Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.
“Tidak apa-apa...”
“Bohong!”
Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”
“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”
“Jadi?”
Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.
Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.
“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”
Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Aku miris melihat dia yang terdiam di sudut kamar. Ternyata hati yang patah dapat membuat seseorang seperti kosong. Berhari-hari aku menolongnya untuk pulih dari trauma akan pria itu. Namun dia selalu meracau karena takut. Aku bahkan siap di sampingnya untuk menolong tapi dia masih ketakutan – Jorge Bruakkk!!! Badan pria itu menghantam lantai saat Jorge memukul dengan kepalan tangannya yang keras. Preman di jalanan yang kemarin melecehkan keponakan angkatnya itu di depan matanya sendiri, menatap Jorge dengan ketakutan. Sementara temannya yang satu lagi sudah kabur entah ke mana. Jorge yang baru saja dapat laporan dari keponakannya kalau ada dua orang yang bersiul saat dia jalan sementara yang satu lagi berani mencolek pantatnya, dan mereka hanya tertawa saat Calista menatap marah lalu berjalan pulang ke rumah dengan sedikit berlari. “Ampun ... ampun, Bang,” ucap preman itu yang sebetulnya berbadan jauh lebih kecil daripada Jorge, hanya
Bunyi lonceng sekolah bergema, menandakan jam pulang sekolah. Calista merapikan buku-buku di meja dan mengembalikan ke tas. Rambut panjang diikat tinggi ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Netra matanya cokelat muda, duplikat sang Ayah, Alexius. Calista Ardhias sekarang sudah dewasa, bahkan usianya hampir tujuh belas tahun. “Hai Calista! Pulang bareng yuk!” Arabel melongok dari pintu lalu berjalan menghampiri meja sahabatnya. Ia menunggu Calista yang sedang merapikan rambut, sembari berdiri melihat dari jendela kelas Calista yang memang bisa melihat ke lapangan basket di halaman bawah. Netranya segera menangkap sosok lelaki tampan, duduk bersama para siswa lain. “Ssstt, Calista. Lihat cowok itu. Anak baru dari luar kota. Lumayan cakep ya,” Arabel memanggil Calista dengan bersemangat. Calista berangsur mendekat karena penasaran. Baru beberapa detik ia mengintip, siswa tampan yang diributkan Arabel mengangkat kepala ke atas dan … matanya b
Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu. Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil. “Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras. “Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman." Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi! “Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu
Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto. “Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya. “Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin. “Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum. “Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya. “Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.” “Mereka udah akrab aja ya, Be
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku