Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan.
Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat.
Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar.
Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsung menyeruak saat Calista mulai menggoreng ayam, membuat perutnya tambah keroncongan. Suara musik sengaja dikeraskan membuat Calista ikut bersenandung di dapur. Membuatnya semakin bersemangat memasak untuk makan malamnya.
Begitu asyiknya, hingga ia tak menyadari kalau mobil Jorge sudah masuk ke dalam garasi. Pintu rumah pun rupanya lupa dikunci oleh Calista, hingga Jorge bisa masuk dengan sangat mudah. Tugas sudah selesai hingga ia pulang lebih cepat dari perkiraan.
Kenapa pintu tidak dikunci? batinnya barusan saja dengan kesal. Teledor! Gimana kalau ada maling atau perampok?!
Suara nyanyian Calista ditambah aroma menggugah selera membuat ia segera melangkah ke dapur. Niat hati ingin menegur gadis itu karena lupa mengunci, tapi apa yang dilihat malah membuat ia terdiam. Calista dengan tank top dan celana sangat pendek memperlihatkan garis tubuh yang terlihat jelas juga kulit bahu dan lengan yang terekspos jelas. Jorge bisa merasa kalau gairahnya sebagai seorang pria mulai tersulut. Hal yang mati-matian ia berusaha hindari karena merasa sangat bersalah.
Jorge berusaha mengendalikan hasratnya. Alih-alih hal itu malah jadi kemarahan hingga ia mengalihkan fokus pada gadis itu yang teledor, tidak mengunci pintu depan.
“Calista!" tegur Jorge dengan suara keras, membuat gadis itu menoleh dengan sangat terkejut.
“Pa, Paman? Aku nggak dengar Paman masuk ke dalam rumah,” ucapnya dengan takut bercampur malu. “Kupikir Paman lembur sampai tengah malam.”
“Untung Paman pulang. Kamu nggak kunci pintu, juga pakaiannya seperti itu,” sindir Jorge dengan tatapan tajam. “Bayangkan kalau yang masuk bukan Paman atau Ibumu! Kamu ceroboh sekali!”
Ia berusaha mati-matian tidak memandang tanktop bergaris rendah yang menunjukkan belahan penuh godaan milik keponakan angkatnya itu. Malahan, Jorge membuang muka dan berjalan kembali ke ruang tamu. Menghempaskan dirinya duduk di sofa, menyenderkan kepalanya yang pusing dan lelah ke bantal sofa.
Jorge juga pria biasa. Walaupun ia berusaha untuk menganggap Calista sebagai keponakannya sendiri, ia merasa semakin tidak bisa dan malahan semakin bertambah galak dan overprotektif.
Yang paling parah memang, Calista tidak tahu kalau Jorge bukan Paman kandungnya. Itu membuat beban Jorge semakin bertambah besar.
Kadang, ia ingin pindah rumah untuk menjernihkan pikiran, tapi janji pada almarhum Alexius membuatnya urung pergi. Mungkin ia akan pergi kalau sudah yakin Calista akan berada di sisi pria yang tepat atau minimal sukses dalam karirnya. Ia sudah menepati janji baru ia akan pergi.
Calista meletakkan piring makanannya ke atas meja makan, lalu cepat-cepat masuk ke kamarnya lagi untuk mengganti pakaiannya dengan piyama yang lebih tertutup.
Mana tahu kalau Paman Jorge pulang cepat, apesnya lagi ia lupa kunci pintu! Selama ini juga nggak pernah ada yang berani masuk ke rumah keluarga Ardhias! Apalagi ada Paman Jorge yang galak! Calista mengomel dalam hati sebelum keluar dari kamarnya lagi.
“Calista sebentar! Paman mau bicara sama kamu,” panggil Jorge sambil mengangkat kepalanya dari layar handphone, menatap Calista dengan wajah datar. “Duduk dulu.”
Calista baru saja hendak melangkah cepat, ingin menghindari Jorge saat melihatnya duduk di ruang tamu. Ia pun duduk dengan malas sambil memanyunkan bibir. Ia duduk di bangku kecil dekat pintu, tidak menatap Jorge tapi melihat ke arah lain.
