Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu.
Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil.
“Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras.
“Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman."
Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi!
“Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu? Aku juga nggak pernah pulang malam. Ini hanya beda satu jam saja dari jam pulang sekolahku,”
Calista mengadu pada sang Ibu yang baru saja berdiri sambil membuka glove dari tangannya. Emily hanya menghela nafas, lalu melihat putri tunggalnya.
“Calista, semua ini kan untuk kebaikan kamu. Paman Jorge hanya membantu Ibu mengawasi kamu,” Emily membela Jorge membuat Calista terdiam. Selalu begini. Pada akhirnya ia yang memang anak baik-baik hanya bisa menurut saja dan tak bisa berkata apa-apa.
“Hey, Paman juga tidak melarangmu ke mana pun asal bilang Calista!” tegur Jorge tapi tidak dijawab oleh Calista. Gadis remaja itu malah melengos lalu masuk ke dalam rumah. Paling tidak, ia hanya bisa merespon seperti itu.
“Anak itu!” Emily berjalan ke teras. Ia kemudian tampak berpikir sejenak sebelum melihat ke Jorge. “Mungkin ia butuh kebebasan sedikit, Jorge. Kamu juga jangan berlebihan begini.”
“Tidak apa kak Emily. Pergaulan anak jaman sekarang agak mengkhawatirkan. Aku hanya menjaga Calista,”
Jorge duduk, mengambil pisang goreng yang diletakkan di meja teras, buatan Emily. Emily sudah seperti Kakaknya, dan Calista … Apa yang dirasakannya terhadap Calista? Keponakan angkatnya itu sudah beranjak makin dewasa dan menjadi gadis yang mempesona.
Sementara gadis yang dipikirkan, berjalan masuk ke dalam kamar dengan wajah cemberut. Ia segera mencuci mukanya, lalu mengganti seragam putih abunya dengan daster, rambut panjangnya dikuncir tinggi-tinggi. Untuk kedisiplinan, Calista ini sungguh sangat teratur. Pulang sekolah, ia selalu membaca agenda sekolah untuk melihat apa tugas yang harus dikerjakan.
Saat mengerjakan tugas, Calista malah tergoda untuk membuka laptop dan melihat akun media sosialnya. Ia mengulum senyum, membaca dan memperhatikan semua postingan temannya hari ini. Ada kalanya ia menulis komen, memberi tanda like atau hanya diam dan membaca. Calista menghentikan jemarinya saat melihat satu foto, yang ternyata di antara banyak siswa, ada siswa baru itu, Eden, sedang duduk di tengah lapangan basket.
Betul juga kata Arabel. Cowok ini cute, batin Calista dalam hati mulai memperhatikan lebih detail paras tampan Eden dengan seksama. Ia bahkan mulai men-zoom wajahnya lalu jadi malu sendiri. Ya ampun, Calista, apa sih yang kamu pikirkan? Belajar, Calista, belajar!!
Ia mengeluarkan buku dan mulai mengerjakan tugas. Penurut dan rajin, ya itulah Calista. Walau kadang ada rasa jenuh dalam hati untuk selalu jadi anak yang baik, apalagi Pamannya sangat kaku. Pulang agak malaman sedikit, Jorge bisa menelepon berkali-kali dan membuat dirinya sangat senewen!
“Ayah, aku rindu. Paman Jorge kaku sekali,” Calista berucap lirih seraya mengambil foto Alexius dalam bingkai frame. “Memang sih, Ayah menitip aku padanya, tapi …”
Netra cokelat Calista terus memandang foto Alexius, seakan ia masih bisa melihat Ayahnya yang sedang tersenyum sambil menggandeng lengan Ibunya. Hanya sekejap sebelum ia kembali mengerjakan tugas dan jatuh tertidur di atas meja, dengan banyak tumpukan buku di depan. Wajah Calista menumpu pada kedua lengannya yang terlipat.
Pintu kamarnya terbuka sedikit, membuat Jorge yang hendak lewat jadi berhenti dan memperhatikan. Keponakan angkatnya tertidur pulas di atas meja belajar. Jorge masuk dan hendak membangunkan, tapi melihat paras gadis itu yang tertidur dengan pulasnya, ia jadi tidak tega.
Jorge menghela nafas dan tersenyum, lalu menatap kakak angkatnya, Alexius di dalam foto. “Udah sepuluh tahun ya, Kak. Aku berjanji untuk menjaga Calista dan kak Emily sesuai permintaanmu, tapi entah kenapa … kadang aku berlebihan.” Jorge mengalihkan matanya ke Calista dan menatap sendu.
