Suara langkah maling itu yang berlari dengan cepat, terdengar nyaring di jalanan lengang. Mata nyalang Calista menatap maling itu yang dengan segera naik ke boncengan motor.
“Tolong! Maling!! Maling!”
Calista menatap ke kiri dan kanan tapi percuma karena tidak ada orang di sekelilingnya. Otaknya beku, tak mampu berpikir. Ingin rasanya ia mengejar maling itu tapi ada Alex Jr dalam gendongannya yang seketika itu juga langsung menjerit. Suara tangisannya bercampur dengan suara teriakan Calista.
Brummmm!
Deru sepeda motor yang keras menandingi suara keduanya. Degup jantung keras wanita itu terpacu saat dua orang pria di motor menghilang tanpa bekas, hanya menyisakan asap knalpot yang membuat Calista sedikit terbatuk.
Badannya gemetar dan matanya tertutup kabut genangan air mata sementara Alex Jr. masih menjerit di pelukannya. Dia masih hilang sadar untuk menenangkan anaknya itu. Bahkan dia sendiri perlu ditenangkan.
Astaga, semua uan
Matahari terik sedikit mengganggu penglihatan Jorge, maka dia memakai kacamata berlensa cokelat untuk meneduhkan matanya. Bau asin air laut dan suara debur ombak yang samar-samar terdengar saat kaki Jorge menapak ke pasir pantai. Dia memarkirkan mobilnya di depan rumah Gondo. Rumah yang ditungguinya waktu itu hampir dua jam lamanya. Mudah-mudahan kali ini ada orang. Bunyi sepatunya keras terdengar di teras rumah kontrakan Gondo. Tempatnya memang tidak terlalu luas tapi cukup rapih dan sepertinya nyaman untuk ditempati. Hawa siang hari di tempat seperti ini cukup panas. Untung Jorge memakai kaos putih yang bahannya cukup nyaman di kulit. Dia mendengar suara kran air yang mengalir dengan deras di kamar mandi dan menghela nafas lega. Berarti ada orang di rumah ini yan
“Apa?? Katamu kenalanmu itu orang baik! Kenapa mereka menuduh Calista mengambil uang? Aku tahu kalau Calista itu jujur! Dari dulu dia tidak pernah berbuat nakal atau mengutil uang siapa pun!” cecar Jorge pada akhirnya dengan wajah emosi.“Antarkan aku ke sana! Aku mau menjemput Calista dan bayinya!” Jorge dengan segera beranjak berdiri dan berjalan ke jendela dengan gelisah.“Sebentar, aku telepon Calista dulu.” Gondo menekan nomor telepon Calista dan mendengarkannya beberapa kali.“Tidak ada nada dering atau apa pun.” Gondo tampak menatap Jorge dengan cemas. “Apa dia sudah pergi?”“Cepat antar ke sana, Gondo! Kamu ikut bertanggung jawab kalau ada apa-apa dengan Calista!” geram Jorge sambil berjalan melangkah keluar dari ruangan dengan wajah kesal.“Tunggu? Salahku? Aku justru menolong Calista!” balas Gondo dengan nada sedikit tinggi, tapi rasanya percuma karena Jor
Sarat dengan kecemasan, Jorge beradu pandang dengan Gondo yang merasakan hal sama. Calista masih duduk diam sambil memeluk bayinya yang tiba-tiba menangis keras. Wanita itu menatap Alex Jr. lalu berkata dengan lirih. “Cup, cup, Alex, sebentar ya.” Calista langsung mengeluarkan payudaranya untuk menyusui. Gondo dan Jorge yang kaget, membuang muka ke arah lain. Dalam rentang waktu yang cukup lama, hanya ada keheningan di antara mereka dengan berbagai pikiran galau. Membuat Jorge diam-diam melirik ke arah Calista yang ternyata sudah menutup asetnya dengan sehelai kain. “Calista?” tanya Jorge dengan hati-hati. “Pulang yuk. Aku dan Ibumu khawatir sekali.” “Khawatir? Ibuku?” Calista balas bertanya sambil melihat ke arah Jorge. “Ibuku ada di mana?” “Di rumah, Calista.” Jorge berkata dengan tenang walaupun jauh dalam hati dia merasa sangat senewen. “Ibumu sedang menunggu, cemas sekali.” “Aku mau pulang.” Tiba-tiba wanita itu mena
“Semua perlu waktu, Emily. Aku yakin kalau Calista pasti kembali seperti dulu,” hibur Jorge dengan wajah yang sama lelah-nya. Sudah hampir satu bulan, wanita itu berada di rumah dan emosi wanita itu masih sangat labil. Jorge berjalan ke arah dapur dan melewati kamar Calista. Pintu-nya sedikit terbuka dan dia mengintip wanita itu yang ternyata sedang tertidur lelap, bersama Alex Jr. di kotak box bayinya. Jorge melihat beberapa plastik klip obat yang diletakkan di atas meja, dan menduga Calista pasti baru meminumnya. Obat penenang itu memang menimbulkan rasa kantuk yang luar biasa. Psikiater dari klinik mengingatkan Jorge dan Emily untuk memastikan Calista selalu meminum-nya setiap hari. Wanita itu masih menangis dan meringkuk di sudut ruangan bila efek o
Jorge membalikkan badan, hendak keluar dari kamar untuk mencari Calista. Namun, langkah kakinya terhenti saat mendengar suara tangisan bayi. Pria itu membalikkan badan dan matanya memindai ke seluruh ruangan hingga berhenti di sudut. Jorge tersentak saat melihat Calista dan bayinya yang sedang duduk merapat di dinding kamar.“Calista?” Jorge berjalan dengan perlahan, khawatir mengganggu wanita itu.“Takut.” Calista berkata lirih sambil memeluk bayinya dengan erat. “Aku takut.”Badan wanita itu gemetar dan tampaknya hal yang sama dirasakan oleh Alex Jr. Muka bayi itu memerah di dalam pelukan ibu-nya. Jorge beringsut mendekati Calista dengan perlahan, hingga pria itu ikut berjongkok di samping Calista.“Ssttt, tenang. Itu hanya petir. Kalau hujannya reda, petirnya juga akan menghilang.” Jorge berkata dengan lembut, menenangkan wanita itu seperti menenangkan anak kecil.Calista tidak menjawab apa-apa, di
“Jorge.”Wanita itu berdiri di depan pagar rumah, menatap Jorge dengan pandangan sayu-nya. Berbeda dengan Dahlia yang dulu, penuh dengan rasa percaya diri. Kelakuan Eden, adiknya sendiri membuat nama baiknya tercoreng. “Boleh aku masuk?” tanya Dahlia lagi karena tidak ada seorang pun yang berinisiatif untuk membukakan pintu-nya. Emily melirik ke arah Jorge yang diam saja, memberikan isyarat agar pria itu membukakan pintu pagar. Jorge pun melangkah dengan malas. Tangannya membuka grendel pintu dan mempersilakan Dahlia untuk masuk. “Terima kasih, Jorge,” ucap Dahlia sambil mengangguk pada Emily, lalu melihat ke arah bayi yang digendong Calista sambil tersenyum lebar. “Aduh, bayi yang tampan.”&
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela