Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.
Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.
“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.
Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.
“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.
“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m
Calista melangkah masuk ke dalam rumah dengan wajah merah menahan tangis, melwati ruang tamu lalu ruang televisi.“Calista? Malam sekali kamu pulang....” panggil ibunya yang heran melihat anaknya pulang tanpa menyapanya sama sekali.Calista berjalan cepat langsung menuju kamar dan menutup pintunya tanpa mempedulikan panggilan sang ibu. Dia langsung berbaring telungkup lalu menangis terisak-isak di atas tempat tidurnya.“Calista?” Terdengar suara pintu dibuka dan ibunya masuk ke dalam kamar. “Ada apa? Kenapa kamu nangis?”Calista merasakan ibunya duduk di samping dan mengelus punggungnya. Namun dia tidak berkata apa-apa untuk sesaat. Hening sejenak, sebelum dia membuka suara...“Calista kesal dengan Paman Jorge! Dia sudah keterlaluan Ma....” ucap Calista dengan nada kesal. “Calista sudah dewasa, tapi Paman selalu memperlakukanku seperti anak lima tahun!”Jorge yang sekarang berdiri d
“Eh....beneran? Calista udah jadian sama Eden?” Terdengar bisik-bisik dari sekumpulan anak di kantin, yang memperhatikan kedua sejoli itu duduk di meja paling pinggir. Terlihat sekali kalau mereka mencuri-curi pandang memperhatikan pasangan itu yang sedang duduk berhadapan sembari mengobrol dengan asyiknya. “Sepertinya kita jadi bahan gosip anak-anak....” ucap Calista yang beberapa kali memergoki beberapa anak yang sedang mencuri-curi pandang ke arah mereka. Eden hanya tersenyum, lalu tiba-tiba mengambil sendok, menyendokkan pada nasi uduknya lalu memasukkannya ke mulut Calista. “Eden!” desis Calista namun mau tidak mau dia membuka mulut dan mengunyah nasi itu. “Biarin! Biar gosipnya tambah hot....” ucapnya sambil terkikik geli, sementara wajah Calista bersemu merah. “Si Calista kesambet apa sih?” tanya Inneke yang memperhatikan temannya itu dari kejauhan. Di sebelahnya Arabel yang sedang asyik memakan mie ayam, melihat ke arah C
Calista terus meronta, dia berteriak sekuat mungkin. Tangan yang satunya dipegang dengan kuat oleh pria berperawakan besar, sementara tangannya yang satu sibuk menarik tangan pria itu agar lepas. Namun sia-sia saja.... Kakinya berusaha untuk bertahan di tempat, namun percuma juga karena tarikan pria berperawakan besar itu membuat dia tidak bisa melawan. Calista diseret secara paksa oleh pria besar itu.... “Tolong!!!” jeritnya lagi dengan wajah pucat, air matanya sudah bercucuran karena membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Lepaskan!” “Tenang, cantik.... Kamu nggak akan kesakitan. Malahan kamu akan menikmati apa yang akan terjadi nanti,” ucap pria berbaju merah itu sambil tertawa-tawa. Calista didorong sehingga dia jatuh terjerembab di antara rerumputan. Dia mengernyit kesakitan namun memekik kaget karena pria yang berbadan besar itu sudah berdiri di atas sambil membuka bajunya. “Kita mulai ya sayang....” Gadis itu berteriak
“Apartemenmu lumayan nyaman juga ya, Eden,” ucap Calista dengan kagum. “Bersih dan rapih.” “Yah....kami jarang di rumah. Kakak juga kalau pulang malam, dan aku juga sama...” kata Eden sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya. “Anggap saja rumah sendiri, Calista.” serunya dari dalam kamar. Calista duduk di sofa berwarna biru langit sambil menatap wallpaper ruangan bermotif kupu-kupu dengan dasar biru pastel. Dia melihat frame foto seorang wanita setengah baya di meja sampingnya. Rambutnya sedikit digelung ke atas dan ada lesung pipit di pipi kirinya. “Itu ibuku...dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu,” ucap Eden sambil melangkah ke kulkas. Dia mengambil sebotol minuman bersoda dan menuangkannya ke gelas Calista. “Oh maaf....Eden, aku turut berduka...” ucap Calista lirih, namun menatap pemandangan di depan membuatnya agak risih. Eden keluar dengan bertelanjang dada dan hanya memakai boxer hitam. “Tidak apa, sudah lama...” katanya sambil d
Calista perlahan membuka matanya dan seketika terkesiap saat menyadari bahwa dia masih berada di apartemen Eden. Dia bangun dan melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam! Ya ampun...dia ketiduran berapa jam di sofa itu...“Hai sayang, sudah bangun?”Calista melihat Eden yang keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.“Kamu terlihat nyenyak sekali, aku nggak tega bangunin kamu!” ucap Eden sembari duduk di samping Calista. “Aku udah pesenin makanan untuk makan malam kita...”“Iya, aku kaget waktu bangun. Udah ketiduran lama sekali, berapa jam ya?” tanya Calista sambil membuka handphone-nya. Betul saja kalau sudah ada banyak pesan dari teman-temannya, siapa lagi kalau bukan Arabel dan Inneke...lalu beberapa kali miscall dari ibunya!“Apa aku baiknya pulang ya? Udah malam...”“Makan malam dulu aja Calista...masih jam tujuh juga...&rdq
“Dahlia!! Jangan....!” ucapnya sambil menyeka bibirnya dengan kasar. Ingin dia memarahi wanita itu habis-habisan, namun urung dilakukan karena melihat mata gadis itu yang semakin sayu dan jalannya yang limbung.“Masuk cepat!” bentak Jorge sambil mendorong Dahlia ke dalam mobil. Sementara wanita itu dengan wajah memerah, memperhatikan Jorge yang berjalan memutar dan duduk di kursi sebelahnya. Dia lalu terkikik dan melepaskan blazernya lagi...“Panas....” katanya sambil memejamkan mata dan menyenderkan kepalanya di bangku mobil.“Siapa suruh minum banyak-banyak. Di mana alamatmu? Biar aku antar! Dasar bikin repot aja!” omel Jorge sambil menyalakan mesin mobilnya.“Apartemen Red di jalan Cokro...” gumam Dahlia lalu menatap Jorge dari samping dengan matanya yang sayu. Tangannya mulai meraba kaki pria itu, yang membuat Jorge kaget dan otomatis menghempaskan tangan wanita itu.“Apaan sih D
Jorge menoleh ke wanita di sampingnya yang sedang memejamkan mata sambil bergumam tidak jelas. Bibir merahnya komat kamit namun Jorge tidak peduli perkataan apa pun yang keluar dari mulutnya. Malahan dia menggoyangkan badan wanita itu dengan agak kasar.“Bangun, Dahlia!” serunya dengan wajah jengkel. Dia membuka pintu mobil, keluar dan memutar, membuka pintu sebelah kiri. Menggoncang badan perempuan itu lagi, sambil menggerutu.“Ahhh....? Di mana aku?” gumamnya lagi saat membuka mata dengan panik. Wajahnya yang memerah menoleh ke kanan dan kiri.“Kita sudah di apartemen kamu....” ucap Jorge lagi, malu karena diperhatikan oleh security di pintu masuk. “Pakai blazer kamu dulu...aku nggak mau orang pikir aku macam-macam...”Dahlia melihat Jorge lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, “Jorge...Jorge...kamu kaku sekali sih, sayang... Sudah biasa di sini lelaki perempuan ehm....sama-sama...” katanya aga
Jorge memutar mobilnya dan memasuki kompleks rumah, membuka kaca untuk memperlihatkan wajahnya pada security yang langsung membuka palang pintu dan mengangguk hormat. Jorge tersenyum sambil menutup kaca jendela mobilnya lagi. Mobilnya melaju lambat sampai berhenti di depan garasi rumah keluarga Arkhadia. Jorge turun dari mobil lalu membuka pintunya.Memang sudah sejak lama, keluarga Arkhadia tidak punya pembantu, sebabnya karena pembantu terakhir mereka Bik Inah baru meninggal setahun yang lalu, dan mereka belum berniat untuk mencari penggantinya.Dia menghela nafas lalu berjalan masuk ke dalam rumah, mendapati ruangan yang sudah gelap. Jam juga sudah menunjukkan pukul satu pagi. Jorge masuk ke dalam kamar dan membuka bajunya, dia keluar kamar lagi dan hendak membuat kopi di dapur.“Loh Calista, belum tidur?”Seketika jantungnya berdegup kencang karena gadis yang dipikir