Keheningan mencekam di ruangan apartemen Dahlia dan Eden sehingga suara detak jarum jam yang bergerak perlahan pun terdengar kencang.
Eden menatap Calista dengan tatapan tidak percaya, “Betul itu anakku? Kamu sudah test kehamilan?”
“Betul, Eden. Aku udah test dua kali dan semua hasilnya bergaris dua, positif, ” ucap Calista lagi dengan lirih.
Eden menggelengkan kepala lalu menyugar rambut dengan frustasi, “Aku, aku tidak tahu mau berbuat apa! Aku pakai pengaman kemarin, apa itu tidak berfungsi ya?”
Jorge yang sedari tadi terdiam, mencondongkan wajahnya ke depan lalu berkata dengan wajah emosi, “Apa itu perkataan yang pantas dari seorang laki-laki yang sudah merenggut keperawanan keponakanku?! Berani berbuat harus berani bertanggung jawab!”
Eden terdiam dan manik netranya semakin membesar saat Jorge bangkit berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya dengan wajah murka. “Kamu harus menikahi Calista
Calista duduk di kamarnya dengan perasaan bercampur aduk, dia menatap bayangan dirinya di cermin. Maskara, bulu mata palsu, bibir yang dipulas lipstik merah, dan rambut yang digelung tinggi. Dia memakai kebaya pengantin dengan brokat putih yang pas badan, dan kain lilit bermotif batik sutra. Emily yang memanggil salon langganannya untuk datang ke rumah merias putri satu-satunya ini. Tak terbayangkan kalau hal ini akan berlangsung cepat seperti ini, pikir wanita itu yang sedang berdiri di ujung kamar sambil menatap miris. Sepertinya dirinya sudah tidak peduli lagi dengan kasak-kusuk tetangga. Pesta pernikahan kecil-kecilan pun dilakukan di rumah dengan sedikit undangan. Hanya beberapa saudara dekat, tetangga dan sahabat Calista tentu saja. Arabel dan Inneke. Emily juga mengundang Bu Riris, karena kedekatan dirinya dengan wali kelas
“Kamu mau tinggal di Villa Eden yang di pantai itu?” tanya Emily dengan cemas. “Tapi itu jauh dari rumah, Nak.” “Iya, saya tahu, Bu. Hanya saja Eden ingin kami tinggal di sana, dan Calista hanya mengikuti suami,” Calista mengerjapkan mata, menatap wajah Ibunya yang cemas. “Dia bilang lebih enak bekerja di sana.” Emily menghela nafas, “Kamu hati-hati di sana. Jaga kehamilanmu, makan makanan yang sehat. Kalau jauh begitu, Ibu nggak bisa sering mengunjungimu.” Calista terdiam dengan perasaan miris di hatinya tapi ditahan semuanya itu. “Calista akan sering menelepon Ibu. Toh juga di sini, Calista jadi bahan cibiran tetangga karena hamil di luar nikah dan dikeluarkan pihak sekolah.”&nb
Calista duduk diam di kursi tamu sambil membaca buku. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tapi dia tidak bisa tertidur. Gadis itu menyenderkan kepala ke sandaran sofa sambil 'ngemil keripik kentang kesukaannya yang dibawa dari rumah.Dia memperhatikan pesan-pesan yang masuk ke ponsel, ada dari Emily, Arabel dan Inneke. Calista baru menyadari kalau pamannya Jorge tidak pernah menghubungi gadis itu lagi semenjak dia menikah beberapa minggu yang lalu.Calista merasa sedikit kehilangan. Semenjak dia ditinggal almarhum Ayahnya, Jorge yang biasa selalu membaweli dia bahkan untuk hal sekecil apa pun. Berangkat sekolah, buku pelajaran, jadwal pelajaran. Tiada hari tanpa Jorge yang selalu mengawasi Calista.Selama acara pernikahan berlangsung hingga Calista meminta ijin dan restu dari mereka, Jorge seperti lebih banyak terdiam. Selama acara juga, Pamannya itu sering diikuti oleh Dahlia, kakak Eden. Calista kurang menyukai kedekatan mereka.Perasaannya ag
Jorge melihat keluar jendela dari ruang kerjanya yang luas di lantai atas. Matanya menjelajah ke pemandangan di bawah, ke deretan rumah yang seperti miniatur lalu jalanan yang padat dengan mobil merayap. Matanya boleh ke sana tapi pikiran itu tidak pada tempatnya. Tatapan matanya kosong, melihat ke arah luar. Kemeja dan dasinya sedikit dilonggarkan karena ia ingin merileksasi pikirannya. Sudah beberapa minggu setelah hari pernikahan Calista dan dia tidak bisa mengingkari kalau ada rasa kesepian yang amat sangat, jauh dalam hatinya. Jorge mencintai gadis itu, melebihi rasa terhadap keponakannya sendiri! Tidak, dia bukan paman kandung gadis itu ... jadi mereka memang bukan sedarah kan? Tapi Calista sudah menganggap kamu sebagai Pamannya, jawab suara batinnya yang lai
Calista duduk di teras rumah depan, menatap hamparan pantai dengan laut yang biru. Suara ombak memecah keheningan dengan nyiur yang melambai dan hembusan angin yang sepoi-sepoi.Mereka baru saja sampai di villa dekat pantai milik Eden pada sore hari dan pria itu sudah jatuh tertidur di sofa karena kelelahan. Eden memesan mobil pick up sehingga semua barang termasuk motornya juga bisa diangkut.Gadis itu melamun sambil mengelus perutnya yang semakin besar, memikirkan segala hal yang telah dilaluinya beberapa bulan terakhir ini. Sifat labil Eden membuat gadis itu tidak bisa menerka emosi Eden beberapa menit kemudian.Terkadang dia bisa sangat mesra dan terkadang dia bisa sangat tidak peduli dengan Calista yang sudah menjadi isterinya sendiri. Calista semakin curiga kalau suaminya juga memakai narkoba, karena dia pernah menemukan serbuk putih lagi di saku baju Eden saat pria itu menggantung di pintu kamarnya.Calista berdiri dengan perlahan, akhir-akhi
Hari-hari berikutnya bagaikan neraka untuk Calista. Perutnya semakin membesar dan dia sering kram perut. Mood-nya juga berubah-rubah menjadi lebih labil, tapi Eden sering keluar rumah. Kadang dia bisa pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan memukuli Calista bila gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. “Berisik!!” seru Eden dengan wajah memerah sambil membawa sebotol minuman keras ke dalam ruang tamu. “Ini uang aku! Suka-suka aku dengan apa yang mau kukerjakan!” Dia menjambak rambut Calista sehingga wanita itu menjerit kesakitan sambil mendekatkan wajahnya dan mendesis. “Dengar ya, kamu jadi isteri yang nurut sama suami. Jangan protes kalau aku mabuk, judi bahkan main dengan perempuan lain! Kamu itu sekarang udah nggak menarik lagi!”
Sinar matahari menyinari wajah Gomgom yang sedang berjalan di depan villa. Pakaiannya masih seperti dulu, celana pendek dengan kemeja khasnya yang bermotif pantai. Gomgom tersenyum dengan mata yang berbinar-binar senang karena mellihat Calista. “Iya, ini aku. Apa kabar Calista?” Netra pria itu melebar lagi saat melihat perut Calista yang semakin membesar, “Wah luar biasa, kamu sudah hamil besar! Sudah hamil berapa bulan?” “Masuk bulan ke tujuh.” “Wah, sebentar lagi dong ya, semoga lancar sampai persalinan.” Mereka berdua bercakap-cakap dan hati Calista agak terhibur saat berbicara dengan Gomgom. Berdu
Calista membuka pintu dan tampaklah sosok seorang wanita yang sangat dicintainya. Emily memakai dress terusan bermotif polkadot dan rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya masih tampak cantik di usia-nya yang sudah empat puluh lima tahun.“Ibu!”Calista memeluk ibu-nya dengan mata berbinar-binar senang. Aroma parfum Emily yang tetap sama, wangi bunga-bungaan memenuhi indera penciuman Calista. Perasaan senang menyeruak dalam diri Calista saat melihat wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu.“Calista sayang, Ibu bawakan kue kesukaan kamu. Oh iya, sama lauk untuk makan siang, ikan mujair bakar sambel mangga, lalapan sambel dan tumis daun pepaya.”Mulut Calista langsung seketika berair saat melihat piring besar dengan ikan bakar di atasnya yang ditutupi plastik wrap transparan, di sampingnya ada rantang makanan. Belum lama wanita itu meneguk ludah, suara pintu mobil yang ditutup membuatnya menengok.Sorot mata y