“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya.
“Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka.
Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista.
“Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu.
“Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah.
“Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan.
Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah Calista dan Eden...tepat di saat Eden mengelap makanan di sudut bibir Calista.
“Waduh, mesra banget.... Si Koko aja udah lama jalan sama aku, nggak pernah segitunya....” ucap Arabel sambil mendongak dengan mulut penuhnya.
“Kalau aku bilang kok lebay ya...”
Arabel hanya menaikkan alisnya, dirinya tidak terlalu memikirkan hal itu sebenarnya. “Ya nggak apa....namanya juga pacaran. Ada yang mesra, ada yang biasa saja.”
Inneke menghela nafas, “Bukannya aku cemburu...hanya saja mendengar berita kalau Eden itu anak nakal membuat aku sebagai teman Calista jadi cemas...”
“Percuma kalau ngomong apa pun juga, Ke....namanya orang lagi jatuh cinta,” cetus Arabel sembari meneguk es teh manisnya.
Bunyi dering sekolah berbunyi, tanda masuk kelas.Arabel dan Inneke bangkit dari kursinya, begitu juga murid-murid yang lainnya. Selang sepuluh menit kemudian, kantin pun sudah sepi kecuali dua insan yang masih duduk di pinggir kantin.
“Eden....udah selesai makannya? Semua sudah masuk ke kelas....” ucap Calista panik, melihat Eden yang masih mengunyah makanan ke-duanya.
“Udah....Calista....tenang aja. Pelajaran Akuntansi di kelasku....bosan...” kata Eden dengan nada santai. “Oh iya....”
Dia mengedipkan mata lalu berbisik ke telinga gadis itu, “Bolos aja yuk....sekali-sekali...”
“Kamu udah gila ya?” kata Calista dengan wajah cemas, lalu memperhatikan ibu kantin yang sedang mencuci piring.
“Ya nggak lah.... Sekali aja kok Calista, yuk ah...” kata Eden sembari tertawa, lalu menyudahi makanannya dan bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangannya ke Calista....
“Beneran?” kata Calista cemas.
Dirinya belum pernah bolos dari kelas sama sekali, boro-boro bolos....Calista belum pernah dihukum karena telat masuk sekolah sama sekali! Nilainya selalu baik di sekolah...jadi bolos ini merupakan hal baru untuknya....
“Beneran...yuk ah...” Eden mengulurkan tangannya, yang dengan cepat direspon oleh Calista.
Gadis itu sendiri merasa heran, kenapa dia dengan mudah mau menerima ajakan itu. Dirinya sempat ragu sesaat, namun saat merasakan hangatnya telapak tangan Jorge yang menggenggamnya...semua jadi sirna seketika. Dia malah berjalan mengendap-endap bersama cowok itu menuju pintu kecil di belakang kantin...yang rupanya terhubung dengan parkiran motor.
Calista mengikuti Eden yang berjalan ke arah motor besarnya...memasang helm yang diberikan cowok itu padanya.
“Kita mau ke mana?” tanya Calista heran sambil memeluk pinggang lelaki itu dari belakang. Jok motor yang tinggi membuat dia melengkungkan punggungnya dan mendekap pria itu dengan erat.
“Kejutan...kejutan...” kata Eden itu sembari tersenyum.
Motor mereka melaju dengan kecepatan perlahan, melewati pos sekolah security yang sedang tertidur... lalu setelah itu semakin cepat membelah jalan raya, berbelok ke jalan besar yang penuh dengan pepohonan di pinggir kiri dan kanan. Perjalanan satu jam terasa cepat karena Eden yang selalu menceritakan pengalaman-pengalamannya yang menarik...sementara Calista hanya mendengarkan sambil tertawa dan sesekali menimpali. Kebanyakan cerita dia bersama teman-temannya, kenakalan remaja.....sesuatu yang baru untuk Calista dan dia mendapatinya sangat menarik.
Semua tentang Eden terasa menyenangkan baginya.....
“Waahhh....pantai...” seru Calista sambil melihat pesisir pantai dari kejauhan. “Cantiknya...” katanya sambil mengagumi birunya air yang sudah terlihat dari kejauhan.
“Cantikan kamu....” timpal Eden lalu tertawa.
“Gombal!”
“Biarin aja gombal...memang kenyataannya begitu!”
Calista tersenyum-senyum, hingga motor itu melaju memasuki area parkir di tepi pantai. Dia turun secara perlahan sambil memegang pundak Eden, sementara cowok itu membuka helmnya dan menyisir rambutnya yang acak-acakan dengan jari di depan kaca spion.
Calista menjejak ke pasir, masih lengkap dengan sepatu sneakers, rok abu-abu dan seragam sekolahnya. Dia berjalan dengan cepat, mendekati air dan menghirup udara dalam-dalam.
“Segar..... Eden, ayo kemari!” panggil Calista sambil menengok ke Eden yang masih berada di belakangnya...berjalan perlahan sambil melihat handphone.
“Oh ya?” katanya sembari mendongak dan tersenyum pada Calista. “Bagus kan pemandangannya....ini kejutanku!”
“Iya bagus....aku udah lama nggak jalan-jalan kemari,” ucap Calista senang. Sejak tahun ini, musim ujian....tambahnya dalam hati. Sejenak dia merasa cemas karena kabur dari jam sekolah, dan menatap Eden yang balas melihatnya lalu tertawa.
“Kenapa Calista? Kok wajahmu khawatir begitu....?” tanyanya sambil berdiri di samping gadis itu dan meraih tangannya lagi. “Ayo kita duduk saja di bawah pohon kelapa itu....hawanya terik banget, kepalaku jadi pusing!”
Mereka berjalan sambil bergandengan tangan ke bawah pohon kelapa dan duduk di kursi kayu yang panjang. Pantai terlihat sepi, hanya ada beberapa orang yang ada di situ, itu pun jauh dari mereka.
“Aku baru sekali bolos....jadi kepikiran...” ucap Calista gugup. “Apalagi di kelasku pelajaran Matematika....yang pasti soalnya keluar di ujian...”
Eden menggeleng-gelengkan kepala lalu tertawa, “Ya ampun Calista....udah di sini kok masih mikirin pelajaran sekolah. Tenang aja, kan nanti bisa pinjam catatan teman sekelasmu, siapa namanya? Arabel?”
“Ya dan Inneke....” timpal Calista sambil memikirkan ekspresi kedua sahabatnya itu saat Calista tidak balik ke kelas.
“Santai, sayang...sekali-sekali bolos, pacaran di pinggir pantai,” kata Eden sambil meremas tangan Calista. “Menikmati masa remaja....”
Calista tersenyum sambil menatap Eden yang duduk mendekat kepadanya sambil merangkulkan lengannya di bahu Calista. Eden mengecup pucuk kepala Calista lalu membuat kepala gadis itu bersender di bahunya.
“Eden....kamu sering kemari?”
“Cuma sekali, kan aku baru pindahan dari Surabaya....waktu itu main sama teman-teman...”
“Teman sekolah?”
“Aku temenan nggak hanya sama teman sekolah...Banyak dari luar sekolah, kenalan di kafe dan club....” cetus Eden sambil memainkan rambut Calista yang menjuntai di bahunya.
“Ohhh....”
“Aku pandai bergaul, sayang.... Banyak temanku....”
Calista mendongak sekilas, melihat Eden...yang tentu saja dibalas oleh lelaki itu sembari tersenyum. Dia mendekatkan wajahnya lagi ke Calista, lalu mencium bibir ranum gadis itu. Calista hanya bisa pasrah saat lidah pria itu menyeruak masuk ke dalam bibirnya, ada rasa aneh dan geli...namun lama kelamaan dia menikmatinya. Bibirnya ikut terbuka saat Eden mencium dan menggigit bibir bawahnya hingga dia mendesah.
Kalau memang seperti ini, bisa bahaya....pikir Calista saat tangan Eden mulai merambat ke bagian tubuhnya yang lain. Badannya menginginkan lebih tapi otaknya mengirim sinyal untuk berhenti.
“Kenapa...” tanya Eden dengan matanya yang sayu dan berkabut saat Calista menarik bibirnya dan beringsut sedikit menjauh.
“Nggak apa....hanya saja, aku takut...” ucap Calista lirih dengan wajah yang memerah.
“Takut apa?” tanya Eden yang berusaha menahan hasratnya....namun penasaran juga dengan kepolosan gadis yang duduk di sampingnya.
“Takut aja....aku belum pernah pacaran...” ucap Calista, sejenak merasa ragu untuk mengatakannya.
Eden membelalakkan mata mendengar jawaban Calista, namun tak urung dia mendengus menahan tawa.
‘Ada yang lucu?” tanya gadis itu kesal.
“Ya...kamu....” jawab lelaki itu sembari tertawa. ‘Kamu yang lucu!”
‘Kenapa?” Calista menaikkan alisnya heran bercampur jengkel.
“Kamu terlalu polos....namanya pacaran ya wajar cium-ciuman seperti itu, sayang. Itu kan ungkapan sayang dari aku pada dirimu...” katanya lagi sambil mendekatkan wajahnya ke Calista.
Gadis itu menaikkan alis sebelum Eden mencubit pipinya, lalu mencium bibirnya lagi secara cepat. “Nah itu....tanda sayangku...”
“Ya udah, nggak usah dipikirin. Aku mau beliin kita es kelapa dulu ya di sana. Kamu tunggu di sini...” ucapnya sambil mengelus rambut Calista, lalu melangkah pergi...berjalan ke
arah pondok yang bertuliskan sedia minuman es kelapa.
Calista mengambil handphone di tas dan dia melihat banyak pesan masuk. Betul juga kalau Arabel mengirim teks kepadanya banyak sekali....
Ya ampun, ini anak...sabar kenapa sih? pikir Calista dalam hati.
Calista, kamu ke mana? Kamu bolos, hiks....
Calista.....aku khawatir
Calista, balas pesan ini dan bilang kamu baik-baik saja!
Calista mengetik balasan pesan untuk menenangkan Arabel dan Inneke, sembari meminta catatan mereka. Tanpa menyadari kalau dirinya diperhatikan lama oleh kedua pria yang berdiri tidak jauh dari Calista.
“Hai cantik.....kok sendirian di sini? Masih pakai seragam sekolah lagi...bolos ya, hehe....” panggil salah seorangnya yang memakai kaos merah dan celana pendek bermotif pantai.
“Kenalan dong....cantik amat sih!” timpal temannya lagi yang berperawakan lebih besar.
Calista melihat mereka dengan tatapan takut namun dia diam saja dan menundukkan kepalanya lagi sembari memperhatikan handphone. Berharap kedua pria itu berlalu dari hadapannya.
“Sombong amat sih....” Terdengar salah seorang dari mereka mendecih, dan berjalan mendekat ke Calista.
“Kita boleh duduk di sini ya, kenalan dong....” cetus pria berbaju merah lagi sambil berjalan mendekat ke Calista dan membuat gadis itu duduk beringsut menjauh dengan perasaan takut.
“Maaf, aku lagi nunggu pacarku di sini...” katanya dengan wajah gugup.
Dia belum pernah berhadapan dengan pria-pria seperti ini, yang penampakannya seperti pria jalanan. Maklum dia anak rumahan dan selalu ada paman dan ibu yang menjaganya. Calista jadi merasa sangat takut, dia melihat ke arah Eden tadi pergi namun tidak melihat penampakan pria itu sama sekali! Calista berharap Eden segera datang!
“Mana? Kamu bohong ya....bilang aja lagi sendirian...” goda pria yang berbadan lebih besar. Dia mulai memegang tangan Calista hingga gadis itu bergidik ketakutan.
“Lepaskan...” katanya sambil mencoba melepaskan tangannya, namun tidak bisa.
“Ayo kita main-main sebentar....” katanya sambil menarik tangan Calista, sementara pria yang satu lagi hanya terkekeh.
Gadis itu meronta namun dia diseret oleh kedua pria itu, berdiri dan ditarik menuju ke arah belakang pohon. Dia melihat ke sekeliling tapi memang sama sekali tidak ada orang.
“Ayo....sebentar saja, kamu cantik dan seksi sekali....kami akan memberikan pengalaman yang tidak terlupakan,” kata pria berbaju merah sambil tertawa.
“Nggak mau...lepasin!!” ronta Calista sambil mulai menangis.
Dia berusaha memberontak dan lari, tapi tangannya tidak bisa lepas dari pria itu. Tenaganya terlalu kuat untuk dilawan Calista...ditambah mereka ada dua orang.
“Edennnnnn! Edennnn!!!” jeritnya pilu.....
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d
Calista perlahan membuka matanya dan seketika terkesiap saat menyadari bahwa dia masih berada di apartemen Eden. Dia bangun dan melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam! Ya ampun...dia ketiduran berapa jam di sofa itu...“Hai sayang, sudah bangun?”Calista melihat Eden yang keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Kamu terlihat nyenyak sekali, aku nggak tega bangunin kamu!” ucap Eden sembari duduk di samping Calista. “Aku udah pesenin makanan untuk makan malam kita...”“Iya, aku kaget waktu bangun. Udah ketiduran lama sekali, berapa jam ya?” tanya Calista sambil membuka handphone-nya. Betul saja kalau sudah ada banyak pesan dari teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Arabel dan Inneke...lalu beberapa kali miscall dari ibunya!“Apa aku baiknya pulang ya? Udah malam...”“Makan malam dulu aja Calista...masih jam tujuh juga...&rdq
“Dahlia!! Jangan....!” ucapnya sambil menyeka bibirnya dengan kasar. Ingin dia memarahi wanita itu habis-habisan, namun urung dilakukan karena melihat mata gadis itu yang semakin sayu dan jalannya yang limbung.“Masuk cepat!” bentak Jorge sambil mendorong Dahlia ke dalam mobil. Sementara wanita itu dengan wajah memerah, memperhatikan Jorge yang berjalan memutar dan duduk di kursi sebelahnya. Dia lalu terkikik dan melepaskan blazernya lagi...“Panas....” katanya sambil memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di bangku mobil.“Siapa suruh minum banyak-banyak. Di mana alamatmu? Biar aku antar! Dasar bikin repot aja!” omel Jorge sambil menyalakan mesin mobilnya.“Apartemen Red di jalan Cokro...” gumam Dahlia lalu menatap Jorge dari samping dengan matanya yang sayu. Tangannya mulai meraba kaki pria itu, yang membuat Jorge kaget dan otomatis menghempaskan tangan wanita itu.“Apaan sih D
Jorge menoleh ke wanita di sampingnya yang sedang memejamkan mata sambil bergumam tidak jelas. Bibir merahnya komat kamit namun Jorge tidak peduli perkataan apa pun yang keluar dari mulutnya. Malahan dia menggoyangkan badan wanita itu dengan agak kasar.“Bangun, Dahlia!” serunya dengan wajah jengkel. Dia membuka pintu mobil, keluar dan memutar, membuka pintu sebelah kiri. Menggoncang badan perempuan itu lagi, sambil menggerutu.“Ahhh....? Di mana aku?” gumamnya lagi saat membuka mata dengan panik. Wajahnya yang memerah menoleh ke kanan dan kiri.“Kita sudah di apartemen kamu....” ucap Jorge lagi, malu karena diperhatikan oleh security di pintu masuk. “Pakai blazer kamu dulu...aku nggak mau orang pikir aku macam-macam...”Dahlia melihat Jorge lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, “Jorge...Jorge...kamu kaku sekali sih, sayang... Sudah biasa di sini lelaki perempuan ehm....sama-sama...” katanya aga
Jorge memutar mobilnya dan memasuki kompleks rumah, membuka kaca untuk memperlihatkan wajahnya pada security yang langsung membuka palang pintu dan mengangguk hormat. Jorge tersenyum sambil menutup kaca jendela mobilnya lagi. Mobilnya melaju lambat sampai berhenti di depan garasi rumah keluarga Arkhadia. Jorge turun dari mobil lalu membuka pintunya.Memang sudah sejak lama, keluarga Arkhadia tidak punya pembantu, sebabnya karena pembantu terakhir mereka Bik Inah baru meninggal setahun yang lalu, dan mereka belum berniat untuk mencari penggantinya.Dia menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam rumah, mendapati ruangan yang sudah gelap. Jam juga sudah menunjukkan pukul satu pagi. Jorge masuk ke dalam kamar dan membuka bajunya, dia keluar kamar lagi dan hendak membuat kopi di dapur.“Loh Calista, belum tidur?”Seketika jantungnya berdegup kencang karena gadis yang dipikir
“Makasih ya Arabel....” kata Calista sambil menerima buku Arabel...membolak-balikkan halamannya lalu memasukkan ke tas. Dia terdiam sebentar saat melihat wajah dingin Arabel yang tidak seperti biasanya, namun tidak mengucapkan apa-apa. “Aku balik dulu ya, Bel...Sampai ketemu....” ucap Calista sambil berdiri, sempat terdiam sejenak sebelum menanyakan sesuatu lagi. “Bu Riris ada nanya sesuatu tentang aku Bel?” Arabel menaikkan alis, lalu tersenyum sinis. “Masih peduli sama sekolah, Bel?” Calista mengernyitkan alisnya, lalu mendengus jengkel. “Kan aku cuma nanya...kok kamu jadi menyebalkan begitu, Bel!” “Ya sudah.... terima kasih bukunya ya! Nanti aku kembalikan....” Calista menengok ke arah Eden yang masih duduk memperhatikan mereka. “Ayo Den! Kita pulang!” Eden berdiri lalu mengangguk pada Arabel, “Pulang dulu ya Bel....” Arabel hanya tersenyum tipis dan memperhatikan Calista dan Eden yang berjalan ke arah motor. Calista sud
“Eden.....”Terdengar suara gadis itu di dalam kamar, menempelkan telinga ke telepon genggamnya sambil berbaring. Wajahnya suram, dia meneteskan air mata.“Ya...maafkan Paman-ku. Dia memang orangnya rada kaku....”“.....”“Iya....”Mereka bercakap-cakap di telepon untuk sesaat, lalu mengakhiri percakapannya. Calista membuka buku pelajaran yang dipinjamnya lalu membolak-balik halaman. Dia berusaha mencerna setiap suku kata dan kalimat yang dibaca namun sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.Calista menghela nafas lalu menutup buku-nya, dia malah membuka gallery foto di handphone-nya lagi dan mencari foto dirinya dan Eden. Calista tersenyum-senyum sendiri sambil membaringkan diri lagi di tempat tidurnya.Putus sama Eden? No way....! Mereka nggak mengerti perasaanku....ini hanya antara aku dan Eden! Toh, kami juga nggak mengganggu Paman atau Ibu...!Dia pun tertidur dengan nyenyak hi
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela