Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja....
Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu....
“Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!”
“Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa.
Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya.
“Kita mulai ya sayang....”
Gadis itu berteriak dan memberontak karena kancing baju seragam atasnya yang sudah mau dibuka, dan terdiam lagi karena tamparan keras pria itu yang membuat pipinya terasa nyeri.
Calista menggigit bibirnya sambil terus menangis, bayangan ibu, paman Jorge dan Eden berkelebat di benaknya. Orang-orang yang disayanginya....
Membayangkan kesuciannya akan direnggut kedua pria jalanan ini saja...membuat Calista memberontak lagi, namun percuma...karena badan pria itu sudah menghimpit Calista sehingga gadis itu kehilangan tenaganya.
Percuma sayang...ya sudah nikmati saja ya. Kalau kamu pasrah, nggak akan terasa sakit...” ucap si pria itu sambil menjilat bibirnya...menikmati setiap lekuk tubuh Calista.
Kancing baju seragamnya sudah terbuka dua hingga menunjukkan belahan dada gadis itu, dan Calista sudah pasrah akan apapun yang terjadi.
Tangan pria itu sudah mulai menjelajah semakin ke bawah saat Calista mendengar suara hantaman yang membuat pria di atasnya terjatuh ke samping.
“Bruakkkkk!!”
Calista memekik dan membuka mata saat dia melihat Eden memukul pria berperawakan besar itu dengan keras. Mereka jatuh bergulingan sementara pria berperawakan besar itu tampak kaget, lalu wajahnya menunjukkan ekpresi murka.
Calista menjerit lagi saat pria berbaju merah mengambil batu dan siap untuk menyerang Eden dari belakang....
“Edennnn, awasss!!” serunya panik saat melihat pria yang dicintainya dikeroyok dari depan dan belakang.
“Stop!!” Terdengar seruan tidak jauh dari mereka.
Calista melihat seorang security dan seorang bapak berlari dari jauh, melihat kegaduhan di situ. Pria berbaju merah yang melihat ke arah satpam menoleh ketakutan dan berteriak pada temannya....
“Gun....lari, Gun!! Ada warga!”
Pria berperawakan besar itu memukul Eden sehingga anak muda itu jatuh sedikit terpelanting, lalu mendecih kesal.
“Ya sudah, ayo lari!! Awas ya kamu....kalau ketemu lagi!”
Calista yang sekarang sudah duduk gemetaran, menatap kedua orang itu yang sudah berlari tunggang langgang menuju ke balik pepohonan. Eden segera menghampiri Calista dengan wajah cemas...
“Calista.....maaf ya aku ninggalin kamu....”
Calista hanya menatap Eden dengan bibir yang gemetar dan mata berkaca-kaca, “Aku takut....mereka nyaris memperkosa aku....”
“Mbak, nggak apa-apa?!” tanya bapak berkacamata sembari menatap Calista yang masih duduk di bawah dengan wajah pucat. Kedua tangan gadis itu menutup kancing bajunya yang rusak karena dibuka paksa.
Calista menggelengkan kepala sambil dia berdiri, dibantu oleh Eden. Eden memberikan jaketnya dan memasangkannya di bahu Calista.
“Untung pacar saya datang, Pak dan bapak datang. Saya pikir tadi saya sudah hampir diperkosa....” katanya dengan gugup. Bayangan pria berperawakan besar yang menyeretnya itu masih membuatnya ketakutan hingga sekarang.
“Saya tadi dengar jeritan mbak....dan melihat mas ini berkelahi. Langsung saya panggil satpam!” katanya, lalu melihat bapak satpam yang berjalan ke arah mereka dengan wajah jengkel.
“Sial! Dua orang itu lari cepat sekali!” omel bapak berkumis itu dengan nafas yang tersengal-sengal
karena habis berlari. “Kalau tertangkap mau saya bawa ke kantor polisi! Bikin pengunjung pantai jadi ketakutan kalau ke sini nanti!!”
“Maaf ya mba, nggak pernah loh ada kejadian seperti tadi!” ucapnya dengan wajah menyesal sambil melihat ke arah Calista yang tampak berantakan. “Pantai ini biasanya aman dan nggak ada preman! Apalagi pemerkosa!”
Calista hanya terdiam sambil mengangguk, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Eden memeluk bahu Calista, menenangkan gadis itu...
“Pacar saya sangat tergoncang dengan kejadian barusan, Pak. Sepertinya kami pergi saja dari sini dulu, untuk dia menenangkan diri...” ucap Eden sambil mengangguk. “Terima kasih untuk bantuannya.”
Mereka berjalan pergi dari situ, dengan Calista yang berjalan menunduk sambil dipegangi bahunya oleh Eden. Pria itu bersikap sangat protektif terhadapnya sehingga Calista merasa terlindungi.
“Ini Calista....” ucap Eden sambil memberikan helmnya, lalu dia mengaitkan kaitan helm Calista memastikan kalau sudah terpasang dengan benar.
“Kalau tahu akan ada kejadian seperti itu, aku nggak akan meninggalkanmu tadi...” ucapnya di tengah perjalanan dengan wajah menyesal. “Maaf ya Calista...”
“Nggak apa, Eden. Bukan salah kamu...” ucap Calista lirih.
Keduanya terdiam sepanjang perjalanan tanpa mengucapkan apapun lagi. Calista memperhatikan pohon-pohon di sepanjang perjalanan, namun tak urung bayangan kejadian tadi masih terekam di ingatannya. Dia memperketat pelukannya dan menyenderkan kepala ke punggung pria itu.
Hanya memperhatikan bayangan pohon sepanjang perjalanan, Calista tidak menyadari kalau Eden membawanya ke rute yang berlawanan dengan rumahnya.
“Loh Eden....aku mau pulang ke rumah,” ucap Calista bingung saat tersadar dari lamunannya. “Ini di mana?”
“Calista... ini masih belum jam pulang sekolah. Kamu yakin mau kembali ke rumah? Nanti dimarahin sama ibu dan pamanmu yang galak itu,” jawab Eden sambil melambatkan laju motornya saat memasuki halaman apartemen.
“Tapi....” kata Calista lalu berpikir sejenak...
“Aku nggak akan macam-macam, Calista,” jawab Eden lagi. “Kamu nggak percaya sama aku?”
“Bukan begitu...” kata gadis itu merasa tidak enak. Pria itu yang telah menyelamatkannya dari kedua pria brengsek yang hampir memperkosanya barusan.
“Istirahat saja sebentar di sini, Calista...” kata Eden sambil terus melajukan motornya mencari tempat kosong untuk memarkir motornya.
“Aku tinggal hanya berdua kakak perempuanku, dan dia biasanya baru pulang larut malam karena kerja.”
Gadis itu turun dari motor lalu memberikan helmnya kepada Eden. Dia berdiri di samping motor sambil mendongak menatap apartemen yang sangat tinggi. Tempat tinggal Eden.
“Ayo Calista...” ajak Eden sambil menggenggam tangan kekasihnya itu. Mereka berdua berjalan menuju ke pintu masuk apartemen.
Sementara itu, di sekolah....Arabel dan Inneke gugup karena guru mereka menanyakan keberadaan Calista.
“Arabel....tadi saya minta Calista datang ke ruangan saya siang ini,” ucap Ibu guru senior itu sambil membetulkan letak kacamatanya. “Ke mana dia ya?”
“Saya kurang tahu bu...” pungkas Inneke sambil menundukkan kepala, membuat wali kelas itu menaikkan alisnya.
“Ehh...Calista tadi bilang kurang sehat, Bu. Jadi pulang ke rumah...” ucap Arabel berusaha mencari alasan yang tepat.
“Loh, kok nggak ijin ke Ibu dulu? Kan pasti kalau memang kurang sehat, Ibu kasih ijin...” ucap Bu Riris, wali kelas berkacamata itu. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Tidak ada kecurigaan dalam dirinya tentang Calista, siswi teladan di kelasnya.
“Yah begitulah Bu....” jawab Arabel kelu. Sekilas ada keraguan membayang di wajahnya, namun tidak terlihat oleh wali kelas itu. “Mungkin tadi dia lupa....”
Bu Riris menggeleng-gelengkan kepala, “Ya sudah, tidak apa untuk Calista. Tapi lain kali nggak boleh ya, masak pergi dari sekolah tidak ijin dulu!”
Arabel menaikkan alisnya sambil melirik Inneke, saat Bu Riris berlalu dari hadapan mereka. Masih satu jam pelajaran lagi sebelum bel pulang sekolah.
“Kacau ini....kacau...” keluh Arabel sambil mengetuk-ngetukkan bolpennya ke meja. “Baru sekali pacaran, baru juga beberapa hari sudah begini kelakuan Calista dibikin anak baru itu!”
Inneke menghela nafas sambil bergumam pelan, “Apa kubilang....nggak percaya sih...”
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d
Calista perlahan membuka matanya dan seketika terkesiap saat menyadari bahwa dia masih berada di apartemen Eden. Dia bangun dan melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam! Ya ampun...dia ketiduran berapa jam di sofa itu...“Hai sayang, sudah bangun?”Calista melihat Eden yang keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Kamu terlihat nyenyak sekali, aku nggak tega bangunin kamu!” ucap Eden sembari duduk di samping Calista. “Aku udah pesenin makanan untuk makan malam kita...”“Iya, aku kaget waktu bangun. Udah ketiduran lama sekali, berapa jam ya?” tanya Calista sambil membuka handphone-nya. Betul saja kalau sudah ada banyak pesan dari teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Arabel dan Inneke...lalu beberapa kali miscall dari ibunya!“Apa aku baiknya pulang ya? Udah malam...”“Makan malam dulu aja Calista...masih jam tujuh juga...&rdq
“Dahlia!! Jangan....!” ucapnya sambil menyeka bibirnya dengan kasar. Ingin dia memarahi wanita itu habis-habisan, namun urung dilakukan karena melihat mata gadis itu yang semakin sayu dan jalannya yang limbung.“Masuk cepat!” bentak Jorge sambil mendorong Dahlia ke dalam mobil. Sementara wanita itu dengan wajah memerah, memperhatikan Jorge yang berjalan memutar dan duduk di kursi sebelahnya. Dia lalu terkikik dan melepaskan blazernya lagi...“Panas....” katanya sambil memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di bangku mobil.“Siapa suruh minum banyak-banyak. Di mana alamatmu? Biar aku antar! Dasar bikin repot aja!” omel Jorge sambil menyalakan mesin mobilnya.“Apartemen Red di jalan Cokro...” gumam Dahlia lalu menatap Jorge dari samping dengan matanya yang sayu. Tangannya mulai meraba kaki pria itu, yang membuat Jorge kaget dan otomatis menghempaskan tangan wanita itu.“Apaan sih D
Jorge menoleh ke wanita di sampingnya yang sedang memejamkan mata sambil bergumam tidak jelas. Bibir merahnya komat kamit namun Jorge tidak peduli perkataan apa pun yang keluar dari mulutnya. Malahan dia menggoyangkan badan wanita itu dengan agak kasar.“Bangun, Dahlia!” serunya dengan wajah jengkel. Dia membuka pintu mobil, keluar dan memutar, membuka pintu sebelah kiri. Menggoncang badan perempuan itu lagi, sambil menggerutu.“Ahhh....? Di mana aku?” gumamnya lagi saat membuka mata dengan panik. Wajahnya yang memerah menoleh ke kanan dan kiri.“Kita sudah di apartemen kamu....” ucap Jorge lagi, malu karena diperhatikan oleh security di pintu masuk. “Pakai blazer kamu dulu...aku nggak mau orang pikir aku macam-macam...”Dahlia melihat Jorge lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, “Jorge...Jorge...kamu kaku sekali sih, sayang... Sudah biasa di sini lelaki perempuan ehm....sama-sama...” katanya aga
Jorge memutar mobilnya dan memasuki kompleks rumah, membuka kaca untuk memperlihatkan wajahnya pada security yang langsung membuka palang pintu dan mengangguk hormat. Jorge tersenyum sambil menutup kaca jendela mobilnya lagi. Mobilnya melaju lambat sampai berhenti di depan garasi rumah keluarga Arkhadia. Jorge turun dari mobil lalu membuka pintunya.Memang sudah sejak lama, keluarga Arkhadia tidak punya pembantu, sebabnya karena pembantu terakhir mereka Bik Inah baru meninggal setahun yang lalu, dan mereka belum berniat untuk mencari penggantinya.Dia menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam rumah, mendapati ruangan yang sudah gelap. Jam juga sudah menunjukkan pukul satu pagi. Jorge masuk ke dalam kamar dan membuka bajunya, dia keluar kamar lagi dan hendak membuat kopi di dapur.“Loh Calista, belum tidur?”Seketika jantungnya berdegup kencang karena gadis yang dipikir
“Makasih ya Arabel....” kata Calista sambil menerima buku Arabel...membolak-balikkan halamannya lalu memasukkan ke tas. Dia terdiam sebentar saat melihat wajah dingin Arabel yang tidak seperti biasanya, namun tidak mengucapkan apa-apa. “Aku balik dulu ya, Bel...Sampai ketemu....” ucap Calista sambil berdiri, sempat terdiam sejenak sebelum menanyakan sesuatu lagi. “Bu Riris ada nanya sesuatu tentang aku Bel?” Arabel menaikkan alis, lalu tersenyum sinis. “Masih peduli sama sekolah, Bel?” Calista mengernyitkan alisnya, lalu mendengus jengkel. “Kan aku cuma nanya...kok kamu jadi menyebalkan begitu, Bel!” “Ya sudah.... terima kasih bukunya ya! Nanti aku kembalikan....” Calista menengok ke arah Eden yang masih duduk memperhatikan mereka. “Ayo Den! Kita pulang!” Eden berdiri lalu mengangguk pada Arabel, “Pulang dulu ya Bel....” Arabel hanya tersenyum tipis dan memperhatikan Calista dan Eden yang berjalan ke arah motor. Calista sud
“Eden.....”Terdengar suara gadis itu di dalam kamar, menempelkan telinga ke telepon genggamnya sambil berbaring. Wajahnya suram, dia meneteskan air mata.“Ya...maafkan Paman-ku. Dia memang orangnya rada kaku....”“.....”“Iya....”Mereka bercakap-cakap di telepon untuk sesaat, lalu mengakhiri percakapannya. Calista membuka buku pelajaran yang dipinjamnya lalu membolak-balik halaman. Dia berusaha mencerna setiap suku kata dan kalimat yang dibaca namun sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.Calista menghela nafas lalu menutup buku-nya, dia malah membuka gallery foto di handphone-nya lagi dan mencari foto dirinya dan Eden. Calista tersenyum-senyum sendiri sambil membaringkan diri lagi di tempat tidurnya.Putus sama Eden? No way....! Mereka nggak mengerti perasaanku....ini hanya antara aku dan Eden! Toh, kami juga nggak mengganggu Paman atau Ibu...!Dia pun tertidur dengan nyenyak hi
“Arabel....” ucap Calista melihat sahabatnya yang sudah duduk manis di sudut kelas. Arabel melihat Calista lalu menaikkan alisnya.“Tumben masuk kelas.....”Calista melihat Arabel dengan tidak percaya, lalu tersenyum sinis. “Nyinyir sekarang elo ya, Bel....” desisnya karena murid yang lain sudah duduk rapih di tempatnya masing-masing. “Elo kenapa sih?”“Kenapa?” balas Arabel juga dengan lirih. “Elo yang macam-macam, Calista. Elo udah berubah seratus persen sejak pacaran sama Eden!”“Terus kenapa? Iya, gue emang berubah jadi Calista yang sedang jatuh cinta...” balas Calista lagi, sambil melihat Bu Riris yang sedang berjalan menuju mejanya, lalu mendesis lagi. “Gue sekarang merasa jauh lebih baik daripada yang dulu!”Calista membuang muka lalu mengambil buku dari dalam tasnya. Sejenak kaget karena melupakan sesuatu....dia belum mengerjakan tugasnya! Sial..
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela