Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya.
Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto.
“Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya.
“Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin.
“Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum.
“Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya.
“Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.”
“Mereka udah akrab aja ya, Bel,” Inneke diam-diam menoleh dan melihat sahabat mereka sudah duduk berdua dengan Eden dan berbicara dengan asyiknya.
“Bel, bukannya aku gosip ya, tapi kudengar dari temanku yang di sekolah lama Eden,” Inneke berbisik agar tidak didengar oleh siapa pun. Keduanya masih berdiri di pojokan sembari menunggu pesanan bakso dari Ibu kantin.
“Eden itu anak badung, makanya dipindah kemari. Dia buat masalah di sana dan Ayahnya yang pindahkan Eden dari Surabaya ke Jakarta," lanjut Inneke lagi dengan wajah super serius.
“Jadi maksudnya gimana, Inne? Kita harus hati-hati sama dia?”tanya Arabel waswas.
“Yah, hati-hati aja Bel. Ya sebetulnya bukan buat kita, tapi teman kita. Calista yang polos itu sepertinya sudah mulai jatuh cinta.” Inneke mengedikkan dagunya, menunjuk ke arah Calista dan Eden yang duduk berdua di pojokan.
Arabel ikut memperhatikan wajah malu-malu Calista, bahkan kadang ia tersenyum tersipu mendengarkan Eden. Namun, beberapa saat kemudian ia tertawa mendengar lelucon Eden. Betul-betul seperti gadis kasmaran. Calista itu seperti kotak transparan. Rasa jengkel, kesal, suka atau sangat sukanya dapat terlihat sangat jelas dari sorot mata dan gestur tubuhnya. Selama ini pula, dengan sepengetahuan Arabel dan Inneke, ia selalu menghindari lelaki yang sudah mulai menunjukkan gejala menyukai dia.
“Kalau memang Calista suka dia, kita bisa buat apa?” Arabel menghela nafas lalu membawa baki dengan mangkuk bakso di atasnya, keduanya berjalan ke meja kosong di sebelah meja Eden dan Calista.
“Iya juga sih. Ya, mudah-mudahan baik-baik saja,” tukas Inneke dan keduanya terdiam saat duduk dekat Calista.
“Besok sore kita mau nonton film baru launching di bioskop. Kalian bisa ikut nggak?” tanya Calista dengan sangat bersemangat. “Eden juga datang bersama teman-temannya.”
“Sorry, aku ke lapangan basket dulu ya, Calista. Nanti kabari aja lagi," Eden beranjak berdiri, tersenyum pada Calista dan kedua kawannya. Ia melangkah keluar dengan cepat dari kantin.
“Ta, aku besok nggak bisa. Ada kursus piano,” kata Inneke dengan segera.
“Yah, nggak bisa ijin Ke, sekali aja?” bujuk Calista dengan wajah memelas. “Arabel gimana? Paman Jorge cuma ijinin aku kalau jalan bareng kalian atau teman perempuan yang ia kenal.”
“Ya ampun, Calista! Paman Jorge-mu itu memang dari dulu nggak berubah, ya. Kamu kan udah gede, Calista."
Inneke menggeleng-gelengkan kepala. Ia yang sudah berkawan dengan Calista dari jaman masih memakai rok merah putih, tahu persis bagaimana disiplin-nya Jorge.
“Makanya, aku nggak mau masa mudaku hilang kesenangannya karena Paman terlalu berlebihan menjagaku! Aku tahu Paman Jorge menjaga Ibu dan aku setelah Ayah tidak ada, tapi …” Calista menggantungkan kalimat, wajahnya terlihat sangat putus asa. “Nggak gitu-gitu juga kali ya.”
“Ulang tahun teman kita tahun lalu, Calista dijemput Paman-nya. Katanya sampai jam sebelas malam kok nggak bilang-bilang,” Arabel tersenyum geli. “Aku ikut mobil Paman Jorge dan melihat Calista cemberut sepanjang jalan.”
“Aku mau pulang sama-sama Ardian waktu itu, cowok yang lagi mendekati aku. Akhirnya, dia mundur teratur dan lama-lama menghilang setelah mengenal Paman Jorge,” keluh Calista dengan wajah malas.
“Untung kamu nggak sama dia, Ta. Dasar pengecut! Hanya dipelototi dan diinterogasi sama Pamanmu aja, dia udah nggak punya nyali!” Inneke membela Jorge. “Kalau memang suka dan sayang, mestinya dia berani!”
