Pagi itu, Alka diminta untuk menjemput Calista. Keluarga besarnya ingin mengenal calon istrinya. Awalnya Alka menolak, tapi karena ayahnya keburu emosi, akhirnya ia terpaksa menjemput Calista untuk dibawa ke rumahnya.
Setibanya di rumah Calista, Alka mendapati Geraldi yang hendak pergi ke kantor. Dia tidak berbasa-basi pada pria paruh baya itu, langsung meminta izin untuk menjemput Calista.
“Lista! Ada Alka di sini. Dia mau menjemputmu untuk dibawa ke rumahnya.”
Calista yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kamar, seketika terhenti setelah mendengar nama Alka disebut.
‘Alka? Ngapain itu orang datang ke sini? Bikin kesel aja!’ gerutunya dalam hati sambil menutup pintu.
Calista masih kesal dengan ucapan Alka yang menganggapnya seperti perempuan liar waktu pertama kali bertemu.
“Pa, aku masih belum siap untuk datang ke rumahnya. Apa ini tidak terlalu terburu-buru? Nanti saja ya, Pa, kalau kami sudah bertunangan.” Calista berjalan menghampiri ayahnya dan mencoba untuk merayunya.
“Calista! Ini permintaan mertuamu, kamu harus mematuhinya. Jangan buat mereka kecewa. Ingatlah tujuan utama kita Lista. Kita butuh bantuan mereka. Kalau mereka kecewa dengan sikapmu itu, Papa tak yakin mereka mau menolong kita.”
Calista diam. Lagi-lagi alasan yang sama dikatakan oleh orang tuanya.
Alka langsung beranjak dari tempat duduknya setelah Calista menghampirinya dengan ekspresi manyun.
Setelah berpamitan, mereka langsung keluar menuju mobil yang terparkir manis di halaman rumahnya.
Ini pertama kalinya Calista dijemput oleh seorang pria. Dulu dia memang pernah menjalin hubungan, tapi tak bertahan lama setelah diketahui kalau kekasihnya ternyata berselingkuh dengan temannya sendiri. Calista langsung memutuskan untuk tidak memiliki hubungan dengan siapapun. Ia yakin jika sudah bertemu dengan jodohnya, walaupun tak pacaran pasti bakalan laku.
“Kuharap kau tidak mempermalukan dirimu sendiri di hadapan keluargaku.”
Kata-kata tajam itu terucap dari pria angkuh yang kini tengah duduk di kursi kemudi.
“Apa maksudmu?” tanya Calista, tidak terima disudutkan oleh calon suaminya itu.
“Tidak usah sok polos.”
Calista mendengus kesal setelah menyadari ke mana arah pembicaraan yang dimaksud Alka. Tapi hal itu membuatnya jadi sedikit gugup.
‘Tenang, Calista. Dia tidak mungkin tahu kejadian malam itu,’ batin Calista, mencoba bersikap tenang.
“Kuharap aku tidak akan melihat tanda cinta lagi lehermu lain kali,” kata Alka, membuat Calista gugup.
“Itu bukan tanda cinta seperti dalam bayanganmu!” seru Calista, berusaha menekan rasa panik. “Jangan menyimpulkan seenaknya!”
Alka mendengus. “Aku tidak peduli kau bercinta dengan siapa. Asalkan jangan merusak nama baik keluargaku!”
Calista merengut kesal mendengar ucapan Alka. Tapi ia tidak melayangkan protes karena tahu bahwa keadaan tidak berpihak kepadanya. Sudah syukur Alka tidak membeberkan soal tanda sialan itu kepada keluarganya.
Tak lama kemudian, mereka pun tiba di sebuah rumah besar yang membuat Calista termangu. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga Alka. Mereka sangat menyukai Calista yang tidak terlalu banyak bertingkah, tidak seperti gadis-gadis yang pernah dibawa oleh Alka sebelumnya.
“Om, Tante, gimana kabarnya?” tanya Calista dengan sopan. Yang ia kenali di situ hanya Riana dan Bayu, karena mereka pernah datang ke rumahnya.