Sampai kapan aku bisa menahan perasaan? Waktu kamu beranjak makin dewasa, aku jadi tak bisa mengalihkan perhatianku ke wanita lain, batin Jorge dalam hati dengan frustasi.
Jorge mengambil selimut Calista yang ada di tempat tidur dan memakaikannya ke punggung gadis itu. “Biarlah aku tetap menjadi Paman Jorge yang menyebalkan, asal aku bisa tetap melindungimu,” bisik Jorge nyaris tak terdengar, lalu meninggalkan Calista dan menutup pintu perlahan.
Satu jam kemudian, mata Calista mengerjap dan ia bangun dengan perasaan kaget. “Astaga! Aku ketiduran di meja!” ucapnya lirih lalu memegang selimut yang menutupi sekujur punggung dan bahunya dengan bingung.
Ini pasti Ibu yang masuk ke kamar, batin Calista dengan sangat yakin sambil beranjak berdiri. Calista mengambil ponsel dan melihat ada permintaan pertemanan di akun sosial media-nya.
Eden Hariyanto.
Senyum terukir di wajah Calista sebelum ia menekan tombol konfirmasi pertemanan. Baru saja ia mencuri-curi pandang ke foto Eden. Calista meninggalkan ponselnya karena Emily sudah memanggilnya untuk makan malam.
Hallo, Calista. Makasih ya udah di-add.
Iya, sama-sama, balas Calista. Ia baru saja mengecek ponselnya lagi setelah kembali ke kamar, dan melihat Eden langsung mengirimkannya pesan.
Eden mengirimkannya pesan lagi dan Calista menjawab, terus menerus, hingga tidak terasa hampir satu jam lebih! Hanya percakapan di fitur chatting. Foto-foto Eden kembali dilihat Calista dan itu membuatnya jadi penasaran. Ada foto Eden di Surabaya bersama teman-temannya, tapi bukan itu yang membuat Calista tertarik. Di antara sekian banyak itu, ada juga foto Eden di dalam klub malam, dan beberapa botol miras di tengah meja.
Baginya kehidupan Eden adalah sesuatu yang belum pernah dirasakan. Calista jadi terpesona dengan kehidupan Eden yang dilihatnya penuh kebebasan. Berbeda dengan dia dan … ergh, hidupnya yang monoton. Pulang sekolah langsung pulang, ke mana-mana harus laporan. Gadis baik-baik, raport selalu di tiga besar semenjak kecil, tidak pernah bermasalah. Jadi ada sesuatu dalam kehidupan Eden yang membuat dirinya tertarik.
***
Sinar matahari pagi secerah bandana kuning yang dipakai Calista, membuat paras cantiknya terlihat semakin cerah. Mobil hitam Jorge seperti biasa melaju ke arah sekolah Calista. Pria itu memang selalu berangkat lebih pagi untuk mengantar, semata-mata karena arah sekolah Calista tidak satu arah dengan kantornya.
Mengetahui itu, pernah Calista mengatakan agar sang Paman tak perlu repot karena ia bisa berangkat sendiri, yang tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Jorge. Pernah juga beberapa kali Calista mencoba pergi ke sekolah sendiri di saat Jorge tidak melihat, tapi tetap saja berhasil disusul. Seperti pagi ini …
“Sudahlah, Calista, jangan merengut. Kamu harusnya bersyukur, banyak anak malah ingin diantar jemput. Kamu malah ingin pergi ke sekolah naik bus!” tegur Jorge melihat keponakannya yang merengut sepanjang perjalanan.
“Aku ingin sama-sama teman-temanku, Paman!”
Jorge tidak menjawab, yang membuat Calista makin meradang. Alhasil, ia turun dari mobil tanpa mengucapkan salam pada Pamannya dan langsung berjalan meninggalkan pria itu begitu saja di dalam mobil. Moodnya buruk sebelum melihat Eden di kejauhan yang tersenyum dan melambaikan tangan.
Ibarat air dingin, api emosi Calista langsung mereda berganti perasaan yang mulai membuncah. Calista balas melambaikan tangan dan tertawa kecil waktu Eden memberikan gestur seperti orang telepon dan mengedipkan mata, sebelum kembali ke kelasnya.
Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto. “Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya. “Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin. “Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum. “Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya. “Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.” “Mereka udah akrab aja ya, Be
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela