“Makasih ya Arabel....” kata Calista sambil menerima buku Arabel...membolak-balikkan halamannya lalu memasukkan ke tas. Dia terdiam sebentar saat melihat wajah dingin Arabel yang tidak seperti biasanya, namun tidak mengucapkan apa-apa.
“Aku balik dulu ya, Bel...Sampai ketemu....” ucap Calista sambil berdiri, sempat terdiam sejenak sebelum menanyakan sesuatu lagi. “Bu Riris ada nanya sesuatu tentang aku Bel?”
Arabel menaikkan alis, lalu tersenyum sinis. “Masih peduli sama sekolah, Bel?”
Calista mengernyitkan alisnya, lalu mendengus jengkel. “Kan aku cuma nanya...kok kamu jadi menyebalkan begitu, Bel!”
“Ya sudah.... terima kasih bukunya ya! Nanti aku kembalikan....” Calista menengok ke arah Eden yang masih duduk memperhatikan mereka. “Ayo Den! Kita pulang!”
Eden berdiri lalu mengangguk pada Arabel, “Pulang dulu ya Bel....”
Arabel hanya tersenyum tipis dan memperhatikan Calista dan Eden yang berjalan ke arah motor. Calista sudah duduk di jok belakang sambil memegang erat pinggang Eden sementara Eden menyalakan starter motornya.
Arabel tersenyum kecut saat Calista sama sekali tidak menengok ke arahnya. Sepertinya sahabatnya itu masih kesal dengan sikap Arabel tadi. Motor mereka segera berlalu dan Arabel pun menutup pintu dengan perasaan sedih. Calista benar-benar dibutakan oleh cinta!
“Nggak usah peduli kalau ada teman yang ngomong begitu!” kata Eden keras-keras di tengah deru motornya. “Enjoy aja....nggak usah didengerin!”
“Iya....hanya saja aku kesal,” jawab Calista lagi. “Dia kan sahabatku, mestinya dia nggak usah ngomong begitu!”
“Ya....mungkin dia cemburu sama kamu,” jawab Eden lagi. “Yah kamu cantik, kamu juga menikmati hidup kan sekarang ini....”
Calista hanya terdiam, tidak menjawab ucapan Eden tentang sahabatnya itu. Namun dalam hati dia mengiyakan...mungkin juga yah. Kita kan nggak tahu pikiran seseorang, pikir Calista.
Motor Eden melaju dan semakin melambat masuk ke area kompleks rumah mereka. Calista melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul enam lewat.
Bilang saja ada ekskul lalu ke rumah Arabel, pikir Calista yang mulai ingin mengarang cerita lagi. Sekarang dia sudah terbiasa dengan kebohongan-kebohongan kecilnya.
Motor Eden berhenti tepat di depan rumah Calista. Gadis itu turun dan menapakkan kakinya dengan perlahan saat tatapan sedingin es itu menusuk ke punggungnya. Calista berusaha tidak melihat dulu, tapi dia dapat melihat dengan ekor mata....sosok seorang pria yang duduk di teras.
Siapa lagi kalau bukan Paman Jorge! pikir Calista sedikit panik namun berusaha tetap bersikap tenang. Dia membuka helmnya, lalu memberikan pada Eden. Pria itu ikut turun dan berjalan mengantar Calista sampai ke halaman rumah, dia mengangguk pada Jorge tapi tidak ditanggapi olehnya.
Calista berjalan sedikit salah tingkah karena hanya dipandangi oleh Paman Jorge dengan tajam. “Calista pulang, Paman....” katanya lirih.
“Dari mana kamu?” tanya Jorge dengan nada dingin. Dia menatap Calista lalu sekilas memandang Eden yang berdiri terdiam di belakang gadis itu.
“Tadi ada ekskul di sekolah, Paman....” kata Calista lagi, sambil menatap Jorge dengan pupil mata yang melebar.
Ada keheningan di antara mereka sebelum Jorge menggelengkan kepala lalu berkata dengan nada dingin dan jengkel, “Bohong kamu, Calista! Kamu bukan dari sekolah kan?!”
“Nggak, Paman....aku betul dari sekolah!” bantah Calista, yang langsung disanggah oleh Jorge.
