Matahari terik sedikit mengganggu penglihatan Jorge, maka dia memakai kacamata berlensa cokelat untuk meneduhkan matanya. Bau asin air laut dan suara debur ombak yang samar-samar terdengar saat kaki Jorge menapak ke pasir pantai. Dia memarkirkan mobilnya di depan rumah Gondo. Rumah yang ditungguinya waktu itu hampir dua jam lamanya.
Mudah-mudahan kali ini ada orang.
Bunyi sepatunya keras terdengar di teras rumah kontrakan Gondo. Tempatnya memang tidak terlalu luas tapi cukup rapih dan sepertinya nyaman untuk ditempati. Hawa siang hari di tempat seperti ini cukup panas. Untung Jorge memakai kaos putih yang bahannya cukup nyaman di kulit.
Dia mendengar suara kran air yang mengalir dengan deras di kamar mandi dan menghela nafas lega. Berarti ada orang di rumah ini yan
“Apa?? Katamu kenalanmu itu orang baik! Kenapa mereka menuduh Calista mengambil uang? Aku tahu kalau Calista itu jujur! Dari dulu dia tidak pernah berbuat nakal atau mengutil uang siapa pun!” cecar Jorge pada akhirnya dengan wajah emosi.“Antarkan aku ke sana! Aku mau menjemput Calista dan bayinya!” Jorge dengan segera beranjak berdiri dan berjalan ke jendela dengan gelisah.“Sebentar, aku telepon Calista dulu.” Gondo menekan nomor telepon Calista dan mendengarkannya beberapa kali.“Tidak ada nada dering atau apa pun.” Gondo tampak menatap Jorge dengan cemas. “Apa dia sudah pergi?”“Cepat antar ke sana, Gondo! Kamu ikut bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan Calista!” geram Jorge sambil berjalan melangkah keluar dari ruangan dengan wajah kesal.“Tunggu? Salahku? Aku justru menolong Calista!” balas Gondo dengan nada sedikit tinggi, tapi rasanya percuma karena Jor
Sarat dengan kecemasan, Jorge beradu pandang dengan Gondo yang merasakan hal sama. Calista masih duduk diam sambil memeluk bayinya yang tiba-tiba menangis keras. Wanita itu menatap Alex Jr. lalu berkata dengan lirih. “Cup, cup, Alex, sebentar ya.” Calista langsung mengeluarkan payudaranya untuk menyusui. Gondo dan Jorge yang kaget, membuang muka ke arah lain. Dalam rentang waktu yang cukup lama, hanya ada keheningan di antara mereka dengan berbagai pikiran galau. Membuat Jorge diam-diam melirik ke arah Calista yang ternyata sudah menutup asetnya dengan sehelai kain. “Calista?” tanya Jorge dengan hati-hati. “Pulang yuk. Aku dan Ibumu khawatir sekali.” “Khawatir? Ibuku?” Calista balas bertanya sambil melihat ke arah Jorge. “Ibuku ada di mana?” “Di rumah, Calista.” Jorge berkata dengan tenang walaupun jauh dalam hati dia merasa sangat senewen. “Ibumu sedang menunggu, cemas sekali.” “Aku mau pulang.” Tiba-tiba wanita itu mena
“Semua perlu waktu, Emily. Aku yakin kalau Calista pasti kembali seperti dulu,” hibur Jorge dengan wajah yang sama lelah-nya. Sudah hampir satu bulan, wanita itu berada di rumah dan emosi wanita itu masih sangat labil. Jorge berjalan ke arah dapur dan melewati kamar Calista. Pintu-nya sedikit terbuka dan dia mengintip wanita itu yang ternyata sedang tertidur lelap, bersama Alex Jr. di kotak box bayinya. Jorge melihat beberapa plastik klip obat yang diletakkan di atas meja, dan menduga Calista pasti baru meminumnya. Obat penenang itu memang menimbulkan rasa kantuk yang luar biasa. Psikiater dari klinik mengingatkan Jorge dan Emily untuk memastikan Calista selalu meminum-nya setiap hari. Wanita itu masih menangis dan meringkuk di sudut ruangan bila efek o
Jorge membalikkan badan, hendak keluar dari kamar untuk mencari Calista. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara tangisan bayi. Pria itu membalikkan badan dan matanya memindai ke seluruh ruangan hingga berhenti di sudut. Jorge tersentak saat melihat Calista dan bayinya yang sedang duduk merapat di dinding kamar.“Calista?” Jorge berjalan dengan perlahan, khawatir mengganggu wanita itu.“Takut.” Calista berkata lirih sambil memeluk bayinya dengan erat. “Aku takut.”Badan wanita itu gemetar dan tampaknya hal yang sama dirasakan oleh Alex Jr. Muka bayi itu memerah di dalam pelukan ibu-nya. Jorge beringsut mendekati Calista dengan perlahan, hingga pria itu ikut berjongkok di samping Calista.“Ssttt, tenang. Itu hanya petir. Kalau hujannya reda, petirnya juga akan menghilang.” Jorge berkata dengan lembut, menenangkan wanita itu seperti menenangkan anak kecil.Calista tidak menjawab apa-apa, di
“Jorge.”Wanita itu berdiri di depan pagar rumah, menatap Jorge dengan pandangan sayu-nya. Berbeda dengan Dahlia yang dulu, penuh dengan rasa percaya diri. Kelakuan Eden, adiknya sendiri membuat nama baiknya tercoreng. “Boleh aku masuk?” tanya Dahlia lagi karena tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk membukakan pintu-nya. Emily melirik ke arah Jorge yang diam saja, memberikan isyarat agar pria itu membukakan pintu pagar. Jorge pun melangkah dengan malas. Tangannya membuka grendel pintu dan mempersilakan Dahlia untuk masuk. “Terima kasih, Jorge,” ucap Dahlia sambil mengangguk pada Emily, lalu melihat ke arah bayi yang digendong Calista sambil tersenyum lebar. “Aduh, bayi yang tampan.”&
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d