Perjalanan ke pantai yang diceritakan Eden ternyata membutuhkan waktu yang lumayan lama. Calista sudah mulai merasakan pegal karena terlalu lama duduk, padahal baru saja dua jam. Ini masih pukul lima sore!
“Istirahat dulu yuk, Eden! Calista pegal!” ucap gadis itu sambil merajuk manja.
“Sabar ya, Yang! Di depan ada tempat nongkrong enak. Sekalian kita istirahat dan ngemil dulu di Indo**et!” jawab Eden sambil terus melajukan motornya.
Calista terdiam sambil melihat jalanan di sekelilingnya. Hamparan ilalang di sebelah kiri dan ladang jagung di sebelah kanan membuat gadis itu merasa senang walaupun lelah. Sebagai gadis kota yang juga jarang keluar rumah, jalan-jalan seperti ini cukup menyenangkan hatinya.
&n
“Kenapa kamu uring-uringan seperti itu, Jorge? Mukamu kayak orang nggak tidur semalaman!” cetus salah seorang rekan kerja Jorge pagi itu.Mereka baru saja membicarakan tentang laporan yang akan diserahkan ke atasan pada rapat minggu ini. Jorge berkali-kali tampak mengucek mata dan menahan kantuk. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk membuat kopi. Dia melangkah ke sudut ruangan dan membuka satu sachet kopi bubuk lalu mengaduknya dengan air panas.“Pening kepala... keponakanku kabur dari rumah!” cetus Jorge sambil duduk lagi di kursi meja kerjanya.“Oh...anak jaman sekarang! Jadi gimana? Keponakanmu perempuan atau laki-laki?”“Perempuan. Itu yang bikin aku cemas.” Jorge meniup-niup kopi panas lalu menyeruputnya. “Wah, kamu tahu kira-kira ke mana dia pergi?” tanya rekan kerja Jorge yang berambut plontos itu dengan wajah penasar
“Calista?” Eden melangkah keluar kamar dan mendapati kekasihnya sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.“Aku mau ke kamar mandi malah ketendang tempat sampah,” ucap Calista sambil meringis.Eden hanya diam saja, sementara gadis itu melangkah cepat ke kamar mandi. Saat dia keluar, ternyata Eden sedang duduk di ruang utama sambil menyalakan televisi.“Maaf tadi aku marah-marah, Yang. Soalnya salah satu partner kerjaku kerjanya sembarangan!” katanya tiba-tiba, sambil menatap Calista yang baru keluar dari kamar mandi.Calista hanya terdiam mendengarkan Eden yang terus menjelaskan...“Aku itu punya bisnis barang-barang import, onderdil motor, handphone ... pokoknya apa aja kujual Calista!” lanjutnya tanpa Calista bertanya apa-apa lagi. “Aku menjelaskan ini padamu supaya kamu mengerti, Calista.”“Iya, aku mengerti Eden. Tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu pintar berbi
“Eden?” panggil Calista di malam itu saat baru keluar dari kamar mandi.Dia tidak menemukan pria itu di mana pun. Calista mengetuk pintu kamarnya, namun tidak ada jawaban. Gadis itu menengok ke ruang televisi dan dapur juga tidak ada.Calista mengintip keluar jendela tetapi yang dilihatnya hanya pemandangan pantai di malam hari. Nyaris tidak ada orang sama sekali di luar.“Eden?” panggil Calista sekali lagi, lalu dia melangkah ke pintu keluar dan pada saat bersamaan pria itu muncul dari luar ruangan sambil tertawa terkekeh.“Ada apa Calista? Kenapa mencari aku?” ucapnya dengan wajah tersenyum lebar.“Kamu dari mana saja?” tanya gadis itu bingung. “Aku mencari kamu ke mana-mana.”“Aku dari tadi di luar, Calista. Merokok sambil minum sedikit...” ucapnya sambil menghembuskan nafas yang bau alkohol.Calista menaikkan alis lalu berjalan ke ruang tamu, “Jangan terlalu ban
