Bibir mungil Calista sedikit terbuka, matanya sarat dengan rasa takut dan cemas saat melihat Jorge berdiri dengan kaku di depan teras rumah. Jari jemarinya kaku dan tangannya terasa dingin, saat Jorge melangkah naik ke tangga dan berjalan semakin mendekatinya.
“Calista, pulang!” cetus Jorge sambil menarik lengan gadis itu, yang kemudian memberontak.
“Nggak mau, Paman! Aku mau di sini!” seru Calista sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Jorge yang sangat kuat. “Edenn!!”
“Calista! Kamu nggak malu?!” bentak Jorge, membuat gadis itu berjengit kaget. “Kamu anak perempuan, kabur dengan laki-laki, ninggalin ujian sekolah!!”
Jorge suda
Malam sudah larut saat mobil Jorge memasuki garasi rumah keluarga Ardhias. Calista keluar dengan perlahan lalu berjalan masuk ke pintu rumah. Dia tidak membawa apa-apa, karena tas besarnya masih ketinggalan di villa Eden.Biarlah, toh hanya baju-baju, peralatan mandi dan make up seadanya saja. Nanti dia akan meminta tolong Eden membawanya. Oh iya, tas kecilnya yang berisi dompet dan handphone juga ketinggalan. Bagaimana dia bisa menghubungi pria itu?!Calista masih kesal dengan Paman Jorge, tetapi perasaannya berubah saat dia berdiri di ambang pintu. Ibunya menunggu Emily sambil berbaring di sofa depan televisi dengan wajah yang pucat. Wajahnya seketika sumringah saat melihat anak gadis semata wayangnya yang baru saja pulang.“Calista!” serunya sambil menatap anak perempuannya itu dengan mata yang berbinar-binar. “Pulang juga kamu, dek!”Calista berjalan dengan perlahan dan raut wajah yang merasa bersalah, karena melihat wajah puca
Calista keluar dari ruangan Bu Riris dengan wajah lelah. Dia baru selesai diceramahi oleh guru itu, lalu diberikan petuah-petuah tentang norma, moral dan cara berpacaran yang sehat.Sudah telat, Bu, pikir Calista memikirkan hubungan intimnya dengan Eden di villa itu yang dilakukan beberapa kali. Pipinya jadi bersemu merah mengingat bagaimana liarnya dia dan Eden di ranjang.Calista berjalan masuk kembali ke kelas, lalu duduk di bangkunya. Dia bertatapan dengan Inneke dan Arabel tetapi keduanya langsung membuang muka. Calista jadi merasa bersalah karena telah mengatakan sesuatu yang buruk beberapa hari sebelum dia kabur dengan Eden.“Arabel... Inneke...” panggilnya dengan suara lirih.“Ada apa?” jawab Inneke ketus, sementara Arabel menyibukkan dirinya dengan menulis, tanpa menatap Calista.“Maafkan aku ya, kalau aku ngomong yang tidak baik waktu itu. Sebetulnya itu nggak benar sama sekali,” ucap Calista dengan waj
“Paman!” seru Calista yang tiba-tiba keluar dari kamarnya dan berada di ruang tamu. “Kenapa begitu kasar?!”“Dia sudah mengatakan sesuatu yang tidak sopan!” ucap Jorge sambil memandang Eden dengan pandangan muak.“Saya hanya mau mengembalikan barang Calista, Paman!” ucap Eden sambil tersenyum miring dan mengejek Jorge tanpa sepenglihatan Calista.“Jangan panggil aku, Paman!” cetus Jorge kesal sambil memberikan jalan pada Calista yang dengan segera berjalan ke pintu dan menyapa pacarnya itu.“Terima kasih ya Eden! Kamu kapan sampai di sini lagi?” tanyanya sambil mengambil tas dan barangnya dari tangan pria itu.“Kemarin malam, Calista,” jawab Eden yang langsung disela oleh Jorge.“Kalau sudah selesai mengantar barang, pergi kamu dari sini!” ucap Jorge dengan wajah jengkel. Dia mendorong Calista mundur lalu memutup pintu rumah dengan keras, tanpa pe
Garis dua!! Dia memejamkan matanya lagi, berharap kalau penglihatannya itu salah. Gadis itu membuka mata lalu memperhatikan hasil test pack itu dengan seksama. Masih garis dua! Ini pasti salah! pikir Calista sambil membuka test pack kedua yang katanya lebih mahal dan akurat. Aku akan mencobanya lagi. Dia duduk di bangku toilet sambil menunggu beberapa menit, yang terasa sangat lama dan menyeramkan. Lebih tegang daripada menunggu hasil ujian, lebih menakutkan daripada menonton film horror. Bukannya Eden pakai pengamanan ya? pikir Calista lagi sambil mengingat hubungan intim mereka di villa waktu itu. Atau ada saat tertentu, gadis itu tidak menyadari kalau kekasihnya lupa memakai kond*m.
Jorge berkali-kali menghela nafas dengan berat sambil memejamkan mata dan memijit keningnya di samping tempat tidur Emily. Sementara dokter yang dipanggil sedang memeriksa wanita paruh baya itu. Dia mengeluarkan stetoskopnya, menempelkan ke dada Emily, mengukur suhunya setelah mengukur tensi wanita itu dan menuliskan sesuatu di kertas resepnya.“ Ibu tensinya tinggi, dan suhu badannya agak tinggi. Detak jantungnya normal. Bisa jadi sedang banyak pikiran sekarang yang menyebabkan tensi darah ibu naik,” ucap dokter berbaju putih itu sambil memberikan kertas resep kepada Jorge.“Memang iya, Dokter,” cetus Jorge sambil memandang Calista dengan sinis, sementara yang dipandangi menunduk takut dan memandang ke jari-jari tangannya.Wajah lelaki itu memancarkan apa yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Sedih dan marah karena dia tidak bisa menjaga keponakan angkatnya itu seperti janji pada almarhum Kak Alexus.Jorge be
“Calista ... Calista ?”Calista terkejut saat Arabel memanggil untuk ketiga kalinya. Jam pulang sekolah, semua anak sudah sibuk beberes dan hanya Calista yang masih melamun.Arabel menatap sahabatnya itu dengan bingung, “ Kamu lagi memikirkan apa, Calista?”“Nggak kok, Arabel,’ ucap Calista sambil buru-buru membereskan bukunya dan tersenyum kikuk.Ini sudah tiga hari sejak Paman Jorge menyuruhnya untuk menghubungi Eden, tapi nomor pria itu sama sekali tidak bisa dihubungi. Calista khawatir tentang kehamilan ini yang sebentar lagi tak akan bisa ditutupinya, dan keadaan Eden sendiri!“Kamu nggak apa kan?” Arabel menempelkan tangannya ke kening Calista. “Kamu seperti terlihat kurang sehat, Calista?”“Nggak apa, Arabel,” ucap Calista tersenyum sambil bangkit berdiri dan memegang tasnya, tapi tiba-tiba kepalanya seperti berputar.Dia merasa mual, pusing dan semua
Sudah menjelang sore saat taksi itu memasuki area parkir apartemen. Gedung yang tinggi membuat Arabel mendongakkan kepala, begitu juga dengan Inneke di sampingnya. Mereka bertiga melangkah keluar dari taksi, masih memakai seragam sekolah.“Makasih ya, Pak,” ucap Inneke sambil menutup pintu taksi.“Aku lupa kalau nggak punya kartu akses,” ucap Calista sambil menepuk keningnya. “Gimana caranya kita ke atas?”Calista berjalan menuju pintu apartemen, lalu melihat Bapak Security yang sering ditemuinya. “Ah, mudah-mudahan Bapak itu masih kenal denganku dan mengijinkan memakai kartu aksesnya ke atas!”Calista menghampiri meja Security sambil tersenyum dan menyapa, “Selamat sore, Pak.”“Sore, Mbak. Wah, udah lama nggak kemari lagi,” ucap penjaga itu tersenyum ramah. “Tumben sendirian, nggak sama cowoknya.”“Iya, Pak, saya mau ke atas tapi lupa
Calista masuk ke dalam kelas keesokan harinya dengan keadaan yang lebih segar. Dia sudah sarapan dan perutnya sudah tidak terlalu mual lagi. Hanya satu kekhawatirannya, yaitu kalau perutnya semakin membesar.Baru masuk ke dalam kelas, dia sudah merasakan suatu kejanggalan. Beberapa teman di kelas tiba-tiba berhenti mengobrol dan menatap dirinya dengan aneh. Calista tetap berjalan dengan tenang dan duduk di bangku.“Hahh ... masa sih? Dasar perempuan nggak bener!”“Wajahnya aja yang alim!”Calista mendengar bisik-bisik beberapa perempuan yang duduk di belakang, lalu menatap Arabel dengan penuh tanda tanya.“Mereka lagi ngomongin siapa?”“Nggak usah dipikirkan, Calista. Biarin aja mereka ngomong sesuka-nya,” ucap Arabel sambil menghibur sahabatnya itu.“Mereka ngomongin aku? Siapa yang bocorin ceritanya?” bisik Arabel dengan wajah panik. “Aku belum siap jadi bahan ledekan