“Jorge?”
Wanita itu terpana melihat sosok yang selama ini diimpikannya tiba-tiba datang dan berdiri persis di depan pintu apartemen! Apakah ini hanya mimpi? Dahlia memejamkan mata sebentar lalu membuka matanya lagi, tapi sosok pria itu masih berdiri di depan.
“ Jorge? Ini beneran kamu yang datang?” ucap Dahlia dengan ekspresi terkejut bercampur senang, berlainan dengan wajah lelaki itu yang terlihat malas sekali. Kedua bibirnya melengkung ke bawah.
“Aku tidak tahu kalau ini tempat tinggalmu,” ucap Jorge lalu menatap Calista sambil menaikkan alisnya sebelah. “Betul ini tempat tinggal pacarmu?”
Dahlia memandang Calista dengan seksama, lalu memoton
Mobil Jorge melaju dengan kecepatan sedang, melewati deretan ruko di pinggiran kota yang sebagian besar sudah ditutup. Jorge melihat ke jam tangannya, sudah pukul dua belas malam. Jalan yang temaram hanya disinari oleh lampu penerangan seadanya.“Nanti di ujung jalan, belok ke arah kiri, Paman. Di sebelah kanan jalan, ada kafe tempat Eden sering datang,” ucap Calista yang duduk di belakang karena Dahlia langsung otomatis duduk di samping pamannya itu.“Ya ampun, anak itu memang kebangetan!” Dahlia memutar bola matanya dengan jengkel.Jorge memutar stirnya ke arah kiri lalu melihat ke kanan, ada bangunan berlantai dua yang tampaknya sangat ramai dengan anak-anak muda. Bangunan itu tampak mencolok karena banyaknya lampu dan juga musik keras yang menghentak terdengar sampai ke ujung jalan.Jorge memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di seberang kafe lalu mematikan mesin mobilnya. Dia menatap ke arah kafe itu sambil mengernyitkan
Keheningan mencekam di ruangan apartemen Dahlia dan Eden sehingga suara detak jarum jam yang bergerak perlahan pun terdengar kencang.Eden menatap Calista dengan tatapan tidak percaya, “Betul itu anakku? Kamu sudah test kehamilan?”“Betul, Eden. Aku udah test dua kali dan semua hasilnya bergaris dua, positif, ” ucap Calista lagi dengan lirih.Eden menggelengkan kepala lalu menyugar rambut dengan frustasi, “Aku, aku tidak tahu mau berbuat apa! Aku pakai pengaman kemarin, apa itu tidak berfungsi ya?”Jorge yang sedari tadi terdiam, mencondongkan wajahnya ke depan lalu berkata dengan wajah emosi, “Apa itu perkataan yang pantas dari seorang laki-laki yang sudah merenggut keperawanan keponakanku?! Berani berbuat harus berani bertanggung jawab!”Eden terdiam dan manik netranya semakin membesar saat Jorge bangkit berdiri dan mengacungkan jari telunjuknya dengan wajah murka. “Kamu harus menikahi Calista
Calista duduk di kamarnya dengan perasaan bercampur aduk, dia menatap bayangan dirinya di cermin. Maskara, bulu mata palsu, bibir yang dipulas lipstik merah, dan rambut yang digelung tinggi. Dia memakai kebaya pengantin dengan brokat putih yang pas badan, dan kain lilit bermotif batik sutra. Emily yang memanggil salon langganannya untuk datang ke rumah merias putri satu-satunya ini. Tak terbayangkan kalau hal ini akan berlangsung cepat seperti ini, pikir wanita itu yang sedang berdiri di ujung kamar sambil menatap miris. Sepertinya dirinya sudah tidak peduli lagi dengan kasak-kusuk tetangga. Pesta pernikahan kecil-kecilan pun dilakukan di rumah dengan sedikit undangan. Hanya beberapa saudara dekat, tetangga dan sahabat Calista tentu saja. Arabel dan Inneke. Emily juga mengundang Bu Riris, karena kedekatan dirinya dengan wali kelas
“Kamu mau tinggal di Villa Eden yang di pantai itu?” tanya Emily dengan cemas. “Tapi itu jauh dari rumah, Nak.” “Iya, saya tahu, Bu. Hanya saja Eden ingin kami tinggal di sana, dan Calista hanya mengikuti suami,” Calista mengerjapkan mata, menatap wajah Ibunya yang cemas. “Dia bilang lebih enak bekerja di sana.” Emily menghela nafas, “Kamu hati-hati di sana. Jaga kehamilanmu, makan makanan yang sehat. Kalau jauh begitu, Ibu nggak bisa sering mengunjungimu.” Calista terdiam dengan perasaan miris di hatinya tapi ditahan semuanya itu. “Calista akan sering menelepon Ibu. Toh juga di sini, Calista jadi bahan cibiran tetangga karena hamil di luar nikah dan dikeluarkan pihak sekolah.”&nb
Calista duduk diam di kursi tamu sambil membaca buku. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam tapi dia tidak bisa tertidur. Gadis itu menyenderkan kepala ke sandaran sofa sambil 'ngemil keripik kentang kesukaannya yang dibawa dari rumah.Dia memperhatikan pesan-pesan yang masuk ke ponsel, ada dari Emily, Arabel dan Inneke. Calista baru menyadari kalau pamannya Jorge tidak pernah menghubungi gadis itu lagi semenjak dia menikah beberapa minggu yang lalu.Calista merasa sedikit kehilangan. Semenjak dia ditinggal almarhum Ayahnya, Jorge yang biasa selalu membaweli dia bahkan untuk hal sekecil apa pun. Berangkat sekolah, buku pelajaran, jadwal pelajaran. Tiada hari tanpa Jorge yang selalu mengawasi Calista.Selama acara pernikahan berlangsung hingga Calista meminta ijin dan restu dari mereka, Jorge seperti lebih banyak terdiam. Selama acara juga, Pamannya itu sering diikuti oleh Dahlia, kakak Eden. Calista kurang menyukai kedekatan mereka.Perasaannya ag
Jorge melihat keluar jendela dari ruang kerjanya yang luas di lantai atas. Matanya menjelajah ke pemandangan di bawah, ke deretan rumah yang seperti miniatur lalu jalanan yang padat dengan mobil merayap. Matanya boleh ke sana tapi pikiran itu tidak pada tempatnya. Tatapan matanya kosong, melihat ke arah luar. Kemeja dan dasinya sedikit dilonggarkan karena ia ingin merileksasi pikirannya. Sudah beberapa minggu setelah hari pernikahan Calista dan dia tidak bisa mengingkari kalau ada rasa kesepian yang amat sangat, jauh dalam hatinya. Jorge mencintai gadis itu, melebihi rasa terhadap keponakannya sendiri! Tidak, dia bukan paman kandung gadis itu ... jadi mereka memang bukan sedarah kan? Tapi Calista sudah menganggap kamu sebagai Pamannya, jawab suara batinnya yang lai
Calista duduk di teras rumah depan, menatap hamparan pantai dengan laut yang biru. Suara ombak memecah keheningan dengan nyiur yang melambai dan hembusan angin yang sepoi-sepoi.Mereka baru saja sampai di villa dekat pantai milik Eden pada sore hari dan pria itu sudah jatuh tertidur di sofa karena kelelahan. Eden memesan mobil pick up sehingga semua barang termasuk motornya juga bisa diangkut.Gadis itu melamun sambil mengelus perutnya yang semakin besar, memikirkan segala hal yang telah dilaluinya beberapa bulan terakhir ini. Sifat labil Eden membuat gadis itu tidak bisa menerka emosi Eden beberapa menit kemudian.Terkadang dia bisa sangat mesra dan terkadang dia bisa sangat tidak peduli dengan Calista yang sudah menjadi isterinya sendiri. Calista semakin curiga kalau suaminya juga memakai narkoba, karena dia pernah menemukan serbuk putih lagi di saku baju Eden saat pria itu menggantung di pintu kamarnya.Calista berdiri dengan perlahan, akhir-akhi
Hari-hari berikutnya bagaikan neraka untuk Calista. Perutnya semakin membesar dan dia sering kram perut. Mood-nya juga berubah-rubah menjadi lebih labil, tapi Eden sering keluar rumah. Kadang dia bisa pulang larut malam dalam keadaan mabuk dan memukuli Calista bila gadis itu mengatakan sesuatu yang tidak disukainya. “Berisik!!” seru Eden dengan wajah memerah sambil membawa sebotol minuman keras ke dalam ruang tamu. “Ini uang aku! Suka-suka aku dengan apa yang mau kukerjakan!” Dia menjambak rambut Calista sehingga wanita itu menjerit kesakitan sambil mendekatkan wajahnya dan mendesis. “Dengar ya, kamu jadi isteri yang nurut sama suami. Jangan protes kalau aku mabuk, judi bahkan main dengan perempuan lain! Kamu itu sekarang udah nggak menarik lagi!”
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela