Waktu terus berjalan hingga tak terasa dia sudah duduk di ruang tengah bersama guru kursusnya...ibu-ibu berkacamata tebal. Calista tampak tidak konsentrasi di menit-menit terakhir, matanya kedapatan melihat jam di dinding terus.
“Ayo fokus! Jam di dinding itu tidak akan jalan lebih cepat hanya karena kamu lihatin terus....” tegur Bu Eri, guru privat Calista yang mulai kesal karena gadis itu berulang kali kedapatan tidak mendengarkan omongannya.
“Capek, Bu....dengerin hitung-hitungan Kimia terus. Udah malam....” ucap Calista sambil menunjuk ke arah jam dindingnya. “Lima menit lagi....”
“Ya sudah....toh pekerjaan rumah sudah sama-sama kita kerjakan tadi,” ucap Bu Eri sambil melihat lagi buku Calista. “Yakin tidak ada yang mau kamu tanyakan?”
“Belum ada, Bu...” ucap Calista sembari menggelengkan kepala, berharap guru berkacamata tebal itu segera mengakhiri pelajaran malam ini. Dia
“Mana sih sayang?” tanya Eden sambil memicingkan matanya lagi...mencoba melihat ke arah yang ditunjuk oleh Calista. “Aku nggak melihat apa pun...” “Ada kok....” ujar Calista dan melihat ke arah yang ditunjuk, namun beberapa gadis berjalan melewati mereka dan saat itu juga kedua pria itu tidak terlihat lagi. “Aneh...tadi ada di sana...” “Sayang, kamu jangan berhalusinasi... Tidak ada satu orang pun di sana,” ucap Eden lagi sambil menatap Calista dengan prihatin. “Kalau ada pun, jangan khawatir. Mana berani mereka sama aku....” Calista mengangguk sambil mengucek matanya...betul juga tidak ada kedua pria itu di sana. Apa dia sudah agak lelah malam ini sampai salah melihat orang? 
Calista menoleh dengan sangat perlahan. Dia berharap...untuk beberapa detik kalau hanya kelelahan dan rasa takut yang membuat dia berhalusinasi. Namun kenyataan tetap kenyataan karena....sosok yang dibencinya itu sekarang memang sedang berdiri di teras depan rumahnya! Tengah malam, dan tidak terlalu terlihat karena lampu yang dimatikan.Entah sengaja atau tidak....Jorge baru menekan tombol saklar. Ruang teras itu langsung menyala dengan terangnya. Pria itu berdiri kaku dengan ekspresi wajah yang terlihat mengeras. Jorge tampak mengerutkan alisnya sambil menatap Calista yang berdiri mematung dengan wajah pucat di depan jendela.“Paman....” cicitnya dengan nada takut. “Calista bisa jelaskan....”“Jelaskan apa?! Udah jelas kamu kabur dari rumah dan baru sampai jam segini,” geram Jorge dengan nada jengkel.“Maaf, Paman....” Calista berjalan perlahan ke arah teras... masih dengan wajah pucatnya, namun dia berusah
Calista keluar dari kamar dengan wajah juteknya....sudah siap dengan seragam putih abu-abu dan tas ransel merah muda. Dia sama sekali tidak menatap atau pun menyapa Jorge yang sedang duduk di ruang makan sambil meminum kopi dan melihat ke layar handphone-nya. Gadis itu tampak acuh dan berjalan ke ruang tamu...lalu duduk sambil memakai kaos kakinya. Tas ranselnya ditaruh sembarangan di dekat sofa. “Adek....!” panggil Emily, melihat Calista tidak ke meja makan seperti biasanya. “Sarapan dulu baru berangkat!” “Nggak usah, Bu! Calista nggak lapar!” jawabnya dengan suara agak keras, sambil menunduk lagi membetulkan kaos kakinya. “Makan sedikit aja, nanti kamu sakit!” ucap Emily lagi sambil men
“Kalian itu bukannya mendukung malah ikut ngomongin aku, kan?” desis Calista lagi dengan jengkel. “Munafik!” “Apa sih Calista?!” hardik Arabel dengan wajah kesal, tidak mempedulikan beberapa teman yang mulai melihat ke arah mereka. “Kalian itu cemburu karena aku cantik, pintar dan punya pacar setampan Eden...” ujar Calista lagi dengan nada dingin, membuat kedua sahabatnya melongok karena kaget, lalu menggeleng-gelengkan kepala. “Aku malas bicara denganmu lagi, Calista...” ucap Arabel dengan wajah kesal. “Udah cukup, Inneke...biarkan saja Calista dengan kesenangannya sendiri. Toh, Calista yang dulu udah nggak ada lagi!” Inneke juga ikut menatap Calista dengan pandangan marah, lalu mendengus dan membuang muka. “Sombong, punya pacar laki-laki nakal aja belagu!” “Apa kamu bilang, Inneke?!” ucap Calista dengan nada tinggi yang membuat seluruh kelas melihat ke arahnya. Calista terdiam lalu memelankan suaranya... “Dasar jomblo! Pantes kamu be
Lonceng sekolah berbunyi menandakan jam pulang sekolah. Beberapa anak bersorak membuat Pak Setiawan, sang guru Fisika menutup buku lalu berseru dengan suara lantangnya “Ya sudah, jangan lupa kerjakan tugas yang barusan Bapak berikan! Sampai besok, anak-anak!” pungkas Pak Setiawan sambil berjalan keluar dari ruangan. Arabel menatap Calista yang sedang bergegas merapikan alat-alat tulis dan bukunya. Dia berniat untuk memanggilnya sebelum seorang perempuan datang ke meja dan menegurnya. “Arabel, kamu jangan pulang dulu ya. Kita mau bicarakan acara kegiatan akhir tahun ekskul seni rupa,” katanya sambil berdiri persis di depan meja Arabel, sehingga gadis itu teralih pandangannya.
Perjalanan ke pantai yang diceritakan Eden ternyata membutuhkan waktu yang lumayan lama. Calista sudah mulai merasakan pegal karena terlalu lama duduk, padahal baru saja dua jam. Ini masih pukul lima sore! “Istirahat dulu yuk, Eden! Calista pegal!” ucap gadis itu sambil merajuk manja. “Sabar ya, Yang! Di depan ada tempat nongkrong enak. Sekalian kita istirahat dan ngemil dulu di Indo**et!” jawab Eden sambil terus melajukan motornya. Calista terdiam sambil melihat jalanan di sekelilingnya. Hamparan ilalang di sebelah kiri dan ladang jagung di sebelah kanan membuat gadis itu merasa senang walaupun lelah. Sebagai gadis kota yang juga jarang keluar rumah, jalan-jalan seperti ini cukup menyenangkan hatinya.&n
“Kenapa kamu uring-uringan seperti itu, Jorge? Mukamu kayak orang nggak tidur semalaman!” cetus salah seorang rekan kerja Jorge pagi itu.Mereka baru saja membicarakan tentang laporan yang akan diserahkan ke atasan pada rapat minggu ini. Jorge berkali-kali tampak mengucek mata dan menahan kantuk. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk membuat kopi. Dia melangkah ke sudut ruangan dan membuka satu sachet kopi bubuk lalu mengaduknya dengan air panas.“Pening kepala... keponakanku kabur dari rumah!” cetus Jorge sambil duduk lagi di kursi meja kerjanya.“Oh...anak jaman sekarang! Jadi gimana? Keponakanmu perempuan atau laki-laki?”“Perempuan. Itu yang bikin aku cemas.” Jorge meniup-niup kopi panas lalu menyeruputnya. “Wah, kamu tahu kira-kira ke mana dia pergi?” tanya rekan kerja Jorge yang berambut plontos itu dengan wajah penasar
“Calista?” Eden melangkah keluar kamar dan mendapati kekasihnya sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.“Aku mau ke kamar mandi malah ketendang tempat sampah,” ucap Calista sambil meringis.Eden hanya diam saja, sementara gadis itu melangkah cepat ke kamar mandi. Saat dia keluar, ternyata Eden sedang duduk di ruang utama sambil menyalakan televisi.“Maaf tadi aku marah-marah, Yang. Soalnya salah satu partner kerjaku kerjanya sembarangan!” katanya tiba-tiba, sambil menatap Calista yang baru keluar dari kamar mandi.Calista hanya terdiam mendengarkan Eden yang terus menjelaskan...“Aku itu punya bisnis barang-barang import, onderdil motor, handphone ... pokoknya apa aja kujual Calista!” lanjutnya tanpa Calista bertanya apa-apa lagi. “Aku menjelaskan ini padamu supaya kamu mengerti, Calista.”“Iya, aku mengerti Eden. Tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu pintar berbi