Jorge melihat keluar jendela dari ruang kerjanya yang luas di lantai atas. Matanya menjelajah ke pemandangan di bawah, ke deretan rumah yang seperti miniatur lalu jalanan yang padat dengan mobil merayap. Matanya boleh ke sana tapi pikiran itu tidak pada tempatnya.
Tatapan matanya kosong, melihat ke arah luar. Kemeja dan dasinya sedikit dilonggarkan karena ia ingin merileksasi pikirannya. Sudah beberapa minggu setelah hari pernikahan Calista dan dia tidak bisa mengingkari kalau ada rasa kesepian yang amat sangat, jauh dalam hatinya.
Jorge mencintai gadis itu, melebihi rasa terhadap keponakannya sendiri! Tidak, dia bukan paman kandung gadis itu ... jadi mereka memang bukan sedarah kan?
Tapi Calista sudah menganggap kamu sebagai Pamannya, jawab suara batinnya yang lai
Calista duduk di teras rumah depan, menatap hamparan pantai dengan laut yang biru. Suara ombak memecah keheningan dengan nyiur yang melambai dan hembusan angin yang sepoi-sepoi.Mereka baru saja sampai di villa dekat pantai milik Eden pada sore hari dan pria itu sudah jatuh tertidur di sofa karena kelelahan. Eden memesan mobil pick up sehingga semua barang termasuk motornya juga bisa diangkut.Gadis itu melamun sambil mengelus perutnya yang semakin besar, memikirkan segala hal yang telah dilaluinya beberapa bulan terakhir ini. Sifat labil Eden membuat gadis itu tidak bisa menerka emosi Eden beberapa menit kemudian.Terkadang dia bisa sangat mesra dan terkadang dia bisa sangat tidak peduli dengan Calista yang sudah menjadi isterinya sendiri. Calista semakin curiga kalau suaminya juga memakai narkoba, karena dia pernah menemukan serbuk putih lagi di saku baju Eden saat pria itu menggantung di pintu kamarnya.Calista berdiri dengan perlahan, akhir-akhi
Hari-hari berikutnya bagaikan neraka untuk Calista. Perutnya semakin membesar dan dia sering kram perut. Mood-nya juga berubah-rubah menjadi lebih labil, tapi Eden sering keluar rumah. Kadang dia bisa pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan memukuli Calista bila gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. “Berisik!!” seru Eden dengan wajah memerah sambil membawa sebotol minuman keras ke dalam ruang tamu. “Ini uang aku! Suka-suka aku dengan apa yang mau kukerjakan!” Dia menjambak rambut Calista sehingga wanita itu menjerit kesakitan sambil mendekatkan wajahnya dan mendesis. “Dengar ya, kamu jadi isteri yang nurut sama suami. Jangan protes kalau aku mabuk, judi bahkan main dengan perempuan lain! Kamu itu sekarang udah nggak menarik lagi!”
Sinar matahari menyinari wajah Gomgom yang sedang berjalan di depan villa. Pakaiannya masih seperti dulu, celana pendek dengan kemeja khasnya yang bermotif pantai. Gomgom tersenyum dengan mata yang berbinar-binar senang karena mellihat Calista. “Iya, ini aku. Apa kabar Calista?” Netra pria itu melebar lagi saat melihat perut Calista yang semakin membesar, “Wah luar biasa, kamu sudah hamil besar! Sudah hamil berapa bulan?” “Masuk bulan ke tujuh.” “Wah, sebentar lagi dong ya, semoga lancar sampai persalinan.” Mereka berdua bercakap-cakap dan hati Calista agak terhibur saat berbicara dengan Gomgom. Berdu
Calista membuka pintu dan tampaklah sosok seorang wanita yang sangat dicintainya. Emily memakai dress terusan bermotif polkadot dan rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya masih tampak cantik di usia-nya yang sudah empat puluh lima tahun.“Ibu!”Calista memeluk ibu-nya dengan mata berbinar-binar senang. Aroma parfum Emily yang tetap sama, wangi bunga-bungaan memenuhi indera penciuman Calista. Perasaan senang menyeruak dalam diri Calista saat melihat wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu.“Calista sayang, Ibu bawakan kue kesukaan kamu. Oh iya, sama lauk untuk makan siang, ikan mujair bakar sambel mangga, lalapan sambel dan tumis daun pepaya.”Mulut Calista langsung seketika berair saat melihat piring besar dengan ikan bakar di atasnya yang ditutupi plastik wrap transparan, di sampingnya ada rantang makanan. Belum lama wanita itu meneguk ludah, suara pintu mobil yang ditutup membuatnya menengok.Sorot mata y
Mata awasnya melihat serbuk putih yang berceceran, dia berjalan perlahan sambil menunduk dan nyaris berjongkok untuk memegang serbuk itu sebelum dikagetkan oleh suara Eden di belakangnya.“Ada apa Paman? Ada yang bisa dibantu?”Jorge menoleh dan melihat lelaki muda itu yang ternyata sedang berdiri dan mengawasi dirinya. Mata mereka saling beradu pandang sebelum Jorge mengedikkan bahu acuh tak acuh.‘Tidak ada apa-apa.”Dia melangkah melewati Eden, berusaha tenang namun penuh dengan rasa curiga. Jorge duduk dan melihat keponakan angkatnya yang sedang mendengarkan Emily yang sedang bercerita.Feelingnya memang kurang baik tapi dia tidak mau gegabah. Calista sedang hamil jadi dia tidak boleh terlalu banyak pikiran. Jorge mengamati lagi lelaki muda, suami Calista yang sudah ikut duduk bersama mereka sambil mendengarkan.Sesekali Eden mengatakan sesuatu yang membuat Emily tertawa. Calista pun tampak selalu tersenyum sambil
Kafe yang bernuansa pantai itu tampak ramai pada malam hari dengan beberapa pengunjung lokal, seorang penyanyi perempuan lokal yang memakai dress casual berwarna kuning cerah sedang duduk sambil menyanyi diiringi oleh alunan gitar akustik dari pria di sampingnya. Calista berjalan perlahan ke ujung ruangan diikuti oleh Gondo di belakang. Perut besar membuat jalannya sedikit lambat, dokter memperkirakan minggu ini mungkin dia akan lahiran. Sebetulnya dia sangat takut, Eden sering meninggalkan dia di saat seperti ini. Bagaimana kalau dia akan melahirkan saat suaminya itu tidak berada di rumah? Calista mendengar cerita orang-orang kalau melahirkan itu sangat sakit apalagi kalau sedang kontraksi. Di sisi lain, kehadiran janin di perutnya membangkitkan naluri keibuan di dalam dirinya. Hatinya hangat setiap dia mengelus perut besar itu. Belum melihat anak itu pun, rasa sayangnya sudah melimpah ruah. Dia duduk di kursi diikuti oleh Gondo di sampingnya. Matanya berbin
Wanita itu meringis kesakitan, menahan nyeri di perutnya yang terasa seperti mulas hebat. Calista melihat ke layar gawainya dengan frustasi sebelum pada akhirnya dia menekan nomor kontak yang baru saja disimpan dengan nama samaran seorang perempuan, hanya demi menghindari kecemburuan dari suami yang sama sekali tidak peduli akan dirinya dan kehamilannya. “Calista?” Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana saat menjawab panggilannya. “Tolong ...” ucap Calista lirih sambil meringis lagi, berusaha menahan setiap kontraksi yang dirasakannya. “Tolong, sepertinya aku mau melahirkan.” “Apa ... suami kamu ke mana, Calista?” Nada suara Gondo terdengar bingung saat mendengar tangis lirih Calista. &
Calista menatap kedua orang yang berdiri di depan pintu itu dengan nanar. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk marah atau pun menangis karena proses bersalin yang baru saja dilaluinya. Di saat dia sedang bertarung nyawa untuk melahirkan, suaminya sedang berselingkuh dengan perempuan yang dikenalnya di klub malam. “Bu, saya permisi dulu ya. Kalau ada yang mau dibantu, pencet tombol merah ini saja,” ucap sang perawat sambil menunjuk ke tombol merah di bawah Calista. Calista mengangguk sembari memfokuskan dirinya pada bayi di gendongannya. Makhluk kecil tak berdosa ini tampak masih memejamkan mata dengan tenang dan mulai sesekali merengek. “Dia haus, butuh ASI dari ibunya,” ucap sang perawat sambil tersenyum pada Calista, lalu berjalan keluar dar