Calista membuka mata dan mengerjapkan mata, menahan rasa ngilu yang dirasakannya di sekujur tubuh, terutama bagian intimnya. Perasaan bersalah sekejap menghantui dirinya, dia telah kehilangan keperawanannya! Calista duduk dengan perlahan dan menengok ke atas seprai tempat tidur Eden, ada noda darah di sana. Teringat kejadian semalam, wajahnya jadi merona malu lagi. Bagaimana dia sempat menangis, namun Eden berhasil menenangkannya dan sakitnya perlahan berganti dengan rasa nikmat. Astaga! Dia sudah tidak gadis lagi! Calista menatap dirinya sendiri di cermin, tubuhnya polos hanya ditutup oleh selembar selimut biru punya kekasihnya. Perasaannya bercampur aduk lagi antara bingung, resah dan gelisah. “Sayang, kamu sudah bangun?”&nbs
Calista terbangun dengan kaget karena mimpi buruk. Dia tertidur pulas mulai dari sore hari dan baru terbangun malam harinya. Dia duduk di tempat tidur Eden lalu mengerjapkan mata, melihat jam di dinding yang berdetak pelan. Sudah pukul tujuh malam. Pantas perutnya terasa keroncongan. Tapi di mana Eden? Tadi sebelum Calista tertidur, pria itu masih ikut berbaring di samping Calista sambil menonton video di handphone. Calista mendengar dia mengatakan sesuatu, namun dia terlalu mengantuk jadi tidak mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. Dia bangun dengan perlahan, lalu pindah duduk di meja kamar lelaki itu, menatap cermin besar di depannya. “Rambutku berantakan sekali,” keluh Calista sambil memegang rambutnya dengan tangan. &ld
Rintik hujan sedang turun saat mobil sedan hitam milik Jorge melaju dengan kecepatan sedang menuju beberapa alamat yang dituju. Arabel mengirimkannya kemarin malam, tepat sesudah dia baru bertemu Jorge di rumahnya. (Paman, ini beberapa alamat yang diberikan Jacob, teman sekelas Eden. Dia juga tidak tahu Eden pergi ke mana) Jorge mengingat pesan Arabel yang masih ada di handphone-nya. Ada dua tempat, yang pertama alamat apartemen Eden dan alamat kedua yaitu villa pribadi milik anak lelaki itu. Villa pribadi? Hebat juga anak itu, belum lulus sekolah sudah punya tempat sendiri. Mungkin warisan keluarga atau dia hanya mengaku-ngaku biar terlihat hebat, cemooh Jorge dalam hati. Khusus unt
“Pak Gondo!!” panggil seseorang membuat lelaki berkemeja pantai itu menengok. “Bapak sudah ditunggu oleh rombongan dari Bandung, katanya tur ke Goa.” “Oh ya, baiklah,” jawab pria itu sambil menoleh ke Calista dan mengangguk, “Sampai ketemu lagi, Calista!” Calista menatap Pak Gondo yang melangkah pergi dengan perasaan bingung. Dia kembali duduk lalu melihat Eden yang baru saja turun dari speedboat sambil melihat ke arahnya dengan wajah kaku. “Eden...” ucapnya saat lelaki itu mendekat, tetapi dia terkejut saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan keras. “Eden! Apa-apaan sih, sakit!” rintih Calista sambil berusaha melepa
Bibir mungil Calista sedikit terbuka, matanya sarat dengan rasa takut dan cemas saat melihat Jorge berdiri dengan kaku di depan teras rumah. Jari jemarinya kaku dan tangannya terasa dingin, saat Jorge melangkah naik ke tangga dan berjalan semakin mendekatinya. “Calista, pulang!” cetus Jorge sambil menarik lengan gadis itu, yang kemudian memberontak. “Nggak mau, Paman! Aku mau di sini!” seru Calista sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Jorge yang sangat kuat. “Edenn!!” “Calista! Kamu nggak malu?!” bentak Jorge, membuat gadis itu berjengit kaget. “Kamu anak perempuan, kabur dengan laki-laki, ninggalin ujian sekolah!!” Jorge suda
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela