Sudah menjelang sore saat taksi itu memasuki area parkir apartemen. Gedung yang tinggi membuat Arabel mendongakkan kepala, begitu juga dengan Inneke di sampingnya. Mereka bertiga melangkah keluar dari taksi, masih memakai seragam sekolah.
“Makasih ya, Pak,” ucap Inneke sambil menutup pintu taksi.
“Aku lupa kalau nggak punya kartu akses,” ucap Calista sambil menepuk keningnya. “Gimana caranya kita ke atas?”
Calista berjalan menuju pintu apartemen, lalu melihat Bapak Security yang sering ditemuinya. “Ah, mudah-mudahan Bapak itu masih kenal denganku dan mengijinkan memakai kartu aksesnya ke atas!”
Calista menghampiri meja Security sambil tersenyum dan menyapa, “Selamat sore, Pak.”
“Sore, Mbak. Wah, udah lama nggak kemari lagi,” ucap penjaga itu tersenyum ramah. “Tumben sendirian, nggak sama cowoknya.”
“Iya, Pak, saya mau ke atas tapi lupa
Calista masuk ke dalam kelas keesokan harinya dengan keadaan yang lebih segar. Dia sudah sarapan dan perutnya sudah tidak terlalu mual lagi. Hanya satu kekhawatirannya, yaitu kalau perutnya semakin membesar.Baru masuk ke dalam kelas, dia sudah merasakan suatu kejanggalan. Beberapa teman di kelas tiba-tiba berhenti mengobrol dan menatap dirinya dengan aneh. Calista tetap berjalan dengan tenang dan duduk di bangku.“Hahh ... masa sih? Dasar perempuan nggak bener!”“Wajahnya aja yang alim!”Calista mendengar bisik-bisik beberapa perempuan yang duduk di belakang, lalu menatap Arabel dengan penuh tanda tanya.“Mereka lagi ngomongin siapa?”“Nggak usah dipikirkan, Calista. Biarin aja mereka ngomong sesuka-nya,” ucap Arabel sambil menghibur sahabatnya itu.“Mereka ngomongin aku? Siapa yang bocorin ceritanya?” bisik Arabel dengan wajah panik. “Aku belum siap jadi bahan ledekan
“Jorge?” Wanita itu terpana melihat sosok yang selama ini diimpikannya tiba-tiba datang dan berdiri persis di depan pintu apartemen! Apakah ini hanya mimpi? Dahlia memejamkan mata sebentar lalu membuka matanya lagi, tapi sosok pria itu masih berdiri di depan. “ Jorge? Ini beneran kamu yang datang?” ucap Dahlia dengan ekspresi terkejut bercampur senang, berlainan dengan wajah lelaki itu yang terlihat malas sekali. Kedua bibirnya melengkung ke bawah. “Aku tidak tahu kalau ini tempat tinggalmu,” ucap Jorge lalu menatap Calista sambil menaikkan alisnya sebelah. “Betul ini tempat tinggal pacarmu?” Dahlia memandang Calista dengan seksama, lalu memoton
Mobil Jorge melaju dengan kecepatan sedang, melewati deretan ruko di pinggiran kota yang sebagian besar sudah ditutup. Jorge melihat ke jam tangannya, sudah pukul dua belas malam. Jalan yang temaram hanya disinari oleh lampu penerangan seadanya.“Nanti di ujung jalan, belok ke arah kiri, Paman. Di sebelah kanan jalan, ada kafe tempat Eden sering datang,” ucap Calista yang duduk di belakang karena Dahlia langsung otomatis duduk di samping pamannya itu.“Ya ampun, anak itu memang kebangetan!” Dahlia memutar bola matanya dengan jengkel.Jorge memutar stirnya ke arah kiri lalu melihat ke kanan, ada bangunan berlantai dua yang tampaknya sangat ramai dengan anak-anak muda. Bangunan itu tampak mencolok karena banyaknya lampu dan juga musik keras yang menghentak terdengar sampai ke ujung jalan.Jorge memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di seberang kafe lalu mematikan mesin mobilnya. Dia menatap ke arah kafe itu sambil mengernyitkan
Keheningan mencekam di ruangan apartemen Dahlia dan Eden sehingga suara detak jarum jam yang bergerak perlahan pun terdengar kencang.Eden menatap Calista dengan tatapan tidak percaya, “Betul itu anakku? Kamu sudah test kehamilan?”“Betul, Eden. Aku udah test dua kali dan semua hasilnya bergaris dua, positif, ” ucap Calista lagi dengan lirih.Eden menggelengkan kepala lalu menyugar rambut dengan frustasi, “Aku, aku tidak tahu mau berbuat apa! Aku pakai pengaman kemarin, apa itu tidak berfungsi ya?”Jorge yang sedari tadi terdiam, mencondongkan wajahnya ke depan lalu berkata dengan wajah emosi, “Apa itu perkataan yang pantas dari seorang laki-laki yang sudah merenggut keperawanan keponakanku?! Berani berbuat harus berani bertanggung jawab!”Eden terdiam dan manik netranya semakin membesar saat Jorge bangkit berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya dengan wajah murka. “Kamu harus menikahi Calista
Calista duduk di kamarnya dengan perasaan bercampur aduk, dia menatap bayangan dirinya di cermin. Maskara, bulu mata palsu, bibir yang dipulas lipstik merah, dan rambut yang digelung tinggi. Dia memakai kebaya pengantin dengan brokat putih yang pas badan, dan kain lilit bermotif batik sutra. Emily yang memanggil salon langganannya untuk datang ke rumah merias putri satu-satunya ini. Tak terbayangkan kalau hal ini akan berlangsung cepat seperti ini, pikir wanita itu yang sedang berdiri di ujung kamar sambil menatap miris. Sepertinya dirinya sudah tidak peduli lagi dengan kasak-kusuk tetangga. Pesta pernikahan kecil-kecilan pun dilakukan di rumah dengan sedikit undangan. Hanya beberapa saudara dekat, tetangga dan sahabat Calista tentu saja. Arabel dan Inneke. Emily juga mengundang Bu Riris, karena kedekatan dirinya dengan wali kelas
“Kamu mau tinggal di Villa Eden yang di pantai itu?” tanya Emily dengan cemas. “Tapi itu jauh dari rumah, Nak.” “Iya, saya tahu, Bu. Hanya saja Eden ingin kami tinggal di sana, dan Calista hanya mengikuti suami,” Calista mengerjapkan mata, menatap wajah Ibunya yang cemas. “Dia bilang lebih enak bekerja di sana.” Emily menghela nafas, “Kamu hati-hati di sana. Jaga kehamilanmu, makan makanan yang sehat. Kalau jauh begitu, Ibu nggak bisa sering mengunjungimu.” Calista terdiam dengan perasaan miris di hatinya tapi ditahan semuanya itu. “Calista akan sering menelepon Ibu. Toh juga di sini, Calista jadi bahan cibiran tetangga karena hamil di luar nikah dan dikeluarkan pihak sekolah.”&nb
Calista duduk diam di kursi tamu sambil membaca buku. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tapi dia tidak bisa tertidur. Gadis itu menyenderkan kepala ke sandaran sofa sambil 'ngemil keripik kentang kesukaannya yang dibawa dari rumah.Dia memperhatikan pesan-pesan yang masuk ke ponsel, ada dari Emily, Arabel dan Inneke. Calista baru menyadari kalau pamannya Jorge tidak pernah menghubungi gadis itu lagi semenjak dia menikah beberapa minggu yang lalu.Calista merasa sedikit kehilangan. Semenjak dia ditinggal almarhum Ayahnya, Jorge yang biasa selalu membaweli dia bahkan untuk hal sekecil apa pun. Berangkat sekolah, buku pelajaran, jadwal pelajaran. Tiada hari tanpa Jorge yang selalu mengawasi Calista.Selama acara pernikahan berlangsung hingga Calista meminta ijin dan restu dari mereka, Jorge seperti lebih banyak terdiam. Selama acara juga, Pamannya itu sering diikuti oleh Dahlia, kakak Eden. Calista kurang menyukai kedekatan mereka.Perasaannya ag
Jorge melihat keluar jendela dari ruang kerjanya yang luas di lantai atas. Matanya menjelajah ke pemandangan di bawah, ke deretan rumah yang seperti miniatur lalu jalanan yang padat dengan mobil merayap. Matanya boleh ke sana tapi pikiran itu tidak pada tempatnya. Tatapan matanya kosong, melihat ke arah luar. Kemeja dan dasinya sedikit dilonggarkan karena ia ingin merileksasi pikirannya. Sudah beberapa minggu setelah hari pernikahan Calista dan dia tidak bisa mengingkari kalau ada rasa kesepian yang amat sangat, jauh dalam hatinya. Jorge mencintai gadis itu, melebihi rasa terhadap keponakannya sendiri! Tidak, dia bukan paman kandung gadis itu ... jadi mereka memang bukan sedarah kan? Tapi Calista sudah menganggap kamu sebagai Pamannya, jawab suara batinnya yang lai