Aku miris melihat dia yang terdiam di sudut kamar. Ternyata hati yang patah dapat membuat seseorang seperti kosong. Berhari-hari aku menolongnya untuk pulih dari trauma akan pria itu. Namun dia selalu meracau karena takut. Aku bahkan siap di sampingnya untuk menolong tapi dia masih ketakutan – Jorge
Bruakkk!!!
Badan pria itu menghantam lantai saat Jorge memukul dengan kepalan tangannya yang keras. Preman di jalanan yang kemarin melecehkan keponakan angkatnya itu di depan matanya sendiri, menatap Jorge dengan ketakutan. Sementara temannya yang satu lagi sudah kabur entah ke mana.
Jorge yang baru saja dapat laporan dari keponakannya kalau ada dua orang yang bersiul saat dia jalan sementara yang satu lagi berani mencolek pantatnya, dan mereka hanya tertawa saat Calista menatap marah lalu berjalan pulang ke rumah dengan sedikit berlari.
“Ampun ... ampun, Bang,” ucap preman itu yang sebetulnya berbadan jauh lebih kecil daripada Jorge, hanya saja badannya penuh dengan tato dan berambut panjang.
“Kamu tahu, jangan pernah sekali-kali mengganggu keponakan saya!” ucap Jorge dengan raut wajah berang. Emosi menguasai diri pria itu, membuat kedua tangannya mengepal dengan keras seakan-akan siap untuk menghantam preman jalanan itu lagi.
“Awas kalau kamu ganggu gadis itu lagi! Aku nggak segan untuk membuatmu menyesal hidup!” bentak Jorge sambil menggertakkan giginya.
“Iya, siap ... siap Bang!” ucap preman itu yang beringsut mundur lalu berlari ketakutan meninggalkan Jorge yang berdiri dengan tegap. Wajahnya penuh dengan aura kemarahan yang mendominasi, seakan siap untuk menerkam siapa saja yang datang mendekat.
Awas kalau ada yang berani mengganggu Calista! gumam Jorge dalam hati. Teringat akan janjinya pada almarhum kakak angkatnya bertahun-tahun yang lalu.
*Flash Back On*
Sinar matahari menyeruak masuk ke bangsal rumah sakit. Sinarnya membuat Jorge sedikit mengecilkan mata karena silau dan berpindah duduk semakin dekat ke kakak angkatnya yang sedang terbaring sakit. Penyakit kanker dalam hitungan bulan membuat badan kakaknya yang tinggi tegap terlihat ringkih karena kurusnya. Matanya yang dulu berkilat tajam dan disegani anak buahnya terlihat meredup karena sakit. Walau masih terlihat binar senyumnya, Pak Alexus menatap Jorge lama dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Kenapa kak?”
“Jorge, aku tahu hidupku tak akan lama lagi. Maukah kamu menjaga Calista menggantikanku?” tanyanya lirih.
Jorge memandang kakak angkatnya dengan sedih. “Nggak kak, kakak akan hidup lama. Jangan menyerah!” Dia mengenggam tangan sang kakak yang terpaut jauh usianya itu dengan erat. Tangan yang jadi terasa kecil dan ringkih.
Jorge masih berusia tujuh belas tahun saat itu, sedangkan Pak Alexus sudah berusia tiga puluh lima tahun. Jorge diadopsi oleh kakek Adriano, ayah Pak Alexus untuk menjadi anaknya waktu Jorge masih berusia sepuluh tahun. Kakek Adriano jatuh hati melihat Jorge saat di Panti Asuhan Kasih, dengan mata besar dan hidung mancungnya. Seperti anak blasteran katanya. Nyatanya memang Jorge tumbuh menjadi seorang pria yang tampan dan gagah. Hanya saja dia sangat dingin kepada para wanita, entah kenapa.
Pak Alexus menggelengkan kepalanya dengan lemah sembari tersenyum. “Nggak Jorge, kalian tidak bisa membohongiku. Aku bisa merasakan kalau hidupku nggak akan lama lagi,” katanya lirih. “Aku sudah berusaha dan aku bukan orang yang pantang menyerah. Namun...”
“Sudah, kak. Jangan diteruskan! Kakak jangan berpikir macam-macam. Istirahatlah dulu,” kata Jorge sambil mengusap bahu kakaknya. “Aku akan menemanimu malam ini.”
“Berjanjilah dulu, Jorge,” potong Pak Alexius dan memegang tangan Jorge dengan lemah. “Kamu akan menggantikanku menjaga dan mengawasi Calista. Bantu Kak Emily ya, Jorge? Kamu laki-laki dewasa. Mereka hanya dua perempuan yang mestinya selalu ada di bawah perlindunganku, kalau aku masih ada di sini.”
Jorge seperti tak kuasa ingin meneteskan air mata namun ditahannya kuat-kuat. Sebagai seorang lelaki, dia tak mau tampak cengeng. Maka dia menganggukkan kepalanya dan berkata lirih, “Iya kak, aku janji.”
Pak Alexius tersenyum pada Jorge sambil sedikit meremas tangan Jorge dengan sisa kekuatan yang masih dia punya. “Itu baru janji lelaki sejati. Jorge, aku percaya padamu.”
Pak Alexius melepaskan pegangan tangannya dari Jorge lalu meluruskan badannya. “Ngantuk. Aku mau tidur Jorge.”
Jorge membantu merapikan selimut kakaknya. “Aku pulang sebentar ya, kak. Ada kak Emily di luar sebentar lagi juga masuk. Aku kembali lagi nanti untuk jaga malam.”
Pak Alexus tersenyum lemah pada Jorge, matanya berbinar menatap adik angkatnya itu. “Jangan terlalu lelah, Jorge. Entah bagaimana kami kalau kamu nggak ada.”
“Kakak ngomong apa sih?” ucap Jorge menghela nafas. “Aku ini adikmu, nggak usah ngomong apa pun lagi.”
“Bilang Calista,” lanjut Pak Alexus lagi dengan suara pelan. “ Jangan lupa janji sama Papa-nya.”
Jorge menatap mata kakaknya dalam-dalam, lalu mengacungkan jempol sembari tersenyum. Lalu melangkah keluar dari ruangan itu. Dia berpapasan dengan istri Alexus, Emily yang dianggap seperti kakaknya sendiri juga. Berpamitan pulang dan memesan mobil online.
Baru saja mobil pesanan Jorge sampai di halaman rumah mereka, ponsel di saku Jorge berdering. Jorge membuka layar kunci dan melihat nama kak Emily yang sedang menghubunginya. Feeling Jorge sungguh tidak enak, segera diangkatnya telepon itu yang langsung disambut suara isakan.
“Jorge, Jorge!! Cepat kemari lagi dan bawa Calista. Alex ... ” Emily berhenti sebentar dan hanya terdengar suara isakan lagi.
“Kak Alex kenapa, kak?” tanya Jorge cemas bercampur sedih. Pikiran kalutnya bercampur baur dengan rasa takut, mengingat kakak kesayangannya itu.
“ ... Alex sudah pergi ... ”
Jorge terdiam, menutup kedua mukanya dengan tangan lalu meneteskan air mata. Telepon dari Emily pun sudah terputus. Dia terdiam cukup lama di mobil, padahal sudah seharusnya dia turun. Untunglah supirnya bapak tua yang cukup pengertian dan sepertinya dia bisa mendengarkan percakapan Jorge di telepon.
“Maaf pak, saya ... saya hendak turun. Kakak saya meninggal,” ucapnya terbata-bata dengan mata yang masih sembap.
Bapak tua itu mengangguk dengan wajah prihatin. “Saya turut berdukacita, Pak,” ucapnya.
“Kalau boleh ... apa bisa tunggu di sini sebentar, Pak? Saya dan ponakan mau kembali ke rumah sakit,” tanya Jorge lagi, setelah memulihkan pikirannya yang masih kaget dengan kepergian sang kakak.
Supir itu mengangguk dan Jorge pun turun, berusaha mencari cara untuk membawa Calista ke rumah sakit dan menenangkan gadis yang masih berusia tujuh tahun itu.
Jorge membersihkan sisa-sisa air mata di depan rumah dengan sapu tangan, lalu memutar kunci rumah. Di rumah ada bik Inah, asisten rumah tangga mereka yang juga menjaga Calista selama ayahnya di rumah sakit.
“Paman! Udah pulang? Mana papa? Kok janji mau pulang tapi nggak balik-balik,” tanya Calista yang sedang duduk di depan televisi sambil menjilati permen lolly pop. Bik Inah ada di samping Calista sambil ikut menonton televisi.
“Iya, gimana keadaan Bapak, den?” tanya bik Inah ikut menatap Jorge.
“Calista, ikut Paman ya. Kita ke rumah sakit,” kata Jorge berusaha mengontrol keadaan dengan nada tetap tenang. Biarlah Calista tahu semuanya di sana saja. Dia tak sanggup untuk mengatakannya.
Bik Inah menatap dengan pandangan bertanya, berbeda dengan Calista yang langsung bersemangat kegirangan. “Asyik!! Mau ketemu papa!” Calista langsung berlari ke kamarnya untuk berganti pakaian. “Sebentar Paman, Calista cepat kok ganti pakaiannya!”
Bik Inah menatap Jorge yang sudah duduk dengan lesu sambil menundukkan kepalanya, “Den, Bapak kenapa?”
“Bapak sudah pergi, Bik,” jawab Jorge dengan mata sedihnya. “Saya belum bisa mengatakannya ke Calista.”
Bik Inah menutup mulutnya karena kaget, lalu ikut meneteskan air mata. Dia mengambil tissue dan membalikkan badannya karena Calista sudah keluar lagi.
“Bibi kenapa?” tanya Calista dengan polosnya. Dia sudah tampak manis dengan rok dan kaus Minnie Mouse. Hadiah dari ayahnya sepulang dari Hongkong tahun lalu.
“Bibi kelilipan debu,” jawab Bi Inah mengelap air matanya, lalu mengeluarkan air dari hidungnya. Wajah Bi Inah merah sekarang. Bi Inah sudah bekerja puluhan tahun di rumah keluarga Ardhias. Dia bahkan sudah kenal Pak Alexus sedari dia masih remaja, maka tidak lah heran kalau Bi Inah sudah seperti keluarga sendiri.
“Ayo berangkat, Calista, supirnya sudah menunggu.” Jorge menggandeng tangan kecil Calista yang menurutinya keluar dari rumah. Tangan kecil yang hendak dijaga sesuai janji pada almarhum kakak kesayangannya.
“Hati-hati ya, Den, Non Calista,” kata Bik Inah lalu air matanya menetes lagi tanpa dilihat mereka berdua sampai keduanya masuk ke mobil dan menghilang di kejauhan.
*Flash Back Off*
Hallo readers, jangan lupa simpan cerita ini di rak dan tinggalkan review ya. Semoga suka cerita ini dan selamat membaca, xoxo. Laura MTP
Bunyi lonceng sekolah bergema, menandakan jam pulang sekolah. Calista merapikan buku-buku di meja dan mengembalikan ke tas. Rambut panjang diikat tinggi ke atas, menampakkan leher jenjangnya. Netra matanya cokelat muda, duplikat sang Ayah, Alexius. Calista Ardhias sekarang sudah dewasa, bahkan usianya hampir tujuh belas tahun. “Hai Calista! Pulang bareng yuk!” Arabel melongok dari pintu lalu berjalan menghampiri meja sahabatnya. Ia menunggu Calista yang sedang merapikan rambut, sembari berdiri melihat dari jendela kelas Calista yang memang bisa melihat ke lapangan basket di halaman bawah. Netranya segera menangkap sosok lelaki tampan, duduk bersama para siswa lain. “Ssstt, Calista. Lihat cowok itu. Anak baru dari luar kota. Lumayan cakep ya,” Arabel memanggil Calista dengan bersemangat. Calista berangsur mendekat karena penasaran. Baru beberapa detik ia mengintip, siswa tampan yang diributkan Arabel mengangkat kepala ke atas dan … matanya b
Hari sudah sore saat Calista sampai di rumah. Netra cokelatnya menangkap sang Ibu, Emily, yang sedang sibuk bercocok tanam di halaman rumah. Aroma segar pepohonan langsung menyergap saat ia masuk ke halaman rumah. Ia menyapa Emily lalu duduk di bangku teras sembari melepaskan kaos kaki dan sepatu. Tidak lama berselang, mobil hitam berhenti di depan garasi rumah keluarga Ardhias. Calista pura-pura tidak melihat Pamannya yang baru saja turun dari mobil. Pria itu membuka pintu garasi lalu memasukkan mobil. “Lain kali kalau pulang agak sore, bilang ke Ibu atau Paman agar kami tidak khawatir, Calista,” tegur Jorge melihat keponakannya yang masih ada di teras. “Aku ada ekskul dan Arabel tadi minta diantar ke toko buku, Paman." Calista menjawab dengan malas. Ia sudah lelah dikhawatirkan terus. Masalahnya, ini kan masih jam lima sore!! Ini bukan main-main, ia sudah bukan anak kecil lagi! “Kenapa aku harus lapor terus ke Paman Jorge, Bu
Kantin sekolah cukup ramai di jam istirahat siang saat Calista masuk bersama Arabel dan Inneke. Netra cokelatnya beradu pandang dengan Eden sebelum anak baru itu menyunggingkan senyumannya. Tampan, batin Calista dalam hati tanpa disadari. Begitu kagum dengan pesona seorang Eden Hariyanto. “Hai Calista," sapa Eden menyadarkan Calista akan lamunannya. “Hai juga, Eden. Gimana film yang kamu tonton kemarin?" tanya Calista dengan segera, mengingat lelaki muda itu sedang di bioskop bersama teman-temannya kemarin. “Filmnya bagus. Mau nonton bareng aku, Calista? Kamu juga boleh ajak teman-temanmu. Aku ada tiket gratis,” Eden melihat ke Arabel dan Inneke sambil tersenyum. “Oh ya? Wah, tentu mau dong. Ya kan guys??” Calista begitu bersemangat, ia melihat ke arah kedua temannya. “Iya, makasih ya Eden," Arabel memperlihatkan wajah sumringah, tapi ia segera menggelayutkan tangannya di lengan Inneke. “Kami pesan makanan duluan ya, Calista, Eden. Yuk ah, Inneke.” “Mereka udah akrab aja ya, Be
Sore menjelang saat Calista keluar dari kamar tidurnya. Seragam sekolah sudah berganti celana pendek dan tank top, karena dipikirnya hanya ada ia sendiri di dalam rumah. Sang Ibu, Emily, belum pulang dari arisan dan Paman Jorge mengatakan ia ada tugas kantor sampai malam. Senang juga Calista kalau tidak ada Pamannya, ia malas sekali kalau Jorge menanyakan perihal tadi saat ia dibonceng Jorge di jalan. Calista yakin seribu persen kalau ia akan diinterogasi! Matanya beradu pandang dengan Jorge, tak mungkin Pamannya itu tidak melihat. Perut keroncongan membuatnya kelaparan, Calista berjalan menuju dapur. Untuk sesaat, ia melihat pantulan dirinya di cermin. Kalau ada Emily, pasti ia dimarahi memakai pakaian seminim itu, tapi sekarang kan ia hanya sendirian. Tank top dan hot pants memang terasa nyaman tapi memperlihatkan semua lekuk tubuh Calista yang biasanya tertutup kaos longgar. Ia melihat ke seluruh isi kulkas, mengambil ungkepan ayam dan beberapa jenis sayuran. Aroma harum langsun
Calista duduk di samping Jorge yang menyetir mobil. Seperti biasa bertugas mengantar ke sekolah sembari melanjutkan perjalanannya ke kantor. Jorge melihat Calista senyum-senyum sendiri sambil melihat ponsel, usil menanggapi Calista yang sibuk bermain ponsel.“Senyum-senyum sendiri aja...”Calista menoleh ke arah pamannya lalu tersenyum. “Nggak paman, ini hanya teman...”Jorge yang tahu perbedaan senang dikontak sama teman dan seseorang spesial hanya bergumam, “Teman atau teman?”Calista tidak peduli dengan perkataan Jorge dan masih asyik berkirim pesan dengan Eden yang notabene sudah sampai di sekolah. Dia tertawa terkikik-kikik dan membuat Jorge menggeleng-gelengkan kepala.“Dengar ya Calista, ingat kata Paman. Tidak boleh pacar-pacaran...” Jorge mengulangi lagi perkataan semalam dengan nada tegas. Entah kenapa dia punya feeling nggak enak.“Siapa sih yang pacaran, paman?!” ulang C
Calista duduk di samping Eden setelah keluar dari bioskop, menunggu Steve dan Jacob yang sedang ke kamar mandi. Dia tertawa-tawa setiap Eden melucu yang membuat Arabel mengerutkan alisnya.“Kenapa?” tanya Koko penasaran.“Nggak, lagi liatin si Calista. Kayak agak berlebihan di samping Eden...” jawab Arabel sekenanya.“Berlebihan gimana sih? Ngga ada apa-apa ah,” kata Koko bingung sambil memperhatikan Calista dari jauh.“Ketawanya berlebihan...” balas Arabel lagi.“Kamu jangan mengada-ada deh,” Koko menggeleng-gelengkan kepala.“Lihat jam, sudah jam sembilan lewat. Berani taruhan pasti paman Jorge sudah berkali-kali kirim pesan ke Calista tapi tidak dibacanya,” kata Arabel sambil mengambil ponsel dari tasnya. Lalu bergumam lagi, “Tuh kan ada pesan untuk aku juga dari pamannya Calista.”“Ya ampun..kayak anak kecil aja,” timpal Koko sambil iku
“Jorge, anak itu sepertinya sedang menyukai seseorang,” ucap kak Emily pada suatu sore di ruang tamu.Jorge sedang tidak masuk ke kantor karena memang dia punya jatah cuti, dan kemarin dia sudah lembur sampai tengah malam. Niatnya adalah beristirahat di rumah sambil menonton NetFlix. Ya, hiburan Jorge saat sedang jenuh dengan pekerjaan kantor memang menonton film. Kebanyakan sih memang film action dan misteri, no drama....pikirnya.“Masa sih kak?” tanya Jorge sambil duduk di kursi santainya dan memakan pisang goreng buatan kak Emily. Sebetulnya dia juga sudah curiga namun tidak dikatakannya.“Entah ya...apa sudah jadi pacar? Soalnya kalau lewat di kamar, dia sering telepon dan ya....kayak nggak tau aja. Bedalah kalau berbicara dengan teman biasa dan lawan jenis yang disukai,” lanjut Ibu Calista yang masih kelihatan cantik itu sambil memotong-motong buah untuk salad nanti malam.Jorge tidak mengatakan apa pun, dia meliha
Eden memeluk Calista di bawah pohon tempat motor mereka diparkir. Di pojok parkiran yang gelap dan sepi. Dia tak dapat kuat menahan gejolak hasratnya dengan Calista, dan gadis itu pun diam saja karena merasakan suatu hal yang baru. Bibir menempel dengan bibir, pinggang direngkuh dengan erat, kedua tangan Eden melingkar di pinggang ramping perempuan itu. Sementara Calista memeluk leher Eden selama pria itu memagut bibirnya.Calista tersengal hingga bibir Eden turun ke lehernya, baru dia memasang alarm dari dirinya sendiri.“Stop....berhenti,” desahnya mencoba melepaskan diri.Eden masih mengecup ceruk leher Calista saat gadis itu menjauhkan diri dengan wajah yang memerah karena hasrat dan rasa malu. Bagi Calista, semua ini adalah hal yang baru.“Kenapa? Aku tahu kamu menyukainya...” tanya Eden dengan heran sambil menaikkan alis.“Nanti saja. Aku belum siap,” ucap Calista menatap Eden dengan mata sayu. “Aku m