Calista keluar dari ruangan Bu Riris dengan wajah lelah. Dia baru selesai diceramahi oleh guru itu, lalu diberikan petuah-petuah tentang norma, moral dan cara berpacaran yang sehat.
Sudah telat, Bu, pikir Calista memikirkan hubungan intimnya dengan Eden di villa itu yang dilakukan beberapa kali. Pipinya jadi bersemu merah mengingat bagaimana liarnya dia dan Eden di ranjang.
Calista berjalan masuk kembali ke kelas, lalu duduk di bangkunya. Dia bertatapan dengan Inneke dan Arabel tetapi keduanya langsung membuang muka. Calista jadi merasa bersalah karena telah mengatakan sesuatu yang buruk beberapa hari sebelum dia kabur dengan Eden.
“Arabel... Inneke...” panggilnya dengan suara lirih.
“Ada apa?” jawab Inneke ketus, sementara Arabel menyibukkan dirinya dengan menulis, tanpa menatap Calista.
“Maafkan aku ya, kalau aku ngomong yang tidak baik waktu itu. Sebetulnya itu nggak benar sama sekali,” ucap Calista dengan waj
“Paman!” seru Calista yang tiba-tiba keluar dari kamarnya dan berada di ruang tamu. “Kenapa begitu kasar?!”“Dia sudah mengatakan sesuatu yang tidak sopan!” ucap Jorge sambil memandang Eden dengan pandangan muak.“Saya hanya mau mengembalikan barang Calista, Paman!” ucap Eden sambil tersenyum miring dan mengejek Jorge tanpa sepenglihatan Calista.“Jangan panggil aku, Paman!” cetus Jorge kesal sambil memberikan jalan pada Calista yang dengan segera berjalan ke pintu dan menyapa pacarnya itu.“Terima kasih ya Eden! Kamu kapan sampai di sini lagi?” tanyanya sambil mengambil tas dan barangnya dari tangan pria itu.“Kemarin malam, Calista,” jawab Eden yang langsung disela oleh Jorge.“Kalau sudah selesai mengantar barang, pergi kamu dari sini!” ucap Jorge dengan wajah jengkel. Dia mendorong Calista mundur lalu memutup pintu rumah dengan keras, tanpa pe
Garis dua!! Dia memejamkan matanya lagi, berharap kalau penglihatannya itu salah. Gadis itu membuka mata lalu memperhatikan hasil test pack itu dengan seksama. Masih garis dua! Ini pasti salah! pikir Calista sambil membuka test pack kedua yang katanya lebih mahal dan akurat. Aku akan mencobanya lagi. Dia duduk di bangku toilet sambil menunggu beberapa menit, yang terasa sangat lama dan menyeramkan. Lebih tegang daripada menunggu hasil ujian, lebih menakutkan daripada menonton film horror. Bukannya Eden pakai pengamanan ya? pikir Calista lagi sambil mengingat hubungan intim mereka di villa waktu itu. Atau ada saat tertentu, gadis itu tidak menyadari kalau kekasihnya lupa memakai kond*m.
Jorge berkali-kali menghela nafas dengan berat sambil memejamkan mata dan memijit keningnya di samping tempat tidur Emily. Sementara dokter yang dipanggil sedang memeriksa wanita paruh baya itu. Dia mengeluarkan stetoskopnya, menempelkan ke dada Emily, mengukur suhunya setelah mengukur tensi wanita itu dan menuliskan sesuatu di kertas resepnya.“ Ibu tensinya tinggi, dan suhu badannya agak tinggi. Detak jantungnya normal. Bisa jadi sedang banyak pikiran sekarang yang menyebabkan tensi darah ibu naik,” ucap dokter berbaju putih itu sambil memberikan kertas resep kepada Jorge.“Memang iya, Dokter,” cetus Jorge sambil memandang Calista dengan sinis, sementara yang dipandangi menunduk takut dan memandang ke jari-jari tangannya.Wajah lelaki itu memancarkan apa yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Sedih dan marah karena dia tidak bisa menjaga keponakan angkatnya itu seperti janji pada almarhum Kak Alexus.Jorge be
“Calista ... Calista ?”Calista terkejut saat Arabel memanggil untuk ketiga kalinya. Jam pulang sekolah, semua anak sudah sibuk beberes dan hanya Calista yang masih melamun.Arabel menatap sahabatnya itu dengan bingung, “ Kamu lagi memikirkan apa, Calista?”“Nggak kok, Arabel,’ ucap Calista sambil buru-buru membereskan bukunya dan tersenyum kikuk.Ini sudah tiga hari sejak Paman Jorge menyuruhnya untuk menghubungi Eden, tapi nomor pria itu sama sekali tidak bisa dihubungi. Calista khawatir tentang kehamilan ini yang sebentar lagi tak akan bisa ditutupinya, dan keadaan Eden sendiri!“Kamu nggak apa kan?” Arabel menempelkan tangannya ke kening Calista. “Kamu seperti terlihat kurang sehat, Calista?”“Nggak apa, Arabel,” ucap Calista tersenyum sambil bangkit berdiri dan memegang tasnya, tapi tiba-tiba kepalanya seperti berputar.Dia merasa mual, pusing dan semua
Sudah menjelang sore saat taksi itu memasuki area parkir apartemen. Gedung yang tinggi membuat Arabel mendongakkan kepala, begitu juga dengan Inneke di sampingnya. Mereka bertiga melangkah keluar dari taksi, masih memakai seragam sekolah.“Makasih ya, Pak,” ucap Inneke sambil menutup pintu taksi.“Aku lupa kalau nggak punya kartu akses,” ucap Calista sambil menepuk keningnya. “Gimana caranya kita ke atas?”Calista berjalan menuju pintu apartemen, lalu melihat Bapak Security yang sering ditemuinya. “Ah, mudah-mudahan Bapak itu masih kenal denganku dan mengijinkan memakai kartu aksesnya ke atas!”Calista menghampiri meja Security sambil tersenyum dan menyapa, “Selamat sore, Pak.”“Sore, Mbak. Wah, udah lama nggak kemari lagi,” ucap penjaga itu tersenyum ramah. “Tumben sendirian, nggak sama cowoknya.”“Iya, Pak, saya mau ke atas tapi lupa
Calista masuk ke dalam kelas keesokan harinya dengan keadaan yang lebih segar. Dia sudah sarapan dan perutnya sudah tidak terlalu mual lagi. Hanya satu kekhawatirannya, yaitu kalau perutnya semakin membesar.Baru masuk ke dalam kelas, dia sudah merasakan suatu kejanggalan. Beberapa teman di kelas tiba-tiba berhenti mengobrol dan menatap dirinya dengan aneh. Calista tetap berjalan dengan tenang dan duduk di bangku.“Hahh ... masa sih? Dasar perempuan nggak bener!”“Wajahnya aja yang alim!”Calista mendengar bisik-bisik beberapa perempuan yang duduk di belakang, lalu menatap Arabel dengan penuh tanda tanya.“Mereka lagi ngomongin siapa?”“Nggak usah dipikirkan, Calista. Biarin aja mereka ngomong sesuka-nya,” ucap Arabel sambil menghibur sahabatnya itu.“Mereka ngomongin aku? Siapa yang bocorin ceritanya?” bisik Arabel dengan wajah panik. “Aku belum siap jadi bahan ledekan
“Jorge?” Wanita itu terpana melihat sosok yang selama ini diimpikannya tiba-tiba datang dan berdiri persis di depan pintu apartemen! Apakah ini hanya mimpi? Dahlia memejamkan mata sebentar lalu membuka matanya lagi, tapi sosok pria itu masih berdiri di depan. “ Jorge? Ini beneran kamu yang datang?” ucap Dahlia dengan ekspresi terkejut bercampur senang, berlainan dengan wajah lelaki itu yang terlihat malas sekali. Kedua bibirnya melengkung ke bawah. “Aku tidak tahu kalau ini tempat tinggalmu,” ucap Jorge lalu menatap Calista sambil menaikkan alisnya sebelah. “Betul ini tempat tinggal pacarmu?” Dahlia memandang Calista dengan seksama, lalu memoton
Mobil Jorge melaju dengan kecepatan sedang, melewati deretan ruko di pinggiran kota yang sebagian besar sudah ditutup. Jorge melihat ke jam tangannya, sudah pukul dua belas malam. Jalan yang temaram hanya disinari oleh lampu penerangan seadanya.“Nanti di ujung jalan, belok ke arah kiri, Paman. Di sebelah kanan jalan, ada kafe tempat Eden sering datang,” ucap Calista yang duduk di belakang karena Dahlia langsung otomatis duduk di samping pamannya itu.“Ya ampun, anak itu memang kebangetan!” Dahlia memutar bola matanya dengan jengkel.Jorge memutar stirnya ke arah kiri lalu melihat ke kanan, ada bangunan berlantai dua yang tampaknya sangat ramai dengan anak-anak muda. Bangunan itu tampak mencolok karena banyaknya lampu dan juga musik keras yang menghentak terdengar sampai ke ujung jalan.Jorge memarkirkan mobilnya di pinggir jalan tepat di seberang kafe lalu mematikan mesin mobilnya. Dia menatap ke arah kafe itu sambil mengernyitkan