“Gurumu tadi telepon!!” bentak Jorge tiba-tiba yang membuat Calista tersentak kaget. Dia mundur beberapa langkah ke belakang dengan wajah pucat.
“Semua gara-gara dia, kan?!” ujar Jorge lagi dengan jengkel, sambil menunjuk ke arah Eden. “Sudah kubilang berkali-kali, nggak boleh pacaran! Ternyata malah membuat kamu sekarang semakin buruk, Calista!”
“Ta...tapi....” ucap Calista dengan bibir gemetar. “Ini bukan salah Eden, Paman...Calista yang salah....”
“Masuk, Calista!!” bentak Jorge sambil menunjuk ke arah pintu dengan wajah merah padam menahan emosi.
“Tapi....” ucap Calista sambil memandang Eden dengan mata berkaca-kaca.
“Nggak ada tapi-tapian, masuk Calista!” Jorge mengulang perkataannya lagi dengan nada yang tidak kalah keras dari sebelumnya.
Calista cepat-cepat masuk ke dalam rumah dengan wajah merah, sementara Jorge berdiri diam mengamati Calista yang sudah masuk ke dalam rumah lalu menatap Eden dengan dingin.
“Kamu....jangan bawa pengaruh buruk untuk Calista! Mengerti!!” ujar Jorge dengan ketus, sambil hendak membalikkan badannya.
“Paman....Calista udah bukan anak kecil lagi! Dan kami saling menyayangi...” seru Eden yang membuat Jorge terdiam, lalu menatap sengit ke arah anak muda itu.
“Tahu apa kamu soal sayang-menyayangi! Kalau memang sayang, jangan ajak Calista berbuat aneh-aneh!!” bentak Jorge kesal. “Kalian fokus aja ke sekolah dulu! Anak masih bau kencur kok udah belagu....”
Jorge membalikkan badannya lagi dan melangkah masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan Eden yang berdiri mematung di halaman sambil mengepalkan tangannya kesal.
Dia meludah ke tanah lalu membalikkan badannya.....berjalan kembali ke motor. “Pria tua belagu! Sok banget mukanya....”
“Awas saja kamu, pria brengsek! Aku nggak akan menyerah soal Calista,” ucapnya sambil menggertakkan gigi lalu pergi menjalankan motornya dengan kecepatan tinggi.
Calista yang masuk ke dalam rumah, rupanya sudah ditunggu oleh ibunya, Emily. Ibunya itu duduk dengan posisi tegak kaku, sambil menatap anak gadis satu-satunya itu sambil menautkan alisnya dengan tajam.
“Calista...duduk di sini!” ucap Bu Emily sambil menunjuk bangku di depannya.
Calista duduk dengan wajah pucat, dia tidak berani menatap ibunya lama-lama. Maka perlahan dia menundukkan kepala karena sudah tahu kelanjutannya.
“Calista...! Bu Riris menelepon Ibu barusan, katanya kamu sekarang sering kabur dari sekolah....!” seru Ibunya jengkel. “Nilai kamu juga turun....padahal sebentar lagi ujian tengah semester kan?! Dan setelah itu kelulusan sekolah!”
“I...iya, Bu....” jawab Calista dengan sedikit gemetar. “Maaf, Calista salah...”
“Dan ini semua karena kamu sekarang pacaran dengan anak baru ya...siapa namanya tadi? Ibu lupa...” kata ibunya sambil memijit-mijit kepalanya karena mendadak pening.
“Eden!” pungkas Jorge yang baru saja ikut masuk ke dalam rumah.
Dia berdiri tegak sambil melipat tangannya di depan dada. Ikut mengamati Calista yang masih menundukkan kepalanya, siap untuk dimarahi.
“Oh iya....Bu Riris bilang...kamu selalu kabur dengan dia lewat kantin, itu laporan dari bu kantin!” ucap ibunya lagi sambil menatap Calista dengan tatapan lelah. “Anak nakal itu....jangan pacaran dengan dia kalau membawa pengaruh buruk!”
“Nggak, Bu. Eden nggak seperti yang semua orang sangka. Dia anak baik, Bu...” ucap Calista lagi dengan cepat, tiba-tiba dia mendongakkan kepala dan menatap ibunya dengan lekat.
“Anak baik bagaimana, Calista....Kamu jangan terlalu naif,” ucap Jorge dengan kesal. “Coba deh lebih rasional....Kalau memang anak baik, dia nggak akan mengajak kamu kabur-kaburan dari sekolah!”
“Nggak....Paman sama Ibu nggak paham. Eden itu...” kata Calista dengan mata berkaca-kaca. “Dia beda sama pria lain....”
Jorge hanya mendengus kesal sementara Bu Emily terdiam dengan wajah khawatir.
“Aku cinta Eden, Bu...Dia juga pernah menolongku...” kata Calista lagi, berharap kalau ibunya lebih mengerti daripada Paman Jorge yang kaku itu.
“Menolong apa?” tanya Jorge penasaran.
Calista terdiam sesaat, menimbang-nimbang apakah diceritakan atau tidak....
“Eden menolongku waktu aku hampir diperkosa, Paman....waktu kami ke pantai...” ucap Calista lirih. “Dia berani memukul laki-laki itu, padahal ada dua orang...dia penolongku, Paman.”
Jorge dan ibunya terdiam sesaat, sebelum ibunya berkata lagi, “Terlepas dari dia menolongmu atau tidak....kamu fokus dulu belajar, Calista. Sebaiknya jangan pacaran dulu. Kalau memang dia pria baik, jodoh itu nggak ke mana...”
Calista menatap ibunya dengan bola mata yang membesar, bingung dengan pernyataan wanita yang malam itu tetap tampak anggun walaupun hanya memakai daster.
“Kamu putus dulu dengan Eden. Bilang baik-baik, saya mau fokus belajar....” ucap sang ibu lagi, membuat Calista mengernyitkan alis.
“Nggak mau, Bu. Aku mencintai Eden.....ini cinta pertamaku,” ucap Calista yang mendadak bernada tinggi.
“Calista!” bentak Jorge sambil menatap gadis muda itu dengan jengkel. “Kamu dengar perkataan ibumu!”
“Nggak mau....Paman yang dengar! Aku selama ini sudah jadi gadis penurut, baik, rajin....nilaiku selalu bagus...!” ucap Calista lagi dengan perkataan yang terbata-bata karena bercampur emosi. “Sekarang Calista ingin mengejar kebahagiaan dan cinta Calista sendiri. Kenapa sekalinya Calista ingin sesuatu, itu nggak diijinkan?!”
“Calista...kamu ngomong apa sih?!” balas Jorge lagi dengan nada sengit, sementara Bu Emily hanya terdiam dengan mata yang membulat kaget.
“Ibumu dan saya, Pamanmu...” ucap Jorge, sekilas merasa pedih karena sebutan paman. Namun ditepisnya perasaan itu lagi, memang dia kan paman Calista secara status! “Kami selalu berusaha menjagamu, Calista....agar kamu selalu bahagia dan sukses di masa depan!”
Calista menggelengkan kepala lalu beranjak berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan dengan wajah marah. “Kalian egois! Itu kebahagiaan kalian....sekarang ini kebahagiaanku adalah Eden!”
Gadis itu melangkah dengan cepat ke kamarnya lalu membanting pintu keras-keras, meninggalkan kekagetan dan rasa shock pada Jorge dan kakak iparnya.
“Baru kali ini, Calista seperti itu....” ucap Bu Emily sedih, dia meremas kedua tangannya dengan gugup. “Anak itu selalu penurut....”
Jorge menghempaskan diri di sofa sambil mengusap-usap wajah dengan kasar, pertanda sangat lelah. Dia lalu menatap Bu Emily, merasa kasihan pada kakak iparnya yang tampak sangat terpukul.
“Nggak apa, Kak....dia hanya sedang dimabuk cinta. Sebentar juga dia lupa, Kak...” hibur Jorge lagi. “Mungkin aku yang salah, terlalu overprotektif padanya...”
“Jangan menyalahkan dirimu....kalau nggak ada kamu, entah bagaimana aku dan Calista. Apalagi tanpa kehadiran Alexus....” ucap Emily sambil menatap foto suaminya yang terpajang di dinding dengan perasaan sangat rindu.
Jorge terdiam sambil ikut memperhatikan foto kakak angkat kesayangannya itu. Kak Alexus....pria yang diidolakannya sewaktu dia baru diangkat menjadi anak dari keluarga Ardhias. Gagah dan bersahaja.
