Suara gemerisik daun dan angin sepoi-sepoi membuat Alex Jr. tertidur pulas dalam dekapan Calista. Seluruh pekerjaan sudah selesai dan dia sekarang duduk tidak jauh dari Bu Sulis di halaman tengah.
Wanita itu tampak bersantai di bawah payung besar setelah berenang hanya satu putaran di kolam renang pribadi yang tidak terlalu luas. Dia memejamkan mata dengan tenang.
“Kerja-mu bagus juga, Calista. lantai rumah cukup bersih dan kaca jendela juga. Cukup bagus untuk hari pertama.”
“Terima kasih Bu.”
Calista tersenyum tipis, pekerjaan seperti ini sudah biasa dia lakukan di rumah. Emily termasuk wanita yang super bersih dan sedari kecil dia diajarkan menjaga kebersihan rumah!
“Kamu tidak usah kerja terlalu berat dulu sampai betul
Angin sepoi-sepoi memainkan rambut Calista saat dia sedang menggendong Alex Jr. Hijau rerumputan memanjakan mata dan perasaanya cukup tenang di luar sini. Tugas-nya menyeterika baju dan membersihkan ruang makan dan tamu baru saja selesai. Alex Jr. baru saja selesai menyusu dan sekarang bayi itu sudah tertidur pulas. Calista sendiri sedang melamun, menatap ke langit yang sudah kemerah-merahan karena matahari yang hampir terbenam. Rudi baru saja masuk setelah selesai menyiram tanaman dan tinggallah wanita itu berdua dengan bayi dalam gendongannya. Baru saja beberapa saat merasakan ketenangan, dia mendengar sedikit kegaduhan dari dalam rumah. Teriakan Isabel memanggil-manggil Wina terdengar cukup keras hingga ke halaman. “Wina!! Wina!” serunya dari ruang tamu, tida
“Di belakang ada tulisan “Untuk Arisan’!” pekik Wina kaget, tidak menghiraukan pertanyaan Calista. Dia mengangsurkan amplop itu ke tangan Isabel . “Coba periksa Non. Apa betul itu punya Non Isabel?” Sorot mata Calista yang terlihat bingung beradu pandang dengan tatapan tajam Isabel sebelum membuka amplop dan menghitung lembaran demi lembaran uang di dalamnya.Nada suaranya rendah dan menggeram, “Iya, ini punyaku. Calista, kenapa bisa ada di laci meja kamu?!”“Sudah jelas kan, Non! Tidak usah dipertanyakan lagi!” Wina mendelik padanya dengan tatapan mencela.“Calista, kamu sudah mengambil uangku! Beraninya kamu, padahal Ibuku sudah berbaik hati mau menerima kamu yang bawa bayi untuk tinggal di sini!” tuduh Isabel dengan wajah senewen. Mukanya merah penuh emosi dan giginya digemeretakkan.“Nggak, Non. Aku sa
“Jangan sembarangan nuduh, Win! Aku nggak merasa pernah ambil amplop itu, apalagi diletakkan di lemari pakaian!”“Alah, maling mana ngaku maling!! Sudahlah Calista, akui saja kalau kamu memang mengambilnya! Mana ada uang jalan sendiri?!” ejek Wina sambil bersender di dinding pintu dengan tatapan mencela.Dia memainkan kuku-kuku putihnya yang dicat kuteks berwarna pink muda. Kontras dengan kulitnya yang berwarna cokelat gelap.Calista terdiam dengan wajah jengkel lalu menudingkan jari telunjuk-nya persis ke wajah Wina. “Ingat aja kalau aku memang nggak salah. Karma akan selalu ada, Win! Ini berlaku buat siapa pun yang menjerumuskanku!”Dia membanting pintu tepat di depan wajah Wina sehingga wajah gadis itu merona merah penuh emosi.“Sial! Sombong sekali sih dia!” sungutnya sambil melangkah kembali ke dapur. “Biarin, emang enak dipecat sama Non Isabel!!”Sementara itu, Calista yang ka
Suara langkah maling itu yang berlari dengan cepat, terdengar nyaring di jalanan lengang. Mata nyalang Calista menatap maling itu yang dengan segera naik ke boncengan motor.“Tolong! Maling!! Maling!”Calista menatap ke kiri dan kanan tapi percuma karena tidak ada orang di sekelilingnya. Otaknya beku, tak mampu berpikir. Ingin rasanya ia mengejar maling itu tapi ada Alex Jr dalam gendongannya yang seketika itu juga langsung menjerit. Suara tangisannya bercampur dengan suara teriakan Calista.Brummmm!Deru sepeda motor yang keras menandingi suara keduanya. Degup jantung keras wanita itu terpacu saat dua orang pria di motor menghilang tanpa bekas, hanya menyisakan asap knalpot yang membuat Calista sedikit terbatuk.Badannya gemetar dan matanya tertutup kabut genangan air mata sementara Alex Jr. masih menjerit di pelukannya. Dia masih hilang sadar untuk menenangkan anaknya itu. Bahkan dia sendiri perlu ditenangkan.Astaga, semua uan
Matahari terik sedikit mengganggu penglihatan Jorge, maka dia memakai kacamata berlensa cokelat untuk meneduhkan matanya. Bau asin air laut dan suara debur ombak yang samar-samar terdengar saat kaki Jorge menapak ke pasir pantai. Dia memarkirkan mobilnya di depan rumah Gondo. Rumah yang ditungguinya waktu itu hampir dua jam lamanya. Mudah-mudahan kali ini ada orang. Bunyi sepatunya keras terdengar di teras rumah kontrakan Gondo. Tempatnya memang tidak terlalu luas tapi cukup rapih dan sepertinya nyaman untuk ditempati. Hawa siang hari di tempat seperti ini cukup panas. Untung Jorge memakai kaos putih yang bahannya cukup nyaman di kulit. Dia mendengar suara kran air yang mengalir dengan deras di kamar mandi dan menghela nafas lega. Berarti ada orang di rumah ini yan
“Apa?? Katamu kenalanmu itu orang baik! Kenapa mereka menuduh Calista mengambil uang? Aku tahu kalau Calista itu jujur! Dari dulu dia tidak pernah berbuat nakal atau mengutil uang siapa pun!” cecar Jorge pada akhirnya dengan wajah emosi.“Antarkan aku ke sana! Aku mau menjemput Calista dan bayinya!” Jorge dengan segera beranjak berdiri dan berjalan ke jendela dengan gelisah.“Sebentar, aku telepon Calista dulu.” Gondo menekan nomor telepon Calista dan mendengarkannya beberapa kali.“Tidak ada nada dering atau apa pun.” Gondo tampak menatap Jorge dengan cemas. “Apa dia sudah pergi?”“Cepat antar ke sana, Gondo! Kamu ikut bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan Calista!” geram Jorge sambil berjalan melangkah keluar dari ruangan dengan wajah kesal.“Tunggu? Salahku? Aku justru menolong Calista!” balas Gondo dengan nada sedikit tinggi, tapi rasanya percuma karena Jor
Sarat dengan kecemasan, Jorge beradu pandang dengan Gondo yang merasakan hal sama. Calista masih duduk diam sambil memeluk bayinya yang tiba-tiba menangis keras. Wanita itu menatap Alex Jr. lalu berkata dengan lirih. “Cup, cup, Alex, sebentar ya.” Calista langsung mengeluarkan payudaranya untuk menyusui. Gondo dan Jorge yang kaget, membuang muka ke arah lain. Dalam rentang waktu yang cukup lama, hanya ada keheningan di antara mereka dengan berbagai pikiran galau. Membuat Jorge diam-diam melirik ke arah Calista yang ternyata sudah menutup asetnya dengan sehelai kain. “Calista?” tanya Jorge dengan hati-hati. “Pulang yuk. Aku dan Ibumu khawatir sekali.” “Khawatir? Ibuku?” Calista balas bertanya sambil melihat ke arah Jorge. “Ibuku ada di mana?” “Di rumah, Calista.” Jorge berkata dengan tenang walaupun jauh dalam hati dia merasa sangat senewen. “Ibumu sedang menunggu, cemas sekali.” “Aku mau pulang.” Tiba-tiba wanita itu mena
“Semua perlu waktu, Emily. Aku yakin kalau Calista pasti kembali seperti dulu,” hibur Jorge dengan wajah yang sama lelah-nya. Sudah hampir satu bulan, wanita itu berada di rumah dan emosi wanita itu masih sangat labil. Jorge berjalan ke arah dapur dan melewati kamar Calista. Pintu-nya sedikit terbuka dan dia mengintip wanita itu yang ternyata sedang tertidur lelap, bersama Alex Jr. di kotak box bayinya. Jorge melihat beberapa plastik klip obat yang diletakkan di atas meja, dan menduga Calista pasti baru meminumnya. Obat penenang itu memang menimbulkan rasa kantuk yang luar biasa. Psikiater dari klinik mengingatkan Jorge dan Emily untuk memastikan Calista selalu meminum-nya setiap hari. Wanita itu masih menangis dan meringkuk di sudut ruangan bila efek o