“Calista! Kamu kenapa, Sayang? Apa kamu lagi nggak enak badan?” tanya Riana khawatir saat melihat Calista yang mematung dengan wajah pucat. Dia takut membuat Calista tidak nyaman berada di rumahnya.
Calista tersenyum paksa menoleh pada Riana yang tengah memberikan tatapan khawatir padanya.
“Enggak kok Tante, saya nggak apa-apa,” jawab Calista berusaha untuk tetap terlihat tenang.
Calista meremas ujung kemeja yang dipakainya sampai membuatnya kusut. Tatapan Alvaro tak pernah teralihkan, selalu tertuju padanya.
“Ya sudah. Kalau gitu kamu duduk dulu. Tante akan ambilkan minuman buat kamu. Ayo sini Sayang.”
Riana meminta Calista untuk duduk di sofa, berhadapan langsung dengan Alvaro yang tengah memangku laptop.
Riana tidak menaruh kecurigaan pada gadis yang akan dijadikan sebagai menantunya.
“Varo! Calista ini calon kakak iparmu. Ajak dia mengobrol, biar dia nggak canggung berada di sini,” kata Riana pada anak bungsunya itu. “Minggu depan Alka akan segera bertunangan dengan Calista, jadi buatlah dia nyaman berada di sini. Nanti setelah mereka menikah, Calista akan tinggal di sini bersama kita.”
Alvaro hanya mengangguk sekilas mendengar permintaan ibunya. Ia menyunggingkan seulas senyum tipis setelah tahu kalau nanti Calista akan tinggal di rumah ini. Alvaro merasa memiliki kesempatan banyak untuk mendekati Calista, walaupun ada hal yang sedikit membuatnya tidak senang.
“Jadi tunangannya minggu depan, Ma? Apa nggak terburu-buru?”
“Enggak. Lebih baik jika mereka segera bertunangan, dengan begitu Alka akan fokus bekerja dan memperhatikan Calista. Kamu ajak Calista ngobrol ya, biar dia nggak kesepian. Alka masih sibuk dengan pekerjaannya, jadi dia tidak bisa diganggu.”
Riana selalu menutupi keburukan anaknya. Walaupun anaknya banyak melakukan kesalahan, ia selalu berusaha untuk menutup-nutupinya.
“Mama tenang saja, aku akan mengajaknya mengobrol agar dia tidak canggung lagi berada di rumah kita.”
Alvaro tersenyum miring sambil mengerlingkan bola matanya ke arah Calista, dan itu membuat Calista semakin tidak nyaman.
“Ya sudah, kalian ngobrol saja. Mama tinggal dulu sebentar untuk membuatkan minuman buat Calista.”
Riana mengusap bahu Calista sebentar dan bergegas meninggalkan mereka menuju dapur, menyisakan Calista dengan Alvaro saja di ruang keluarga, sedangkan keluarganya yang lain menyibukkan diri dengan urusan mereka masing-masing.
Dengan helaan napas berat Calista menggerutu dalam hati. ‘Ya ampun ... Alka benar-benar laki-laki sialan! Harusnya dia ada di sini bersamaku, menemaniku di sini, bukan malah meninggalkanku begitu saja!’
Calista mencoba untuk menenangkan dirinya agar tidak nervous berdua saja dengan Alvaro yang tak pernah berhenti mengamatinya.
Bertatapan dengan pemuda itu, membuat ingatannya kembali muncul di mana malam itu. Bayangan dirinya berubah menjadi wanita liar, bergulat panas di atas ranjang bersama pria yang ternyata adalah calon adik iparnya … benar-benar gila!
“Kenapa kau meninggalkanku tanpa membangunkanku terlebih dulu?”
Pertanyaan Alvaro membuat Calista menegang. Alvaro kembali mengingatkan kejadian di mana dirinya ditinggalkan oleh Calista di saat ia masih tertidur pulas setelah kelelahan memuaskan gadis yang tengah menggodanya malam itu.
“Ma-maksudnya?” Calista tergugup mencoba untuk membalas pertanyaannya. Tubuhnya sedikit gemetar, namun ia coba untuk bersikap biasa saja.
Alvaro menutup laptopnya dan menaruhnya di atas meja. Tatapannya begitu dingin mengarah pada Calista yang nampak gelisah tak tenang duduk di depannya.
“Apa kurang jelas pertanyaanku tadi? Kenapa kau meninggalkanku saat aku tertidur, dan kenapa kau meninggalkan uang 300.000 di atas nakas? Apa kau pikir aku ini laki-laki bayaran yang digunakan untuk memberikan kepuasan pada setiap perempuan? Kau sungguh keterlaluan, Calista! Kau membuatku kecewa.”
Calista bingung hendak menjawab apa. Ia tidak ingin kecerobohannya itu diketahui oleh semua orang yang ada di rumah calon mertuanya.
“Tolong jangan katakan apapun mengenai hal itu. Anggap saja hal itu tidak pernah terjadi, dan lupakanlah aku. Aku tidak ingin memiliki urusan lagi denganmu. Anggap saja kita tidak pernah bertemu.”
Alvaro menyeringai. Ia cukup kecewa pagi itu saat membuka matanya, tak mendapati gadis yang ditidurinya. Lebih menyebalkan lagi saat Calista meninggalkan uang di atas nakas, menganggap dirinya sebagai laki-laki bayaran yang digunakan untuk memuaskan hasratnya saja.
“Bagaimana bisa aku melupakan semua itu? Setelah kau dan aku berbagi kehangatan semalaman, kau ingin melupakan aku dan ingin menikah dengan kakakku? Licik sekali kau, Calista!”
Seketika mata Calista berkaca-kaca mendengar ucapan Alvaro. Dia tidak bermaksud licik seperti yang pria itu katakan. Calista bahkan baru tahu kalau Alvaro memiliki hubungan dekat dengan calon suaminya!
“Terserah kamu mau bilang apa, tapi aku minta tolong jauhi aku. Aku sudah dijodohkan dengan Alka, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Harapan orang tuaku ingin memiliki Alka sebagai menantu, dan aku harus menurut pada mereka.”
Alvaro berdiri dengan bertepuk tangan mendekati Calista. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari gadis yang membuatnya kewalahan malam itu.
“Wow! Hebat sekali, Calista. Setelah tidur denganku dan memadu kasih semalaman bersamaku, sekarang kau ingin menikah dengan kakakku,” kata Alvaro dengan nada tajam yang membuat bulu kuduk Calista seketika berdiri.
Alvaro kini sudah berdiri di depan Calista, memerangkap tubuhnya di tengah-tengah sofa dengan kedua tangan yang diletakkan di sisi tubuh gadis itu.
“Sungguh perempuan yang pintar,” katanya dengan suara berat dan dalam. Alvaro menatap Calista lekat. “Tapi aku tidak akan pernah mau berbagi dengan siapapun, termasuk dengan kakakku.”
Kedua tangan Alvaro menahan pundak Calista agar gadis itu tidak bisa menghindarinya.
Tatapannya sangat dalam penuh arti, hingga membuat Calista kalang kabut sendiri tidak bisa melepaskan diri dari pria itu.
“Aku memiliki dua pilihan untukmu, Calista. Kau tetap menikah dengan kakakku, tapi kau tetap akan menjadi teman tidurku, atau kau berpisah dengannya dan mengakui kalau kita ...”
Alvaro semakin mendekatkan wajahnya hingga bibir mereka hampir menempel.
“Ekhem!”
Tiba-tiba saja sebuah deheman membuyarkan ketegangan Calista dan membuat Alvaro juga terkejut. Dia melepaskan tangannya yang bertengger di pundak Calista, menjauh dari gadis itu, dan menoleh tidak senang pada orang yang telah mengganggu mereka.
“Apa yang kau lakukan pada calon istriku?!”
"Berani sekali kau ingin menggodanya, Varo! Apa tidak ada wanita lain di luar sana, hingga kau ingin mengganggu calon istriku!"Alka berjalan mendekat pada mereka berdua dengan sorot mata elangnya."Hey, Bung! Kau sudah salah paham, aku tidak menggodanya."Alvaro mengelak tak ada niatan untuk mengganggu Calista. Namun, wajahnya tampak mengeras begitu mendengar Alka mengklaim Calista sebagai 'calon istrinya', meskipun itu memang benar adanya. Jantung Calista berdetak begitu cepat, ia dibuat terkejut dengan kemunculan Alka secara tiba-tiba tanpa diketahuinya. 'Kalau saja malam itu aku tidak mabuk, mungkin kejadian gila itu tidak akan pernah terjadi. Ini salahku.'Calista menjadi salah tingkah. Alvaro terlalu nekat, dan itu tidak membuatnya senang. "Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak percaya dengan ucapanku?"Terang saja Alka menaruh kecurigaan pada mereka. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat adiknya dan juga calon istrinya bertatapan begitu intens, bahkan bibir mereka n
"Sebaiknya kalian berdua luangkan waktu buat mengobrol. Kasian Calista di sini kesepian. Kamu sih, terlalu sibuk dengan pekerjaanmu."Riana beranjak dari tempat duduknya, berniat untuk meninggalkan Alka dengan Calista. Sedangkan Alvaro langsung keluar untuk menenangkan diri setelah berdebat dengan kakak laki-lakinya."Calista! Tante mau ke dapur dulu. Kalau Alka marah-marah lagi, bilang saja sama Tante, biar Tante jewer telinganya." Calista mengulas senyum manisnya. "Siap Tante, apa perlu saya bantu di dapur?" tanya Calista.Merasa tidak enak hati, di saat calon mertuanya sibuk memasak, ia malah enak-enakan mengobrol dengan calon suaminya."Tidak usah, Lista, biar Tante saja yang memasak, toh, ada bibi juga yang bantuin. Udah, kamu duduk manis aja di sini."Calista mengangguk, masih terasa canggung berada di kediaman calon mertuanya. Apalagi hanya berdua saja dengan Alka, pria dingin dan terkesan arogan.Riana melenggang pergi menuju dapur untuk menyiapkan makan siang, meninggalkan m
Calista menghempaskan tubuhnya di sofa ruang tamu setelah diantarkan pulang oleh Alka.Suasana hatinya masih juga tidak tenang. Ia hanya memikirkan cara, bagaimana untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Tak mungkin juga menyetujui ide konyol Alka, menerima tawaran bantuannya dengan syarat harus tidur bersamanya."Benar-benar gila! Kakak dan adiknya memiliki pikiran yang kotor. Udah tidur dengan adiknya, sekarang malah diminta untuk tidur dengan kakaknya, nikah aja belum, udah ngajak yang aneh-aneh. Bikin kesel, aja."Kedua tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Setelah menenggak jus jeruk di rumah calon mertuanya, ia merasakan kepalanya agak pening, dan memutuskan untuk diantarkan pulang."Loh! Kamu udah pulang, Lista?"Kamila memasuki rumah setelah mengantarkan bekal makan siang untuk suaminya. Kondisi Geraldi memang kurang sehat, tak diperbolehkan untuk memakan sembarang makanan. Kamila harus mengontrol pola makan suaminya."Baru aja nyampe, Ma," jawab Calista.Kamila tak
Keberadaan Calista kini di toko Furniture miliknya. Walaupun masih sepi, ia tetap saja membukanya. Masih ada beberapa jenis barang-barang bermerk, berkualitas tinggi, disuguhkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tidak terlalu banyak pegawai yang masih bertahan, namun ia masih bersyukur, bisa menggaji mereka yang tersisa bekerja untuknya."Ada beberapa orang yang berkunjung dan melihat barang-barang kita di sini. Tolong layani mereka dengan baik.""Baik, nona," jawab beberapa pegawai yang tengah bersih-bersih di dalam toko.Ada beberapa orang yang masuk ke dalam tokonya, dan melihat barang-barang yang terpajang di depan. Calista sangat berharap, ada orang yang masih mau mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang miliknya."Permisi Bapak, Ibu, ada yang bisa kami bantu?"Calista turun tangan sendiri untuk menyambut tamu yang datang, dan berharap mereka berniat untuk membeli barang-barang miliknya."Emm, ini neng, kami mau lihat-lihat dulu, barang kali ada yang cocok," jawab mereka