“Ah, udahlah. Jangan dibicarakan lagi. Bikin bete aja," Calista berucap dengan muram lalu mengalihkan matanya ke Arabel. “Pokoknya kamu ikut ya, Bel. Kalau aku sendirian, dijamin nggak akan diijinin sama Paman Jorge, apalagi sama cowok nggak dikenalnya,” bujuknya terus menerus.
“Kamu mau lihat filmnya atau karena sama-sama Eden sih? Nanti aku jadi kambing congek, nggak enak Ta!” protes Arabel langsung. “Apa aku bawa Koko, boleh nggak?”
“Boleh. Nanti aku bilang Eden ya.”
Bel berdering tanda pelajaran sudah dimulai. Calista dan kedua kawannya pun segera masuk kelas. Tanpa terasa beberapa jam sudah berlalu, Calista berjalan keluar dari pintu gedung menuju gerbang sekolah.
“Calista!!” panggil Eden membuat gadis itu menoleh, melihat pria itu berlari-lari ke arahnya.
“Tumben sendirian? Mana teman-temanmu?”
“Arabel lagi ada keperluan, Inneke juga, jadi aku pulang duluan."
“Mau diantar? Aku bawa motor. Rumahmu di mana?"
“Nggak usah repot-repot. Aku biasa naik bus, itu ada sedang parkir di ujung jalan,” tunjuk Calista ke arah jalanan. “Tapi makasih ya tawarannya.”
“Loh kok begitu? Duh sedihnya, aku ditolak,” Eden memalingkan wajahnya dengan mata sedih, membuat Calista merasa bersalah.
“Bukan begitu. Aku sudah biasa naik bus sekolah. Nanti kamu repot sendiri kalau mengantarkan aku,” jawab Calista yang pertahanannya mulai sedikit goyah.
“Siapa bilang repot? Aku malah senang sekali kalau bisa antar kamu pulang ke rumah,” Eden berucap dengan sangat manis, membuat Calista kembali tersipu.
“Ya, baiklah kalau begitu.”
“Yes! Aku ambil motor dulu ya!”
Eden segera melangkah ke arah parkiran motor, sementara Calista duduk manis di kursi dekat gerbang sekolah. Dari kejauhan, ia melihat motor Eden mulai melaju ke arahnya dengan perlahan. Pria itu langsung memberikan helm hingga Calista memakainya dan naik ke jok belakang motor besar Eden.
Ada sedikit debaran di dada saat tangannya memegang jaket Eden untuk berpegangan. Harum samar-samar Eden memenuhi indera penciumannya.
Motor besar Eden meluncur, membelah jalanan yang ramai. Lonjakan motor karena jalanan rusak membuat Calista kaget hingga ia secara refleks memeluk Eden dengan erat di pinggangnya.
“Enak juga dipegang erat sama perempuan cantik,” goda Eden membuat Calista tertawa.
Angin berhembus keras, pemandangan sepanjang jalan dan lelucon-lelucon Eden membuat ia merasa sangat bebas dan … lepas. Sungguhan, ini pengalaman pertama Calista dibonceng lelaki yang disukainya dan ternyata sangat menyenangkan.
Bukannya Calista tidak ada yang mau mengantarkan, tentu saja. Banyak yang suka Calista, tapi banyak yang mundur karena Paman Jorge, atau alasan lain … tidak disukai Calista. Jadi untuk alasan kedua, sudah pasti tidak berlaku karena dari awal … Calista sangat menyukai Eden! Bahkan melebihi cokelat kesukaannya!
Ia masih tertawa-tawa sepanjang jalan mendengar lelucon Eden. Calista menuntun Eden ke rumahnya. Mereka melewati jalanan sempit, keluar dari gang, hingga melewati deretan mobil-mobil yang tak bergerak karena terjebak macet.
Ia masih tertawa, beberapa saat sebelum dirinya terkesiap. Netra cokelatnya beradu pandang dengan tatapan mata sedingin es yang sangat dikenalnya, melalui kaca depan mobil yang berhenti karena terjebak macet.
Paman Jorge!!
Perasaan takut seketika menyergap, walaupun dirinya ingin sekali memberontak terhadap sang Paman yang keterlaluan protektif! Ia masih belum mau cari masalah. Calista kemudian membuang muka ke arah berlawanan, berharap pria itu tidak melihatnya, hingga motor Eden terus menjauh dan meninggalkan jalanan itu.
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela