Suara klakson mobil dan bisingnya jalan raya tidak membuat Jorge menjadi kesal karena harus berpacu waktu antara jam kerja dan kepadatan jalan raya. Sebaliknya pikirannya sibuk dengan rasa curiga dan kekhawatiran. Usaha untuk mengalihkan rasa cemasnya tidak berhasil, percuma saja dia berusaha berpikir positif.
Kak Emily sedang sibuk dengan persiapan presentasi seminar-nya dan dia tidak curiga sama sekali dengan ketidakhadiran Eden bahkan memar di tubuh Calista.
Apa dirinya yang terlalu suudzon?
Feelingnya kurang enak. Jorge tiba-tiba mengambil ponsel di sampingnya dan mencari nomor kontak keponakan angkatnya itu.
Dia menekan tombol loud speaker sehingga bisa sambil memfokuskan dir
Jorge melajukan mobilnya memasuki area pantai, lokasi tempat tinggal Calista dan suaminya berada. Kemeja yang tadinya rapih, sudah siap untuk ke kantor sekarang sudah lusuh karena duduk berjam-jam di dalam mobil. Hari sudah menjelang siang dan matahari semakin terik. Dia melihat villa pinggir pantai itu dan memarkirkan mobilnya di sisi bangunan. Mungkin Calista akan bingung melihat dia datang sendiri di hari kerja seperti ini, tapi dia tidak peduli. Hanya ingin memastikan keadaan wanita itu baik-baik saja. Wanita itu ... keponakan angkatnya. Jorge turun dari mobil setelah merapikan rambutnya yang acak-acakan sepanjang jalan di kaca spion tengah. Kakinya melangkah dan tangannya menekan tombol otomatis untuk mengunci mobil, lalu menaiki undakan tangga menuju pintu rumah yang terbuat dari pintu berbingkai kayu yang tercat putih.&nbs
“Lepaskan pisaumu, Eden!” Jorge berjalan memutar saat Eden berjalan mendekatinya dari sisi kiri dengan perlahan sambil tetap memegang pisau yang terhunus ke depan.“Berisik!” desis Eden dengan mata sayu. Terlihat sekali kalau dia sedang berada di bawah pengaruh obat, membuat Jorge emosi bercampur khawatir bagaimana Calista selama ini hidup dengan pria seperti ini.Eden hendak menusuk Jorge, tapi karena gerakan yang tidak terkontrol membuat Jorge mudah mengelak. Malahan dia berlari dan memegang gagang sapu yang ada di ujung kamar.Bruakk!Jorge memukul punggung dan kepala Eden hingga pria itu jatuh dan tidak sadarkan diri. Untuk beberapa saat, pria itu merasa panik. Jorge membungkuk dan mengguncangkan badan Eden, tidak ada pergerakan.Astaga, apa aku sudah menjadi pembunuh? pikirnya dengan rasa cemas yang berlebihan. Apakah dia mati?“Ehmmm,” gumam Eden setelah beberapa detik, membuat Jorge menghela nafas l
Jorge duduk di teras dan mendengar sirene mobil polisi dari kejauhan. Mobil polisi berwarna hitam putih dengan lampu sirene di atasnya melaju dengan cepat dan berhenti persis di depan villa Eden. Dua orang polisi keluar dari mobil, satu berbadan gemuk dan satu lagi berkumis tebal. “Siang Pak, ada telepon yang mengatakan kalau ia diserang oleh pria mabuk dan pemakai narkoba,” seru polisi berbadan gemuk itu, berjalan mendekat ke Jorge. “Iya, saya pria itu. Dia sudah saya amankan di kamar, masih pingsan tidak sadarkan diri.” Jorge berdiri lalu mempersilakan kedua polisi itu untuk masuk. “Silakan masuk dan lihat saja, Pak.” Bunyi langkah kaki kedua polisi yang berjalan di depan Jorge tampak keras terdengar di rumah yang hening tanpa