"Nekat gimana maksudnya? Jangan macam-macam, ya? Jangan buat orang tuaku kecewa, Varo! Orang tuaku lagi sakit, kondisinya tidak baik, jadi tolong jangan membuat ulah."Calista dilanda kecemasan, takut Alvaro akan menceritakan tentang apa yang sudah dilakukannya malam itu. Jika sampai hal itu terjadi, ia yakin, keluarga Alka maupun orang tuanya akan sangat kecewa, dan bisnis kerjasama mereka bisa hancur."Siapa yang membuat ulah, aku tidak berulah, aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Apa itu salah, Calista?"Alvaro nampak tenang, ia bahkan tidak peduli kalaupun Alka akan melihat kedekatannya dengan Calista."Ya jelas salah. Kau itu seperti anak kecil. Kau masih muda, Varo! Kau bisa mencari penggantiku. Lagian malam itu kita melakukannya karena sama-sama tidak sadar, kan? Jadi anggap saja malam itu kita tidak melakukan apa-apa. Kau bisa melupakanku dan bebas memilih perempuan lain sebagai penggantinya."Keberadaan Alvaro hanya menambah pening di kepalanya. Kini hidupnya disuguhkan ole
"Terlambat?"Geraldi menautkan kedua alisnya menatap Alvaro, dan membuat Calista jadi salah tingkah."Iya. Maksudnya terlambat nggak ikut datang ke rumah waktu itu." Bukan Alvaro yang menjawab, tapi Calista. Ia tidak ingin Alvaro mengatakan bahwa dirinya memiliki hubungan khusus dengannya di depan orang tuanya."Kamu bilang tadi ada meeting pagi ini, segeralah berangkat, nanti kamu akan terlambat."Calista mengerjab-ngerjabkan bola matanya mengkode Alvaro untuk segera pergi dari tempatnya bekerja."Jangan sampai Alka marah. Bukannya hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja? Usahakan jangan menunda-nunda waktu. Aku sendiri juga sibuk di sini, dan nggak bisa mengobrol denganmu. Papa juga sibuk ya kan, Pa?"Geraldi langsung menegur Calista yang sudah tega mengusir Alvaro. Ia menganggap putrinya kurang sopan."Kamu ini gimana sih, Lista! Orang main kok malah diusir. Bukannya kamu tadi juga dibawain makanan? Jangan cuman mau sama makanannya doang, nggak sopan kamu ini."Geraldi tidak
Alvaro tiba di kantor orang tuanya. Hari itu ia akan dikenalkan oleh Ayahnya sebagai pimpinan yang akan menggantikan posisi Alka di kantor, karena Bayu berniat untuk memindahkan Alka di kantor cabang.Setibanya di lobi, ia dikejutkan oleh keberadaan Alka yang tengah bersama dengan seorang perempuan. Nampak terlihat begitu dekat hingga perempuan itu memegangi pundaknya dengan berdiri di depannya."Alka! Benar-benar kurang ajar itu orang. Aku tidak masalah kalau dia bermain-main dengan wanita lain dan tidak sedang menjalin hubungan dengan Calista. Kalau sudah menjadi tunangan Calista, tapi masih bermain-main dengan perempuan lain, aku tidak akan bisa diam saja."Alvaro bergegas menemui Alka yang nampak bersenda gurau tanpa malu di dalam kantor. Entah apa hubungan Alka dengan perempuan itu, tapi yang jelas, Alka sudah menyalahi aturan."Oh! Jadi seperti ini kelakuanmu kalau di luar rumah. Ini kantor Bang, bukan warkop. Lagian kau sudah ditunangkan dengan Calista. Bisakah kau menghargai
Di ruang meeting, Bayu meminta kedua anaknya, dan juga pegawainya berkumpul. Dia ingin membahas tentang pergantian pemimpin di perusahaan cabang miliknya."Selamat siang semuanya."Bayu nampak tegas dan juga berwibawa menatap semua karyawan yang dikumpulkan di ruang meeting."Selamat siang Pak," jawab mereka dengan serempak.Para pegawai tidak tahu apa yang membuat Bayu memintanya untuk berkumpul di ruang meeting, karena tidak ada kabar apapun sebelumnya."Saya sengaja mengumpulkan kalian di sini dan ingin mengenalkan putra bungsu saya sebagai pemimpin di perusahaan ini. Ini namanya Alvaro, adiknya Alka. Dia akan menggantikan posisi Alka di sini, dan saya akan menempatkan Alka di kantor cabang yang lain."Tatapan mereka tertuju pada Alvaro yang berdiri tegak di sebelah Bayu. Wajah tampan berwibawa itu menjadi sorotan para pegawai, termasuk kaum hawa, yang terpesona oleh ketampanannya."Oh! Jadi Bapak Alvaro ini yang akan menjadi pemimpin kami di sini Pak?" tanya Arya, selalu manajer