Wanita itu meringis kesakitan, menahan nyeri di perutnya yang terasa seperti mulas hebat. Calista melihat ke layar gawainya dengan frustasi sebelum pada akhirnya dia menekan nomor kontak yang baru saja disimpan dengan nama samaran seorang perempuan, hanya demi menghindari kecemburuan dari suami yang sama sekali tidak peduli akan dirinya dan kehamilannya.
“Calista?” Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana saat menjawab panggilannya.
“Tolong ...” ucap Calista lirih sambil meringis lagi, berusaha menahan setiap kontraksi yang dirasakannya. “Tolong, sepertinya aku mau melahirkan.”
“Apa ... suami kamu ke mana, Calista?” Nada suara Gondo terdengar bingung saat mendengar tangis lirih Calista.
&
Calista menatap kedua orang yang berdiri di depan pintu itu dengan nanar. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk marah atau pun menangis karena proses bersalin yang baru saja dilaluinya. Di saat dia sedang bertarung nyawa untuk melahirkan, suaminya sedang berselingkuh dengan perempuan yang dikenalnya di klub malam. “Bu, saya permisi dulu ya. Kalau ada yang mau dibantu, pencet tombol merah ini saja,” ucap sang perawat sambil menunjuk ke tombol merah di bawah Calista. Calista mengangguk sembari memfokuskan dirinya pada bayi di gendongannya. Makhluk kecil tak berdosa ini tampak masih memejamkan mata dengan tenang dan mulai sesekali merengek. “Dia haus, butuh ASI dari ibunya,” ucap sang perawat sambil tersenyum pada Calista, lalu berjalan keluar dar
Matahari sudah sampai di puncak dan sedang terik-teriknya saat Emily sampai di rumah sakit. Perjalanan selama lima jam di mobil Jorge tidak membuatnya lelah, rasa khawatir dan senang bercampur aduk di dadanya, tidak menyangka akan memiliki cucu di usia yang masih di pertengahan empat puluh tahunan. “Astaga, Jorge. Semoga bayi itu dan Calista sehat-sehat.” Emily berulang kali mengucapkan perkataan itu di mobil, sepanjang perjalanan. Wajahnya tampak gugup dan cemas. “Seandainya aku bisa mendampingi Calista, tapi syukurlah dia bersama Eden. Eden pasti menemani dia sepanjang malam ya.” “Iya, Kak.”Jorge memfokuskan pandangannya lurus ke jalanan di depan. Jalan yang seakan tiada berujung, yang harus dia lalui kalau mau bertemu Calista. Sekarang tujuannya adalah rumah sakit di dekat pantai. Syuk
Jorge semakin curiga, Mata Calista terlihat nanar dan dia tampak kebingungan menjawab untuk sepersekian detik sebelum menjawab, “Ini aku yang ceroboh. Waktu berjalan terantuk bangku. Sakit sekali, untung tidak jatuh.”“Aduh, Dek. Kamu itu kalau jalan harus hati-hati! Perhatikan langkah, apalagi kamu sekarang sudah punya bayi, harus lebih waspada,” ucap Emily dengan cemas. “Kamu yakin nggak mau ditemani Ibu malam ini, Calista? Ibu bisa saja ijin meeting besok dan digantikan teman.”“Nggak apa Bu. Nggak usah pikirkan aku.” Calista berjalan tertatih sambil dituntun Emily. Langkahnya perlahan diawasi oleh Gondo dan Jorge yang duduk terdiam memperhatikan mereka.Begitu Calista dan Emily menghilang ke balik pintu toilet, pria itu menoleh ke Gondo yang juga sedang duduk termenung dan menanyakan hal sama, yang sebetulnya sudah ditanyakan sebelumnya.“Memang Eden ke mana sebetulnya? Sudah hampir dua jam kita ad
Calista terdiam di sudut kamar dengan tatapan kosong. Air mata sudah tidak bisa lagi keluar dari sudut matanya, terlalu sakit dan rasa hina mendera dirinya. Ia ingin lari dari siksaan suaminya tapi tidak bisa. Pria itu terus menghina dirinya, apalagi tadi pagi ia ingin berhubungan tapi ditolak oleh Calista. Flash Back Off “Eden...” Wanita itu menatap Eden, ketakutan memenuhi pikirannnya tapi diberanikan dirinya menantang mata pria itu. “Aku baru saja pulang dan Alex Jr. kubawa dengan selamat. Dia sehat seperti bayi-bayi lain. Kamu kelihatan sama sekali tidak peduli dengan kehadiran bayi kamu sendiri, Eden! Kamu malah sibuk dengan selingkuhanmu itu dan sama sekali tidak mempe
Suara klakson mobil dan bisingnya jalan raya tidak membuat Jorge menjadi kesal karena harus berpacu waktu antara jam kerja dan kepadatan jalan raya. Sebaliknya pikirannya sibuk dengan rasa curiga dan kekhawatiran. Usaha untuk mengalihkan rasa cemasnya tidak berhasil, percuma saja dia berusaha berpikir positif. Kak Emily sedang sibuk dengan persiapan presentasi seminar-nya dan dia tidak curiga sama sekali dengan ketidakhadiran Eden bahkan memar di tubuh Calista. Apa dirinya yang terlalu suudzon? Feelingnya kurang enak. Jorge tiba-tiba mengambil ponsel di sampingnya dan mencari nomor kontak keponakan angkatnya itu. Dia menekan tombol loud speaker sehingga bisa sambil memfokuskan dir
Jorge melajukan mobilnya memasuki area pantai, lokasi tempat tinggal Calista dan suaminya berada. Kemeja yang tadinya rapih, sudah siap untuk ke kantor sekarang sudah lusuh karena duduk berjam-jam di dalam mobil. Hari sudah menjelang siang dan matahari semakin terik. Dia melihat villa pinggir pantai itu dan memarkirkan mobilnya di sisi bangunan. Mungkin Calista akan bingung melihat dia datang sendiri di hari kerja seperti ini, tapi dia tidak peduli. Hanya ingin memastikan keadaan wanita itu baik-baik saja. Wanita itu ... keponakan angkatnya. Jorge turun dari mobil setelah merapikan rambutnya yang acak-acakan sepanjang jalan di kaca spion tengah. Kakinya melangkah dan tangannya menekan tombol otomatis untuk mengunci mobil, lalu menaiki undakan tangga menuju pintu rumah yang terbuat dari pintu berbingkai kayu yang tercat putih.&nbs
“Lepaskan pisaumu, Eden!” Jorge berjalan memutar saat Eden berjalan mendekatinya dari sisi kiri dengan perlahan sambil tetap memegang pisau yang terhunus ke depan.“Berisik!” desis Eden dengan mata sayu. Terlihat sekali kalau dia sedang berada di bawah pengaruh obat, membuat Jorge emosi bercampur khawatir bagaimana Calista selama ini hidup dengan pria seperti ini.Eden hendak menusuk Jorge, tapi karena gerakan yang tidak terkontrol membuat Jorge mudah mengelak. Malahan dia berlari dan memegang gagang sapu yang ada di ujung kamar.Bruakk!Jorge memukul punggung dan kepala Eden hingga pria itu jatuh dan tidak sadarkan diri. Untuk beberapa saat, pria itu merasa panik. Jorge membungkuk dan mengguncangkan badan Eden, tidak ada pergerakan.Astaga, apa aku sudah menjadi pembunuh? pikirnya dengan rasa cemas yang berlebihan. Apakah dia mati?“Ehmmm,” gumam Eden setelah beberapa detik, membuat Jorge menghela nafas l
Jorge duduk di teras dan mendengar sirene mobil polisi dari kejauhan. Mobil polisi berwarna hitam putih dengan lampu sirene di atasnya melaju dengan cepat dan berhenti persis di depan villa Eden. Dua orang polisi keluar dari mobil, satu berbadan gemuk dan satu lagi berkumis tebal. “Siang Pak, ada telepon yang mengatakan kalau ia diserang oleh pria mabuk dan pemakai narkoba,” seru polisi berbadan gemuk itu, berjalan mendekat ke Jorge. “Iya, saya pria itu. Dia sudah saya amankan di kamar, masih pingsan tidak sadarkan diri.” Jorge berdiri lalu mempersilakan kedua polisi itu untuk masuk. “Silakan masuk dan lihat saja, Pak.” Bunyi langkah kaki kedua polisi yang berjalan di depan Jorge tampak keras terdengar di rumah yang hening tanpa