“Kamu naik motor dengan siapa tadi siang?”
Nah kan, betul!. Calista sudah menduga ia akan segera diinterogasi oleh Jorge. “Ya, dengan teman, Paman. Masa musuh?” jawabnya dengan nada datar.
“Ya, Paman juga tahu. Namanya siapa? Kelas berapa?”
“Ya ampun, Paman. Dia hanya teman. Namanya Eden, anak baru di sekolah. Arabel ada keperluan jadi ia menawari tumpangan,” jelas Calista lagi, merasa senewen. Baru temenan aja udah begini, apalagi pacaran!!
“Hmmm, baik. Tapi ingat ya, Calista. Tidak ada pacaran di masa sekolah! Apalagi kamu harus fokus belajar untuk melanjutkan kuliah. Boleh berteman tapi jangan terlalu percaya dengan teman lawan jenis ya,” Jorge berkata dengan nada tegas.
Apalagi gadis cantik sepertimu, batin Jorge dalam hati.
Bukan apa-apa. Jorge tahu sekali kalau Calista bisa saja memancing pria-pria tak bertanggung jawab untuk mengejarnya karena kecantikan dan kemolekan tubuh keponakan angkatnya itu. Jorge harus menjaga Calista dari para hidung belang!
“Fokus kuliah dulu, belajar yang benar lalu jadilah wanita yang bertanggung jawab. Baru kamu boleh pacaran,” tegas Jordan sebelum ia kembali melihat ke layar handphone-nya lagi.
Calista hanya diam, menaikkan alisnya dengan tak percaya tapi tidak berani membantah. Jauh di lubuk hati, ia sayang pada sang Paman, tapi di sisi lain rasa jengkelnya makin memuncak karena sikap Jorge yang terlalu kaku.
"Di jaman seperti ini, masih ada peraturan tidak boleh berpacaran di masa sekolah?? Yang betul saja!" desis Calista sambil mengunyah makanan. Ia duduk di depan televisi, duduk bersila, makan malam sambil menatap ke layar televisi. Ia baru selesai makan saat bunyi notifikasi pesan terdengar.
Boleh aku telepon?
Sebentar ya, Calista membalas pesan Eden dengan cepat.
Ia melirik Jorge yang masih duduk di ruang tamu kemudian lekas ke dapur untuk mencuci piringnya. Hati Calista membuncah gembira, hanya karena satu ajakan telepon dari Eden. Namun, kalau teleponan di sini, pasti sang Paman ikut kepo dan ujung-ujungnya ia akan diinterogasi lagi!
Kenapa memangnya dengan pacaran? Calista sudah bukan anak kecil lagi!
Ia masuk ke dalam kamar, mengirimkan pesan ke Eden. Malam kian larut, tapi tidak untuk kedua insan yang masih asyik bercakap-cakap di telepon, membicarakan segala hal. Bahkan mereka sempat bertukar foto selfie dan saling memuji. Calista jadi semakin berbunga-bunga, ia semakin senang mengobrol dengan Eden.
Lelaki itu tahu banyak hal dan punya selera humor yang tinggi. Eden bahkan mengakui kalau dirinya dulu adalah anak nakal dan sempat jadi pecandu narkoba. Namun, ia juga mengatakan kalau sudah pulih dan tidak memakai narkoba lagi.
Calista mengingat-ingat semua pembicaraannya dengan Eden. Ia jadi kagum dengan semua pengalaman Eden padahal usia mereka sama. Hampir dua jam lagi mereka saling menelepon dan telinganya jadi panas, tapi ia sangat senang. Calista terus tersenyum sambil melihat foto selfie Eden.
Lucu, batin Calista dalam hati, melihat gaya pria itu yang tampak sangat dekat wajahnya dengan kamera dengan jari membentuk huruf ‘V’. Ia belum mau mengakui kalau jatuh cinta, itu masih terlalu cepat. Calista baru merasa senang dengan seorang lelaki bernama Eden.
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d