Eden. Dia bangun dan melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam! Ya ampun...dia ketiduran berapa jam di sofa itu...“Hai sayang, sudah bangun?”Calista melihat Eden yang keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Kamu terlihat nyenyak sekali, aku nggak tega bangunin kamu!” ucap Eden sembari duduk di samping Calista. “Aku udah pesenin makanan untuk makan malam kita...”“Iya, aku kaget waktu bangun. Udah ketiduran lama sekali, berapa jam ya?” tanya Calista sambil membuka handphone-nya. Betul saja kalau sudah ada banyak pesan dari teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Arabel dan Inneke...lalu beberapa kali miscall dari ibunya!“Apa aku baiknya pulang ya? Udah malam...”“Makan malam dulu aja Calista...masih jam tujuh juga...&rdq
“Dahlia!! Jangan....!” ucapnya sambil menyeka bibirnya dengan kasar. Ingin dia memarahi wanita itu habis-habisan, namun urung dilakukan karena melihat mata gadis itu yang semakin sayu dan jalannya yang limbung.“Masuk cepat!” bentak Jorge sambil mendorong Dahlia ke dalam mobil. Sementara wanita itu dengan wajah memerah, memperhatikan Jorge yang berjalan memutar dan duduk di kursi sebelahnya. Dia lalu terkikik dan melepaskan blazernya lagi...“Panas....” katanya sambil memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di bangku mobil.“Siapa suruh minum banyak-banyak. Di mana alamatmu? Biar aku antar! Dasar bikin repot aja!” omel Jorge sambil menyalakan mesin mobilnya.“Apartemen Red di jalan Cokro...” gumam Dahlia lalu menatap Jorge dari samping dengan matanya yang sayu. Tangannya mulai meraba kaki pria itu, yang membuat Jorge kaget dan otomatis menghempaskan tangan wanita itu.“Apaan sih D