“Alhamdulillah kami baik. Bagaimana dengan kamu dan keluarga, Calista?” tanya Riana menyambutnya dengan penuh semangat.
“Alhamdulillah. Kami semua juga baik,” jawabnya dengan suara yang lembut.
“Ayo Sayang, kita mengobrol di dalam.”
Calista diajak masuk oleh Riana dan juga keluarganya yang lain. Sedangkan Alka sudah tidak kelihatan batang hidungnya sejak mereka tiba di rumah ini.
“Tidak usah khawatirkan Alka. Dia pasti sudah kembali ke ruang kerjanya di atas,” jelas Riana saat melihat Calista celingak-celinguk.
“Oh … iya, Tante,” kata gadis itu sambil tersenyum sopan.
Bisa-bisanya Alka meninggalkannya sendirian dengan keluarga besarnya seperti ini!
Setibanya di ruang keluarga, tiba-tiba langkah Calista terhenti. Netranya menatap seseorang yang tampak tidak asing, yang membuat napasnya langsung tercekat.
“Di-dia ...” Calista masih ingat betul laki-laki yang sudah menghabiskan malam panas bersamanya. Tapi bagaimana mungkin ….
Calista mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap ia salah lihat. “Tidak mungkin,” bisiknya tak percaya.
Tak pernah disangka-sangka, ia dipertemukan kembali dengan pria asing itu di rumah calon suaminya sendiri!
Sama dengan Calista, pria itu juga terkejut ketika mendapati gadis yang berdiri tidak jauh darinya. Gadis yang sudah diperawaninya malam itu … gadis yang sudah dicarinya selama beberapa hari belakangan, kini hanya berjarak beberapa langkah saja darinya.
Mereka berdua saling bertatapan. Degup jantung Calista semakin tidak terkontrol sehingga membuatnya salah tingkah. Rasanya ingin sekali berlari keluar dari sana dan hilang ditelan bumi!
‘Bagaimana mungkin pria gigolo itu ada di sini?!’
“Calista! Ayo duduk di sini.” Riana menyilakan Calista duduk di sofa yang kosong.
Calista tersadar dari lamunan dan segera berjalan menghampiri dengan langkah yang terasa sangat berat.
‘Ya Tuhan … mati aku!’ gerutu Calista saat menyadari pria itu masih terus menatapnya dengan tatapan intens.
“Perkenalkan, ini namanya Alvaro, adiknya Alka.” Riana mengenalkan pria yang kini sudah berdiri di hadapan Calista.
“Hah?!” Tanpa sadar Calista memekik saking terkejutnya. Jadi pria itu bukan pria bayaran seperti yang Calista pikirkan?
“Ma-maaf,” katanya gelagapan. “A-adiknya Alka?”
Riana tidak menyadari raut Calista yang berubah drastis dan menjelaskan bahwa Alvaro adalah anak bungsu keluarga Yanuard yang baru pulang dari Eropa setelah menyelesaikan studinya.
Calista menelan ludah gugup. Tangannya mulai berkeringat dingin dan tidak bisa tenang. Dia benar-benar takut Alvaro menceritakan semuanya pada keluarganya.
‘Apa yang harus kulakukan?!’
“Calista! Kamu kenapa, Sayang? Apa kamu lagi nggak enak badan?” tanya Riana khawatir saat melihat Calista yang mematung dengan wajah pucat. Dia takut membuat Calista tidak nyaman berada di rumahnya.Calista tersenyum paksa menoleh pada Riana yang tengah memberikan tatapan khawatir padanya.“Enggak kok Tante, saya nggak apa-apa,” jawab Calista berusaha untuk tetap terlihat tenang.Calista meremas ujung kemeja yang dipakainya sampai membuatnya kusut. Tatapan Alvaro tak pernah teralihkan, selalu tertuju padanya.“Ya sudah. Kalau gitu kamu duduk dulu. Tante akan ambilkan minuman buat kamu. Ayo sini Sayang.”Riana meminta Calista untuk duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Alvaro yang tengah memangku laptop.Riana tidak menaruh kecurigaan pada gadis yang akan dijadikan sebagai menantunya. “Varo! Calista ini calon kakak iparmu. Ajak dia mengobrol, biar dia nggak canggung berada di sini,” kata Riana pada anak bungsunya itu. “Minggu depan Alka akan segera bertunangan dengan Calista, jadi
"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya."Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya. Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya. 'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka n
"Sebaiknya kalian berdua luangkan waktu buat mengobrol. Kasian Calista di sini kesepian. Kamu sih, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Riana beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk meninggalkan Alka dengan Calista. Sedangkan Alvaro langsung keluar untuk menenangkan diri setelah berdebat dengan kakak laki-lakinya."Calista! Tante mau ke dapur dulu. Kalau Alka marah-marah lagi, bilang saja sama Tante, biar Tante jewer telinganya." Calista mengulas senyum manisnya. "Siap Tante, apa perlu saya bantu di dapur?" tanya Calista.Merasa tidak enak hati, di saat calon mertuanya sibuk memasak, ia malah enak-enakan mengobrol dengan calon suaminya."Tidak usah, Lista, biar Tante saja yang memasak, toh, ada bibi juga yang bantuin. Udah, kamu duduk manis aja di sini."Calista mengangguk, masih terasa canggung berada di kediaman calon mertuanya. Apalagi hanya berdua saja dengan Alka, pria dingin dan terkesan arogan.Riana melenggang pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan m
Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak
Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole
"Terlambat?"Geraldi menautkan kedua alisnya menatap Alvaro, dan membuat Calista jadi salah tingkah."Iya. Maksudnya terlambat nggak ikut datang ke rumah waktu itu." Bukan Alvaro yang menjawab, tapi Calista. Ia tidak ingin Alvaro mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengannya di depan orang tuanya."Kamu bilang tadi ada meeting pagi ini, segeralah berangkat, nanti kamu akan terlambat."Calista mengerjab-ngerjabkan bola matanya mengkode Alvaro untuk segera pergi dari tempatnya bekerja."Jangan sampai Alka marah. Bukannya hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja? Usahakan jangan menunda-nunda waktu. Aku sendiri juga sibuk di sini, dan nggak bisa mengobrol denganmu. Papa juga sibuk ya kan, Pa?"Geraldi langsung menegur Calista yang sudah tega mengusir Alvaro. Ia menganggap putrinya kurang sopan."Kamu ini gimana sih, Lista! Orang main kok malah diusir. Bukannya kamu tadi juga dibawain makanan? Jangan cuman mau sama makanannya doang, nggak sopan kamu ini."Geraldi tidak
Alvaro tiba di kantor orang tuanya. Hari itu ia akan dikenalkan oleh Ayahnya sebagai pimpinan yang akan menggantikan posisi Alka di kantor, karena Bayu berniat untuk memindahkan Alka di kantor cabang.Setibanya di lobi, ia dikejutkan oleh keberadaan Alka yang tengah bersama dengan seorang perempuan. Nampak terlihat begitu dekat hingga perempuan itu memegangi pundaknya dengan berdiri di depannya."Alka! Benar-benar kurang ajar itu orang. Aku tidak masalah kalau dia bermain-main dengan wanita lain dan tidak sedang menjalin hubungan dengan Calista. Kalau sudah menjadi tunangan Calista, tapi masih bermain-main dengan perempuan lain, aku tidak akan bisa diam saja."Alvaro bergegas menemui Alka yang nampak bersenda gurau tanpa malu di dalam kantor. Entah apa hubungan Alka dengan perempuan itu, tapi yang jelas, Alka sudah menyalahi aturan."Oh! Jadi seperti ini kelakuanmu kalau di luar rumah. Ini kantor Bang, bukan warkop. Lagian kau sudah ditunangkan dengan Calista. Bisakah kau menghargai