Calista terbangun dengan kaget karena mimpi buruk. Dia tertidur pulas mulai dari sore hari dan baru terbangun malam harinya. Dia duduk di tempat tidur Eden lalu mengerjapkan mata, melihat jam di dinding yang berdetak pelan. Sudah pukul tujuh malam.
Pantas perutnya terasa keroncongan. Tapi di mana Eden? Tadi sebelum Calista tertidur, pria itu masih ikut berbaring di samping Calista sambil menonton video di handphone.
Calista mendengar dia mengatakan sesuatu, namun dia terlalu mengantuk jadi tidak mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. Dia bangun dengan perlahan, lalu pindah duduk di meja kamar lelaki itu, menatap cermin besar di depannya.
“Rambutku berantakan sekali,” keluh Calista sambil memegang rambutnya dengan tangan. &ld
Rintik hujan sedang turun saat mobil sedan hitam milik Jorge melaju dengan kecepatan sedang menuju beberapa alamat yang dituju. Arabel mengirimkannya kemarin malam, tepat sesudah dia baru bertemu Jorge di rumahnya. (Paman, ini beberapa alamat yang diberikan Jacob, teman sekelas Eden. Dia juga tidak tahu Eden pergi ke mana) Jorge mengingat pesan Arabel yang masih ada di handphone-nya. Ada dua tempat, yang pertama alamat apartemen Eden dan alamat kedua yaitu villa pribadi milik anak lelaki itu. Villa pribadi? Hebat juga anak itu, belum lulus sekolah sudah punya tempat sendiri. Mungkin warisan keluarga atau dia hanya mengaku-ngaku biar terlihat hebat, cemooh Jorge dalam hati. Khusus unt
“Pak Gondo!!” panggil seseorang membuat lelaki berkemeja pantai itu menengok. “Bapak sudah ditunggu oleh rombongan dari Bandung, katanya tur ke Goa.” “Oh ya, baiklah,” jawab pria itu sambil menoleh ke Calista dan mengangguk, “Sampai ketemu lagi, Calista!” Calista menatap Pak Gondo yang melangkah pergi dengan perasaan bingung. Dia kembali duduk lalu melihat Eden yang baru saja turun dari speedboat sambil melihat ke arahnya dengan wajah kaku. “Eden...” ucapnya saat lelaki itu mendekat, tetapi dia terkejut saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan keras. “Eden! Apa-apaan sih, sakit!” rintih Calista sambil berusaha melepa
Bibir mungil Calista sedikit terbuka, matanya sarat dengan rasa takut dan cemas saat melihat Jorge berdiri dengan kaku di depan teras rumah. Jari jemarinya kaku dan tangannya terasa dingin, saat Jorge melangkah naik ke tangga dan berjalan semakin mendekatinya. “Calista, pulang!” cetus Jorge sambil menarik lengan gadis itu, yang kemudian memberontak. “Nggak mau, Paman! Aku mau di sini!” seru Calista sambil berusaha melepaskan genggaman tangan Jorge yang sangat kuat. “Edenn!!” “Calista! Kamu nggak malu?!” bentak Jorge, membuat gadis itu berjengit kaget. “Kamu anak perempuan, kabur dengan laki-laki, ninggalin ujian sekolah!!” Jorge suda
Malam sudah larut saat mobil Jorge memasuki garasi rumah keluarga Ardhias. Calista keluar dengan perlahan lalu berjalan masuk ke pintu rumah. Dia tidak membawa apa-apa, karena tas besarnya masih ketinggalan di villa Eden.Biarlah, toh hanya baju-baju, peralatan mandi dan make up seadanya saja. Nanti dia akan meminta tolong Eden membawanya. Oh iya, tas kecilnya yang berisi dompet dan handphone juga ketinggalan. Bagaimana dia bisa menghubungi pria itu?!Calista masih kesal dengan Paman Jorge, tetapi perasaannya berubah saat dia berdiri di ambang pintu. Ibunya menunggu Emily sambil berbaring di sofa depan televisi dengan wajah yang pucat. Wajahnya seketika sumringah saat melihat anak gadis semata wayangnya yang baru saja pulang.“Calista!” serunya sambil menatap anak perempuannya itu dengan mata yang berbinar-binar. “Pulang juga kamu, dek!”Calista berjalan dengan perlahan dan raut wajah yang merasa bersalah, karena melihat wajah puca
