Hari-hari berikutnya bagaikan neraka untuk Calista. Perutnya semakin membesar dan dia sering kram perut. Mood-nya juga berubah-rubah menjadi lebih labil, tapi Eden sering keluar rumah. Kadang dia bisa pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan memukuli Calista bila gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak disukainya.
“Berisik!!” seru Eden dengan wajah memerah sambil membawa sebotol minuman keras ke dalam ruang tamu. “Ini uang aku! Suka-suka aku dengan apa yang mau kukerjakan!”
Dia menjambak rambut Calista sehingga wanita itu menjerit kesakitan sambil mendekatkan wajahnya dan mendesis. “Dengar ya, kamu jadi isteri yang nurut sama suami. Jangan protes kalau aku mabuk, judi bahkan main dengan perempuan lain! Kamu itu sekarang udah nggak menarik lagi!”
Sinar matahari menyinari wajah Gomgom yang sedang berjalan di depan villa. Pakaiannya masih seperti dulu, celana pendek dengan kemeja khasnya yang bermotif pantai. Gomgom tersenyum dengan mata yang berbinar-binar senang karena mellihat Calista. “Iya, ini aku. Apa kabar Calista?” Netra pria itu melebar lagi saat melihat perut Calista yang semakin membesar, “Wah luar biasa, kamu sudah hamil besar! Sudah hamil berapa bulan?” “Masuk bulan ke tujuh.” “Wah, sebentar lagi dong ya, semoga lancar sampai persalinan.” Mereka berdua bercakap-cakap dan hati Calista agak terhibur saat berbicara dengan Gomgom. Berdu
Calista membuka pintu dan tampaklah sosok seorang wanita yang sangat dicintainya. Emily memakai dress terusan bermotif polkadot dan rambutnya diikat ekor kuda. Wajahnya masih tampak cantik di usia-nya yang sudah empat puluh lima tahun.“Ibu!”Calista memeluk ibu-nya dengan mata berbinar-binar senang. Aroma parfum Emily yang tetap sama, wangi bunga-bungaan memenuhi indera penciuman Calista. Perasaan senang menyeruak dalam diri Calista saat melihat wanita yang telah melahirkannya tujuh belas tahun yang lalu.“Calista sayang, Ibu bawakan kue kesukaan kamu. Oh iya, sama lauk untuk makan siang, ikan mujair bakar sambel mangga, lalapan sambel dan tumis daun pepaya.”Mulut Calista langsung seketika berair saat melihat piring besar dengan ikan bakar di atasnya yang ditutupi plastik wrap transparan, di sampingnya ada rantang makanan. Belum lama wanita itu meneguk ludah, suara pintu mobil yang ditutup membuatnya menengok.Sorot mata y
Mata awasnya melihat serbuk putih yang berceceran, dia berjalan perlahan sambil menunduk dan nyaris berjongkok untuk memegang serbuk itu sebelum dikagetkan oleh suara Eden di belakangnya.“Ada apa Paman? Ada yang bisa dibantu?”Jorge menoleh dan melihat lelaki muda itu yang ternyata sedang berdiri dan mengawasi dirinya. Mata mereka saling beradu pandang sebelum Jorge mengedikkan bahu acuh tak acuh.‘Tidak ada apa-apa.”Dia melangkah melewati Eden, berusaha tenang namun penuh dengan rasa curiga. Jorge duduk dan melihat keponakan angkatnya yang sedang mendengarkan Emily yang sedang bercerita.Feelingnya memang kurang baik tapi dia tidak mau gegabah. Calista sedang hamil jadi dia tidak boleh terlalu banyak pikiran. Jorge mengamati lagi lelaki muda, suami Calista yang sudah ikut duduk bersama mereka sambil mendengarkan.Sesekali Eden mengatakan sesuatu yang membuat Emily tertawa. Calista pun tampak selalu tersenyum sambil
Kafe yang bernuansa pantai itu tampak ramai pada malam hari dengan beberapa pengunjung lokal, seorang penyanyi perempuan lokal yang memakai dress casual berwarna kuning cerah sedang duduk sambil menyanyi diiringi oleh alunan gitar akustik dari pria di sampingnya. Calista berjalan perlahan ke ujung ruangan diikuti oleh Gondo di belakang. Perut besar membuat jalannya sedikit lambat, dokter memperkirakan minggu ini mungkin dia akan lahiran. Sebetulnya dia sangat takut, Eden sering meninggalkan dia di saat seperti ini. Bagaimana kalau dia akan melahirkan saat suaminya itu tidak berada di rumah? Calista mendengar cerita orang-orang kalau melahirkan itu sangat sakit apalagi kalau sedang kontraksi. Di sisi lain, kehadiran janin di perutnya membangkitkan naluri keibuan di dalam dirinya. Hatinya hangat setiap dia mengelus perut besar itu. Belum melihat anak itu pun, rasa sayangnya sudah melimpah ruah. Dia duduk di kursi diikuti oleh Gondo di sampingnya. Matanya berbin
Wanita itu meringis kesakitan, menahan nyeri di perutnya yang terasa seperti mulas hebat. Calista melihat ke layar gawainya dengan frustasi sebelum pada akhirnya dia menekan nomor kontak yang baru saja disimpan dengan nama samaran seorang perempuan, hanya demi menghindari kecemburuan dari suami yang sama sekali tidak peduli akan dirinya dan kehamilannya. “Calista?” Terdengar suara seorang lelaki di seberang sana saat menjawab panggilannya. “Tolong ...” ucap Calista lirih sambil meringis lagi, berusaha menahan setiap kontraksi yang dirasakannya. “Tolong, sepertinya aku mau melahirkan.” “Apa ... suami kamu ke mana, Calista?” Nada suara Gondo terdengar bingung saat mendengar tangis lirih Calista. &
Calista menatap kedua orang yang berdiri di depan pintu itu dengan nanar. Tubuhnya masih terlalu lemah untuk marah atau pun menangis karena proses bersalin yang baru saja dilaluinya. Di saat dia sedang bertarung nyawa untuk melahirkan, suaminya sedang berselingkuh dengan perempuan yang dikenalnya di klub malam. “Bu, saya permisi dulu ya. Kalau ada yang mau dibantu, pencet tombol merah ini saja,” ucap sang perawat sambil menunjuk ke tombol merah di bawah Calista. Calista mengangguk sembari memfokuskan dirinya pada bayi di gendongannya. Makhluk kecil tak berdosa ini tampak masih memejamkan mata dengan tenang dan mulai sesekali merengek. “Dia haus, butuh ASI dari ibunya,” ucap sang perawat sambil tersenyum pada Calista, lalu berjalan keluar dar
Matahari sudah sampai di puncak dan sedang terik-teriknya saat Emily sampai di rumah sakit. Perjalanan selama lima jam di mobil Jorge tidak membuatnya lelah, rasa khawatir dan senang bercampur aduk di dadanya, tidak menyangka akan memiliki cucu di usia yang masih di pertengahan empat puluh tahunan. “Astaga, Jorge. Semoga bayi itu dan Calista sehat-sehat.” Emily berulang kali mengucapkan perkataan itu di mobil, sepanjang perjalanan. Wajahnya tampak gugup dan cemas. “Seandainya aku bisa mendampingi Calista, tapi syukurlah dia bersama Eden. Eden pasti menemani dia sepanjang malam ya.” “Iya, Kak.”Jorge memfokuskan pandangannya lurus ke jalanan di depan. Jalan yang seakan tiada berujung, yang harus dia lalui kalau mau bertemu Calista. Sekarang tujuannya adalah rumah sakit di dekat pantai. Syuk
Jorge semakin curiga, Mata Calista terlihat nanar dan dia tampak kebingungan menjawab untuk sepersekian detik sebelum menjawab, “Ini aku yang ceroboh. Waktu berjalan terantuk bangku. Sakit sekali, untung tidak jatuh.”“Aduh, Dek. Kamu itu kalau jalan harus hati-hati! Perhatikan langkah, apalagi kamu sekarang sudah punya bayi, harus lebih waspada,” ucap Emily dengan cemas. “Kamu yakin nggak mau ditemani Ibu malam ini, Calista? Ibu bisa saja ijin meeting besok dan digantikan teman.”“Nggak apa Bu. Nggak usah pikirkan aku.” Calista berjalan tertatih sambil dituntun Emily. Langkahnya perlahan diawasi oleh Gondo dan Jorge yang duduk terdiam memperhatikan mereka.Begitu Calista dan Emily menghilang ke balik pintu toilet, pria itu menoleh ke Gondo yang juga sedang duduk termenung dan menanyakan hal sama, yang sebetulnya sudah ditanyakan sebelumnya.“Memang Eden ke mana sebetulnya? Sudah hampir dua jam kita ad
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela