Calista membuka pintu dan tampaklah sosok seorang wanita yang sangat dicintainya. Emily memakai dress terusan bermotif polkadot dan rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya masih tampak cantik di usia-nya yang sudah empat puluh lima tahun.
“Ibu!”
Calista memeluk ibu-nya dengan mata berbinar-binar senang. Aroma parfum Emily yang tetap sama, wangi bunga-bungaan memenuhi indera penciuman Calista. Perasaan senang menyeruak dalam diri Calista saat melihat wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu.
“Calista sayang, Ibu bawakan kue kesukaan kamu. Oh iya, sama lauk untuk makan siang, ikan mujair bakar sambel mangga, lalapan sambel dan tumis daun pepaya.”
Mulut Calista langsung seketika berair saat melihat piring besar dengan ikan bakar di atasnya yang ditutupi plastik wrap transparan, di sampingnya ada rantang makanan. Belum lama wanita itu meneguk ludah, suara pintu mobil yang ditutup membuatnya menengok.
Sorot mata y
Mata awasnya melihat serbuk putih yang berceceran, dia berjalan perlahan sambil menunduk dan nyaris berjongkok untuk memegang serbuk itu sebelum dikagetkan oleh suara Eden di belakangnya.“Ada apa Paman? Ada yang bisa dibantu?”Jorge menoleh dan melihat lelaki muda itu yang ternyata sedang berdiri dan mengawasi dirinya. Mata mereka saling beradu pandang sebelum Jorge mengedikkan bahu acuh tak acuh.‘Tidak ada apa-apa.”Dia melangkah melewati Eden, berusaha tenang namun penuh dengan rasa curiga. Jorge duduk dan melihat keponakan angkatnya yang sedang mendengarkan Emily yang sedang bercerita.Feelingnya memang kurang baik tapi dia tidak mau gegabah. Calista sedang hamil jadi dia tidak boleh terlalu banyak pikiran. Jorge mengamati lagi lelaki muda, suami Calista yang sudah ikut duduk bersama mereka sambil mendengarkan.Sesekali Eden mengatakan sesuatu yang membuat Emily tertawa. Calista pun tampak selalu tersenyum sambil
Kafe yang bernuansa pantai itu tampak ramai pada malam hari dengan beberapa pengunjung lokal, seorang penyanyi perempuan lokal yang memakai dress casual berwarna kuning cerah sedang duduk sambil menyanyi diiringi oleh alunan gitar akustik dari pria di sampingnya. Calista berjalan perlahan ke ujung ruangan diikuti oleh Gondo di belakang. Perut besar membuat jalannya sedikit lambat, dokter memperkirakan minggu ini mungkin dia akan lahiran. Sebetulnya dia sangat takut, Eden sering meninggalkan dia di saat seperti ini. Bagaimana kalau dia akan melahirkan saat suaminya itu tidak berada di rumah? Calista mendengar cerita orang-orang kalau melahirkan itu sangat sakit apalagi kalau sedang kontraksi. Di sisi lain, kehadiran janin di perutnya membangkitkan naluri keibuan di dalam dirinya. Hatinya hangat setiap dia mengelus perut besar itu. Belum melihat anak itu pun, rasa sayangnya sudah melimpah ruah. Dia duduk di kursi diikuti oleh Gondo di sampingnya. Matanya berbin
Wanita itu meringis kesakitan, menahan nyeri di perutnya yang terasa seperti mulas hebat. Calista melihat ke layar gawainya dengan frustasi sebelum pada akhirnya dia menekan nomor kontak yang baru saja disimpan dengan nama samaran seorang perempuan, hanya demi menghindari kecemburuan dari suami yang sama sekali tidak peduli akan dirinya dan kehamilannya. “Calista?” Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana saat menjawab panggilannya. “Tolong ...” ucap Calista lirih sambil meringis lagi, berusaha menahan setiap kontraksi yang dirasakannya. “Tolong, sepertinya aku mau melahirkan.” “Apa ... suami kamu ke mana, Calista?” Nada suara Gondo terdengar bingung saat mendengar tangis lirih Calista. &
Calista menatap kedua orang yang berdiri di depan pintu itu dengan nanar. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk marah atau pun menangis karena proses bersalin yang baru saja dilaluinya. Di saat dia sedang bertarung nyawa untuk melahirkan, suaminya sedang berselingkuh dengan perempuan yang dikenalnya di klub malam. “Bu, saya permisi dulu ya. Kalau ada yang mau dibantu, pencet tombol merah ini saja,” ucap sang perawat sambil menunjuk ke tombol merah di bawah Calista. Calista mengangguk sembari memfokuskan dirinya pada bayi di gendongannya. Makhluk kecil tak berdosa ini tampak masih memejamkan mata dengan tenang dan mulai sesekali merengek. “Dia haus, butuh ASI dari ibunya,” ucap sang perawat sambil tersenyum pada Calista, lalu berjalan keluar dar
Matahari sudah sampai di puncak dan sedang terik-teriknya saat Emily sampai di rumah sakit. Perjalanan selama lima jam di mobil Jorge tidak membuatnya lelah, rasa khawatir dan senang bercampur aduk di dadanya, tidak menyangka akan memiliki cucu di usia yang masih di pertengahan empat puluh tahunan. “Astaga, Jorge. Semoga bayi itu dan Calista sehat-sehat.” Emily berulang kali mengucapkan perkataan itu di mobil, sepanjang perjalanan. Wajahnya tampak gugup dan cemas. “Seandainya aku bisa mendampingi Calista, tapi syukurlah dia bersama Eden. Eden pasti menemani dia sepanjang malam ya.” “Iya, Kak.”Jorge memfokuskan pandangannya lurus ke jalanan di depan. Jalan yang seakan tiada berujung, yang harus dia lalui kalau mau bertemu Calista. Sekarang tujuannya adalah rumah sakit di dekat pantai. Syuk
Jorge semakin curiga, Mata Calista terlihat nanar dan dia tampak kebingungan menjawab untuk sepersekian detik sebelum menjawab, “Ini aku yang ceroboh. Waktu berjalan terantuk bangku. Sakit sekali, untung tidak jatuh.”“Aduh, Dek. Kamu itu kalau jalan harus hati-hati! Perhatikan langkah, apalagi kamu sekarang sudah punya bayi, harus lebih waspada,” ucap Emily dengan cemas. “Kamu yakin nggak mau ditemani Ibu malam ini, Calista? Ibu bisa saja ijin meeting besok dan digantikan teman.”“Nggak apa Bu. Nggak usah pikirkan aku.” Calista berjalan tertatih sambil dituntun Emily. Langkahnya perlahan diawasi oleh Gondo dan Jorge yang duduk terdiam memperhatikan mereka.Begitu Calista dan Emily menghilang ke balik pintu toilet, pria itu menoleh ke Gondo yang juga sedang duduk termenung dan menanyakan hal sama, yang sebetulnya sudah ditanyakan sebelumnya.“Memang Eden ke mana sebetulnya? Sudah hampir dua jam kita ad
Calista terdiam di sudut kamar dengan tatapan kosong. Air mata sudah tidak bisa lagi keluar dari sudut matanya, terlalu sakit dan rasa hina mendera dirinya. Ia ingin lari dari siksaan suaminya tapi tidak bisa. Pria itu terus menghina dirinya, apalagi tadi pagi ia ingin berhubungan tapi ditolak oleh Calista. Flash Back Off “Eden...” Wanita itu menatap Eden, ketakutan memenuhi pikirannnya tapi diberanikan dirinya menantang mata pria itu. “Aku baru saja pulang dan Alex Jr. kubawa dengan selamat. Dia sehat seperti bayi-bayi lain. Kamu kelihatan sama sekali tidak peduli dengan kehadiran bayi kamu sendiri, Eden! Kamu malah sibuk dengan selingkuhanmu itu dan sama sekali tidak mempe
Suara klakson mobil dan bisingnya jalan raya tidak membuat Jorge menjadi kesal karena harus berpacu waktu antara jam kerja dan kepadatan jalan raya. Sebaliknya pikirannya sibuk dengan rasa curiga dan kekhawatiran. Usaha untuk mengalihkan rasa cemasnya tidak berhasil, percuma saja dia berusaha berpikir positif. Kak Emily sedang sibuk dengan persiapan presentasi seminar-nya dan dia tidak curiga sama sekali dengan ketidakhadiran Eden bahkan memar di tubuh Calista. Apa dirinya yang terlalu suudzon? Feelingnya kurang enak. Jorge tiba-tiba mengambil ponsel di sampingnya dan mencari nomor kontak keponakan angkatnya itu. Dia menekan tombol loud speaker sehingga bisa sambil memfokuskan dir