Calista keluar dari ruangan Bu Riris dengan wajah lelah. Dia baru selesai diceramahi oleh guru itu, lalu diberikan petuah-petuah tentang norma, moral dan cara berpacaran yang sehat.Sudah telat, Bu, pikir Calista memikirkan hubungan intimnya dengan Eden di villa itu yang dilakukan beberapa kali. Pipinya jadi bersemu merah mengingat bagaimana liarnya dia dan Eden di ranjang.Calista berjalan masuk kembali ke kelas, lalu duduk di bangkunya. Dia bertatapan dengan Inneke dan Arabel tetapi keduanya langsung membuang muka. Calista jadi merasa bersalah karena telah mengatakan sesuatu yang buruk beberapa hari sebelum dia kabur dengan Eden.“Arabel... Inneke...” panggilnya dengan suara lirih.“Ada apa?” jawab Inneke ketus, sementara Arabel menyibukkan dirinya dengan menulis, tanpa menatap Calista.“Maafkan aku ya, kalau aku ngomong yang tidak baik waktu itu. Sebetulnya itu nggak benar sama sekali,” ucap Calista dengan waj
“Paman!” seru Calista yang tiba-tiba keluar dari kamarnya dan berada di ruang tamu. “Kenapa begitu kasar?!”“Dia sudah mengatakan sesuatu yang tidak sopan!” ucap Jorge sambil memandang Eden dengan pandangan muak.“Saya hanya mau mengembalikan barang Calista, Paman!” ucap Eden sambil tersenyum miring dan mengejek Jorge tanpa sepenglihatan Calista.“Jangan panggil aku, Paman!” cetus Jorge kesal sambil memberikan jalan pada Calista yang dengan segera berjalan ke pintu dan menyapa pacarnya itu.“Terima kasih ya Eden! Kamu kapan sampai di sini lagi?” tanyanya sambil mengambil tas dan barangnya dari tangan pria itu.“Kemarin malam, Calista,” jawab Eden yang langsung disela oleh Jorge.“Kalau sudah selesai mengantar barang, pergi kamu dari sini!” ucap Jorge dengan wajah jengkel. Dia mendorong Calista mundur lalu memutup pintu rumah dengan keras, tanpa pe
Garis dua!! Dia memejamkan matanya lagi, berharap kalau penglihatannya itu salah. Gadis itu membuka mata lalu memperhatikan hasil test pack itu dengan seksama. Masih garis dua! Ini pasti salah! pikir Calista sambil membuka test pack kedua yang katanya lebih mahal dan akurat. Aku akan mencobanya lagi. Dia duduk di bangku toilet sambil menunggu beberapa menit, yang terasa sangat lama dan menyeramkan. Lebih tegang daripada menunggu hasil ujian, lebih menakutkan daripada menonton film horror. Bukannya Eden pakai pengamanan ya? pikir Calista lagi sambil mengingat hubungan intim mereka di villa waktu itu. Atau ada saat tertentu, gadis itu tidak menyadari kalau kekasihnya lupa memakai kond*m.
Jorge berkali-kali menghela nafas dengan berat sambil memejamkan mata dan memijit keningnya di samping tempat tidur Emily. Sementara dokter yang dipanggil sedang memeriksa wanita paruh baya itu. Dia mengeluarkan stetoskopnya, menempelkan ke dada Emily, mengukur suhunya setelah mengukur tensi wanita itu dan menuliskan sesuatu di kertas resepnya.“ Ibu tensinya tinggi, dan suhu badannya agak tinggi. Detak jantungnya normal. Bisa jadi sedang banyak pikiran sekarang yang menyebabkan tensi darah ibu naik,” ucap dokter berbaju putih itu sambil memberikan kertas resep kepada Jorge.“Memang iya, Dokter,” cetus Jorge sambil memandang Calista dengan sinis, sementara yang dipandangi menunduk takut dan memandang ke jari-jari tangannya.Wajah lelaki itu memancarkan apa yang sedang berkecamuk di dalam dirinya. Sedih dan marah karena dia tidak bisa menjaga keponakan angkatnya itu seperti janji pada almarhum Kak Alexus.Jorge be
Hembusan angin membuat bunyi gemerisik daun kelapa bercampur dengan debur ombak. Ketenangan pantai di sore hari dengan sinar matahari senja yang merah keemasan tidak senada dengan wajah Calista yang sontak berubah. Dia menatap Jorge seakan-akan pria itu adalah makhluk dari pulau lain.“Tidak mungkin...” ucap wanita itu tak percaya. “Aku nggak percaya. Paman jangan mengada-ngada!!”Jorge menggelengkan kepala-nya, dia sudah terlanjur mengatakan dan sudah tidak bisa untuk menyesali-nya. Sebaiknya Calista tahu, agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.Maafkan aku, Kak Alexus, sesalnya dalam hati. Aku memang menjaga Calista, tapi aku tidak bisa menjalankan peran sebagai Paman yang baik terus menerus. Maaf kalau aku sekarang sedikit egois!Alih-alih berbicara pada Calista, dia berdiri, mengalihkan pandangannya menuju bentangan laut luas yang membentang di cakrawala. Tidak membela diri, tidak menjelaskan apa pun kalau pernyataannya memang b
Calista juga tak tahu kenapa dia tiba-tiba menangis, emosi-nya sudah tak dapat ditahan lagi. Sama sekali wanita itu tidak mau Jorge melihat dia seperti itu. Maka Calista lekas-lekas menghapus bulir air mata dengan punggung tangan-nya.“Tidak apa-apa...”“Bohong!”Jorge menaikkan alis, menunggu jawaban jujur gadis itu. “Apa ada lagi yang kamu pikirkan? Suami-mu yang sedang dipenjara?”“Mantan suami, Paman. Aku sudah mengajukan gugatan cerai,” ucap wanita itu dengan wajah muram. “Aku sudah tidak mau memikirkan dia lagi! Biarkan dia dengan kehidupannya.”“Jadi?”Calista menoleh dan balas memandang Jorge. Pria itu bahkan bisa melihat bias cahaya senja yang terpantul, mengenai sebagian wajah Calista.Cantik sekali, pikirnya dengan kagum.“Aku nggak mau berpisah dengan Paman Jorge.”Jorge memandang Calista, tidak percaya pernyataan terakhir yan
Netra cokelat muda Calista memandang ke kejauhan, mengagumi hamparan laut biru sepanjang pesisir pantai. Alex Jr. di dalam dekapannya juga terlihat senang, bayi itu ikut menatap ke langit biru dengan tangan yang beberapa kali mencoba menggapai sesuatu.“Alex, kita ke pantai lagi ... kamu belum pernah melihat pantai ya Nak,” ucap Calista dengan miris, mengingat saat hari lahir-nya Alex Jr, justru saat dia disiksa oleh Eden dan melarikan diri bersama Gondo.Wanita itu mengikuti langkah Jorge menuju ke bangunan besar dengan atap yang eksentrik dari serabut-serabut jerami dan dinding dari anyaman rotan. Aroma makanan yang baru dimasak menyeruak harum dari dapur bersamaan dengan aneka makanan yang sudah dijejer rapih, tertata menarik dalam piring dan mangkuk kayu di atas meja tengah, diatur secara prasmanan. Calista memilih duduk dulu di bangku sambil menggendong Alex Jr, sebelum Jorge memanggil-nya.“Ayo, makan dulu. Sini, kugendong Alex Jr biar ka
Calista merasakan paras wajahnya yang memerah. Dia tidak tahu mau menjawab apa karena situasi ini juga sangat ganjil menurutnya. Mustahil dia cemburu pada Paman-nya sendiri tapi perasaan dan logikanya sungguh tak sejalan. Dia marah pada Dahlia karena wanita itu tampak berakrab-akrab dengan Jorge!“Nggak, aku nggak cemburu!” tegas Calista berusaha menutupi apa yang sedang dirasakannya. Dia membalikkan badan dan kembali menyibukkan diri dengan mengaduk teh manis hangat untuk wanita itu!Jorge terdiam sambil mendekapkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengerutkan alis.“Baiklah kalau begitu.” Ada rasa sakit yang terasa menusuk di dada-nya, apalagi dia juga kesal dengan hadirnya Gondo. Perasaan yang sungguh menyiksa ini, kapan berakhirnya!Dahlia cepat-cepat melangkah perlahan ke kamar mandi lalu masuk ke dalam saat mendengar langkah kaki Jorge mendekat. Dia menghela nafas, bingung dengan perhatian Jorge yang berlebihan terhadap ke
Awan mendung berawan padahal hari masih siang. Calista sedang mengganti baju Alex Jr. Wanita itu merasa lega karena keesokan harinya, bayi itu sudah tidak demam lagi. Alex Jr. juga sudah mulai makan sayur dan buah yang dihaluskan selain ASI, makannya juga lancar dan dia senang tertawa. Di balik kesenangan itu, ada perasaan yang mulai mengganggu Calista. Beberapa kali mata Paman Jorge beradu pandang dengannya dan dia merasa rikuh. Calista merasakan perasaan yang lain terhadap Jorge dan dia mati-matian berusaha menyangkal itu. Nada dering terdengar saat Calista sedang melamun dan dia terkejut dengan nama di layar gawai. Gondo? Ada apa Gondo menelepon-nya lagi? “Hai Calista.” Terdengar suara khas Gondo dari seberang sana, terdengar ramah dan bersahabat. &l
“Bagaimana Jorge? Mawar cantik dan baik hati kan? Kamu sudah minta nomor hape-nya tadi?” tanya Emily penasaran. Dia sedang membereskan piring-piring kotor selepas tamu-tamu mereka baru saja pulang. Jorge menggelengkan kepala dengan mata yang tidak lepas dari layar gawai. “Lupa, Kak.” “Aduh, anak ini gimana sih!” desah wanita itu frustasi. “Kakak akan minta ke Nanda dan kukasih ke kamu ya. Terserah mau dihubungi atau tidak.” Dia menggeleng-gelengkan kepala lalu berlalu ke dapur. Entah kenapa, Calista merasa senang. Dia yang dari tadi duduk di depan televisi sedikit jengkel dengan gaya wanita itu yang dinilai-nya cukup genit. Calista heran dengan Ibunya sendiri yang sangat menyukai Mawar.
Calista terdiam, dia tampak kaget sendiri dengan kejujuran yang baru saja diungkapkan-nya. Dan sekarang, dia tak tahu bagaimana menjelaskan pada Jorge sementara dia sendiri juga bingung dengan apa yang dirasakannya.“Dahlia kan Kakak Eden. Aku nggak mau Paman dekat dengan kakak dari Eden,” dalihnya kemudian, sambil mencoba memahami isi hati-nya.Ya, pasti itu! Dia hanya tidak suka Dahlia karena status sebagai keluarga pria yang telah menyakiti-nya lahir dan batin.“Oh begitu,” gumam Jorge, entah apa yang ada di benaknya, dia memandang Calista dengan tatapan kosong.Rasanya tadi ada sebersit rasa senang karena sepertinya Calista jadi protektif pada-nya, ternyata hanya karena dia tidak suka dengan status Dahlia sebagai kakak dari Eden! Jujur, jauh dalam hatinya dia agak kecewa.Seandainya saja ... ah, seandainya ... ada rasa cemburu dalam hati Calista. Mungkin semua hanya impian Jorge. Muncul ide dalam dirinya, dia tersenyum d
Calista baru saja selesai memandikan Alex Jr dan memakaikan kaos bayi bergambar Doraemon. Anaknya itu tertawa senang membuat wanita itu ikut tersenyum. Alex Jr. sering tertawa dan tawanya itu menular ke mereka semua. Dia merupakan matahari kecil, sumber kebahagiaan Calista, setelah masalah dan aib yang bertubi-tubi menimpa dirinya. Wanita itu juga lega karena Alex Jr. sudah di-vaksin lengkap, dan dua minggu lagi bayi-nya sudah bisa makan selain ASI, sudah genap enam bulan. Enam bulan sejak kejadian Eden ditangkap dan dia melarikan diri, pikir Calista mengenang masa-masa kelamnya tinggal bersama Eden. Penuh dengan luka dan rasa takut pada suami-nya sendiri. Apa Calista menyesali pertemuan dengan Eden? Kalau saja tidak ada pria itu, dia pasti sekarang sudah lulus ujian dan bersiap untuk kuliah di jurusan kedokteran.&nbs
Malam kian larut dan angin malam membuat Calista semakin memperketat pelukannya pada Alex Jr. Dia melangkah turun dari mobil, mengikuti Emily yang berjalan duluan di depan. Matanya mengagumi kecantikan lampu-lampu dari sulur dedaunan yang merambat di pintu pagar restoran. Dia melewati beberapa orang yang duduk di bagian outdoor dengan kursi-kursi putih mengelilingi meja bundar. “Dahlia sudah datang, Jorge?” tanya Emily, menoleh ke arah Jorge yang berjalan di belakang mereka. “Semestinya sudah.” Jorge menatap ke layar gawai. “Oh, dia sudah duluan di dalam.” Calista memperlambat jalannya, membiarkan Jorge berjalan duluan, masuk ke dalam restoran. Seorang pela