Lonceng sekolah berbunyi menandakan jam pulang sekolah. Beberapa anak bersorak membuat Pak Setiawan, sang guru Fisika menutup buku lalu berseru dengan suara lantangnya
“Ya sudah, jangan lupa kerjakan tugas yang barusan Bapak berikan! Sampai besok, anak-anak!” pungkas Pak Setiawan sambil berjalan keluar dari ruangan.
Arabel menatap Calista yang sedang bergegas merapikan alat-alat tulis dan bukunya. Dia berniat untuk memanggilnya sebelum seorang perempuan datang ke meja dan menegurnya.
“Arabel, kamu jangan pulang dulu ya. Kita mau bicarakan acara kegiatan akhir tahun ekskul seni rupa,” katanya sambil berdiri persis di depan meja Arabel, sehingga gadis itu teralih pandangannya.
Perjalanan ke pantai yang diceritakan Eden ternyata membutuhkan waktu yang lumayan lama. Calista sudah mulai merasakan pegal karena terlalu lama duduk, padahal baru saja dua jam. Ini masih pukul lima sore! “Istirahat dulu yuk, Eden! Calista pegal!” ucap gadis itu sambil merajuk manja. “Sabar ya, Yang! Di depan ada tempat nongkrong enak. Sekalian kita istirahat dan ngemil dulu di Indo**et!” jawab Eden sambil terus melajukan motornya. Calista terdiam sambil melihat jalanan di sekelilingnya. Hamparan ilalang di sebelah kiri dan ladang jagung di sebelah kanan membuat gadis itu merasa senang walaupun lelah. Sebagai gadis kota yang juga jarang keluar rumah, jalan-jalan seperti ini cukup menyenangkan hatinya.&n
“Kenapa kamu uring-uringan seperti itu, Jorge? Mukamu kayak orang nggak tidur semalaman!” cetus salah seorang rekan kerja Jorge pagi itu.Mereka baru saja membicarakan tentang laporan yang akan diserahkan ke atasan pada rapat minggu ini. Jorge berkali-kali tampak mengucek mata dan menahan kantuk. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk membuat kopi. Dia melangkah ke sudut ruangan dan membuka satu sachet kopi bubuk lalu mengaduknya dengan air panas.“Pening kepala... keponakanku kabur dari rumah!” cetus Jorge sambil duduk lagi di kursi meja kerjanya.“Oh...anak jaman sekarang! Jadi gimana? Keponakanmu perempuan atau laki-laki?”“Perempuan. Itu yang bikin aku cemas.” Jorge meniup-niup kopi panas lalu menyeruputnya. “Wah, kamu tahu kira-kira ke mana dia pergi?” tanya rekan kerja Jorge yang berambut plontos itu dengan wajah penasar
“Calista?” Eden melangkah keluar kamar dan mendapati kekasihnya sedang berdiri di depan pintu kamar mandi.“Aku mau ke kamar mandi malah ketendang tempat sampah,” ucap Calista sambil meringis.Eden hanya diam saja, sementara gadis itu melangkah cepat ke kamar mandi. Saat dia keluar, ternyata Eden sedang duduk di ruang utama sambil menyalakan televisi.“Maaf tadi aku marah-marah, Yang. Soalnya salah satu partner kerjaku kerjanya sembarangan!” katanya tiba-tiba, sambil menatap Calista yang baru keluar dari kamar mandi.Calista hanya terdiam mendengarkan Eden yang terus menjelaskan...“Aku itu punya bisnis barang-barang import, onderdil motor, handphone ... pokoknya apa aja kujual Calista!” lanjutnya tanpa Calista bertanya apa-apa lagi. “Aku menjelaskan ini padamu supaya kamu mengerti, Calista.”“Iya, aku mengerti Eden. Tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau kamu pintar berbi
“Eden?” panggil Calista di malam itu saat baru keluar dari kamar mandi.Dia tidak menemukan pria itu di mana pun. Calista mengetuk pintu kamarnya, namun tidak ada jawaban. Gadis itu menengok ke ruang televisi dan dapur juga tidak ada.Calista mengintip keluar jendela tetapi yang dilihatnya hanya pemandangan pantai di malam hari. Nyaris tidak ada orang sama sekali di luar.“Eden?” panggil Calista sekali lagi, lalu dia melangkah ke pintu keluar dan pada saat bersamaan pria itu muncul dari luar ruangan sambil tertawa terkekeh.“Ada apa Calista? Kenapa mencari aku?” ucapnya dengan wajah tersenyum lebar.“Kamu dari mana saja?” tanya gadis itu bingung. “Aku mencari kamu ke mana-mana.”“Aku dari tadi di luar, Calista. Merokok sambil minum sedikit...” ucapnya sambil menghembuskan nafas yang bau alkohol.Calista menaikkan alis lalu berjalan ke ruang tamu, “Jangan terlalu ban
Calista membuka mata dan mengerjapkan mata, menahan rasa ngilu yang dirasakannya di sekujur tubuh, terutama bagian intimnya. Perasaan bersalah sekejap menghantui dirinya, dia telah kehilangan keperawanannya! Calista duduk dengan perlahan dan menengok ke atas seprai tempat tidur Eden, ada noda darah di sana. Teringat kejadian semalam, wajahnya jadi merona malu lagi. Bagaimana dia sempat menangis, namun Eden berhasil menenangkannya dan sakitnya perlahan berganti dengan rasa nikmat. Astaga! Dia sudah tidak gadis lagi! Calista menatap dirinya sendiri di cermin, tubuhnya polos hanya ditutup oleh selembar selimut biru punya kekasihnya. Perasaannya bercampur aduk lagi antara bingung, resah dan gelisah. “Sayang, kamu sudah bangun?”&nbs
Calista terbangun dengan kaget karena mimpi buruk. Dia tertidur pulas mulai dari sore hari dan baru terbangun malam harinya. Dia duduk di tempat tidur Eden lalu mengerjapkan mata, melihat jam di dinding yang berdetak pelan. Sudah pukul tujuh malam. Pantas perutnya terasa keroncongan. Tapi di mana Eden? Tadi sebelum Calista tertidur, pria itu masih ikut berbaring di samping Calista sambil menonton video di handphone. Calista mendengar dia mengatakan sesuatu, namun dia terlalu mengantuk jadi tidak mendengar apa yang dikatakan lelaki itu. Dia bangun dengan perlahan, lalu pindah duduk di meja kamar lelaki itu, menatap cermin besar di depannya. “Rambutku berantakan sekali,” keluh Calista sambil memegang rambutnya dengan tangan. &ld
Rintik hujan sedang turun saat mobil sedan hitam milik Jorge melaju dengan kecepatan sedang menuju beberapa alamat yang dituju. Arabel mengirimkannya kemarin malam, tepat sesudah dia baru bertemu Jorge di rumahnya. (Paman, ini beberapa alamat yang diberikan Jacob, teman sekelas Eden. Dia juga tidak tahu Eden pergi ke mana) Jorge mengingat pesan Arabel yang masih ada di handphone-nya. Ada dua tempat, yang pertama alamat apartemen Eden dan alamat kedua yaitu villa pribadi milik anak lelaki itu. Villa pribadi? Hebat juga anak itu, belum lulus sekolah sudah punya tempat sendiri. Mungkin warisan keluarga atau dia hanya mengaku-ngaku biar terlihat hebat, cemooh Jorge dalam hati. Khusus unt
“Pak Gondo!!” panggil seseorang membuat lelaki berkemeja pantai itu menengok. “Bapak sudah ditunggu oleh rombongan dari Bandung, katanya tur ke Goa.” “Oh ya, baiklah,” jawab pria itu sambil menoleh ke Calista dan mengangguk, “Sampai ketemu lagi, Calista!” Calista menatap Pak Gondo yang melangkah pergi dengan perasaan bingung. Dia kembali duduk lalu melihat Eden yang baru saja turun dari speedboat sambil melihat ke arahnya dengan wajah kaku. “Eden...” ucapnya saat lelaki itu mendekat, tetapi dia terkejut saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan keras. “Eden! Apa-apaan sih, sakit!” rintih Calista sambil berusaha melepa