Setiap tapak meninggalkan jejak di pasir saat Jorge berjalan ke pinggir pantai. Matanya memicing karena menantang matahari yang menghalangi penglihatannya, dia menatap beberapa rumah yang memang tampak berjauhan satu sama lain. Jorge baru saja dari rumah sebelah kiri, milik sepasang suami isteri yang mengatakan kalau mereka jarang saling bertegur sapa karena Eden memang pria yang tidak disukai di pantai itu. Dia juga mendapat info kalau Calista pernah jalan berdua dengan tetangganya yang bernama Gondo, lalu menunjukkan rumahnya yang terletak tidak jauh dari villa Calista. Jorge berjalan lagi ke sebelah kanan rumah Calista, melihat rumah yang dicat cokelat muda dan bertanamkan kaktus di kedua sisi rumah. Jorge kenal dengan Gondo, dia tidak lupa dengan tetangga Calista di rumah sakit yang tampak ramah. Apa dia mengetahui ke mana keponaka
Jantung Emily seperti berhenti berdetak saat Jorge menceritakan segalanya, badannya terasa lemas dan pegangan tangannya mengendur hingga .... Prang!! Gelas kaca yang dipegangnya pecah dan serpihannya pecah berhamburan di lantai bercampur dengan cairan teh hangat. “Kak!” Jorge hendak memapah badan kakak iparnya yang tampak lemas itu ke kursi tapi Emily menepis dengan halus. “Tidak apa, Jorge. Aku bisa sendiri.” Emily berjalan ke kursi dan duduk dengan wajah pucat.Shock membuat pikirannya terasa buntu. Matanya nanar menatap ke seluruh ruangan. Jorge mengambil sapu yang digeletakkan di belak
Suara gemerisik daun dan angin sepoi-sepoi membuat Alex Jr. tertidur pulas dalam dekapan Calista. Seluruh pekerjaan sudah selesai dan dia sekarang duduk tidak jauh dari Bu Sulis di halaman tengah. Wanita itu tampak bersantai di bawah payung besar setelah berenang hanya satu putaran di kolam renang pribadi yang tidak terlalu luas. Dia memejamkan mata dengan tenang. “Kerja-mu bagus juga, Calista. lantai rumah cukup bersih dan kaca jendela juga. Cukup bagus untuk hari pertama.” “Terima kasih Bu.”Calista tersenyum tipis, pekerjaan seperti ini sudah biasa dia lakukan di rumah. Emily termasuk wanita yang super bersih dan sedari kecil dia diajarkan menjaga kebersihan rumah!“Kamu tidak usah kerja terlalu berat dulu sampai betul
Angin sepoi-sepoi memainkan rambut Calista saat dia sedang menggendong Alex Jr. Hijau rerumputan memanjakan mata dan perasaanya cukup tenang di luar sini. Tugas-nya menyeterika baju dan membersihkan ruang makan dan tamu baru saja selesai. Alex Jr. baru saja selesai menyusu dan sekarang bayi itu sudah tertidur pulas. Calista sendiri sedang melamun, menatap ke langit yang sudah kemerah-merahan karena matahari yang hampir terbenam. Rudi baru saja masuk setelah selesai menyiram tanaman dan tinggallah wanita itu berdua dengan bayi dalam gendongannya. Baru saja beberapa saat merasakan ketenangan, dia mendengar sedikit kegaduhan dari dalam rumah. Teriakan Isabel memanggil-manggil Wina terdengar cukup keras hingga ke halaman. “Wina!! Wina!” serunya dari ruang tamu, tida
“Di belakang ada tulisan “Untuk Arisan’!” pekik Wina kaget, tidak menghiraukan pertanyaan Calista. Dia mengangsurkan amplop itu ke tangan Isabel . “Coba periksa Non. Apa betul itu punya Non Isabel?” Sorot mata Calista yang terlihat bingung beradu pandang dengan tatapan tajam Isabel sebelum membuka amplop dan menghitung lembaran demi lembaran uang di dalamnya.Nada suaranya rendah dan menggeram, “Iya, ini punyaku. Calista, kenapa bisa ada di laci meja kamu?!”“Sudah jelas kan, Non! Tidak usah dipertanyakan lagi!” Wina mendelik padanya dengan tatapan mencela.“Calista, kamu sudah mengambil uangku! Beraninya kamu, padahal Ibuku sudah berbaik hati mau menerima kamu yang bawa bayi untuk tinggal di sini!” tuduh Isabel dengan wajah senewen. Mukanya merah penuh emosi dan giginya digemeretakkan.“Nggak, Non. Aku sa