Entah apa Jorge harus bersyukur sekarang karena masuk ke keluarga Ardhias atau malah menyesal....
Cintanya terlarang.... Sosok yang dilindunginya itu, yang sangat dicintainya malah sekarang membencinya.
Entah bagaimana.....membuat semuanya menjadi normal kembali....
“Eden.....”Terdengar suara gadis itu di dalam kamar, menempelkan telinga ke telepon genggamnya sambil berbaring. Wajahnya suram, dia meneteskan air mata.“Ya...maafkan Paman-ku. Dia memang orangnya rada kaku....”“.....”“Iya....”Mereka bercakap-cakap di telepon untuk sesaat, lalu mengakhiri percakapannya. Calista membuka buku pelajaran yang dipinjamnya lalu membolak-balik halaman. Dia berusaha mencerna setiap suku kata dan kalimat yang dibaca namun sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.Calista menghela nafas lalu menutup buku-nya, dia malah membuka gallery foto di handphone-nya lagi dan mencari foto dirinya dan Eden. Calista tersenyum-senyum sendiri sambil membaringkan diri lagi di tempat tidurnya.Putus sama Eden? No way....! Mereka nggak mengerti perasaanku....ini hanya antara aku dan Eden! Toh, kami juga nggak mengganggu Paman atau Ibu...!Dia pun tertidur dengan nyenyak hi
“Arabel....” ucap Calista melihat sahabatnya yang sudah duduk manis di sudut kelas. Arabel melihat Calista lalu menaikkan alisnya.“Tumben masuk kelas.....”Calista melihat Arabel dengan tidak percaya, lalu tersenyum sinis. “Nyinyir sekarang elo ya, Bel....” desisnya karena murid yang lain sudah duduk rapih di tempatnya masing-masing. “Elo kenapa sih?”“Kenapa?” balas Arabel juga dengan lirih. “Elo yang macam-macam, Calista. Elo udah berubah seratus persen sejak pacaran sama Eden!”“Terus kenapa? Iya, gue emang berubah jadi Calista yang sedang jatuh cinta...” balas Calista lagi, sambil melihat Bu Riris yang sedang berjalan menuju mejanya, lalu mendesis lagi. “Gue sekarang merasa jauh lebih baik daripada yang dulu!”Calista membuang muka lalu mengambil buku dari dalam tasnya. Sejenak kaget karena melupakan sesuatu....dia belum mengerjakan tugasnya! Sial..
Calista memberengutkan bibirnya sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah. Mobil Jorge melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya. Pria itu langsung ijin dari kantor begitu meeting sudah selesai, diiringi dengan tatapan Dahlia yang sedang duduk di meja kerjanya.“Jorge, makan bareng lagi yuk...nanti malam. Aku yang traktir sekarang....” katanya sambil tersenyum manis. Matanya mengerling menggoda saat Jorge menatap ke arahnya.“Nggak bisa, Dahlia,” jawab Jorge dengan nada datar sambil terus melangkah menuju pintu keluar. “Maaf saya ada urusan...”“Huhh....” gumam Dahlia dengan wajah muram, lalu menatap sinis pada karyawan perempuan yang duduk di depannya. “Apa lihat-lihat?! Sana balik kerja lagi!” omelnya membuat karyawan yang masih junior itu buru-buru menundukkan kepala, melanjutkan pekerjaannya.Jorge menatap sekilas ke arah Calista yang menundukkan kepalanya sembari mengetik sesuatu
Waktu terus berjalan hingga tak terasa dia sudah duduk di ruang tengah bersama guru kursusnya...ibu-ibu berkacamata tebal. Calista tampak tidak konsentrasi di menit-menit terakhir, matanya kedapatan melihat jam di dinding terus.“Ayo fokus! Jam di dinding itu tidak akan jalan lebih cepat hanya karena kamu lihatin terus....” tegur Bu Eri, guru privat Calista yang mulai kesal karena gadis itu berulang kali kedapatan tidak mendengarkan omongannya.“Capek, Bu....dengerin hitung-hitungan Kimia terus. Udah malam....” ucap Calista sambil menunjuk ke arah jam dindingnya. “Lima menit lagi....”“Ya sudah....toh pekerjaan rumah sudah sama-sama kita kerjakan tadi,” ucap Bu Eri sambil melihat lagi buku Calista. “Yakin tidak ada yang mau kamu tanyakan?”“Belum ada, Bu...” ucap Calista sembari menggelengkan kepala, berharap guru berkacamata tebal itu segera mengakhiri pelajaran malam ini. Dia
“Mana sih sayang?” tanya Eden sambil memicingkan matanya lagi...mencoba melihat ke arah yang ditunjuk oleh Calista. “Aku nggak melihat apa pun...” “Ada kok....” ujar Calista dan melihat ke arah yang ditunjuk, namun beberapa gadis berjalan melewati mereka dan saat itu juga kedua pria itu tidak terlihat lagi. “Aneh...tadi ada di sana...” “Sayang, kamu jangan berhalusinasi... Tidak ada satu orang pun di sana,” ucap Eden lagi sambil menatap Calista dengan prihatin. “Kalau ada pun, jangan khawatir. Mana berani mereka sama aku....” Calista mengangguk sambil mengucek matanya...betul juga tidak ada kedua pria itu di sana. Apa dia sudah agak lelah malam ini sampai salah melihat orang? 
Calista menoleh dengan sangat perlahan. Dia berharap...untuk beberapa detik kalau hanya kelelahan dan rasa takut yang membuat dia berhalusinasi. Namun kenyataan tetap kenyataan karena....sosok yang dibencinya itu sekarang memang sedang berdiri di teras depan rumahnya! Tengah malam, dan tidak terlalu terlihat karena lampu yang dimatikan.Entah sengaja atau tidak....Jorge baru menekan tombol saklar. Ruang teras itu langsung menyala dengan terangnya. Pria itu berdiri kaku dengan ekspresi wajah yang terlihat mengeras. Jorge tampak mengerutkan alisnya sambil menatap Calista yang berdiri mematung dengan wajah pucat di depan jendela.“Paman....” cicitnya dengan nada takut. “Calista bisa jelaskan....”“Jelaskan apa?! Udah jelas kamu kabur dari rumah dan baru sampai jam segini,” geram Jorge dengan nada jengkel.“Maaf, Paman....” Calista berjalan perlahan ke arah teras... masih dengan wajah pucatnya, namun dia berusah
Calista keluar dari kamar dengan wajah juteknya....sudah siap dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel merah muda. Dia sama sekali tidak menatap atau pun menyapa Jorge yang sedang duduk di ruang makan sambil meminum kopi dan melihat ke layar handphone-nya. Gadis itu tampak acuh dan berjalan ke ruang tamu...lalu duduk sambil memakai kaos kakinya. Tas ranselnya ditaruh sembarangan di dekat sofa. “Adek....!” panggil Emily, melihat Calista tidak ke meja makan seperti biasanya. “Sarapan dulu baru berangkat!” “Nggak usah, Bu! Calista nggak lapar!” jawabnya dengan suara agak keras, sambil menunduk lagi membetulkan kaos kakinya. “Makan sedikit aja, nanti kamu sakit!” ucap Emily lagi sambil men
“Kalian itu bukannya mendukung malah ikut ngomongin aku, kan?” desis Calista lagi dengan jengkel. “Munafik!” “Apa sih Calista?!” hardik Arabel dengan wajah kesal, tidak mempedulikan beberapa teman yang mulai melihat ke arah mereka. “Kalian itu cemburu karena aku cantik, pintar dan punya pacar setampan Eden...” ujar Calista lagi dengan nada dingin, membuat kedua sahabatnya melongok karena kaget, lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Aku malas bicara denganmu lagi, Calista...” ucap Arabel dengan wajah kesal. “Udah cukup, Inneke...biarkan saja Calista dengan kesenangannya sendiri. Toh, Calista yang dulu udah nggak ada lagi!” Inneke juga ikut menatap Calista dengan pandangan marah, lalu mendengus dan membuang muka. “Sombong, punya pacar laki-laki nakal aja belagu!” “Apa kamu bilang, Inneke?!” ucap Calista dengan nada tinggi yang membuat seluruh kelas melihat ke arahnya. Calista terdiam lalu memelankan suaranya... “Dasar jomblo! Pantes kamu be
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela