Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.
“Senyum-senyum sendiri aja...”
Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”
Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”
Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.
“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.
“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang Calista lagi sambil memanyunkan bibirnya.
Namun hati kecilnya berkata lain, siapa yang tahu kan?
Jorge memelankan mobilnya yang sudah hampir dekat ke gerbang sekolah, lalu berhenti tepat di depannya. Dia memperhatikan Calista yang keluar dari mobil, lalu menatap Jorge lagi.
“Oh iya Paman, nanti aku pulang agak malam. Soalnya diajak Arabel nonton film di Bioskop. Kan nanti malam Minggu, Paman...besok juga libur,” ucap Calista sambil menatap pamannya. Lebih ke pemberitahuan dan bukan meminta izin, sebetulnya.
Jorge menatap Calista dengan tajam, “Oke tapi ingat kalau kamu pulang melampaui jam malam, Paman nggak segan-segan meneleponmu terus atau Arabel. Dan datang langsung ke sana.”
Calista meringis sebal, lalu membalikkan badannya dengan jengkel. Jorge hanya diam dan memandang Calista masuk ke gerbang dan menghilang dari pandangannya, lalu dia melanjutkan perjalanannya ke kantor.
Akhir-akhir ini dia agak kesal dengan seorang wanita yang terus menerus mengganggu dirinya. Beberapa temannya bilang dia beruntung disukai seorang Dahlia Irkhasia, perempuan cantik yang berdarah Indonesia Belanda. Memang Jorge akui dia wanita yang cantik dan menarik. Namun, sikapnya yang agresif membuat Jorge kesal setengah mati.
Pagi-pagi sudah mengirim pesan, siang mengirim foto. Di kantor juga Dahlia selalu menacari topik untuk mengobrol dengannya, tapi Jorge hanya meladeni sebatas topik yang penting saja. Sesudah itu dia hanya menanggapi dengan dingin dan acuh tak acuh. Herannya perempuan itu malah makin semangat mengejarnya.
Jorge menatap teleponnya yang berdering lalu melihat nama di layar ponselnya. Dahlia Irkhasia. Jorge menekan tombol merah dan memasang mode silent, sambil terus melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota.Sementara itu Calista yang mau masuk ke kelas bertemu dengan Eden yang hendak ke kamar mandi dekat kelas Calista. Eden mendekati Calista dulu, sambil tersenyum-senyum.
“Jadi kan, nanti pulang sekolah...” ucap Eden mengingatkan. “Nonton bareng.”
Calista mengangguk, lalu masuk ke dalam kelas. Dia masuk dengan wajah yang senang dan tentu saja memancing perhatian Inneke yang sekelas dengannya.
“Sepertinya ada yang sedang bahagia...” sindir Inneke.“Kemarin ditelepon Eden lama banget....sampai malam,” kata Calista dengan mata berbinar-binar. “Lalu tadi ketemu lagi. Orangnya lucu, cakep lagi...”
Inneke menghela nafas lalu menimbang-nimbang apa dia harus memberitahukan Calista atau tidak. Dia akhirnya memutuskan bicara, “Calista...Eden itu dulu anak nakal di sekolahnya loh...Dia dikirim ke sini karena ayahnya udah putus asa.”
Calista terdiam dan mendengarkan Inneke lagi, “Masa sih Inneke?” Dia agak ragu sesaat, namun berkata lagi, “Tapi dia memang bilang kalau dia itu nakal. Dia udah jujur, kok.”
“Itu kan masa lalu, semua orang punya masa lalu,” kata Calista lagi sambil duduk di kursinya, persis di depan Inneke.
“Temanku bilang dia pemakai narkoba, Ta. Kamu udah tau?” tanya Inneke lagi.
“Sudah, dia mengakuinya kok. Dan dia bilang sudah sembuh,” jawab Calista sambil menghadap Inneke.
Inneke memandang Calista dengan tatapan kagum dan percaya tidak percaya. Ini anak lagi bucin atau apa sih?
“Nah jadi...kamu tau dia mantan pemakai narkoba. Apa betul sudah sembuh? Gimana kalau masih make?” kata Inneke dengan membelalakkan mata.
“Maaf ya Calista. Aku itu belum begitu kenal Eden. Masih mending cowok-cowok yang dulu kamu tolak seperti Roby, Manawi, Leo...yang walaupun masih cupu tapi alim. Oh iya Leo nggak cupu sih, dia anak baik. Kenapa kamu tolak dia dulu?” lanjut Inneke lagi panjang lebar yang malam membuat Calista kesal.
“Maaf ya Inneke. Aku itu nggak ganggu hidup kamu...kenapa kamu ikut campur siapa yang aku suka dan nggak. Kalau kamu mau, kamu aja yang sama Leo!” cetus Calista kesal, lalu membalikkan badannya lagi karena guru mereka sudah masuk ke kelas.
Inneke hendak membantah lagi, namun dia mengatupkan mulutnya karena ibu guru mereka sudah berbicara depan kelas.
“Si Calista udah bucin, Bel...” kata Inneke selagi jam istirahat di kelas Arabel yang sedang makan di kotak bekalnya. Dia memang sengaja mau ketemu Arabel untuk membicarakan Calista. “Masa dia tadi marah karena aku bilang masih bagusan cowok-cowok yang dulu dia tolak daripada Eden.”
“Ya kamu sih...” jawab Arabel sambil menaikkan alisnya. “Ya jelaslah marah, orang lagi suka kok. Mau dibilang cowok yang dia suka jelek, ya pasti dibelain keleus...”
“Eden itu mantan pemakai, Bel...ada lagi deh, nanti aku tanya temenku,” kata Inneke dengan menggebu-gebu.
“Sstttt...sudah Ke. Nanti malah kamu dibilang sama Calista, kamu cemburu sama dia,” kata Arabel mengingatkan. “Inget ya, kita hanya bisa mendukung dia karena kita sahabatnya. Jangan bikin dia tertekan, di rumah aja dia sudah tertekan sama pamannya yang aku bilang berlebihan. Kita cukup awasi dia saja, , mengingatkan kalau sudah terlalu jauh.”
“Ini juga baru temenan kan...Udahlah nggak usah berlebihan,” kata Arabel kalem sambil melanjutkan makannya. Sementara Inneke hanya terdiam saja.
Mereka naik mobil seorang teman sepulang sekolah, sama-sama ke bioskop. Eden dan teman sekelasnya, Jacob yang punya mobil. Di tengah ada Merlian, Calista dan Arabel, di belakang ada seseorang cowok dari kelas Eden juga yang Calista tidak tahu namanya.
“Tenang, gue udah ada SIM. Kan gue pernah tinggal kelas beberapa tahun dulu, jadi gue udah punya sim dong karena udah tujuh belas. Hahah...” jelasnya sambil melajukan mobilnya pelan di tengah kemacetan lalu lintas.
Calista merasa agak kikuk di tengah beberapa orang yang belum dikenalnya. Sementara cewek yang bernama Merlian terlihat cuek dengan rok abu-abu yang di atas lutut, kaos seragam yang tipis memperlihatkan bra hitam yang agak membayang, dan kaos kaki panjang selutut. Agak-agak seperti cewek-cewek badung di film Jepang yang pernah ditonton Calista. Cowok di belakang juga terlihat santai dengan rambut jigrik dan baju yang dikeluarkan, dia memakai headset dan menyanyikan sebuah lagu sepanjang jalan dengan santainya.
Jacob sendiri dengan cueknya menghisap sebuah rokok dan menghembuskannya keluar jendela berkali-kali. Dia minta maaf dulu sebelumnya ke Calista dan Arabel untuk mematikan AC mobil dan membuka jendela. Begitu juga dengan Eden yang sempat merokok, tapi hanya sebentar lalu sibuk menanyakan beberapa hal ke Calista yang duduk manis di tengah antara Arabel dan Merlian.
Masuk ke dalam gedung bioskop, Calista baru menyadari kalau Merlin dan Jacob itu pasangan. Mereka terlihat sangat mesra dan jalan bergandengan satu sama lain. Koko-nya Arabel ternyata sudah menunggu di samping counter makanan di bioskop. Dia diperkenalkan Arabel pada Eden dan kawan-kawan. Sementara cowok di belakang itu, bernama Steve...kadang Calista suka bingung dengan apa yang dibicarakan. Orangnya seperti nggak nyambung.
“Calista, duduk di sampingku...” kata Eden saat mereka semua mengambil kursi yang berderet sebaris. Calista pun duduk di samping Eden. Seragam sekolah Calista sudah diganti dengan jins dan kaos berukuran pas badan berwarna merah marun.
Lampu dimatikan dan mereka sudah fokus pada film yang ada di layar lebar. Sementara Calista terus memakan popcorn bersama Eden, tangan mereka nggak sengaja bersentuhan. Entah Eden sengaja atau tidak. Kursi yang sempit membuat tangan mereka berdekatan, dan dengan halus Eden memegang tangan Calista, yang tidak ditepis oleh perempuan itu.
Calista tidak bisa jelas melihat Eden, namun dia melihat senyum yang tersamar di wajah pria itu. Dan dia juga ternyata menikmatinya.
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d
Calista perlahan membuka matanya dan seketika terkesiap saat menyadari bahwa dia masih berada di apartemen Eden. Dia bangun dan melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam! Ya ampun...dia ketiduran berapa jam di sofa itu...“Hai sayang, sudah bangun?”Calista melihat Eden yang keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Kamu terlihat nyenyak sekali, aku nggak tega bangunin kamu!” ucap Eden sembari duduk di samping Calista. “Aku udah pesenin makanan untuk makan malam kita...”“Iya, aku kaget waktu bangun. Udah ketiduran lama sekali, berapa jam ya?” tanya Calista sambil membuka handphone-nya. Betul saja kalau sudah ada banyak pesan dari teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Arabel dan Inneke...lalu beberapa kali miscall dari ibunya!“Apa aku baiknya pulang ya? Udah malam...”“Makan malam dulu aja Calista...masih jam tujuh juga...&rdq
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela